BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Semenjak peluncuran satelit pemantau sumberdaya bumi pertama ERTS-B
(Landsat-1) pada tanggal 22 Januaari 1975, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh berbasis satelit (spaceborne remote sensing) saat ini telah jauh berkembang mengikuti dinamika kompleksnya fenomena yang terjadi pada permukaan bumi (Lillesand et. al., 2004). Cakupan liputan yang cukup luas dengan perekaman sensor yang berkesinambungan secara real time membuat teknologi ini dianggap lebih efisien sebagai alat penyadap data informasi geospasial dalam skala besar. Pada saat ini satelit Quickbird yang dimiliki oleh perusahaan DigitalGlobe merupakan salah satu satelit pemantau bumi beresolusi tinggi yang diperuntukkan untuk penggunaan sipil. Serupa dengan penggunaan satelit mata-mata oleh militer, satelit pemantau bumi beresolusi tinggi ini digunakan sebagai alat untuk mengkaji fenomena geospasial pada permukaan bumi secara lebih terperinci. Bahkan dengan tingkat resolusi yang semakin baik, kajian infomasi fenomena geospasial seperti kondisi fisik atau penggunaan lahan sangat dimungkinkan dilakukan dengan teknologi ini. Jaringan
jalan
sebagai
salah
satu
fenomena
geospasial
dengan
kompleksitas yang cukup tinggi merupakan salah satu kajian yang dapat dianalisis dengan bantuan citra penginderaan jauh berbasis satelit seperti Quickbird. Analisis dapat dilakukan dengan pendekatan kondisi fisik (geometri) jalan untuk mengakomodasi pergerakan kendaraan yang menggunakan jaringan jalan tersebut. Ambulans
merupakan
kendaraan
khusus
yang
berfungsi
untuk
mengangkut atau memindahkan personel yang sedang dalam keadaan terancam jiwanya karena sakit maupun terluka dari atau menuju sarana pelayanan kesehatan, dan dalam beberapa kasus juga dipergunkanan untuk mengangkut jenazah. Dalam pelayanan panggilan gawat darurat oleh ambulans hal yang sangat penting adalah waktu tanggap. Response time adalah waktu yang dibutuhkan dari
1
pelapor melakukan panggilan gawat darurat sampai ambulans tiba di tempat kejadian gawat darurat. Semakin lama response time-nya, mengakibatkan berkurangnya kemungkinan keselamatan pasien atau bahkan tidak tertolongnya nyawa pasien (Probo R.S.,2005). Karena tugas dan fungsinya yang terkait erat dengan keselamatan jiwa maka ambulans mendapat prioritas dalam penggunaan jalan dengan syarat kendaran tersebut harus memiliki atribut khusus yang sudah lazim dipergunakan dalam keadaan darurat seperti sirine dan lampu isyarat darurat (UU RI 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bab VII bagian pasal 59 perlengkapan kendaraan bermotor). Bahkan prioritas tertinggi kendaraan darurat dalam penggunaan jalan diatur tersendiri dalam UU RI No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 134/b dan kemudian ditegaskan pada PP No. 43/1993 pasal 65. Namun pada prakteknya ambulans yang sedang bertugaspun sering menjumpai banyak kendala, salah satu diantaranya adalah kemacetan lalu lintas. Kemacetan memang merupakan salah satu penyebab berkurangnya efisiensi penggunaan jalan yang umum terjadi di kota-kota besar di seluruh dunia. Yogyakarta sebagai salah satu pusat tujuan wisata dan pendidikan di Indonesia tidak luput dari masalah transportasi ini. Kemacetan juga berdampak pada terganggunya efisiensi waktu perjalanan kendaraan darurat seperti ambulans dalam menjalankan tugasnya. Bahkan dalam usahanya untuk menghindari atau menerobos kemacetan tersebut tidak jarang ambulans harus beradu fisik dengan kendaraan lain yang pada akhirnya justru menimbulkan kecelakaan baru. Selain itu jika menilik pengalaman masa darurat bencana dan banyaknya kasus rujukan pada pusat pelayanan kesehatan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, maka peran ambulans sebagai kendaraan pengangkut korban tidak dapat di sepelekan. Karena banyak jiwa yang bergantung pada kecepatan reaksi dan efisiensi waktu perjalanan kendaraan darurat ini. Memang pada masa tanggap darurat bencana pergerakan ambulans dapat sedikit leluasa, karena masyarakat menyadari bahwa telah terjadi bencana di suatu tempat. Namun dalam kondisi keseharian dimana tidak terjadi bencana,
2
masyarakat cenderung untuk mengabaikan peraturan tata tertib berlalu lintas, dalam hal ini ketaatan pada marka dan rambu yang berlaku. Padahal tugas ambulans tidak terbatas pada masa darurat saja, melainkan masih banyak tugas lain yang membutuhkan peran dari kendaraan darurat tersebut. Salah satu diantaranya adalah transportasi pasien rujukan (refferal) yang sering dilakukan oleh rumah sakit daerah di sekitar DIY untuk mengatasi keterbatasan fasilitas mapun alat yang dimiliki. Fungsi refferal ini sama krusialnya dengan penanganan gawat darurat karena rata rata pasien refferal adalah pasien dengan kondisi yang cukup serius sehingga membutuhkan perawatan yang lebih intensif dengan peralatan yang lebih memadai. RSUP Dr. Sardjito sebagai pusat pelayanan kesehatan umum dengan klasifikasi A, merupakan tujuan utama rujukan dari rumah sakit di sekitar Yogyakarta (KepMenKes RI No.1174/MENKES/SK/2204). Mengingat letaknya yang terdapat pada salah satu pusat aktivitas, maka kemacetan memang sangat sulit dihindari pada waktu-waktu tertentu, terutama pada simpang simpang utama masuknya (inlet) kendaraan menuju pusat aktivitas. Meski bahu jalan dan lajur bus transjogja di sebelah kiri jalur telah dirancang untuk mengakomodasi pergerakan kendaraan darurat, namun bahu jalan atau lajur yang ditandai dengan marka garis tidak terputus itupun dinilai tidak efektif, karena sering digunakan untuk parkir kendaraan atau tempat perhentian kendaraan umum. Sebenarnya pergerakan ambulans dalam bertugas dapat terbantu jika terdapat rute alternatif yang paling efisien. Untuk mengetahui rute paling efisien bagi pergerakan ambulans di jalan raya ini, maka dibutuhkan inventarisasi lokasi lokasi rawan macet pada waktu-waktu tertentu. Dengan bantuan SIG, inventarisasi ini dapat direpresentasikan dalam peta kerawanan macet pada jaringan jalan. Data tersebut kemudian dapat diolah menjadi peta rute alternatif bagi ambulans dengan menggunakan pendekatan analisis jaringan. Namun pada prakteknya sering kali dijumpai beberapa lokasi yang tidak bisa dihindari, karena jika lokasi tersebut dihindari maka efisiensi waktu perjalanan tidak tercapai. Oleh karena itu dibutuhkan rekomendasi penggunaan
3
lajur khusus yang berfungsi untuk mengoptimalkan pergerakan kendaraan darurat di jalan. Permasalahan yang menjadi ganjalan adalah kesesuaian lebar (geometri) jalan untuk mengakomodasi rekomendasi lajur khusus tersebut. Dengan bantuan Citra QuickBird yang memiliki resolusi spasial cukup tinggi maka geometri jalan akan dapat teridentifikasi dengan baik. Berdasarkan peta kerawanan macet yang sudah dibuat maka data geometri jalan hasil interpretasi citra dapat digunakan sebagai rekomendasi penempatan marka khusus pada jaringan jalan. Dengan rekomendasi tersebut diharapkan pergerakan ambulans menuju pusat pelayanan kesehatan dapat lebih efisien dan memperkecil resiko kematian pada kedaruratan di perjalanan.
1.2.
Perumusan Masalah Kecenderungan bertambahnya pengguna jalan raya, khususnya kendaraan
bermotor di Kota Yogyakarta mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kemacetan yang terjadi pada simpang atau persimpangan ruas-ruas jalan utama merupakan permasaahan yang tidak bisa dihindari. Karena pada titik-titik inilah lalu lintas menumpuk, dan jika kemacetan terjadi maka sangat dimungkinkan menjadi deadlock. Pada kondisi inilah jaringan jalan kehilangan fungsinya dan dalam kondisi kedaruratan maka kondisi tersebut akan memperbesar potensi kehilangan waktu tanggap yang berdampak pada hilangnya nyawa korban atau kerugian lain. Ambulans sebagai salah satu kendaraan darurat yang membutuhkan waktu respon tinggi dalam operasionalnya akan kehilangan fungsinya jika terjebak kemacetan dan terlebih bila dead-lock pada persimpangan rawan macet terjadi. Pada kasus ambulans refferal dengan keterbatasan navigasi operator tentang jalan di dalam Kota Yogyakarta tentu saja menjadi kendala tersendiri. Karena setelah memasuki jalan lingkar (ring road) Yogyakarta penumpukan arus lalu lintas cenderung semakin meningkat pada saat mendekati kawasan pusat aktivitas. Ironisnya RSUP Dr. Sardjito sebagai tujuan utama rujukan pasien dari regional DIY dan Jawa Tengah bagian selatan justru terletak pada kawasan pusat
4
aktivitas yang rawan macet. Selain itu konsep penggunaan bahu jalan yang secara hukum sebenarnya digunakan untuk keadaan darurat, namun kurang dapat dimengerti oleh masyarakat pada umumnya. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya bahu jalan tanpa marka garis lurus (kuning) sering digunakan sebagai tempat parkir, diluar hal tersebut itu asumsi kendaraan dalam keadaan darurat (macet/ban bocor) juga sering diidentikkan dengan penggunaan bahu jalan. Dengan bantuan citra Quickbird yang memiliki resolusi spasial cukup tinggi maka diharapkan interpretasi geometri jalan cukup memungkinkan untuk dilakukan. Interpretasi geometri jalan digunakan sebagai dasar penentuan kesesuaian lebar jalan untuk mengakomodasi lebar penampang ambulans dalam pergerakannya, bahkan pada kondisi macet sekalipun. Pendekatan Network Analyst dalam Sistem Informasi Geografis digunakan untuk mencari rute optimal bagi ambulans. Rute optimal ini digunakan sebagai alternatif jalur bagi ambulans dalam perjalanannya menuju RSUP DR. Sardjito dalam pada jam sibuk (rush hour) untuk menghindari dan memperkecil resiko terjebak dalam kondisi macet. Dengan memperhitungkan parameter seperti jarak, waktu, dan pelayanan jalan akan dapat diidentifikasi ruas jalan yang paling efisien untuk dilalui ambulan. Berbekal data kesesuaian lebar jalan terhadap ambulans maka sebagai alternatif untuk mengurangi resiko tumpang tindihnya penggunaan jalan dalam kedaruratan dapat dipergunakan marka khusus pada badan jalan. Marka khusus ini pada kondisi normal (tidak ada kedaruratan) dapat digunakan oleh pengguna jalan umum, akan tetapi jika terjadi keadaan darurat maka lajur yang dibatasi oleh marka ini harus dikosongkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disusun rumusan masalah dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Sejauh
mana
citra
QuickBird/GeoEye
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi geometri jalan dalam penentuan rute optimal ambulans? 2. Sejauh apa pendekatan network analyst dalam Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk identifikasi pemilihan rute untuk alternatif bagi
5
ambulans, dari inlet jalan lingkar (kasus Inlet Jalan Magelang) menuju pusat pelayanan RSUP Dr. Sardjito? 3. Apakah dengan pengaplikasian network analyst dimungkinkan untuk optimalisasi altrernatif jalur ambulans dalam menghindari ruas jalan rawan macet.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka tujuan
penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kemampuan citra QuickBird untuk identifikasi geometri jalan pada penentuan rute optimal. 2. Menggunakan network analyst untuk identifikasi rute alternatif bagi ambulans diantara inlet jalan lingkar (kasus inlet Jalan Magelang) menuju pusat pelayanan RSUP Dr. Sardjito. 3. Identifikasi dan analisis ruas jalan rawan macet yang tidak dapat dihindari oleh ambulans dalam rute optimalnya, serta antisipasi yang dapat dilakukan untuk melaluinya.
1.4.
Kegunaan Penelitian
1. Memberikan gambaran rute alternatif bagi operator kendaraan darurat terutama ambulans untuk menghindari kemacetan dari inlet jalan lingkar menuju pusat pelayanan kesehatan RSUP Dr. Sardjito. 2. Sebagai sumber masukan bagi instansi / badan terkait dengan penataan transportasi jalan raya dan penanganan kedaruratan/bencana.
1.5.
Tinjauan Pustaka
1.5.1. Sistem Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah suatu ilmu untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Di dalam penginderaan jauh terdapat dua macam proses yaitu
6
pengumpulan data dan pengolahan data atau analisa data. Unsur - unsur dalam perolehan data meliputi sumber energi, perjalanan energi melalui atsmosfer, interaksi energi denga dengan n kenampakan permukaan bumi, pentransmisian kembali energi ke atmosfer, sensor dengan wahana pesawat terbang atau satelit, dan hasil bentukan data yang berupa cetak kertas atau data digital ((Lillesand Lillesand et. al., 2004). Pada penelitian ini sumber data utama yyang ang digunakan merupakan salah satu hasil proses sistem penginderaan jauh yang berupa citra.
Gambar. 1.1. Penginderaan jauh elektromagnetik untuk sumber daya bumi (Lillesand et. al., 2004)
1.5.2. Karakteristik Citra Quickbird Satelit Quickbird diluncurkan pada 18 oktober 2001dengan waktu jelajah 93,5 menit satu orbit serta masa ulangnya 1 hingga 3,5 hari. Quickbird memiliki 4 saluran dengan resolusi spasial 61 cm pada nadir dan 72 cm di luar nadir pada saluran pankromatik serta 2,44 m pada nadi nadirr dan 2,88 m di luar nadir pada saluran multispektral. Quickbird mempunyai 3 level pemrosesan yaitu : 1. Basic imagery dengan sedikit pemrosesan (geometrically geometrically raw) raw Level ini didesain untuk pelanggan yang memiliki keinginan untuk melakukan pra pra-pemrosesan sendiri.
7
2. Standard imagery dengan koreksi radiometric dan geometric Pada level ini telah menggunakan proyeksi peta baik proyeksi UTM maupun sistem proyeksi yang lain. 3. Orthorectified imagery Level ini sudah mengalami koreksi radiometrik, geometrik dan topografi serta mempunyai sebuah proyeksi peta.
Terdapat lima pilihan produk citra Quickbird : a. H/P (pankromatik) untuk kemudahan analisis visual b. Multispektral, mencakup panjang gelombang tampak dan inframerah dekat yang merupakan area ideal untuk analisis multispektral c. Bundle (H/P dan multispektral) d. Warna (3 saluran natural / warna infra merah) yang mengkombinasikan info visual dari 3 saluran multi dengan informasi spasial dari saluran pankromatik. e. Pan-sharpened (4 saluran) yang mengkombinasikan informasi visual dari 4 saluran multispektral dengan informasi spasial dari saluran pankromatik. Tabel 1.1. Karakteristik citra quickbird Tanggal peluncuran
18 oktober 2001
Kendaraan peluncuran
Boeing Delta III Vanderberg
Lokasi peluncuran
Air
Force
Base,
California
Ketinggian orbit
450 km
Inklinasi orbit
97,2 derajad, sinkronmatahari
Kecepatan
7,1 km/detik
Waktu melewati equator
10:30 a.m
Waktu orbit
93,5 menit 1 – 3,5 haritergantung pada latitude
Waktu perekaman kembali
(30% off-nadir)
Lebar swath
16,5 km x 16,5 km
Keakuratan metrik
23 meter horizontal (CE 90)
Resolusi spasial
Pan : 61 cm (nadir) s/d 72 cm (250
8
off-nadir) MS : 2,44 m (nadir) s/d 2,88 m (250 off-nadir) Pan : 450 – 900 nm Biru : 450 – 520 nm Saluran citra
Hijau : 520 – 600 nm Merah : 630 – 690 nm IM dekat : 760 – 900 nm
(Sumber : www.digitalglobe.com)
Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya maka Citra Quickbird digunakan sebagai sumber data utama dalam penelitian.
1.5.3. Interpretasi Citra Penginderaan Jauh Dalam penginderaan jauh didapat masukan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau. Sebagai contoh, memotret bunga di taman. Foto bunga yang berhasil dibuat itu merupakan citra bunga tersebut. Kemampuan dan kegunaan citra penginderaan jauh tergantung pada resolusi yang dimilikinya. Resolusi merupakan kemampuan sistem optikelektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kemiripan (Swain dan Davis (1978) dalam Danoedoro (1996)). Dalam perkembangannya, resolusi dikenal dalam empat konsep, yaitu : 1. Resolusi Spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi, dibedakan dan dikenali oleh sensor sistem pencitraan atau ukuran daerah yang dapat disajikan suatu piksel. Semakin kecil objek yang dapat terdeteksi atau semakin kecil ukuran piksel, maka semakin halus atau tinggi resolusi spasialnya. 2. Resolusi Spektral adalah interval panjang gelombang khusus pada spektrum elektromgnetik yang direkam oleh sensor. Semakin sempit lebar intervalnya atau semakin banyak jumlah saluran, maka resolusi spektralnya semakin tinggi.
9
3. Resolusi Radiometrik adalah kemampuan sensor dalam mencatat renspon spektral objek, yang ditunjukkan oleh jumlah nilai data yang dimungkinkan pada setiap saluran. 4. Resolusi Temporal adalah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama. Semakin sering waktu perekaman, maka semakin tinggi resolusi temporalnya. Citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk pengukuran geometri jalan dengan proses interpretasi. Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Estes dan Simonett (1975) dalam Meurah (2007)). Dalam interpretasi citra, interpreter mengkaji citra melalui proses penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan menilai arti pentingnya objek yang tergambar pada citra tersebut. Berikut ini tahapan-tahapan interpretasi citra, yang meliputi tiga tahap. : a. Deteksi adalah pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh sensor. b. Identifikasi adalah mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan. c. Analisis adalah mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terinci. Deteksi merupakan proses penentuan ada tidaknya suatu objek pada citra dan merupakan tahap awal interpretasi citra. Hasil proses deteksi ini merupakan interpretasi yang bersifat umum atau global. Hasil deteksi ini kemudian diinterpretasi dengan tahapan selanjutnya, yaitu identifikasi. Hasil dari identifikasi ini akan diperoleh interpretasi yang bersifat semi rinci. Pada tahap selanjutnya, hasil interpretasi yang semi rinci kemudin dianalisis dan diperoleh hasil akhir interpretasi. Analisis data penginderaan jauh memerlukan data seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Data tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan analisis untuk mendapatkan hasil yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi antara lain mengenai bentang lahan, penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi
10
sumberdaya lokasi. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Lo (1976) dalam Sutanto (1986) mengemukakan pendapat Vink bahwa interpretasi pada dasarnya terdiri atas dua tahap, yaitu tingkat pertama yang berupa pengenalan objek melalui deteksi dan identifikasi serta tingkat kedua yang berupa pengenalan atas pentingnya objek yang telah dikenali tersebut. Tingkat pertama merupakan tahap perolehan data dan tingkat kedua merupakan tahap analisis data. Pada tahap pertama atau perolehan data, proses yang dilakukan dapat menggunakan bantuan komputer, namun pada tahap kedua harus dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan memadai tentang disiplin ilmu tertentu. Penerapan teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan untuk kajian-kajian di berbagai bidang, seperti pertanian, kehutanan, kelautan, tata ruang perkotaan dan lalu lintas. Bidang yang disebutkan terakhir, yaitu lalu lintas, banyak dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, terutama setelah munculnya citra dengan resolusi tinggi, seperti citra Quickbird. Kajian lalu lintas menuntut adanya data yang detil, seperti lebar jalan, panjang jalan, lebar bahu jalan dan unsur geometrik jalan lainnya serta penggunaan lahan dengan tingkat kedetilan tinggi. Dengan adanya citra penginderaan jauh resolusi tinggi, maka data tentang geometrik jalan maupun penggunaan lahan skala detil dapat dilakukan tanpa harus turun langsung ke lapangan. Cara ini dapat mengurangi waktu, tenaga dan biaya sebagaimana pengambilan data primer di lapangan. Pengamatan di lapangan tetap dilakukan dengan cara menguji ketelitian citra penginderaan jauh dalam menyadap berbagai informasi tersebut. Interpretasi citra pada penelitian ini dilakukan secara visual pada fenomena ruas jalan yang akan diteliti. Penggunaan interpretasi visual dilakukan karena penelitian dihadapkan dengan keterbatasan perangkat keras pengolah citra.
11
1.5.4. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek dan fenomena tentang lokasi geografi yang merupakan karakteristik penting atau kritis untuk dilakukannya analisis (Aronof (1989) dalam Eddy Prahasta (2005)). SIG memiliki kemampuan menangani data bereferensi geografi yaitu masukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data serta keluaran data. Sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, SIG terbagi menjadi empat subsistem. Fungsi subsistem-subsistem tersebut dapat diuraikan pada Gambar 1.2. Keempat subsistem tersebut adalah : 1. Masukan Data Masukan data adalah subsistem yang bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini berfungsi juga untuk mengkonversi dan mentransformasikan format-format data aslinya ke format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Manajemen Data Managemen data adalah subsistem yang berfungsi mengorganisasikan data, baik data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah basisdata agar data mudah dicari, diperbarui atau dikoreksi. 3. Manipulasi dan Analisis Data Manipulasi dan analisis data adalah subsistem yang berfungsi menentukan informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG, serta melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. 4. Keluaran Data Keluaran data adalah subsistem yang menampilkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata, baik dalam softcopy maupun hardcopy.
12
MASUKAN DATA
KELUARAN DATA MANAJEMEN DAN MANIPULASI DATA
Tabel Laporan
Peta
Penyimpanan (basis data)
Pengukuran Lapangan Peta
Tabel Masukan
Pemanggilan data
Keluaran Laporan
Citra Satelit Pemrosesan
Foto Udara
Informasi Digital
Data lainnya
Gambar 1.2. Uraian Subsistem SIG (sumber : Prahasta (2005))
Perangkat SIG terdiri atas empat komponen, yaitu : 1. Perangkat Keras (Hardware), merupakan perangkat komputer dan serangkaiannya. 2. Perngkat Lunak (Software), merupakan sistem modul yang berfungsi untuk memasukkan, menyimpan dan mengeluarkan data yang diperlukan. 3. Manusia (Brainware), merupakan operator yang menjalankan seluruh proses dalam SIG. 4. Data, merupakan informasi yang diolah untuk menghasilkan informasi baru. Perangkat-perangkat SIG tersebut berkaitan satu sama lain. Untuk menjalankan proses SIG, maka semua perangkat-perangkat SIG tersebut harus ada. Jika salah satu komponen tersebut tidak ada, maka proses SIG tidak dapat berjalan dengan baik. SIG merepresentasikan dunia nyata di dalam monitor seperti halnya lembaran peta yang merepresentasikan dunia nyata pada kertas. Perbedaan yang ada dari kedua jenis representasi tersebut yaitu SIG lebih fleksibel daripada peta pada lembaran kertas. Maksudnya adalah bahwa data dalam SIG dapat diolah
13
kembali untuk memperoleh informasi baru dan dapat dikoreksi atau diperbarui informasinya sesuai dengan data yang terbaru. SIG tidak hanya menampilkan data dalam bentuk peta, tetapi juga menyimpan informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut dalam basisdata. SIG membentuk dan menyimpan data tersebut dalam bentuk tabel-tabel. Tabeltabel tersebut dibuat berhubungan dengan data grafisnya atau petanya. Dengan demikian, atribut-atribut tersebut dapat diakses melalui lokasi unsur-unsur peta. Begitu pula sebaliknya, unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Hal ini akan mempermudah dalam pencarian data. Ilustrasi dari pembentukan basisdata SIG tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.3 :
Gambar 1.3. Layer, Tabel dan Basisdata SIG Sumber : Prahasta (2005),
Data SIG yang bersifat keruangan (peta) dapat disajikan dalam bentuk titik, garis dan area. Titik menggambarkan lokasi fenomena sebagai kenampakan seperti titik ketinggian, puncak gunung atau lokasi pengambilan sampel. Garis menggambarkan sejumlah titik yang berhubungan, yang digunakan untuk menyajikan kenampakan yang tidak mempunyai lebar, seperti batas administrasi, jalan, sungai, garis kontur dan sebagainya. Area menggambarkan suatu daerah yang dibatasi oleh kenampakan garis, misalnya permukiman, danau, hutan, sawah dan kebun. Dengan SIG, data yang berupa data statistik atau non spasial, dapat dimasukkan ke dalam bentuk data spasial dan menyajikannya dengan tampilan
14
yang mudah untuk dianalisis secara keruangan, serta mudah dan cepat untuk diperbarui sesuai ketersediaan data terbaru. Keakuratan informasi yang dihasilkan SIG akan lebih baik jika dipadukan dengan data penginderaan jauh atau citra satelit. Kedua teknologi ini dapat dipadukan untuk memperoleh informasi baru secara cepat dan akurat. Kecepatan perolehan data baru ini sangat bermanfaat bagi kajian-kajian di daerah yang mengalami perubahan dengan cepat, seperti perkotaan. Salah satu contoh aplikasi SIG di bidang transportasi adalah penentuan jalur termurah atau paling efektif. Penentuan jalur termurah merupakan suatu cara bagaimana merancang sebuah rute atau jalur alternatif yang akan menghubungkan antar jalan yang sudah ada atau dari satu obyek ke obyek lain dengan memperhatikan efektifitas waktu, jarak dan biaya yang sekecil mungkin. Penentuan jalur termurah tersebut dapat dilakukan dengan overlay atau dengan network analysis. Metode overlay dilakukan dengan menumpang susun dua layer peta, yaitu layer permukaan biaya dan layer resource. Layer permukaan biaya merupakan layer yang berisi informasi biaya atau nilai yang diperlukan untuk melakukan perjalanan dari satu obyek ke obyek lainnya. Nilai ini diperoleh dengan memperhatikan parameter-parameter yang berpengaruh. Layer resource merupakan layer yang berisi peta dasar, yang digunakan untuk menentukan obyek-obyek yang akan dihitung. Jalur termurah yang diperoleh merupakan jalur yang memiliki nilai paling kecil. Penentuan jalur termurah dengan network analysis biasa dilakukan di daerah perkotaan yang mempunyai banyak jaringan jalan. Metode ini dilakukan dengan memanfaatkan extention network analyst pada software ArcGIS. Analisis network dimulai dengan memasukkan rule (aturan) tentang bagaimana obyek bergerak melaluinya. Aturan pada masing-masing ruas jalan berbeda-beda dan menunjukkan waktu yang dibutuhkan obyek untuk bergerak melalui jalan tersebut. Jalur termurah atau terefektif yang diperoleh adalah waktu atau jarak terkecil dari suatu rute jalan untuk menuju lokasi yang diinginkan, yang dihasilkan dari analisis tersebut. Pada penelitian ini Sistem Informasi Geografis
15
digunakan untuk mengidentifikasi rute optimal bagi ambulans dalam menuju RSUP Dr. Sardjito.
1.5.5. Ambulans Ambulans adalah kendaraan transportasi orang sakit atau cedera, dari satu tempat ke tempat lain guna perawatan medis. Istilah Ambulans digunakan menerangkan kendaraan yang digunakan untuk membawa peralatan medis kepada pasien di luar rumah sakit atau memindahkan pasien ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut (http://id.wikipedia.org/wiki/Ambulans). Kendaraan ini dilengkapi dengan atribut khusus (sirene/rotator/strobo) agar dapat menembus kemacetan lalu lintas, karena ambulans mempunyai hak istimewa dalam melaju, yaitu dapat melaju dengan kecepatan diatas 80 km/jam (Kepmenkes No 143/Menkes-kesos/SK/II/2001). Ambulans adalah subjek yang diteliti pada penelitian ini.
1.5.6. Jalan Mengacu Undang Undang Republik Indonesia No.38 tahun 2004 tentang Jalan, fungsi jalan dikelompokkan menjadi tiga golongan dengan karakteristiknya masing-masing, yaitu : 1. Jalan Arteri Jalan ini melayani angkutan utama yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan. Adapun ciri-ciri jalan arteri sebagai berikut : a. Perjalanan jarak jauh b. Kecepatan rata-rata tinggi c. Jumlah jalan masuk sangat dibatasi secara efisien 2. Jalan Kolektor Jalan ini melayani angkutan penumpang cabang dari pedalaman ke pusat kegiatan, dengan ciri-ciri : a. Perjalanan jarak sedang b. Kecepatan rata-rata sedang c. Jumlah jalan masuk dibatasi
16
3. Jalan Lokal Jalan ini melayani angkutan setempat, dengan ciri-ciri : a. Perjalanan jarak dekat b. Kecepatan rata-rata rendah c. Jalan masuk tidak dibatasi
Adapun secara lebih terperinci klasifikasi fungsi jalan dalam Panduan Penentuan Klasifikansi Jalan Di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990. Kriteria yang dipertimbangkan dalam menetapkan klasifikasi fungsi jalan adalah sebagai berikut : 1. Jalan Arteri Primer a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan jalan arteri primer luar kota. b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer. c. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam. d. Lebar badan jalan arteri primer tidak kurang dari 8 meter e. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu-lintas regional. Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, dan lalu lintas lokal, dari kegiatan lokal. f. Kendaraan angkutan barang berat dan kendaraan umum bus dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien. J arak antar jalan masuk/akes langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter. h. Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. i. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. j. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain. k. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan seharusnya tidak diizinkan. l. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan dan lain-lain. m. Jalur khusus seharusnya disediakan yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. n. Jalan arteri primer seharusnya dilengkapi dengan median.
17
2. Jalan Kolektor Primer a. Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota. b. Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer. c. Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) km per jam. d. Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. e. Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien. Jarak antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter. f. Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. h. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. i. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diizinkan pada jam sibuk. j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas dan lampu penerangan jalan. k. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan arteri primer. l. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. 3. Jalan Lokal Primer a. Jalan lokal primer dalam kota merupakan terusan jalan lokal primer luar kota. b. Jalan lokal primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya. c. Jalan lokal primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km per jam. d. Kendaraan angkutan barang dan bus dapat diizinkan melalui jalan ini. e. Lebar badan jalan lokal primer tidak kurang dari 6 (enam) meter. f. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah pada sistem primer.
18
4. Jalan Arteri Sekunder a. Jalan arteri sekunder menghubungkan : i. kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu. ii. antar kawasan sekunder kesatu. iii. kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. iv. jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu. b. Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30 (tiga puluh) km per jam. c. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 (delapan) meter. d. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. e. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter. f. Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat diizinkan melalui jalan ini. g. Persimpangan pads jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya. h. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas same atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. i. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak dizinkan pada jam sibuk. j. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain. k. Besarnya lala lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari sistem sekunder yang lain. l. Dianjurkan tersedianya Jalur Khusus yang dapat digunakan untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya. m. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan kelas jalan yang lebih rendah. 5. Jalan Kolektor Sekunder a. Jalan kolektor sekunder menghubungkan: i. enter kawasan sekunder kedua. ii. kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. b. Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarken keoepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) km per jam. c. Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 (tujuh) meter. d. Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman. e. Lokasi parkir pads badan jalan-dibatasi. f. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
19
g. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pads umumnya lebih rendah dari sistem primer dan arteri sekunder.
6. Jalan Lokal Sekunder a. Jalan lokal sekunder menghubungkan: i. enter kawasan sekunder ketiga atau dibawahnya. ii. kawasan sekunder dengan perumahan. b. Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 (sepuluh) km per jam. c. Lebar badan jalan lokal sekunder tidak kurang dari 5 (lima) meter. d. Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diizinkan melalui fungsi jaIan ini di daerah pemukiman. e. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling rendah dibandingkan dengan fungsi jalan yang lain. 0 0 0 5 3 4 0 0 0 1 4 1 9
0 0 0 2 3 4
0 0 0 9 2 4
0 0 0 1 4 1 9
KABUPATEN SLEMAN
JARINGAN JALAN KOTA YOGYAKARTA
KEC. TEGALREJO
U SKALA
KEC. JETIS 0.5
0
0.5 Km
KEC. GONDOKUSUMAN
KEC. GEDONGTENGEN
LEGENDA
KEC. DANUREJAN 0 0 0 8 3 1 9
0 0 0 8 3 1 9
KEC. NGAMPILAN
KEC. PAKUALAMAN
KEC. GONDOMANAN KEC. WIROBRAJAN
Batas administrasi batas kabupaten / kota batas kecamatan Jaringan jalan jalan arteri jalan kolektor jalan lokal rel kereta api
KEC. KRATON KEC. UMBULHARJO KEC. MERGANGSAN KEC. MANTRIJERON
KEC. KOTAGEDE
mU
0 0 0 5 3 1 9
0 0 0 5 3 1 9
KAB. SLEMAN
PROVINSI JAWA TENGAH
KABUPATEN BANTUL
PROVINSI JAWA TENGAH
KOTA YOGYAKARTA
KAB. KULON PROGO KAB. BANTUL
KAB. GUNUNG KIDUL
0 0 0 5 3 4
0 0 0 2 3 4
0 0 0 9 2 4
Analisa dan desain oleh : Yanu Koesumakristi
mT
Gambar 1.4. Contoh Peta Jaringan Jalan Kota Yogyakarta (Sumber : Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan & Energi Sumber Daya Mineral DIY)
Jalan yang dianalisis pada penelitian ini adalah jalan dengan lebar minimal tidak kurang dari 7 m yang termasuk dalam fungsi jalan Kolektor Sekunder.
20
Pemilihan batas lebar ruas jalan minimal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi pergerakan ambulans dengan masih menyisakan ruang bagi kendaraan lain.
1.5.7. Kapasitas Jalan Kapasitas jalan adalah kemampuan ruang jalan untuk menampung jumlah kendaraan dalam suatu periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang/jam (smp/jam) yang ditentukan oleh geometrik jalan, pola dan komposisi lajur dan faktor lingkungan jalan (Ditjen Bina Marga, 1997). Ada tiga aspek yang dipertimbangkan untuk mendapatkan nilai kapasitas jalan yaitu : 1. Kondisi geometrik jalan, meliputi lebar badan jalan, lebar trotoar, lebar bahu jalan, panjang jalan, tipe jalan, lebar jalan efektif dan jumlah jalur. 2. Kondisi lalu lintas, meliputi total laju aktual serta arah (directional), yaitu distribusi laju dalam dua arah pada jalan yang dinyatakan dalam satuan SMP. 3. Kondisi lingkungan jalan, meliputi jumlah penduduk dan hambatan samping, yaitu pengaruh dari pendayagunaan lalu lintas dari aktifitas tepi ruas jalan. Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas jalan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997 adalah sebagai berikut :
C = C0 x FCw x FCsp x FCsf x FCcs (smp/jam) Keterangan : C
= kapasitas (smp/jam)
C0
= kapasitas dasar (smp/jam)
FCw
= faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp
= faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbatasi)
FCsf
= faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
FCcs
= faktor penyesuaian ukuran kota Prinsip dasar analisis kapasitas jalan adalah kecepatan berkurang jika arus
bertambah. Pengurangan kecepatan akibat penambahan arus adalah kecil pada arus rendah, tetapi lebih besar pada arus yang lebih tinggi. Dengan kapasitas,
21
pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5. Bentuk Umum Hubungan Kecepatan-Arus pada Jalan Tipe Dua Lajur Tak Terbagi (sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997) Setiap kondisi standar mempunyai geometrik standar dan karakteristik lingkungan tertentu. Jika kondisi jalan lebih baik daripada kondisi standar, maka kapasitas menjadi lebih tinggi dan kurva bergeser ke kanan, dengan kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu. Jika kondisi jalan lebih buruk daripada kondisi standar, maka kapasitas berkurang dan kurva bergeser ke kiri, dengan kecepatan lebih rendah pada arus tertentu. Jika kondisi sebenarnya sama dengan kondisi standar (ideal), maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar.
1.5.8. Analisis Jaringan Garis tidak hanya menggambarkan simbol-simbol obyek garis di permukaan bumi, tapi juga dapat memiliki nilai manakala obyek ini membentuk suatu jaringan dari suatu node ke node yang lain (DeMers, 1997). Network atau jaringan adalah suatu sistem dimana kenampakan-kenampakan linear saling terhubung, atau dalam pengertian yang lain adalah seperangkat garis hubung yang memiliki atribut tertentu yang menunjukan adanya arus (flow) obyek. Contoh yang paling umum adalah jaringan transportasi (mis. jalur jalan dan kereta api),
22
dan jaringan komunikasi (mis. jaringan telepon). Contoh lain yang masuk dalam kategori network adalah jalur transmisi listrik, jalur pipa minyak, jalur pipa air bersih, dan jaringan sistem drainase sungai. Network terdiri dari tiga bentuk utama yaitu: garis lurus seperti jalan raya, garis bercabang seperti alur sungai, dan sirkuit seperti jalan yang memiliki arah putar. Jenis-jenis ini dapat dibagi atas directed network dan undirected network. Directed network hanya memiliki satu jalur arus. Sungai, misalnya, akan mengalir ke satu jalur, atau jalan yang hanya memiliki satu jalur. Jika satu arus obyek berhubungan dengan arus yang lain dalam satu network dan membentuk sudut akan memungkinkan terjadinya perubahan arah arus, atau dapat pula dibuat suatu pembatas yang menjadikan satu arus melewati arus yang lain. Pada persimpangan antara jalan dua arah dengan jalan satu arah, misalnya, kendaraan tidak boleh berbelok dari jalan dua arah ke jalan satu arah dengan arah yang berlawanan, tapi dalam undirected network seperti jalan dua arah itu, arus kendaraan dapat berada dalam dua jalur ( DeMers, 1997). Semua network memiliki ciri umum berikut: 1) terdapat obyek atau resource yang bergerak melalui network, dan 2) ada keterhubungan jalur antara titik awal dan tujuan. Contoh untuk kedua hal ini adalah mobil dan jalan raya. Mobil merupakan obyek yang bergerak melalui jalan raya sebagai network. Mobil dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain jika ada jalan yang menghubungkan antar tempat tersebut. Pergerakan aliran di kontrol oleh elemen-elemen dalam Network, seperti : impedence, barrier, stop, center, turn, dan demand. Impendasi terkait dengan kondisi dari arc yang menaytakan ukuran resistensi pergerakan yang di pengaruhi sejumlah faktor seperti karakteristik dari arc (tipe dari jalan, waktu tempuh, panjang arc, dan kondisi khusus sepanjang arc). Barrier adalah lokasi yang tidak bisa di lalui pergerakan pada sistem jaringan. Stop merupakan tundaan atau lokasi node dimana sumber pergerakan bisa di buka atau di tutup. Turn merupakan kemungkinan belokan atau putaran untuk sumber pergerakan dari setiap node dimana terjadi link yang terhubungkan. Aliran dapat terjadi dari satu link ke link yang lainnya. Putaran atau belokan sering membatasi aliran pada network. Link di
23
presentasikan sebagai garis yang terhubung dari garis lainnya pada node.Center adalah fasilitas pada lokasi node yang mempunyai kapasitas untuk menerima pergerakan dari link pada network atau membagikan sumber ke network. Di dalam masalah analisis spasial di dalam jaringan, sering di gunakan terminologi stop dan event. Masalah pencarian jalur optimal , di dalam arcgis, melibatkan proses pencarian jalur (path) dengan biaya atau hambatan terkecil di dalam jaringan antara dua atau lebih stop. Aturan-aturan umum yang terdapat pada analisis jaringan, yang meliputi: 1.
Biaya tempuh (Travel cost / Impedance ), biaya tempuh rata-rata atau jarak yang di perlukan untuk melewati suatu rangkaian jalan.
2.
Jalan satu arah (One way street ), meskipun suatu jaringan jalan secara fisik dapat di lalui dua arah, kadang-kadang peraturan menerapkan bahwa jalan hanaya dapat di lalui satu arah saja.
3.
Belokan (Turn), tidak boleh membelok atau memutar, pada suatu perpotongan jalan tidak boleh berbelok atau boleh berbelok dengan resiko bobot biaya yang lebih besar.
4.
Jalan tertutup (Closed street), jalan yang baru saja di tutup (karena sebab tertentu) untuk lalu lintas umum, atau tipe jalan tertentu yang tidak memenuhi persyaratan
karena
terlalu
banayk
hambatan
(berrier)
yang
akan
membengkakan bobot biaya. 5.
Over dan Underpass, sebuah jalan yang terdapat di atas (overpass) atau di bawah (underpass) jalan yang lain dimana pengguna jalan tidak dapat berbelok atau memutar arah secara langsung.
24
Dengan aturan-aturan umum yang terdapat pada analisis jaringan dapat di lihat pada gambar 1.6 di bawah ini.
Gambar 1.6 Bagian- bagian penting yang terdapat di dalam analisis jaringan (sumber : Tutorial ArcGIS Network Analyst dalam reza aldino (2010))
1.6.
Penelitian Sebelumnya Dalam perkembangannya analisis jaringan jalan berbasis SIG untuk
keperluan peningkatan efektifitas dan efisiensi penggunaan jalan sudah merupakan
kebutuhan.
Karena
karakteristik
penggunaan
jalan
dengan
permasalahan yang dihadapi dari masing-masing jaringan dapat di identifikasi secara komprehensif untuk menentukan solusi terbaik pada tata ruang terkait. Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya : Arham (2002), penelitian berjudul “Penentuan rute optimal mobil pemadam kebakaran memanfaatkan foto udara” dengan menggunakan variable impedansi seperti: penggunaan lahan, kepadatan bangunan, panjang jalan dan persimpangan dengan rel kereta api. Pada peneletian tersebut penulis dapat mengidentifikasi rute paling efektif bagi pergerakan mobil pemadam kebakaran di Kecamatan Gedongtengen Kota Yogyakarta dan merepresentasikannya dalam bentuk sistem informasi.
25
Kesamaan
: Penggunaan SIG dengan pendekatan network untuk penentuan rute efektif bagi pergerakan kendaraan darurat.
Perbedaan
: Citra yang digunakan untuk pengukuran area pada penelitan Arham adalah foto udara sedangkan pada penelitian ini menggunakan citra Quickbird.
Ramajaya (2007), pada penelitiannya tentang rute optimal terhadap medical emergency, peneliti mengembangkan metode yang telah digunakan oleh Arif Arham. Dengan memasukkan variable arah perjalanan pada tingkat pelayanan jalan maka peneliti dapat mengetahui rute terbaik dalam keadaan darurat medis, pada kombinasi permasalahan jaringan yang lebih komplek. Hal tersebut karena dalam struktur komplek jaringan jalan terdapat kemungkinan permasalahan yang berbeda dan tidak berlaku secara kebalikan (vice-versa). Kesamaan
: Objek penelitian merupakan rute optimal kedaruratan medis pada jaringan jalan.
Perbedaan
: Pada Ramajaya menggunakan citra foto udara sedangkan pada penelitian ini menggunakan citra Quickbird.
Aldino (2010), dalam penelitiannya juga menggunakan analisis jaringan untuk keperluan pendistribusian Semen Holcim di Kota Yogyakarta. Penelitian analisis jaringan yang diteliti oleh Reza Aldino lebih menitikberatkan efisiensi biaya operasional pendistribusian sebagai variabel utama analisis jaringan jalannya, sehingga dapat dihasilkan peta rute dengan pembiayaan optimal pendistribusian Semen Holcim di Kota Yogyakarta. Kesamaan
: Penggunaan citra Quickbird sebagai sumber data utama dengan Network Analyst sebagai pendekatan analisisnya.
Perbedaan
: Penetapan nilai impedansi rute optimal sebagai variabel utama pada Aldino dititik beratkan pada efisiensi biaya perjalanan. Sedangkan pada penelitian ini penetapan impedansi didasarkan pada waktu optimum perjalanan.
26
Dewi (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “A GIS-Based Approach to the selection of the evacuation shelter buildings and routes for tsunami risk reduction a case study of Cilacap coastal area, Indonesia”, analisis jaringan jalan menjadi penelitian tersendiri karena merupakan salah satu variabel primer pada penelitian kompleks tersebut. Kesamaan
: Penggunaan Network Analyst dengan variabel impedansi utama jarak dan waktu tercepat.
Perbedaan
: Pada Dewi, dalam penggunaan network analyst indeks pelayanan jalan diabaikan, sedangkan pada penelitian ini indeks pelayanan jalan merupakan variabel utama pada penentuan rute optimal.
27
Berikut adalah tabel perbandingan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dengan metode analisis jaringan. Tabel 1.2. Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya Peneliti
Judul
28
Arif Arham (2002)
Penentuan Rute optimal mobil pemadam kebakaran dengan memamanfaatkan foto udara pankromatik hitam putih dan PC network di kecamatan Gedongtengen kota Yogyakarta
Bambang Trikapdi Ramajaya
Pemanfaatan Foto udara dan Sistem Informasi Geografis Untuk menentukan rute optimal dalam pelayanan Medical Emergency di kota Yogyakarta
(2007)
Reza Aldino (2010)
Analisis rute optimal pendistribusian Semen Holcim dengan menggunakan Citra Pengeinderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di kota Yogyakarta.
Metode
Hasil
Analisis data primer dan data Sistem informasi penentuan rute optimal sekunder dengan menggunakan mobil pemadam kebakaran variable impedansi berupa : Penggunaan lahan, Kepadatan bangunan, panjang jalan,kapasitas jalan dan persimpangan dengan rel kereta api. Menentukan rute terbaik Sistem informasi penentuan rute terbaik menggunakan Network analyst bagi pelayanan medical emergency berdasarkan nilai impedansi dari beberapa unsur jalan seperti : Jarak, Waktu tempuh, Penggunaan lahan, kepadatan bangunan, arah perjalanan Analisis data primer dan data • Peta jaringan jaringan jalan Sekunder dengan menggunakan • Rute optimal pendistribusian Semen variable impedansi seperti : jarak, Holcim waktu tempuh, biaya.
Ratna Sari Dewi (2010)
R.Akkha Rulian Visynu V. (2013)
A GIS-Based Approach to the selection of the evacuation shelter buildings and routes for Tsunami risk reduction a case study of Cilacap coastal area,indonesia Pemanfaatan Citra Quickbird Dan Sistem Informasi Geografi Untuk Penentuan Rute Efisien Bagi Ambulans
Evakuasi untuk bencana Tsunami Sistem informasi ESB (evacuation shelter untuk rute dan shelter berdasarkan buildings) impedansi seperti : jarak, waktu tempuh dan waktu kejadian baik itu siang hari maupun malam hari. Analisis data primer dan data • Peta sebaran titik persimpangan rawan sekunder dengan menggunakan macet pada jaringan jalan inner jalan variable : geometri jalan, waktu lingkar Yogyakarta tempuh, kapasitas jalan dan • Peta rute alternatif efisiensi waktu kepadatan arus pada waktu perjalanan ambulans dari inlet jalan puncak. lingkar menuju RSUP Dr.Sardjito. • Rekomendasi penempatan marka khusus bagi kendaraan darurat pada persimpangan spesifik
29
1.7.
Kerangka Pemikiran Sesuai dengan UU RI No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, pergerakan ambulans dalam keadaan darurat harus mendapat prioritas penggunaan jalan, maka sudah selayaknya jika ambulans mendapat akses penuh ketika sedang bertugas. Namun jika ambulans harus dihadapkan dengan kondisi kemacetan jalan yang sering terjadi maka prioritas tersebut tidak akan berarti banyak. Ironisnya kecenderungan kemacetan yang mengunci (dead-lock) justru terjadi pada daerah dimana pusat pelayanan kesehatan yang menjadi asal atau tujuan dari ambulans. Pilihan solusi dari kendala tersebut adalah pembuatan rute alternatif bagi ambulans atau pembuatan marka khusus bagi ambulans untuk melindungi pergerakannya dalam keadaan darurat. Dalam pembuatan rute alternatif bagi ambulans, maka dibutuhkan peta jaringan jalan dengan data V/C Ratio sebagai data utama, sebagai alat ukur tingkat kerawanan kemacetan yang terjadi pada masing-masing ruas jalan. Data kerawanan tersebut kemudian dianalisa menggunakan network analyst pada SIG, karena pada prakteknya daya dukung jalan terhadap arus dapat berbeda pada arah yang berlawanan. Hasil dari analisis tersebut yang kemudian ditampilkan sebagai rute alternatif berdasarkan waktu tempuh optimal ambulans. Keberadaan Citra Quickbird/GeoEye disini digunakan sebagai dasar acuan pengukuran geometrik badan jalan karena citra tersebut memiliki resolusi yang cukup tinggi untuk digunakan dalam pengukuran geometrik ruas jalan pada jaringan. Selain itu penggunaan citra pankromatik akan memudahkan interpretasi secara visual kesesuaian lebar jalan, jika terjadi kendala pada simpang/persimpangan rawan macet yang tidak dapat di hindari dalam pembuatan rute alternatif. Kesesuaian lebar jalan digunakan untuk mengetahui prosentase kemungkinan diadakannya marka khusus bagi kendaraan darurat pada simpang / persimpangan yang terkendala. Analisis dilakukan dengan teknik berjenjang tertimbang dengan pengharkatan pada tiap-tiap parameter sesuai dengan bobotnya pada tingkat pelayanan jalan. Hasil dari analisis ini kemudian menjadi acuan utama bagi penentuan rute alternatif
30
ambulans dalam perjalanannya dari inlet jalan lingkar menju RSUP Dr.Sardjito. Diharapkan pada rute alternatifnya ambulans tidak terkendala ruas jalan dengan tingkat pelayanan sangat rendah yang tidak bisa dihindari, sehingga mengakibatkan berkurangnya kecepatan ambulans hingga dibawah 40 km/jam dalam operasionalnya. Waktu Optimal Bagi Perjalanan Ambulans Menuju RSUP Dr Sardjito
Interpretasi Citra Quickbird
Penggunaan Data Sekunder
Pengolahan dan analisis data
terkendala
Rekomendasi marka khusus Peta rute alternatif ambulans menuju RSUP Dr. Sardjito
Gambar 1.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
31
1.8.
Batasan Istilah
1. Keadaan darurat : Situasi/kondisi kehidupan atau kesejahteraan individu manusia atau masyarakat akan terancam, apabila tidak dilakukan tindakan yang tepat dan segera, sekaligus menuntut tanggapan dan cara penanganan yang luar biasa (diluar prosedur rutin/standar) (materiManajemen Risiko Bencana, BAKORNAS PB.) 2. Ambulans : kendaraan transportasi orang sakit atau cedera, dari satu tempat ke tempat lain guna perawatan medis pra-rumah sakit yang dilengkapi dengan atribut khusus (sirene/rotator/strobo) agar dapat menembus kemacetan lalu lintas dengan batas kecepatan 40-80 km/jam. (Kepmenkes No.143/Menkeskesos/SK/II/2001). Ambulans yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ambulans transport/rujukan, meskipun tidak menutup kemungkinan ambulans tersebut sedang bertugas (stated as) sebagai ambulans gawat darurat (mis : terjadi bencana alam atau kecelakaan diluar cakupan wilayah jalan lingkar). 3. Jalan : prasarana perhubungan darat termasuk dalam bangunan pelengkap dan penggunaannya diperuntukkan bagi lalu lintas (UU RI No.13 tentang Jalan, 1980) 4. Kapasitas jalan : kemampuan ruang jalan untuk menampung jumlah kendaraan dalam suatu periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang/jam (smp/jam) yang ditentukan oleh geometrik jalan, pola dan komposisi laju lalu lintas dan faktor lingkungan jalan. (Ditjen Bina Marga, 1997). 5. Geometrik jalan : suatu bangun jalan raya yang menggambarkan tentang bentuk/ukuran jalan raya baik yang menyangkut penampang melintang, memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk fisik jalan. (Suraji, 2008). 6. Arus lalu lintas : Jumlah kendaraan bermotor yang melalui suatu titik pada jalan per satuan waktu (Q), dinyatakan dalam kend/jam (Qkend) atau smp/jam
32
(Qsmp) atau LHRT (Ditjen Bina Marga, 1997). Secara umum symbol Q pada ilmu perekayasaan lalu lintas dinyatakan sebagai V(Volume) 7. Kepadatan Arus : perbandingan antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan yang dalam MKJI disebut dengan Derajat Kejenuhan (DS= Q/C) (Ditjen Bina Marga, 1997). Simbolisasi perbandingan tersebut secara umum dalam ilmu transportasi dikenal dengan V/C (Volume-to-Capacity) Ratio. 8. Jalur lalu-lintas : bagian daerah manfaat jalan yang direncanakan khusus untuk lintasan kendaraan bermotor (beroda empat atau lebih) dan biasanya diperkeras (Standar Nasional Indonesia, 2003) 9. Lajur : bagian dari jalur lalu-lintas yang memanjang dibatasi oleh marka lajur jalan, yang memiliki lebar cukup untuk kendaraan bermotor sesuai rencana (kendaraan rencana). (Standar Nasional Indonesia, 2003) 10. Rute : jarak atau arah yang harus ditempuh (dilalui). (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 11. Citra (image) : (1) gambaran obyek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan oleh lensa atau cermin. (2) gambaran rekaman obyek yang dibentuk dengan cara optik, elektro-optik, optikmekanik, dan elektronik, yang biasanya dalam bentuk gambaran foto (Sutanto, 1986). 12. Data Spasial : data yang terkait letak, jarak, luas dan waktu yang kenampakannya bisa berupa titik, garis, luasan dan permukaan bumi secara luas (Sutanto, 1986). 13. Digital : data dalam bentuk angka (digit) ; digit, binary: angka 0 atau 1 (Sutanto, 1986).
33