BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permukiman merupakan kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan makanan dan pakaian. Permukiman sebagai tempat untuk kelangsungan hidup manusia. Permukiman sebagai unit lingkungan yang memiliki pengaruh yang besar pada kesehatan, perilaku sosial, dan kesejahteraan umum di masyarakat. Hal itu mencerminkan nilai-nilai budaya, sosial dan ekonomi masyarakat yang merupakan bukti fisik dan sejarah dari peradaban suatu negara (Omole, 2010). Permukiman adalah wadah fisik dalam bentuk perumahan yang dilengkapi dengan sarana prasarana penunjang dan percampuran antara wadah dan isinya, termasuk manusia yang hidup bermasyarakat yang di dalamnya terkait dengan unsur budaya (Hadi, 2001). Permukiman dalam arti sempit dapat berupa bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal, sedangkan pengertian permukiman secara luas diartikan sebagai sesuatu yang terkait dengan tempat tinggal (Yunus, 1989). Permukiman dibedakan ke dalam permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan. Permukiman pedesaan merupakan permukiman yang terletak di luar kota dan masyarakatnya bekerja di sektor agraris (Daldjoeni, 1998). Karakteristik permukiman di desa berbeda dengan karakteristik permukiman di kota. Karakteristik kawasan permukiman di pedesaan umumnya ditandai dengan ketidakteraturan bentuk rumah. Karakteristik bentuk permukiman di desa pada umumnya kurang memenuhi syarat untuk konstruksi rumah yang kuat. Masalah permukiman di pedesaan dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat dan ketidakmampuan dalam menggali sumberdaya yang tersedia untuk memperbaiki rumah dan lingkungannya (Batubara, 1984). Permukiman di desa dengan penduduk yang masih tergolong homogen dan mayoritas penduduknya memiliki matapencaharian sebagai petani. Masyarakat di desa dengan kehidupan yang serba tradisional dan kebudayaan mereka yang masih erat kaitannya dengan alam. Lingkungan sebagai suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupan yang memiliki karakteristik dan fungsi yang terkait dengan timbal balik antara makhluk hidup yang menempatinya.
1
Kualitas lingkungan
permukiman dapat diartikan sebagai kemampuan suatu lingkungan permukiman di dalam menopang kebutuhan hidup masyarakat (Haryani, 1997). Parameter yang dapat digunakan untuk menilai kondisi suatu lingkungan permukiman dapat menggunakan penilaian secara fisik dengan variabel tingkat drainase, kondisi konstruksi bangunan, ketersediaan air bersih, pengelolaan sampah, ketersediaan listrik, serta status lahan (status bangunan) (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004). Penurunan kualitas lingkungan di kawasan permukiman ditandai dengan tingkat kepadatan bangunan dalam lingkungan yang tinggi, proporsi ruang terbuka hijau dan taman-taman yang mulai menipis, tidak mencukupinya sarana dan prasarana yang tersedia yang terdiri dari ketersediaan air bersih, listrik dan saluran pembuangan air kotor, menurunnya tingkat fasilitas umum dan hilangnya ciri khas dari suatu daerah permukiman (Budihardjo, 2004). Pendekatan ekologi digunakan dalam mengkaji kualitas lingkungan permukiman menggunakan tema analisis kegiatan manusia dengan lingkungan (human activity and environment analysis). Tema analisis ini digunakan karena jenis kegiatan manusia di permukaan bumi beranekaragam dan keberadaan mereka tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kinerja faktor lingkungan pada masing-masing daerah itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya sehingga timbul kinerja kegiatan manusia juga berbeda antara yang satu dengan yang lain (Yunus, 2010). Setiap wilayah mempunyai karakteristik yang bervariasi tergantung dengan potensi sumberdaya yang ada, seperti pada daerah karst di Kabupaten Gunungkidul yang memiliki karakteristik yang berbeda apabila dibandingkan dengan daerah yang bukan karst. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi topografinya dapat dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona utara sebagai zona Baturagung, zona tengah atau zona Ledok Wonosari dan zona selatan sebagai zona pegunungan seribu (kawasan karst Gunungsewu). Zona karst ini meliputi Kecamatan Saptosari, Paliyan, Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian selatan, dan Semanu bagian selatan (Haryono, 2000). Daerah karst terbentuk karena proses pelarutan batuan-batuan yang mudah larut misalnya batugamping, dolomit ataupun gipsum. Daerah karst mempunyai
2
karakteristik yang khas dengan bentukan-bentukan lahan, seperti telaga, dolin, gua karst dan lain-lain. Masalah kekeringan dan kekurangan air merupakan permasalahan yang sering dihadapi masyarakat di daerah karst Gunungkidul. Faktor geologi daerah karst yang tersusun dari batugamping dengan proses pelarutan yang tinggi menyebabkan daerah ini sering mengalami kelangkaan air. Masyarakat pada daerah karst memanfaatkan sumber-sumber air yang berasal dari telaga-telaga karst. Pemanfaatan air telaga di daerah karst digunakan oleh penduduknya untuk mencuci, mandi ternak, perikanan, irigasi, dan pertanian. Daerah permukiman di lingkungan karst dan bukan daerah karst tentunya terdapat perbedaan kualitas lingkungan permukiman. Bentuklahan dapat mempengaruhi perkembangan suatu permukiman (Noor, 2006). Bentuklahan yang beranekaragam akan membentuk permukiman yang berbeda-beda pula. Daerah karst Gunungkidul merupakan daerah kering dan tandus yang berada pada ancaman bencana kesulitan air bersih. Air menjadi faktor penentu kehidupan masyarakat. Sanitasi air menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan permukiman. Persepsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan permukiman akan berbeda menurut jarak. Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan studi tentang kualitas lingkungan permukiman untuk mengetahui kondisi lingkungan permukiman di daerah karst.
1.2 Rumusan Masalah Permukiman yang berkembang di desa umumnya berbeda dengan permukiman yang berkembang di kota. Karakteristik permukiman yang terdapat di desa bentuknya masih mempunyai kaitan yang erat dengan aspek budaya masyarakat setempat. Pembangunan permukiman di desa pada umumnya kurang memenuhi syarat konstruksi rumah yang baik. Masyarakat desa lebih mementingkan pembangunan permukiman dalam waktu yang cepat dan tidak memperhatikan konstruksi yang kuat. Selain itu, permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah karst Gunungkidul adanya telaga atau dolin yang digunakan tempat mencuci, mandi ternak, dan pertanian sehingga penggunaan deterjen, sabun dan pupuk dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Daerah karst di Gunungkidul
3
terdapat masalah kesulitan air bersih sehingga untuk memenuhi kebutuhan air ada yang harus membeli tangki-tangki air terlebih dahulu dan adanya masyarakat yang memanfaatkan PAH (Penampungan Air Hujan). Hal tersebut akan berpengaruh pada perilaku masyarakatnya terkait dengan kualitas lingkungan permukiman. Lingkungan permukiman yang baik memperhatikan aspek lokasi, akses terhadap pusat-pusat pelayanan (fasilitas pendidikan, kesehatan, pusat perdagangan, dll), memiliki akses terhadap air bersih, sanitasi yang baik, serta dilengkapi dengan fasilitas drainase. Berdasarkan permasalahan diatas dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas lingkungan permukiman di daerah karst berdasarkan jarak sumber air (telaga)? 2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan permukiman berdasarkan jarak sumber air (telaga)? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut, maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP
KUALITAS
LINGKUNGAN
PERMUKIMAN DI DAERAH KARST GUNUNGKIDUL”
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kualitas lingkungan permukiman di daerah karst Gunungkidul berdasarkan jarak sumber air (telaga). 2. Mengetahui
persepsi
masyarakat
terhadap
kualitas
lingkungan
permukiman di daerah karst Gunungkidul berdasarkan jarak sumber air (telaga).
4
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat utama dari penelitian ini adalah mengetahui kualitas lingkungan permukiman di daerah karst Gunungkidul dan mengetahui persepsi masyarakat terhadap kualitas lingkungan permukiman. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu diharapkan penelitian mengenai kualitas lingkungan permukiman di daerah karst dapat digunakan sebagai pengembangan wilayah atau pembangunan wilayah agar pengelolaan permukiman di daerah karst lebih tertata.
5