BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan bencana. Berbagai ancaman seperti erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan, tanah longsor, gelombang tinggi dan angin puting beliung. Bencana mengakibatkan penderitaan kepada masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam atau faktor non alam maupun manusi, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana dan prasarana, serta fasilitas umum (Pasal 1 ayat 1 UU No 24 Tahun 2007). Perubahan iklim dapat mempengaruhi perubahan bersifat fisis, biologis dan kimiawi. Perubahan yang terjadi karena karakteristik kimia dapat berdampak pada struktur ekologis lingkungan perairan. Kejadian kenaikan muka air laut akan banyak menimbulkan perubahan pada sistem pesisir yang disebabkan oleh banjir rob, cuaca ekstrim, dan abrasi lahan pesisir. Terjadinya perubahan iklim dapat menimbulkan perpecahan siklus hidrologi yang dapat mengubah evaporasi, transpirasi, run-off air tanah, dan presipitasi. Banjir pasang (rob), abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian. Pada kejadian tersebut intensitas air hujan yang terus meningkat, dalam periode tertentu dapat mengakibatkan dampak pada kenaikan suhu dan mengakibatkan pencairan gletser yang juga dapat mempengaruhi kenaikan permukaan air laut. Perubahan kenaikan air laut dapat mengganggu kehidupan karena dapat mengakibatkan genangan di wilayah pesisir dan daratan yang lebih rendah.
1
2
Banjir adalah air yang melebihi kapasitas tampung di dalam tanah, saluran air, sungai, danau, atau laut karena kelebihan kapasitas tampung di dalam tanah, saluran air, sungai, danau, dan laut akan meluap dan mengalir cukup deras menggenangi daratan atau daerah yang lebih rendah di sekitarnya. Penelitian ini dilaksanakan di Pesisir Kabupaten Subang, Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon. Kedua lokasi ini dipilih karena merupakan kawasan pesisir yang berada di wilayah pantura yang telah mengalami peristiwa banjir rob. Kabupaten subang memiliki panjang pantai ±68km, termasuk di antaranya Pantai Blanakan yang terletak di Pantai Utara Jawa Barat. Perairan Blanakan memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20m). Wilayah Pantai Blanakan Subang yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini terjadi pendangkalan perairan yang sangat besar. Di wilayah timur pantai subang dengan garis pantai memanjang dalam arah tenggara – barat laut cenderung mengalami penggerusan garis pantai (abrasi). Abrasi akan semakin parah apabila tidak ada ekosistem yang menghalaunya contoh mangrove, padang lamun, terumbu karang, dll. Dan juga daratan pada pesisir kabupaten subang akan terkena banjir rob (pasang) apabila tanah mengalamai pengikisan (abrasi). Wilayah Kabupaten Subang terletak antara 1070 31’ – 107054’ BT dan 6011’ – 6030’ LS, dengan panjang garis pantai kurang lebih 48,2km (Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Jawa Barat pada tahun 2007 dalam BLH Kabupaten subang 2010, luas area mangrove di Provinsi Jawa Barat seluas ±40.129,89 hektar, dengan 7.816,3 hektar di luar kawasan hutan. Kondisinya 38% dalam keadaan rusak dan 62% dalam keadaan sedang dan tidak ditemui hutan mangrove dalam kondisi baik. Dalam laporan Kajian Status Mutu Laut BPLHD Jawa Barat pada tahun 2008, menunjukkan luas area mangrove di wilayah pantai utara Jawa Barat berdasarkan analisa citra satelit ternyata jauh lebih kecil, yaitu 6.212,40 hektar. Sebanyak 3.886,08 hektar di Kabupaten Subang yang dapat dikatakan relatif memiliki luasan mangrove yang luas dibandingkan luasan mangrove di pesisir
3
Indramayu yakni 1.103,46 hektar. Hanya di Kabupaten Subang masih dapat dijumpai mangrove dengan area relatif lebih luas (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Hutan Mangrove di Wilayah Pantura Jawa Barat Berdasarkan Analisis Citra Satelit 2008 No Kabupaten
Luas (Ha)
1.
Bekasi
592,98
2.
Karawang
332,43
3.
Subang
3.886,08
4.
Indramayu
1.103,46
5.
Cirebon
297,45
Jumlah
6.212,40
Sumber : Laporan Kajian Mutu Laut BPLHD Prov. Jabar 2008.
Luasan mangrove yang semakin lama semakin menurun yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman, tambak, bahkan tanah kosong akibat penebangan secara besar-besaran akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan diantaranya abrasi pantai, banjir, sedimentasi dan berkurangnya keanekaragaman hayati laut. Kerusakan hutan mangrove ini dapat menyebabkan erosi, sehingga akan menimbulkan perubahan pola sedimentasi, perubahan garis pantai, dan penurunan tanah yang dapat mengakibat kan mudah nya air pasang yang memasuki wilayah yang lebih rendah karena naik nya permukaan air laut. 1.2
Identifikasi Masalah Identifikasi masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah
adanya perubahan iklim global yang dapat mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang cukup signifikan dengan salah satu dampak yang nyata yaitu sering terjadinya banjir pasang (rob).
4
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah mengkaji dan
menghitung luasan daerah yang berpotensi terkena banjir rob oleh karena pasang surut, gelombang dan kenaikan muka air laut di Pesisir Kabupaten Subang Jawa Barat. 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang sejauh mana daerah pesisir yang terendam genangan banjir rob di Pesisir Kabupaten Subang. 1.5
Pendekatan Masalah Kabupaten subang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Indramayu di timur, Kabupaten Sumedang di tenggara, Kabupaten Bandung di selatan, serta Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang di barat. Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon terletak di Kabupaten Subang yang merupakan salah satu kawasan yang terletak di pesisir utara Provinsi Jawa Barat dan memiliki kawasan ekosistem mangrove yang selalu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Ekosistem yang tumbuh di Kecamatan Blanakan tumbuh di delta sungai berlumpur, sebagai daerah yang banyak muara sungai yang membentuk delta, seharusnya Kecamatan Blanakan merupakan areal subur yang dapat ditumbuhi mangrove secara lestari. Akibat dari pemanfaatan mangrove yang tidak terkendali terutama untuk dijadikan areal tambak dan penebangan pohon bakau untuk bahan bakar, sehingga mangrove di daerah Kecamatan Blanakan mengalami penurunan. Areal mangrove yang mengalami kerusakan cukup parah sebagian besar merupakan hutan yang tumbuh di tambak-tambak milik masyarakat pesisir akibat pemanfaatan kayu bakau yang tidak terkendali (Syamsudin, 2007). Ekosistem mangrove di Kecamatan Legonkulon bisa disebabkan karena menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan mangrove di daerah tersebut. Penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini dimungkinkan karena
5
banyaknya buangan limbah rumah tangga berupa plastik, pelepah pisang, kayu dan lainnya yang menyangkut di saluran serta di hutan mangrove. Air limbah yang mengalir disepanjang saluran juga merupakan ancaman penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini. Karena air limbah tersebut mengandung bahan beracun bagi tumbuhan serta dapat merusak kualitas air yang mengalir menuju hutan mangrove. Pesisir yang rentan terhadap kenaikan muka air laut dapat menyebabkan degradasi lingkungan pesisir seperti abrasi serta dapat menimbulkan banjir rob yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut di atas normal. Gelombang, pasang surut, kemiringan pantai dan kenaikan muka air laut rata-rata merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan banjir rob. Berkurangnya lahan hutan mangrove merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami di Indonesia, salah satu akibat rusak nya hutan mangrove adalah banjir rob. Pengembangan pemetaan daerah yang berpotensi terendam genangan air banjir rob berbasis SIG dapat digunakan untuk menganalisa dampak fisik, ekologis, dan ekonomis dari fenomena terjadi nya banjir rob. Melihat peranan mangrove yang sangat besar, sangat wajar apabila keberadaan hutan mangrove perlu benar-benar diperhatikan agar terjaga kelestariannya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mempertahankan kondisi yang ada dan meminimalkan kegiatan yang dapat merusak sumber daya mangrove serta melakukan kegiatan konservasi dan rehabilitasi terhadap mangrove.