BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Life style atau gaya hidup, salah satu unsur penting di kalangan masyarakat modern. Gaya hidup sudah menjadi bagian dari salah satu ciri-ciri masyarakat modern, yang bisa dijadikan suatu patokan untuk membedakan status sosial di lapisan masyarakat. Gaya hidup bisa mengendalikan pikiran setiap orang secara tidak disadari, sehingga tidak saja memenuhi hasrat setiap orang lewat fungsi, kesenangan dan kemudahan yang ditawarkannya, akan tetapi sekaligus menimbulkan ketergantungan. Jakarta termasuk salah satu kota Metropolitan, salah satu kota yang sedang berkembang, kota yang didalamnya terdapat masyarakat yang mempunyai tren kosmopolitan, dengan adanya life style global, atau globalisasi gaya hidup, misalnya tren apa saja, baik itu berupa merk, atau fashion yang sedang terjadi di Hongkong, Italy, Jepang, Amerika Serikat, atau kota-kota besar yang menjadi pusat fashion dunia lainnya, menjadi salah satu patokan yang bisa dicontoh disini, entah bagaimana caranya, untuk masyarakat lapisan atas dan sebagian publik figur yang biasanya mereka rela untuk mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk mendapatkan barang-barang tersebut, yang tidak lama kemudian, kita bisa menemukan barangbarang serupa di pusat perbelanjaan, yang tidak asing lagi, yang biasanya menjual barang-barang yang menyerupai yang dapat dijangkau oleh masyarakat kelas menegah. Sudah menjadi sifat dasar wanita ingin selalu terlihat lebih menarik, yang menyebabkan dirinya bisa disebut dengan istilah masyarakat konsumerisme karena selalu ingin memenuhi kebutuhannya tersebut. Manusia itu senantiasa terdorong untuk menilai atau mencari yang lebih baik dalam kehidupannya, baik disadari
maupun tidak, manusia selalu dipenuhi oleh berbagai keinginannya kepada segala sesuatu yang lebih. Masyarakat Indonesia, terlebih di kota-kota besar tampaknya tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi serta transformasi kapitalisme konsumerisme yang bisa dilihat dari gejalanya dengan menjamurnya pusat perbelanjaan untuk kalangan atas, seperti shopping mall, dimana di pusat perbelanjaan, industri mode, industri kecantikan, industri kuliner, industri entertainment, apartemen, dan industri high-tech. Gaya hidup di kota Mertopolitan tidak sebatas dalam penggunaan produk dan merk tertentu saja, untuk yang beragama Islam, sebagian masyarakat mempunyai asumsi
bahwa wanita yang menggunakan jilbab bisa dikatakan lebih mengerti
tentang agama, dibandingkan wanita yang tidak mengenakan jilbab, padahal belum tentu seperti itu. Ada pula yang lebih spesifik lagi seperti komodifikasi religi, disini menawarkan suatu barang yang dijual dengan mengatasnamakan barang yang digunakan tersebut Islami, mulai dari kosmetik yang bernuansa Islami, busana yang lebih Islami tetapi tetap mempunyai fashion yang terbaru, munculnya iklan dan industri jasa yang menawarkan “wisata religius”, seperti umroh bersama kyai beken, berdirinya sekolah-sekolah Islam yang mahal, kafe khusus Muslim, menjamurnya konter-konter berlabel Exclusive Moslem Fashion, kegandrungan kelas menengah yang memanfaatkan sensibilitas keagamaan untuk keuntungan bisnis. Sementara maraknya penerbitan majalah anak muda Islam (khususnya muslimah) nyaris tidak jauh berbeda sensibilitasnya dengan majalah anak muda pada umumnya. Yang ditawarkan adalah mode, shopping, soal gaul, seks dan pacaran yang dianggap pengelolanya sebagai “yang Islami”, padahal di dalam agama Islam tidak mengenal sama sekali istilah pacaran , karena hanya akan mengundang dan menuju pada perzinahan. Di peradaban modern seperti sekarang ini wanita bisa menunjukkan eksistensi dan keberadaannya di masyarakat luas, wanita sudah lebih berkembang, sebagai contohnya, dengan adanya kesetaraan pada pencapaian karir, sehingga pada saaat ini banyak sekali wanita yang ingin menunjukkan atau mencapai kesuksesan dengan berprofesi sebagai wanita karir. Dalam menjalankan pekerjaannya sebagai wanita
karir, biasanya wanita dituntut untuk mengenakan pakaian resmi yang sesuai dengan pekerjaannya, misalnya menggunakan blazer, kemeja, tatanan rambut ditata rapih,menggunakan sepatu hak tinggi.
Secara tidak sadar terciptalah sebuah
anggapan yang stereotype, apa bila seorang wanita mengenakan pakaian seperti yang telah disebutkan diatas, ia dapat dikenali sebagai wanita karir. Dapat disimpuklan pekerjaan atau identitas seseorang, salah satunya dapat diketahui dari pakaian yang dikenakannya. Dalam perkembangannya pada saat ini anggapan tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai sebuah patokan, karena pada kenyataannya belum tentu konstruk visual bisa mengambarkan identitas seseorang. Kota Metropolitan seperti Jakarta telah menciptakan satu tata masyarakat kelas menengah baru, yang dapat menentukan gaya hidupnya secara bebas, sesuai dengan pilihannya, tanpa perlu terikat oleh norma-norma sosial dan kultural yang ada. Fenomena wanita karir yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, seperti yang dimuat dalam buku Jakarta under cover, ditulis oleh Moammar Emka. Image dari wanita karir disini sangat memenuhi karakter tersebut, dimana wanita karir yang biasa bekerja “9 to 5”, kemudian mempunyai kehidupan malam yang luar biasa, dengan konstruk visual pada waktu “Nine to Five” yang dapat dikatakan begitu elegan, terpelajar, ketika malam ia menjadi kaum social lite, mencari kesenangan untuk memenuhi kebutuhan “biologis” sampai menjelang pagi. Menjadi wanita karir bisa dijadikan salah satu keinginan setiap wanita kedalam kategori mapan dan mandiri, karena untuk bisa memenuhi kebutuhan gaya hidupnya dibutuhkan biaya yang lebih untuk mengikuti kebutuhan gaya hidup yang membutuh kan biaya yang tidak sedikit. Biasanya mereka mengekspresikan gaya hidup itu seperti fashion, yang dapat dicoba, dipertahankan dan ditinggalkan.. Fenomena-fenomena yang bisa dikatakaan sisi negatif dari gaya hidup itulah yang menginspirasikan saya untuk membuat karya yang objeknya adalah sesosok wanita, dan objek itu adalah saya sendiri. Saya menyimbolkan diri saya menjadi wanita-wanita yang menjadi fenomena dalam pandangan saya. Dalam proses berkarya saya membuat 6 karakter wanita. Kemudian penulis mengeksplorasi dan
menggabungkan kepribadian dan identity dari karakter-karakter wanita tersebut yang akan dipisahkan dari konstruk visualnya, saya memvisualisasikan dengan kepalakepala yang mempunyai objek yaitu saya sendiri.
1.2
Rumusan Masalah
Melalui karya ini saya sedang mencoba untuk mengkritisi gaya hidup wanita kelas menengah yang hidup di kota-kota metropolitan yang muncul akibat ketidak sadaran mereka akan peng-konstruksian gaya hidup.
1.3
Batasan Masalah
Saya akan memberi batasan pada gaya hidup wanita di kota Jakarta, terutama pada kelas menengah, yang menggunakan merk fashion yang terkenal. Merk terkenal tersebut saya batasi pada merk fashion Louis Vuitton, merk teknologi yang bisa dikategorikan menjadi gaya hidup, yaitu Ipod, kemudian wanita dengan identitasnya dan kepribadian yang dimilikinya yang kemudian dalam visualisasi karyanya berupa dari sindiran dan bagaimana pandangan masyarakat itu sendiri melihat karakterkarakter wanita yang dibuat.
1.4
Tujuan Penulisan
Tulisan ini disusun oleh penulis untuk menyertai keseluruhan Tugas Akhir dan untuk memenuhi mata kuliah penulisan Pengantar Tugas Akhir SM 40S1 dan sebagai syarat untuk menyelesaikan jenjan S1 di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
1.5
Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN Mengenai latar belakang, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dari tulisan ini dibuat, sistematika penulisan, kerangka pemikiran.
Bab II LANDASAN TEORI 2.1 Pembahasan secara singkat mengenai apa itu gaya hidup 2.2Pembahasan seniman dari referensi karya 2.3 Pembahasan pendekatan karya melalui teori seni
Bab III KONSEP KARYA
Bab IV PROSES KREASI BERKARYA 4.1 PROSES BERKARYA Material yang digunakan, teknik pembuatan hingga menjadi karya keramik. 4.2 TINJAUAN KARYA Penjelasan secara sepsifik mengenai karya.
Bab V KESIMPULAN Bab ini membahas tentang kesimpulan dari seluruh karya.
DAFTAR PUSTAKA