BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Desentralisasi sebagai suatu fenomena yang bertujuan untuk membawa kepada penguatan komunitas pada satuan-satuan pembangunan terkecil kini sudah dicanangkan sebagai salah satu prioritas pembangunan wilayah nasional. Satuan terkecil pembangunan tersebut yaitu pembangunan perdesaan, dengan kota kecil dan menengah sebagai pusat pelayanannya. Selama ini perencanaan pembangunan yang terjadi lebih banyak berorientasi kepada kota besar yang sering disebut sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi (engine of growth) skala nasional. Perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternalnya. Faktor eksternal berupa keterkaitannya dengan kota-kota lain, serta keterkaitannya dengan hinterland dan daerah perdesaan sekitarnya. Keterkaitan ini bisa diwujudkan sebagai suatu bentuk sistem kota-kota yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk seperti pergerakan barang, jasa, manusia, dan berbagai jenis keterkaitan lainnya. Dalam suatu sistem perkotaan, kota menjadi unsur atau elemen utama dan merupakan simpul-simpul atau nodes. hubungan atau interaksi antar nodes ini merupakan faktor pembentuk sistem ini dan terwujudkan sebagai aliran-aliran dalam suatu jejaring. Ada 4 peran penting yang diemban oleh interaksi atau keterkaitan antar simpulsimpul ini. Peran pertama adalah mewujudkan integrasi spasial. Manusia dan kegiatannya terpisah-pisah dalam ruang, sehingga penting untuk menterkaitkan interaksi ini. Peran kedua dari interaksi atau keterkaitan ini adalah memungkinkan adanya diferensiasi dan spesialisasi dalam sistem perkotaan. Peran yang ketiga adalah sebagai wahana untuk pengorganisasian kegiatan dalam ruang, dan peran keempat adalah dalam memfasilitasi serta menyalurkan perubahan-perubahan dari satu simpul ke simpul lainnya dalam sistem (Tjahjati, 2004). Pemerintah pusat melalui Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Tertinggal telah menetapkan daerah-daerah yang digolongkan sebagai daerah tertinggal (Bappenas, 2004). Untuk propinsi Jawa Barat, salah satunya adalah Kabupaten Garut. Masalah yang dimiliki wilayah-wilayah tertingggal ini antara lain
1
kondisi rawannya lingkungan, rendahnya tingkat kesejahteraan, dan lemahnya perekonomian. Kabupaten Garut dikategorikan kurang berkembang berdasarkan indikator yang digunakan untuk mengindikasikan ketertinggalan suatu wilayah. Enam indikator yang digunakan oleh kementrian percepatan pembangunan kawasan tertinggal sebagai dasar pengklasifikasian Kabupaten Garut sebagai wilayah tertinggal yaitu Aksesibilitas, Sarana prasarana, Kesejahteraan, Sumber Daya Manusia, Karakteristik Lingkungan fisik wilayah, dan Perekonomian. Suatu kota tidak bisa berdiri sendiri, seiring perkembangannya pasti terjadi interaksiinteraksi dalam berbagai bentuk yang terjadi baik dengan kota, desa, maupun wilayah sekitarnya. Pada wilayah tertinggal, pusat kegiatan atau kota – kota menengah dan kecil merupakan titik pusat terselenggarakan transaksi barang/jasa masyarakat. Saat ini dengan keterbatasan jaringan transportasi, pelayanan pusat perdagangan dan pusat informasi mengakibatkan hubungan antara cluster permukiman penduduk dan antara lokasi produksi dan pemasaran terbatas. Untuk mendapatkan aksesibilitas dan mobilitas masyarakat ke fasilitas sosial, ekonomi yang membantu menggiatkan perekonomian dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
diperlukan
pembangunan
fisik
wilayah,
begitu
pula
dengan
pembangunan sarana dan prasarana pendukung kehidupan masyarakat. Wilayah perdesaan dan perkotaan pada dasarnya merupakan lanskap wilayah yang saling berhubungan melalui keterkaitan kekuatan ekonomi, sosial, politik dan lingkungan yang sangat kompleks. Desa-kota merupakan suatu fenomena yang bertautan
(continuum),
dimana
masyarakat
di
dalamnya
secara
bersama
memecahkan masalah kemiskinan, perkembangan ekonomi, lingkungan yang berkelanjutan, dan dalam pengembangan kerangka kelembagaan (Douglass, 1988; Rondinelli, 1986). Dalam penanganan pembangunan dan pengembangan wilayah, keterkaitan kawasan perkotaan dan perdesaan seringkali tidak dilihat dan gagal untuk dibangun. Kondisi yang terjadi adalah adanya dikotomi perkotaan dan perdesaan yang terjadi sangat kuat. Perbedaan yang cukup tajam antara pembangunan kawasan perkotaan dengan perdesaan ini menyebabkan munculnya ketidakseimbangan perkembangan ekonomi (Pradhan, 2003) yang nantinya berakar pada kondisi yang disebut dengan ketimpangan wilayah. Dalam hubungan antara desa-kota terjadi ketimpangan dalam berbagai aspek. Ketimpangan juga terjadi antar hierarki perkotaan, dimana kota kecil dan menengah umumnya masih tidak mampu
2
untuk menyokong pertumbuhannya sendiri, dan masih seringkali bergantung pada kota yang lebih besar. Untuk kasus pulau Jawa, terjadi ketimpangan pula antara wilayah utara dan selatan. Wilayah Jawa Barat Selatan, yg berbatasan dengan pantai pulau Jawa bagian selatan masih merupakan daerah yg terisolasi, dengan kerawanan lingkungan yang tinggi. Sementara wilayah pantai utara pulau jawa merupakan wilayah yang lebih aman dari bencana, dan terjangkau sistem-sistem transportasi dengan keberadaan jalur pantai utara. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah Jawa Barat selatan turut menyisakan berbagai persoalan keterbelakangan dalam kesejahteraan masyarakat, seperti rendahnya tingkat pendidikan, dan pendapatan yang minimal.
1.2
Rumusan Masalah
Pada tahun 2004, kementerian pembangunan daerah tertinggal mengeluarkan sejumlah daftar prioritas lokasi penanganan wilayah-wilayah tertinggal. Untuk propinsi Jawa Barat terdapat dua kabupaten yang termasuk kategori ini, yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Sukabumi. Dalam kasus Kabupaten Garut yang sebagian besar wilayahnya terletak di sebelah selatan pulau jawa, wilayah tertinggal belum tentu merupakan suatu wilayah yang gersang atau miskin sumber daya. Kekayaan alam dan potensi yang ada sebenarnya berlimpah dan bervariasi jenis dan jumlahnya. Untuk mengatasi ketertinggalan wilayah ini hendaknya dilakukan pembangunan pada bidang-bidang yang menggerakkan pertumbuhan unit ekonomi masyarakat, yang dimulai dari pusat-pusat pertumbuhan lokal. Untuk itu dibutuhkan identifikasi mengenai bidang-bidang atau sektor seperti pusat pertumbuhan sebagai pusat pelayanan publik (kesehatan, pendidikan), pusat pemasaran, pusat barang input produksi pertanian dan pusat administrasi pemerintahan untuk mendorong penggerakan masyarakat, baik yg berlokasi di pusat pertumbuhan maupun wilayah belakangnya dalam menjalankan unit kegiatannya secara optimal. Secara spesifik bagian selatan Kabupaten Garut mengalami ketimpangan dengan wilayah utaranya. Ketimpangan yang telah menjadi isyu yang hangat baik bagi pemerintah maupun masyarakatnya sendiri ini antara lain dilihat dari fungsi guna lahan dan PDRB yang dihasilkan. Ketimpangan ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab ketertinggalan Kabupaten Garut.
3
1.3
Tujuan dan Sasaran Penelitian
Dalam
mengembangkan
wilayah
maka
dibentuk
pusat-pusat
pertumbuhan.
Keterkaitan yang terjadi bersifat desa-kota, dengan pusat pertumbuhan memiliki fungsi seperti kota kecil, yaitu sebagai pusat pelayanan wilayah perdesaan disekitarnya. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keterkaitan pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertinggal dalam menggerakkan
perkembangan
pada
wilayah
tersebut.
Dengan
mengetahui
keterkaitan yang ada ini diharapkan dapat dilakukan identifikasi awal dari peran pusat pertumbuhan yang seharusnya dapat mendorong perkembangan wilayahnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dijabarkan sasaran-sasaran sebagai berikut : •
Mengidentifikasi karakteristik kegiatan di wilayah tertinggal dilihat dari sisi sosial, ekonomi, dan pelayanan yg dinikmati masyarakat lokal pada wilayah studi
•
Mengidentifikasi jenis keterkaitan yang terjadi antar pusat pertumbuhan dan antara pusat pertumbuhan dan wilayah produksi/pelayanan pada wilayah Garut bagian selatan
•
Mengidentifikasi karakteristik keterkaitan antar pusat pertumbuhan, dan hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah produksi/pelayanan pada wilayah Garut bagian selatan sebagai wilayah tertinggal
1.4
Metodologi
Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini terdiri atas metodologi pengambilan data dan metodologi analisis.
1.4.1
Metodologi Pengambilan Data
Penelitian ini lebih menggunakan data-data sekunder terutama data statistik dan numerikal, selain data atau informasi mengenai kebijakan dan posisi. Selain itu, dilakukan pula observasi dan wawancara untuk mencari data-data yang tak terukur dan tidak tertuliskan dalam data-data sekunder. Lingkup data dikelompokkan dalam satuan kecamatan untuk menyederhanakan dan karena ketiadaan batasan jelas mengenai batas dan unsur suatu pusat kecamatan. a. Desk study yaitu studi dari sumber informasi sekunder, berupa dokumen, buku statistic, dan informasi lainnya yang tak dipublikasikan. Desk study mencakup pencarian data-data menyangkut karakteristik wilayah studi yang dikeluarkan oleh instansi tingkat kabupaten dan propinsi, dengan dokumen-dokumen perencanaan pada tingkat Kabupaten dan propinsi, serta website resmi
4
Kabupaten Garut. Instansi yang dijadikan sumber antara lain BPS propinsi dan kabupaten, Bappeda Kabupaten Garut, Kantor Kependudukan Kabupaten, Kantor PLN, dan Dinas perindustrian, perdagangan dan penanaman modal. b. Wawancara individu, terutama untuk menggali informasi mengenai hal yang tak tercatat dalam sumber sekunder, dan berkenaan dengan kegiatan dan karakteristik masyarakat di pusat pertumbuhan. Pemilihan calon informan didasarkan pada peran actor yang terlibat dan kecukupan informasi yang didapatkan. Wawancara dilakukan pada pihak yang dianggap paling mengetahui keadaan di ketiga pusat pertumbuhan, serta pada beberapa instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Perdagangan dan Penanaman Modal, serta Dinas perhubungan. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur untuk membiarkan narasumber
mengungkapkan sebanyak
mungkin hal yang
diketahuinya.
Wawancara dilakukan pada bulan September dan Oktober 2006 pada wilayah studi yaitu Kabupaten Garut bagian selatan. c. Observasi, yaitu pengamatan terhadap kondisi masyarakat dan kondisi fisik dari kegiatan ekonomi masyarakat dan kondisi di pusat pertumbuhan. Observasi dilakukan
bersamaan
dengan
wawancara
dengan
mengamati
kegiatan
masyarakat sepanjang jalur yang dilalui, yaitu sepanjang jalan provinsi, jalur lintas selatan, dan beberapa ruas jalan Kabupaten. Observasi dilakukan secara tidak terstruktur, sebagian informasi dan gambaran keadaan yang terjadi di wilayah
studi didapat
penulis pada
berbagai kesempatan.
Salah satu
kesempatan observasi adalah saat studio wilayah Teknik Planologi ITB 2005 pada bulan maret 2005 yang berlokasi di Kabupaten Garut. Observasi ditangkap dalam kumpulan foto aktivitas masyarakat, kondisi bangunan, serta kondisi fisik. Selain itu observasi juga dilakukan saat wawancara yang dilakukan pada oktober 2006. d. Wawancara kelompok, yaitu wawancara kepada lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan. Wawancara kelompok ini berfungsi untuk saling menvalidasi
informasi,
dan
terjadi
tukar
pikiran
antar
informan
dalam
mengidentifikasi keterkaitan desa-kota yang terjadi. Wawancara ini lebih berbentuk focus group discussion (FGD) dengan stakeholder daerah yang meliputi Bappeda Kabupaten Garut, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten Garut, Dinas Perhubungan Kabupaten Garut, LSM, serta perwakilan dari Kecamatan
Pameungpeuk,
Cikajang,
5
dan
Cikajang
sebagai
pusat
pertumbuhan di Kabupaten Garut bagian Selatan. FGD ini dilakukan pada tanggal 21 November 2006.
1.4.2
Metodologi Analisis
Proses analisis yang dilakukan didasari pada data-data sekunder dan wawancara, agar bisa melihat bagaimana sebenarnya karakteristik hubungan keterkaitan desakota yang terjadi di wilayah Garut bagian selatan. Analisis dilakukan dengan mengklasifikasikan jenis keterkaitan menjadi keterkaitan internal & keterkaitan eksternal yang dilihat dari enam indikator keterkaitan yaitu fisik, ekonomi, mobilitas penduduk, interaksi sosial, penyediaan pelayanan, serta hukum, administrasi dan fungsional. Pengolahan data atau informasi didasarkan pada Grounded theory techniques untuk merumuskan makna yang terungkap data-data yang ditemukan. Penalaran data ini dilakukan
dengan
mendeskripsikan,
menginterpretasikan,
serta
melakukan
pengkajian melalui teori-teori yang terkait fenomena keterkaitan yang terjadi. Deskripsi disini yaitu pencarian pemahaman dengan mempertanyakan apa yang sebenarnya yang terjadi berkenaan dengan kondisi keterkaitan pada wilayah studi. Interpretasi dilakukan dengan mempertanyakan makna kondisi keterkaitan tersebut bagi
penduduk
wilayah
studi,
sementara
penggunaan
teori
adalah
untuk
mempertanyakan mengapa semua kejadian tersebut terjadi dan bagaimana semua itu bisa dijelaskan berdasarkan teori-teori terkait. Penggunaan metode kualitatif disini mengarah pada upaya menjelaskan dan memahami kejadian, dan tidak bermaksud menyederhanakan fenomena yang terjadi dalam keterkaitan yang terjadi antara desa dan kota di wilayah Kabupaten Garut bagian selatan. Meski demikian, penelitian ini tidak didasarkan pada metode kualitatif semata, dilakukan pula penilaian secara kuantitatif pada beberapa aspek sesuai dengan kebutuhan dalam pemaknaan datanya.
6
Gambar 1.1 Metodologi
Observasi
Kajian pustaka
Deskripsi data
Analisis keterkaitan
Data sekunder kesimpulan
rekomendasi
Wawancara individu Wawancara kelompok
1.5
Ruang Lingkup
Ruang lingkup terbagi atas dua jenis, yaitu ruang lingkup substansi yang membahas mengenai hal-hal yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian dan ruang lingkup wilayah yang membahas mengenai deskripsi dan cakupan wilayah yang akan diteliti.
1.5.1
Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi meliputi keterkaitan antara pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan wilayah perdesaan dengan wilayah sekitarnya. Materi mencakup ketimpangan antara wilayah, dan sistem keterkaitan antar wilayah maupun desa kota yang terkait dengan wilayah studi untuk tercapainya prospek pengembangan wilayah tertinggal dalam hal ini wilayah yang meliputi 3 obyek studi. Keterkaitan yang akan dilihat yaitu antara ketiga pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya berupa kecamatan yang masih berada pada Kabupaten Garut bagian selatan, begitu pula dengan keterkaitan antara ketiga pusat pertumbuhan dengan wilayah yang lebih luas sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat bagian selatan, hingga Jawa Barat. Keterkaitan pertama akan disebut sebagai keterkaitan internal Kabupaten Garut bagian selatan, sementara keterkaitan dengan wilayah sekitarnya disebut sebagai keterkaitan eksternal Garut bagian selatan.
Pusat pertumbuhan disini berperan dalam kegiatan penduduk yg tinggal pada kecamatan
tersebut
atau
berdekatan
7
dengan
kecamatan
tersebut.
Pusat
pertumbuhan pada Kabupaten Garut bagian selatan ini adalah kecamatan Bungbulang, Pameungpeuk dan Cikajang. Pusat pertumbuhan disini memiliki beragam fungsi sesuai dengan antara lain sebagai pusat pelayanan, market center, dan market town. Dengan berbagai fungsi yang dimiliki ini akan dilihat bagaimana keterkaitan yang terjadi antara pusat-pusat pertumbuhan ini dengan wilayah sekitarnya yang berupa area perdesaan dengan satuan kecamatan. Kerangka pemikiran penelitian dijabarkan pada gambar 1.2 berikut :
Gambar 1.2 Kerangka Pikir Studi
Wilayah Tertinggal
Ketimpangan Wilayah
Peran dan Fungsi Kota Kecil sebagai Pusat Pertumbuhan dan Penyedia Pelayanan Publik
Keterkaitan desa-kota
Fisik
Keterkaitan kota-kota
Ekonomi
Mobilitas Penduduk
Interaksi Sosial
Penyediaan Pelayanan
Hukum, Administratif dan Fungsional
Bentuk Keterkaitan desa-kota yang terjadi di Kabupaten Garut bagian selatan Rekomendasi Intervensi yang dapat dilakukan untuk memperkuat keterkaitan untuk mendorong pengembangan wilayah tertinggal
1.5.2
Ruang Lingkup Wilayah
Pengambilan wilayah Garut Selatan ini terkait dengan isu ketimpangan yang terjadi antara Jawa Barat bagian utara dengan selatannya. Kabupaten Garut juga terbagi menjadi dua wilayah dengan karakteristik yang berbeda antara utara dan selatannya. Kabupaten Garut
terdiri atas 42 buah kecamatan yang berbentuk cenderung
8
memanjang dari utara ke selatan. Adapun di bagian selatan dari kabupaten ini memiliki kecamatan-kecamatan yang relatif lebih luas daripada kecamatan yang terletak lebih utara, serta kepadatan penduduk yang jauh lebih kecil. Terdapat 16 kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Garut, dan terdapat 3 pusat yaitu Bungbulang, Cikajang, dan Pameungpeuk.
1.6
Sistematika Pembahasan
Penelitian ini disusun dalam beberapa bab dengan sistematika pembahasan sebagai berikut : BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
MENGENAI
WILAYAH
TERTINGGAL,
KESENJANGAN WILAYAH, DAN KETERKAITAN DESA-KOTA Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang terkait dengan pengembangan wilayah dan kota-kota kecil, masalah-masalah yang terkait dengan pengembangan wilayah, serta model-model pengembangan spasial yang ada. BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
Bab ini akan membahas karakteristik wilayah studi serta tinjauan atas wilayahwilayah sekitarnya, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Barat bagain selatan, dan Kabupaten
Garut.
Dibahas
pula
konsep-konsep
pembangunan
terkait
pengembangan wilayah serta dokumen-dokumen perencanaan terkait wilayah studi. BAB IV ANALISIS KETERKAITAN TIGA PUSAT PERTUMBUHAN KABUPATEN GARUT BAGIAN SELATAN Bab ini berisi analisis dari penerapan teori yang dibahas dengan wilayah studi yang diambil. Keterkaitan dianalisis dengan melihat keterkaitan internal wilayah, eksternal yaitu hubungan dengan wilayah di luar wilayah studi, dan akhirnya peran dari pusatpusat pertumbuhan terhadap internal wilayah dan eksternal wilayahnya. BAB V
PENUTUP
Pada bab ini disajikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan analisis studi yang dilakukan, kelemahan studi, serta rekomendasi yang dianggap sesuai sebagai bahan jika adanya studi lanjutan.
9
10