BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyelesaian masalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia memiliki sejarah yang cukup panjang. Sejak dimulainya pembicaraan mengenai perbatasan tahun 1970 dalam Treaty between the Republic of Indonesia and Malaysia Relating the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Straits of Malaca, kedua negara masih belum menetapkan maupun menyepakati sembilan titik batas wilayah negaranya, di antaranya Batas Laut Teritoral, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka. 1 Baik wilayah daratan maupun perairan sarat dengan potensi perekonomian dan sumber daya alam yang kemudian sering menjadi pemicu konflik, misalnya pada kasus perebutan klaim kepemilikan atas Perairan Ambalat yang diduga memiliki kandungan mineral yang tinggi. Masalah pergeseran patok perbatasan seperti pada wilayah Camar Bulan dan perairan Tanjung Datu juga menjadi contoh rentannya masalah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Patok perbatasan di kedua wilayah ini ditemukan bergeser sehingga Indonesia kehilangan 1.400 hektar (Camar Bulan) dan 80.000 m2 (Tanjung Datu).2 Masih banyak bagian-bagian wilayah perbatasan yang belum dengan tegas ditangani batas-batasnya antara kedua negara sehingga masih banyak masalah seperti pergeseran patok batas dan klaim kepemilikan. Kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia terdiri dari wilayah daratan di Kabupaten Malinau dan Nunukan, Kalimantan Utara, Pulau Berhala di Sumatra Utara, Pulau Anambas di Riau dan bagian utara Kalimantan Barat. Sementara di 1
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Tabloid Diplomasi No. 48 Tahun IV tanggal 15 Oktober-14 November 2011, Direktorat Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 6 2
A. Wibowo, „Pemerintah Harus Jelaskan Pergeseran Patok di Camar Bulan‟, Kompas.com (online), 10 Oktober 2011, http://internasional.kompas.com/read/2011/10/10/11582355/Pemerintah.Harus.Jelaskan.Pergeseran. Patok.di.Camar.Bulan, diakses 18 November 2014.
1
wilayah perairan kawasan perbatasannya adalah Selat Malaka yang membentang di Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.3 Letak wilayah yang berbatasan darat dengan Malaysia membuat interaksi antara kedua warga negara cukup aktif, terutama dalam hal perdagangan. Warga Indonesia di perbatasan memilih berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan bekerja di wilayah Malaysia karena akses transportasinya yang lebih mudah dibanding ke wilayah Indonesia yang memiliki fasilitas serupa. Seiring dengan perkembangan aktivitas perekonomiannya, masalah di kawasan perbatasan bertambah dengan adanya aktivitas ilegal seperti penebangan liar, pembakaran lahan, perdagangan wanita dan anak, penyelundupan, narkoba, dan lainnya. Untuk mengatasi hal ini pemerintah Indonesia memerlukan kerja sama yang sistematis, terintegrasi dan berkesinambungan dengan pemerintah Malaysia. Pemerintah Indonesia perlu menjadikan pembangunan di wilayah perbatasan sebagai salah satu prioritas utama dalam kepentingan nasional. Tidak hanya menjaga keamanannya tapi juga memperhatikan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia yang berada di kawasan perbatasan. Untuk itu, masalah perbatasan dengan Malaysia hingga saat ini masih terus berusaha dirundingkan oleh pemerintah kedua negara. Usaha perundingan masalah perbatasan kedua negara pertama kali dimulai pada tahun 1967 yaitu melalui Persetujuan mengenai Pengaturan Dalam Bidang Keamanan Daerah-daerah Perbatasan. Upaya formal lainnya yang telah dilakukan yaitu membentuk Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC) yang merupakan badan formal bilateral dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara.4 Kerja sama keamanan antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada tahun 1972 melalui pembentukan General Border Committee (GBC) dan High Level Committee (HLC). Kedua forum ini merupakan wadah bagi kedua negara untuk melakukan 3
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, hal. 6.
4
„TNI, MAF agree to step up military cooperation‟, The Jakarta Post (online), 28 November 2013, http://www.thejakartapost.com/news/2013/11/28/tni-maf-agree-step-military-cooperation.html diakses 18 November 2014.
2
koordinasi dan kebijakan lintas-sektoral bilateral yang dilaksanakan fungsi teknis dengan melibatkan berbagai unsur antara lain Angkatan Bersenjata, Kepolisian, Kemendagri, Kemenlu dan kementerian terkait dari kedua negara. Sehingga masalah perbatasan yang dapat ditangani tak hanya mencakup masalah keamanan tradisional seperti yang ditangani oleh HLC tapi juga masalah-masalah kesejahteraan sosial yang akan dikoordinasi oleh GBC. GBC Malindo meliputi bidang operasi dan non operasi yang dilakukan oleh instansi-instansi di bawahnya yaitu Coordinated Operations Control Committee (COCC), Jawatan Kuasa Latihan Bersama (JKLB), Joint Police Cooperation Committee (JPCC) dan Kumpulan Kerja Sosio-Ekonomi (Sosek Malindo).5 Pembentukan Sosek Malindo diawali dengan munculnya ide untuk memperkuat kerja sama sosial ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia terutama di Kalimantan-Sarawak/Sabah. Wilayah ini merupakan pintu masuk lintas darat kedua negara sehingga memiliki aktivitas perdagangan dan ekonomi yang cukup sibuk. Sosek Malindo kemudian resmi berdiri saat sidang Staff Planning Committee
(SPC)
Malindo
ke-6
pada
21
Februari
1984.
Tujuan
awal
pembentukannya adalah agar kerja sama sosial ekonomi tersebut berfungsi di tingkat nasional dan provinsi masing-masing negara, terutama di kawasan Kalimantan Barat dan Sarawak. Sidang General Border Committee (GBC) Malindo ke-24 tahun 1996 akhirnya meresmikan Sosekda Malindo tingkat provinsi yang pertama yaitu SabahKalimantan Timur. Pembentukan Sosek Malindo mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama Sub Regional.6 Perjanjian kerja sama ini merupakan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan
5
„RI-Malaysia Menggelar Sidang ke-39 GBC Malindo di Jakarta‟, Portal Nasional Republik Indonesia (online), 20 Desember 2012, http://www.indonesia.go.id/in/kementerian/kementerian/kementerianpertahanan/2281-pertahanan-dan-keamanan/12050-ri-malaysia-menggelar-sidang-ke-39-gbc-malindodi-jakarta diakses 9 September 2014. 6
H. Batubara, „Rumit dan Sengkarutnya Pengelolaan Wilayah Perbatasan‟, WilayahPerbatasan.com (online), 3 Juli 2013, http://www.wilayahperbatasan.com/rumit-dan-sengkarutnya-pengelolaanwilayah-perbatasan/ diakses 18 September 2014.
3
masyarakat perbatasan, sekaligus dapat mempererat persaudaraan dan kekeluargaan antar kedua negara.7 Pada tahun 1985 Sosek Malindo kemudian dibagi menjadi Kelompok Kerja (KK atau Pokja) berdasarkan daerah atau provinsi yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sosekda Malindo terdiri dari empat KK yaitu Sabah-Kalimantan Timur, Serawak-Kalimantan Barat, Johor-Riau8 dan Malaka-Kepulauan Riau. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perluasan kerja sama perbatasan Malaysia dan Indonesia hingga mencakup berbagai jenis bidang yaitu ideologi, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Sosekda Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang dibentuk sejak tahun 1995 sudah menghasilkan kesepakatan dalam perundingannya untuk meningkatkan kualitas pos penjaga perbatasan, menginisiasi berbagai kerja sama seperti dalam bidang peternakan, investasi dan pemberdayaan perempuan. Sementara itu, tahun 2012 lalu merupakan pertemuan ke-28 Sosek Malindo dilaksanakan. Sayangnya belum banyak hasil dari kesepakatan ini yang dapat diimplementasikan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya pada masalah perdagangan, terdapat perbedaan persepsi mengenai batas maksimal belanja harian yang tidak dikenai cukai antara masyarakat Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 2013, Sosek Malindo menyepakati perubahan batas maksimal nominal transaksi yaitu 600 RM dari sebelumnya 500 RM. Malaysia mengaku belum mendapatkan arahan mengenai adanya perubahan batas maksimal nominal belanja ini sehingga Pejabat Kastom (Bea Cukai Malaysia) di Pelabuhan Tawau, Sabah, sering menangkap TKI yang akan kembali ke kampung halaman dan membawa barang-barang yang harganya melebihi batas maksimal yang telah diizinkan.
7
Novianti, „Kedudukan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Kerjasama Internasional‟, Jurnal Negara dan Hukum, vol. 3, no. 2, November 2012, hal. 173.
8
„Indonesia-Malaysia Segera Bahas Tapal Batas‟, NU Online, 13 November 2008, http://www.nu.or.id/ a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,14686-lang,id-c,wartat,Indonesia+Malaysia+Segera+Bahas+Tapal+Batas-.phpx diakses 18 September 2014.
4
Untuk itu, skripsi ini akan fokus pada analisis terhadap hal-hal apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Sosek Malindo, baik dalam proses pembuatan kebijakannya maupun pelaksanaan di lapangan. Banyak hasil kesepakatan yang belum terlaksana di lapangan, misalnya mengadakan bakti sosial atau membangun Pos Lintas Batas Darat (PLBD). Begitu juga dengan kasus penyelundupan, perdagangan manusia dan anak, serta kebakaran lahan yang masih saja terjadi. Kesejahteraan di kawasan perbatasan, khususnya Indonesia, juga belum banyak mengalami peningkatan walaupun sudah banyak adanya kerja sama di bidang kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Dengan memaparkan secara ringkas latar belakang pembentukan Sosek Malindo, menarik untuk melihat faktor apa saja yang menghambat berjalannya Sosek Malindo ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis memilih “faktor-faktor apa saja yang menghambat kerja sama KK Sosek Malindo?” sebagai rumusan masalah dalam skripsi ini.
1.3 Landasan Konseptual
1.3.1
Teori Rezim Internasional
Teori ini berpegang pada asumsi adanya rational choices pada salah satu faktor alasan adanya institusi internasional. Keputusan suatu negara untuk bergabung dalam suatu institusi internasional juga berdasarkan perhitungan rasional mengenai keuntungan yang akan didapat. Teori ini erat kaitannya dengan perspektif realisme struktural, yang percaya bahwa institusi internasional merupakan institusi yang stabil, terbentuk lewat peran politik individual aktor-aktor di dalamnya.9 Institusi 9
T. Gehring. Dynamic International Regimes: Institutions for International Environmental Governance, Peter Lang, Swiss, 1994, hal. 23.
5
internasional terdiri dari berbagai macam aktor-aktor, sehingga jika negara-negara maju berperan penting dalam institusi tersebut maka akan tergambarkan dari kebijakan di dalamnya. Aktor dalam hal ini digambarkan memiliki prioritas dan preferensi yang jelas atas berbagai alternatif, yang dipilih dengan rasional. Hal ini membuat aktor diberi istilah „egois‟, mendasarkan pilihannya pada berbagai keuntungan pribadi yang mungkin didapat.10 Pendekatan ini juga menekankan adanya anarki, yaitu pola struktural yang jelas agar terwujud keteraturan dunia. Institusi dan norma internasional hanya dapat terwujud dengan adanya kemampuan dan keinginan dari masing-masing negara anggota. Tata anarki percaya akan self-help, yaitu “whether those units live, prosper, or die depends on their own efforts.” Negara dipercaya tidak dapat mengubah struktur dalam sistem internasional secara signifikan. Aturan-aturan struktural tersebut yang nantinya akan menjadi pedoman bagi aktor untuk membuat keputusan.11
Menurut Krasner, international regimes are defined as principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area. Hal inilah yang membedakan rezim internasional dengan perjanjian lainnya yang bersifat temporer, dapat berubah sesuai kekuasaan atau kepentingan yang ada di dalamnya. Sementara rezim itu sendiri didefinisikan oleh Stephen Krasner sebagai berikut, “Regimes can be defined as sets of implicit or explicit principles, norms, rules and decision-making procedures around which actors’ expectations converge in a given area of international relations. Principles are belief of fact, causation and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of right and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decisionmaking procedures are prevailing practices for making and implementing collective choice.” 12
10
T. Gehring, hal. 24.
11
T. Gehring, hal. 25.
12
S. D. Krasner, „Structural Causes and Regime Consequences: Regime as Intervening Variables‟, International Organization, vol. 36, no. 2, 1986, hal. 186 diunduh dari http://www.jstor.org/stable/2706520 pada 18 Maret 2015.
6
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teori rezim internasional erat kaitannya dengan proses pembuatan keputusan dalam rezim. Prinsip, norma, peraturan dan proses pengambilan keputusan merupakan empat unsur penting dalam rezim. Perubahan prinsip dan norma adalah perubahan atas rezim itu sendiri. Namun peraturan dan proses pembuatan keputusan dapat disesuaikan dengan norma dan prinsip yang dianut oleh rezim tersebut. 13
1.3.2 Perspektif Realisme Struktural
Dalam teori rezim internasional yang dikemukakan oleh Krasner terdapat dua akar teori yang cukup penting, yaitu realisme struktural dan pendekatan isu. Realisme struktural lebih banyak membahas masalah kapabilitas unit-unit yang dimiliki negara agar dapat bekerja sama dengan baik dalam rezim. Sementara pendekatan isu membahas posisi negara yang terus berubah sesuai dengan isu yang dibahas dalam rezim. Negara memiliki posisi yang berbeda dalam setiap isu tergantung pada pengaruh negara yang bersangkutan dalam isu tersebut. Untuk itu pembahasan mengenai struktur Sosek Malindo akan diuraikan melalui pendekatan realisme struktural yang lebih relevan. Selain itu dalam Sosek Malindo kedua negara anggota memiliki satu isu yang sama yaitu kesejahteraan di kawasan perbatasan sehingga akan kurang relevan jika menggunakan pendekatan isu. Akar teori yang dikembangkan oleh Waltz, yaitu realisme struktural, menganggap bahwa struktur dari sistem internasional merupakan suatu variabel yang stabil, “that is formed by the co-action of individual actors and intervenes between their actions and political outcomes.”14 Terdapat tiga ide utama yang akan dibahas dalam teori ini yaitu mengenai kapabilitas masing-masing unit dalam rezim, preferensi yang egois dan rasional, dan sistem anarkis dan self-help.
13
S. D. Krasner, hal. 188.
14
T. Gehring, hal. 23.
7
Argumen utama dari teori ini adalah bahwa negara sangat memperhatikan balance of power dan berkompetisi untuk meraih kekuasaan atau sekurang-kurangnya agar negara tidak kehilangan kekuasaannya. Akibat kompetisi ini negara hanya memiliki sedikit alternatif dalam mempertahankan kekuasaannya, yaitu dengan meningkatkan sumber daya yang dimiliki. Namun kompetisi atas kekuasaan tersebut membuat keadaan semakin berbahaya karena adanya kemungkinan negara saling melawan satu sama lain.15 Kompetisi ini dilakukan demi keberlangsungan (survival) negara tersebut dan penting untuk mengembangkan kekuatan yang dimiliki agar dapat melindungi diri sendiri jika diserang oleh negara lain. Bagi realis struktural, kekuasaan adalah cara untuk mendapatkan tujuan akhirnya, yaitu menjaga keberlangsungan negara itu sendiri.16
1.3.3 Variabel Perkembangan Rezim
Karakteristik rezim dengan empat unsur pentingnya yang mengikat tidak membuat rezim lepas dari berbagai perubahan agar dapat mencapai tujuannya. Menurut Krasner, rezim berada di antara dua sisi, yaitu basic causal factors, yang merupakan prinsip-prinsip umum dalam hubungan antar negara seperti kekuasaan atau kepentingan, dengan hasil dan kebiasaan yang berasal dari rezim tersebut.17 Untuk menjelaskan konsep ini, Krasner mengelompokkannya menjadi lima variabel basic causal factors, sehingga dapat menjelaskan apakah faktor tersebut dapat memberi hasil dan kebiasaan dalam rezim. Kelima faktor yang dimaksud adalah egoistic self-interest, kekuasaan, norma, kebiasaan, dan pengetahuan. Penulis akan menggunakan konsep ini sebagai dasar untuk menjelaskan hambatan yang ada dalam Sosek Malindo, dengan menganalisis masing-masing faktor sesuai perkembangan 15
J.J. Mearsheimer, „Structural Realism‟, dalam T. Dunne, dkk, International Relations Theory: Discipline and Diversity, 3rd edn, Oxford University Press, Oxford, 2013, hal. 71. 16
T. Dunne, dkk, hal. 72.
17
S. D. Krasner, hal. 195.
8
rezim. Konsep ini merupakan faktor non organisasional yang menghambat kinerja Sosek Malindo karena hanya akan membahas mengenai dinamika dan perkembangan berjalannya rezim di lapangan.
1.4 Argumen Utama
Sebagai institusi yang menangani masalah perbatasan, khususnya dalam hal perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan, fungsi Sosek Malindo belum terlaksana sepenuhnya karena terbentur berbagai hambatan. Hambatan dalam Sosek Malindo terbagi menjadi dua, yaitu faktor organisasional dan faktor non organisasional. Yang dimaksud dengan faktor organisasional adalah hambatan yang berasal dari struktur dan aturan-atura dalam Sosek Malindo, sementara faktor non organisasional adalah hambatan yang berasal dari dinamika perkembangan rezim. Dari segi struktur rezim, struktur Sosek Malindo membuat proses pengambilan keputusan atau pembahasan masalah membutuhkan waktu yang lama. Hal ini membuat banyak masalah di perbatasan yang akhirnya belum dibahas dan pelaksanaan hasil keputusan yang tertunda tanpa ada pengawasan lebih lanjut. Kurangnya peran pemerintah pusat juga membuat berjalannya Sosek Malindo menjadi tersendat. Sementara itu dari segi dinamika perkembangan rezim terdapat lima faktor yang menghambat kerja sama tersebut yaitu pertama, adanya perbedaan prioritas kepentingan antara Indonesia dan Malaysia; kedua, daya tawar Indonesia yang lebih rendah dibanding Malaysia sehingga memengaruhi proses pembuatan keputusan dalam rezim; ketiga tidak ada sistem sanksi dan pengawasan dalam pelaksanaan Sosek Malindo; keempat masih maraknya perdagangan ilegal yang menyulitkan pemerintah untuk menerapkan hasil keputusan Sosek Malindo; dan kelima penerapan otonomi daerah yang kurang tepat sasaran untuk wilayah perbatasan.
9
1.5 Metodologi Penelitian
Penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu metode penelitian sosial yang mendasarkan pada pengamatan-pengamatan non-kuantitatif, yang dilakukan di lapangan dan dianalisis dengan cara non-statistik.18 Metode ini bersifat terbuka sehingga dapat diperoleh berbagai persepsi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Di samping itu juga akan dilakukan studi literatur melalui riset dari berbagai buku, jurnal dan media massa cetak maupun elektronik mengenai proses pembentukan Sosek Malindo, Sosekda dan hasil-hasil kesepakatan dalam berbagai pertemuannya. Selain itu penulis akan mewawancarai perwakilan pemerintah daerah yang termasuk dalam tim pelaksana Sosek Malindo dari Indonesia untuk mengetahui proses pelaksaan Sosek Malindo, baik saat di lapangan maupun dalam bernegosiasi dengan Malaysia. Dengan demikian penulis bisa mendapatkan data untuk mengetahui masalah-masalah yang ada di perbatasan dan perkembangan rezim Sosek Malindo. Selanjutnya penulis akan menganalisis apa saja faktor yang menghambat implementasi hasil kesepakatan tersebut sesuai dengan teori yang sudah dijelaskan dalam landasan konseptual. Struktur Sosek Malindo akan dibahas terlebih dahulu untuk mengetahui kelemahan dalam strukturnya, kemudian mengelompokkan faktor-faktor penghambat sesuai landasan konseptual.
1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu pengantar, dua bab pembahasan, dan kesimpulan. Latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan dijelaskan dalam bab satu. Penulis memulai dengan gambaran masalah di kawasan perbatasan serta mengapa topik ini penting dan menarik untuk dibahas. Setelah itu akan ada rumusan masalah yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini, yang kemudian dijawab lewat 18
D. Permadi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi, Institute of International Studies, Yogyakarta, 2011, hal. 44.
10
berbagai konsep dalam kerangka konseptual. Penulis juga memiliki argumen utama sebagai dasar untuk mengembangkan analisis pada bab selanjutnya. Kemudian penjelasan mengenai metodologi data yang mendukung argumen dan analisis dalam penulisan skripsi ini. Sementara sistematika penulisan akan memberi penjelasan mengenai struktur per bab. Di bab dua, penulis akan memaparkan faktor organisasional yang menghambat berjalannya Sosek Malindo dengan menganalisis susunan strukturnya, terutama karena proses pengambilan keputusan yang memakan waktu cukup lama menurut struktur Sosek Malindo. Penulis akan menggunakan tiga ide utama dari perspektif struktural realisme yaitu kapabilitas unit, preferensi egois dan rasional, serta sistem anarki dan self-help, untuk lebih lanjut menganalisis apa saja masalah yang ada dalam struktur Sosek Malindo. Kemudian, penulis akan menganalisis faktor-faktor non organisasional yang menghambat berjalannya Sosek Malindo berdasarkan lima indikator yang menentukan dinamika suatu rezim internasional, yaitu egoistic self-interest, kekuasaan, norma, kebiasaan, dan pengetahuan. Sehingga, faktor-faktor hambatan dapat dianalisis dengan lebih lengkap dari proses berjalannya Sosek Malindo sebagai rezim. Pada bab terakhir, penulis akan menyimpulkan hambatan dalam rezim Sosek Malindo dan hubungannya dengan disiplin ilmu hubungan internasional, serta saran bagi riset selanjutnya.
11