BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karbon mesopori merupakan material berpori yang menarik perhatian peneliti karena keteraturan geometrinya dan memiliki potensi yang besar untuk berbagai aplikasi, diantaranya untuk adsorpsi, sensor, obat-obatan, dan nanoteknologi (Vinu dkk., 2006). Secara kimia, karbon mesopori relatif tahan terhadap asam dan basa (Ryoo, 1999). Permukaan karbon mesopori juga dapat direkayasa gugus fungsinya melalui perlakuan oksidasi tertentu (Chi dkk., 2012). Karbon mesopori efektif untuk adsorpsi adsorbat berukuran besar, misalnya bakteri laut yang berukuran 30–60 nm (Markus dkk., 1994). Karbon mesopori juga efektif untuk kapasitor lapis ganda karena lebih memudahkan proses transportasi muatan pada permukaan dibandingkan bahan mikropori (Yuan dkk., 2009), dan juga sebagai cetakan pada sintesis silika mesopori (Kim dkk., 2003) atau matriks oksida logam katalis tertentu (Xiang dkk., 2011). Aplikasi yang diharapkan untuk karbon mesopori hasil sintesis dari penelitian ini adalah untuk adsorben atau matriks molekul besar. Ditinjau dari ketersediaan sumber karbon, karbon mesopori memiliki sumber karbon yang sangat berlimpah. Bermacam-macam limbah organik dapat menjadi prekursor karbon, misalnya limbah ban (Teng dkk., 2000), limbah lumpur organik di perairan (Al-Qodah dan Sawabkah, 2009), serta residu kopi (Saeung dan Boonamnuayvitaya, 2003). Berbagai jenis bahan alam juga dapat menjadi prekursor karbon, sebagian diantaranya karena kaya kandungan gula. Sebagai contoh, fruktosa, glukosa, dan sukrosa terkandung dalam berbagai macam tanaman (Aberoumand dan Deokule, 2009). Analisis terhadap berbagai jenis madu menunjukkan bahwa kandungan fruktosa dan glukosa cukup melimpah. Kandungan fruktosa mencapai 37,68-40,31%, sedangkan glukosa mencapai 27,25-39,56% (Buba dkk., 2013).
1
2
Keunggulan gula sebagai prekursor karbon adalah karena gula larut dalam air sehingga memudahkan proses homogenisasi dengan aktivator (Huang dkk., 2009). Fruktosa membentuk 5-hidroksimetil furfural atau disingkat HMF dengan jalur reaksi lebih singkat dibandingkan glukosa dan sukrosa (Rosatella dkk., 2011). HMF adalah senyawa intermediet pada proses pembentukan humin (Huang dkk., 2009). Humin adalah komponen karamel (Schweizer, 2010) dan karamel adalah materi yang dikarbonisasi pada penelitian ini. Hasil penelitian pendahuluan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa fruktosa menghasilkan karbon mesopori dengan volume mesopori lebih besar dibandingkan sukrosa dan glukosa. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan fruktosa sebagai prekursor karbon. Metode sintesis karbon mesopori yang berorientasi pada rekayasa ukuran pori, dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu metode cetakan pori, metode aktivasi kimia, dan gabungan metode cetakan dan aktivasi kimia. Pada metode cetakan pori, mula–mula diterapkan metode sintesis tidak langsung dengan cetakan keras (hard template), yaitu cetakan mesopori dengan melibatkan proses infiltrasi prekursor ke dalam cetakan mesopori (Ryoo dkk., 1999; Lee dkk., 1999). Metode ini membutuhkan waktu sintesis yang lama dan menghasilkan ukuran pori yang relatif kecil (< 4 nm). Kekurangan metode tak langsung dengan cetakan keras diatasi dengan metode sintesis langsung (tanpa proses infiltrasi) dengan cetakan tunggal untuk meningkatkan kualitas pori sekaligus mengurangi kerumitan kerja. Sebagai contoh, penggunaan sol silika (Han dan Hyeon, 1999), silika gel (Han dkk., 2003), dan tetraetil ortosilikat (Kim dkk., 2004; Yuan dkk., 2009; You dkk., 2011). Penggunaan metode tersebut menghasilkan ukuran pori maksimum hingga 8 nm. Untuk menghasilkan ukuran pori yang lebih besar lagi, dikembangkan metode sintesis langsung dengan cetakan ganda, misalnya silika sol-surfaktan (Deng dkk., 2007), dan silika sol-asam borat (Lee dkk., 2011). Metode ini mampu menghasilkan ukuran pori (Dmaks) hingga 44 nm (ads) dan 22,6 nm (des). Kelemahan metode langsung adalah penerapan temperatur karbonisasi yang cenderung tinggi (800–900 °C). Hal itu kemungkinan karena cetakan karbon yang digunakan secara kimia kurang mampu berperan sebagai aktivator pirolisis.
3
Penggunaan aktivator kimia ZnCl2 menawarkan proses sintesis yang efisien karena cenderung bekerja pada temperatur rendah, yaitu 450–600 °C (Onal, dkk., 2006; Zhu dkk., 2008; Huang dkk., 2009). ZnCl2 berperan sebagai aktivator kimia karbonisasi sekaligus cetakan mesopori (Huang, dkk., 2009). Sebagai aktivator kimia, ZnCl2 merupakan dehidrator yang mempercepat proses pirolisis dan mencegah pembentukan tar (Marsh dan Harsley, 2006). Namun demikian ZnCl2 hanya membangun pori karbon hingga ukuran pori 7 nm (Huang dkk., 2009). Permasalahan terkait temperatur karbonisasi yang tinggi pada penggunaan cetakan ganda dan mesoporositas yang relatif kecil pada penggunaan aktivator kimia ZnCl2 kemungkinan dapat diatasi dengan menggunakan seng borosilikat (ZBS). Hal ini dengan pertimbangan beberapa alasan, diantaranya: 1) ZBS dapat disintesis dengan metode basah (Yi dkk., 2011) sehingga dapat dilakukan secara serentak dengan karamelisasi fruktosa pada sintesis karbon, 2) penggabungan asam borat, silika, dan ZnCl2 sebagai sistem baru ZBS akan meningkatkan ukuran cetakan pori dibandingkan menggunakan ZnCl2 saja, 3) ZBS efektif bekerja pada temperatur karbonisasi lebih rendah dibandingkan borosilikat karena titik lelehnya lebih rendah dan peranan Zn2+ dalam ZBS sebagai aktivator reaksi karbonisasi, 4) prekursor ZBS (asam borat, silikagel, ZnCl2) merupakan penghasil proton dalam air sehingga dapat meningkatkan reaksi karamelisasi. Oleh karena itu pada penelitian ini sintesis karbon dilakukan dengan menggunakan aktivator seng borosilikat. Temperatur karbonisasi tidak hanya berperan pada proses pirolisis, namun juga pada kristalisasi ZBS serta dapat berdampak pada penguapan ZnCl2 jika terlalu tinggi. Hal itu akan menurunkan kemampuan kimiawi ZBS sebagai aktivator pirolisis. Di sisi lain, jumlah komponen ZBS menentukan ruang cetakan pori dan diperkirakan akan mempengaruhi kinerja Zn2+ secara kimia sebagai aktivator karbonisasi. Oleh karena itu perlu ditentukan korelasi antara temperatur karbonisasi dan komponen ZBS terhadap kualitas mesopori karbon. Dari uraian pada sub bab ini, maka dapat disimpulkan bahwa sintesis karbon mesopori penting dilakukan terkait karakteristiknya, potensi aplikasi, serta
4
kelimpahan prekursornya. Beberapa metode sintesis telah dilakukan yang berkembang ke arah peningkatan efisiensi dan perbaikan kualitas mesopori karbon. Untuk menghasilkan karbon berbahan dasar fruktosa dengan ukuran pori lebih besar dari 7 nm pada temperatur karbonisasi rendah, penggunaan aktivator hasil penggabungan cetakan pori ganda (borosilikat) dengan aktivator kimia (ZnCl2) kemungkinan dapat dilakukan. 1.2 Permasalahan Cetakan pori silika dan borosilikat cenderung meningkatkan porositas karbon di atas 700 °C (sub bab 2.1.1), sebaliknya aktivator kimia ZnCl2 cenderung bekerja pada temperatur rendah (sub bab 2.1.4). Hal itu terkait dengan titik lelehnya yang rendah dan sifatnya sebagai asam Lewis (sub bab 3.1.4). Keadaan lelehan meningkatkan homogenitas aktivator dan perkursor, sedangkan sifat asam Lewis Zn2+ meningkatkan peranannya sebagai dehidrator yang meningkatkan reaksi karbonisasi sehingga berlangsung secara efektif pada temperatur yang relatif rendah (sub bab 3.1). Seng borosilikat (ZBS) juga meleleh pada temperatur yang cukup rendah, yaitu 500 °C (sub bab 2.3.1). Pelelehan ZBS menguntungkan kinerja asam Lewis Zn2+ di dalam ZBS sebagai aktivator karbonisasi, sehingga keterlibatan Zn2+ dalam sistem ZBS berpotensi menurunkan temperatur karbonisasi dibandingkan dengan penggunaan borosilikat. Titik didih ZnCl2 sebesar 732 °C (sub bab 3.1.4) sehingga karbonisasi di atas temperatur tersebut. berpotensi menguapkan sisa ZnCl2 di luar ZBS akibatnya dapat menurunkan proses aktivasi. Dari uraian tersebut diidentifikasi permasalahan (1): Bagaimana korelasi antara temperatur karbonisasi dengan karakter mesopori karbon dari fruktosa dengan aktivator ZBS? Pada penggunaan borosilikat sebagai cetakan pori karbon, komposisi borosilikat mempengaruhi ukuran pori (sub bab 2.1.3) dan pada penggunaan kombinasi silika dan ZnCl2, penambahan ZnCl2 juga mempengaruhi ukuran maupun volume mesopori (sub bab 2.1.2). Silikat dan borat berperan secara fisik sebagai cetakan pori, sedangkan Zn2+ dalam ZBS berperan secara fisik sebagai cetakan pori dan secara kimia sebagai aktivator reaksi karbonisasi. Oleh karena itu
5
diidentifikasi permasalahan (2): Bagaimana korelasi antara komposisi ZBS dengan kualitas mesopori karbon dari fruktosa dengan aktivator ZBS? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mensintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS pada temperatur karbonisasi lebih rendah dibandingkan penggunaan cetakan pori borosilikat dengan kualitas mesopori lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan aktivator kimia ZnCl2. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk perkembangan ilmu Sintesis Anorganik, yaitu menghasilkan metode sintesis dengan kualitas produk mesopori lebih baik serta meningkatkan pemahaman ilmiah terkait sintesis karbon. Selain itu, produk karbon hasil penelitian ini diharapkan layak untuk matriks atau adsorpsi molekul berukuran besar. 1.5 Keaslian dan Kedalaman Sintesis karbon mesopori dengan berbagai metode aktivasi telah dilakukan dengan peningkatan kualitas mesopori dari waktu ke waktu (penjabaran lengkap terdapat pada sub bab 2.1). Dari semua penelitian tersebut, penelitian Huang dkk. (2009) dan Lee dkk. (2011) memberikan inspirasi untuk diusulkannya metode aktivasi baru dalam penelitian ini. Lee dkk. (2011) mensintesis karbon dari sukrosa dengan cetakan borosilikat dan menghasilkan karbon dengan ukuran pori (Dmaks) mencapai 44 nm pada temperatur 900 °C. Huang dkk. (2009) mensintesis karbon dari fruktosa dengan aktivator kimia ZnCl2 pada 450 °C. Penelitian tersebut menghasilkan karbon mesopori dengan ukuran pori (Dmaks) hanya 7 nm. Dari kedua penelitian tersebut, maka digagas pemakaian ZBS sebagai aktivator dengan harapan dapat meningkatkan kualitas mesopori karbon dibandingkan menggunakan ZnCl2 saja, serta menurunkan temperatur karbonisasi hingga kurang dari temperatur 900 °C sebagaimana yang sebelumnya diterapkan pada penggunaan borosilikat.
6
Sintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS melibatkan reaksi karamelisasi fruktosa menghasilkan karamel dan karbonisasi karamel menghasilkan karbon. ZnCl2, silikagel, dan asam borat menghasilkan proton di dalam air (sub bab 3.1.4 hingga sub bab 3.1.6). Proton merupakan katalis reaksi karamelisasi gula (sub bab 3.1.3). Dengan demikian prekursor-prekursor ZBS lebih meningkatkan pembentukan karamel dibandingkan ZnCl2 saja ataupun gabungan asam borat dan silikagel. Dari penelitian Huang dkk. (2009) diketahui bahwa karamel merupakan material yang dikarbonisasi untuk membentuk dinding pori karbon. Secara kimia, ZBS mengandung ion-ion Zn2+ yang dapat berperan sebagai aktivator kimia pada reaksi karbonisasi, sementara borosilikat cenderung berperan sebagai cetakan pori saja. Aktivator kimia meningkatkan dekomposisi pirolitik serta menghambat pembentukan tar sehingga meningkatkan produk karbon (berdasarkan uraian pada sub bab 3.1). Selain itu titik leleh ZBS juga lebih rendah dari borosilikat (berdasarkan uraian pada sub bab 2.3.1). Dalam keadaan lelehan terjadi perenggangan ikatan antar atom-atom dan antar ion-ion di dalam kerangka ZBS. Perenggangan ikatan ini menyebabkan gaya tarik basa Lewis dalam kerangka ZBS lebih rendah terhadap Zn2+ sehingga asam Lewis Zn2+ dapat bekerja sebagai dehidrator secara baik selama proses karbonisasi. Hal ini mirip dengan kasus penggunaan ZnCl2 sebagaimana dijelaskan oleh Marsh dan Reinoso (2006), bahwa dalam keadaan lelehan ZnCl2 lebih mudah berikatan dengan prekursor yang sedang mengalami degradasi secara termal. Proses degradasi tersebut memproduksi molekul H2O yang kemudian ditransfer ke ZnCl2 sehingga terbentuk senyawa hidrat. Molekul hidrat tersebut kemudian dilepaskan kembali akibat peningkatan temperatur. Dengan demikian penggunaan ZBS diperkirakan akan meningkatkan reaksi karbonisasi dengan temperatur lebih rendah dibandingkan penggunaan borosilikat. Pada pembentukan ZBS sendiri, ZnCl2 meningkatkan pembentukan kerangka ZBS melalui pembentukan tetrahedral ZnO4 yang berkoordinasi dengan SiO4 dan BO4 (dijelaskan pada sub bab 2.3.1). Hal ini karena ion Zn2+ bersifat asam Lewis (sub bab 3.1.5) yang mampu membentuk ikatan ionik dengan gugus
7
silikat (Si-O-) dan borat (B-O-) serta mampu berikatan koordinasi dengan gugus Si-OH dan B-OH seperti yang terjadi dengan ligan H2O (sub bab 3.1.5). Sebagai cetakan pori, ZBS memiliki ruang cetakan pori lebih besar dari ZnCl2. Oleh karena itu aktivator ZBS diperkirakan akan memberikan ukuran mesopori dan volume mesopori lebih besar daripada ZnCl2. Dari tinjauan secara fisika maupun kimia tersebut dapat diprediksikan bahwa dengan penerapan ZBS akan mampu memberikan kualitas karbon mesopori lebih tinggi (ukuran pori dan volume mesopori) dibandingkan ZnCl2 serta menurunkan temperatur karbonisasi sehingga lebih rendah daripada sintesis menggunakan borosilikat. Untuk membuktikan prediksi tersebut, maka dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut: 1. Sintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS pada berbagai temperatur karbonisasi 2. Sintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS pada berbagai perbandingan massa SiO2/fruktosa 3. Sintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS pada berbagai perbandingan massa H3BO3/fruktosa 4. Sintesis karbon mesopori dari fruktosa dengan aktivator ZBS pada berbagai perbandingan massa ZnCl2/fruktosa Penggunaan variabel perbandingan massa aktivator dan prekursor mengacu pada penelitian Huang dkk. (2009) dan Zhao dkk. (2007). Pemahaman terkait pembentukan pori karbon, reaksi pada proses sintesis, serta kemampuan karbon hasil sintesis untuk adsorpsi dicapai dengan melakukan kajian tambahan meliputi: 1. Menginvestigasi komponen kristal ZBS yang berperan sebagai pengontrol ukuran mesopori 2. Menentukan tahap-tahap reaksi pada proses karbonisasi 3. Menguji kemampuan produk karbon mesopori untuk adsorpsi protein bovin serum albumin (BSA) dan sianokobalamin dalam vitamin B12.
8