BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia termasuk negara yang mempunyai masalah sosial yang cukup besar dan
sangat pelik seperti perekonomian yang tidak menentu, politik yang rumit, tingkat pengangguran yang semakin tinggi, ragam istiadat dan kebudayaan lokal semakin pudar, anak-anak jalanan dan gelandangan yang meningkat dan masih banyak lagi, tentu saja membutuhkan perhatian yang tinggi. Dalam kesempatan ini akan membahas tentang permasalahan sosial khususnya penyandang cacat mental atau sekarang disebut sebagai tuna grahita. Saat ini penyandang tuna grahita yang ada di Indonesia memerlukan perhatian Pemerintah maupun swasta baik dalam hal sarana maupun prasarana. Didalam UU penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melaksanakan secara selayaknya yang terdiri dari : penyandang cacat fisik dan cacat mental (UU penyandang cacat Bab I, ketentuan umum pasal 1 ayat 1). Tuna grahita termasuk jenis penyandang cacat mental yang juga mengambil sumbangan bagi masalah sosial yang ada di Indonesia. Permasalahan keadaan diatas bukan berarti harus dihindari ataupun dianggap tidak ada, hak-hak dari penyandang cacat juga merupakan hak dasar mereka sebagai seorang warga Negara sebagai manusia ciptaan Tuhan. Sebagai pihak yang kurang dapat menjalankan fungsi sosialnya secara baik maka mereka perlu mendapatkan pengakuan dan keberadaan yang sama dengan manusia normal secara hukum hal ini sesuai dengan sistem perundang-undangan Negara Republik Indonesia yang termuat dalam ayat 2 pasal 27 UUD 45 yang menyebutkan bahwa tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Penyandang tuna grahita sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang kurang mampu melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik, mempunyai kesamaan kesempatan dengan anggota masyarakat yang hidup secara normal. Kesamaan kesempatan akan memberikan peluang bagi penyandang cacat untuk mendapatkan berbagai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan yaitu termasuk peningkatan sumber daya manusia khususnya untuk tuna grahita. Termasuk
I-1
didalamnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, ketrampilan, sesuai dengan kemampuannya. Pengertian dari penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya1. Sedangkan pengertian cacat mental atau tuna grahita adalah lemah ingatan yang terjadi di dalam otak; baik bawaan atau keturunan maupun yang diperoleh dari usia muda, yang mengakibatkan gangguan fisik watak, kepandaian, kecerdasan dan perkembangannya2. Kita sebagai manusia yang dikarunia oleh Tuhan yang secara fisik baik adanya maka tidak ada salahnya bila kita ikut peduli terhadap nasib mereka, dengan membantu pemerintah melalui program-program yang nantinya dapat membantu anak tuna grahita agar dapat terjun dan membaur ke dalam masyarakat luas dalam berbagai bidang. Penderita tuna grahita memiliki ciri-ciri menurut G.H.Dicke, 2000 hal 52 adalah sebagai berikut : 1. Ciri-ciri Umum
Mudah lelah apabila dihadapkan pada persoalan yang memerlukan pikiran.
Mudah melupakan pelajaran-pelajaran yang diberikan secara sistematis.
Senang mendengarkan cerita-cerita khayal.
Pendapatnya kurang logis.
Kecerdasannya lebih rendah dari pada anak normal.
2. Aspek-aspek kejiwaan anak cacat mental
Sukar diberi peraturan yang menentukan.
Sukar diberi tugas yang tidak konkrit.
Sukar diberi pelajaran disiplin pribadi.
Tidak dapat lepas dari pengawasan.
Sering tidak dapat menerima pelajaran bersama-sama dengan teman sekelas.
Penyesuaian sosialnya kurang fleksibel.
Tidak dapat mengkonsentrasikan perhatiannya terhadap suatu masalah/peristiwa.
Perasaan baik buruk tumpul. 1
Direktorat Jenderal Pelayan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI, 2003, hal 2.
I-2
Daya kreatifitas lemah.
3. Aspek-aspek emosi anak-anak cacat mental
Emosi cepat terganggu dan mengalami goncangan.
Cepat marah.
Cepat bingung.
Cepat merasa iri, sensitif atau perasaan peka.
Mudah risau, mudah gusar dan gugup.
Ada bermacam-macam yang menyebabkan si anak menjadi tuna grahita yaitu faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor dari luar ( anak belum lahir ) 1. Ibu sakit dengan penyakit yang dapat membahayakan bayi di dalam rahim seperti penyakit Rubella, influenza, TBC ( penyakit koch ), dan lues (penyakit kotor). 2. Ibu minum obat-obatan tanpa seizin dokter atau bidan. 3. Keracunan selama ibu mengandung, atau radiasi misalnya ibu dirontgen. 4. Ibu minum banyak minumam keras selama mengandung. 5. Ibu makan-makanan kurang bergizi, misalnya kurang bervitamin atau kurang zat besi atau putih telur. 6. Ibu waktu hamil jatuh atau mengalami kecelakaan, sehingga janin menderita luka otak ( brain darmage ). Masa kelahiran 1. Patrus/kelahiran terlalu lama, sehingga bayi terlalu lama menderita dan mungkin tidak dapat cukup oksigen ( O2 ). Ini bisa merusakkan sel-sel otak. 2. Kelahiran dengan bantuan alat-alat misalnya tang bisa menyebabkan kerusakan otak. 3. Kelahiran sebelum waktunya ( prematur ). 4. Tali pusat, kadang-kadang tali pusat menutupi saluran pernafasan. 5. Pendarahan dalam otak. Setelah kelahiran 1. Bila anak cukup lama mengalami suatu penyakit dengan komplikasi seperti meningitis ( radang pada selaput otak ) dan encephalitis ( radang dalam otak ). 2. Tumor dalam otak dapat menyebabkan Hydrocephalus. 2
G.H.Dicke,” Pendidikan Luar Biasa”, 2000 hal 46.
I-3
3. Minuman dan makanan kurang bergizi, misalnya avitaminosis. 4. Kecelakaan sehingga menyebabkan brain darmage ( kerusakan otak ). Sedangkan untuk faktor dari luar merupakan faktor dari dalam ( bawaan / keturunan ) dari keluarga, ada kalanya si anak yang menderita cacat mental tidak diterima oleh keluarga mereka, hal tersebut akan membuat malu bagi keluarga dan orang tua sianak akan melakukan berbagai cara untuk menutupi hal ini. Dalam ilmu ortopedagogik keterbelakangan mental dikelompokkan dalam3 1. Debilitas ( debility ) atau cacat mental ringan. IQ = 80% - 60% Perkembangan agak lambat, biasanya dilihat dalam perkembangan bahasa. pada umumnya sukar sekali bagi mereka memakai dan mengerti pengertian yang abstrak seperti membicarakan penentu nilai diskriminasi. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mengontrol diri, kemampuan koordinasi dan adaptasi yang wajar. 2. Imbilitas ( imbecility ) atau cacat mental sedang. IQ = 60% - 20% Ekspresi wajahnya kosong dan ketolol-tololan, daya tahan terhadap penyakit kurang sekali, perkembangan jasmani dan rohaninya sangat lambat, empat puluh persen dari mereka itu menderita epilepsi atau ayan 3. Idiot ( idioty ) atau cacat mental berat. IQ = 20% kebawah Si anak tidak bisa mengerti, dan tidak bisa diajari apa-apa. Pada umumnya dia tidak mampu menjaga diri dan melindungi diri sendiri terhadap bahaya-bahaya dari luar. Sering sakit-sakitan, diferensiasi antara kelamin laki-laki dengan perempuan sering tidak jelas. Seorang anak yang yang debil sampai batas tertentu dapat dididik dan dilatih, dan seorang anak yang imbisil hampir-hampir tidak dapat dididik atau dilatih sedangkan untuk anak yang idiot sama sekali tidak dapat dididik dan dilatih (Eijsenring, 1993: 27 ). Bagi anak yang cacat mental ringan atau imbisil melakukan sesuatu dulu baru kemudian berpikir, tetapi biasanya dalam kategori ini masih mungkin tercapai suatu tingkat yang dapat dibandingkan dengan anak “normal” berumur 11 sampai 12 tahun. Secara praktis orang cacat mental ringan masih berprestasi cukup banyak dengan bimbingan sedikit 3
Dr. Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiwaan. (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hal 109-112).
I-4
demi sedikit langkah demi langkah, dan mungkin dapat berdikari untuk dirinya sendiri itu saja merupakan berkembangan yang sangat berarti. Salah satu wujud kepedulian Pemerintah dalam penanganan penyandang cacat tuna grahita yaitu melalui Balai Besar Rehabilitasi yang dibawah naungan Departemen Sosial RI. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “ Kartini “ ini terletak di kota Temanggung, yaitu sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II di wilayah Jawa Tengah tepatnya di lereng sebelah timur laut gunung Sumbing dan gunung Sindoro. Disebabkan letak kota di lereng gunung itulah maka kota ini memiliki suhu yang sejuk dan nyaman. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” yang merupakan unit pelaksana teknis di bidang rehabilitasi dan pelayanan sosial, yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI. Nama Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung didasarkan atas kepmensos R.I.No.56/ HK/ 2003. Lembaga ini merupakan pelayanan khusus kepada para penyandang tuna grahita / cacat mental yang mampu didik (debil) dan mampu latih (imbisil). Seperti banyak diketahui bahwa penyandang tuna grahita dilihat dari aspek kepribadiannya, termasuk golongan individu yang tidak sesuai perkembangan pribadinya, terutama yang bertalian dengan pertumbuhan usia atau kedewasaan umur tidak diimbangi kedewasaan sikap sosial. Karena penderitaan cacat mental dalam berbagai faktor tidak terdapat keselarasan, maka fungsi yang menyangkut potensi fisik, mental dan sosial didasarkan atas kemungkinan yang sangat terbatas untuk dikembangkan. Oleh karena itu arah pelayanan di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung secara keseluruhan adalah agar para penyandang cacat dapat mempunyai kemampuan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat guna mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak. Dibanding dengan pusat-pusat rehabilitasi lain di Indonesia, balai besar rehabilitasi bina grahita adalah yang paling tua usianya yaitu 100 tahun di tahun 2004. Apabila ditengok kebelakang awal perintisan balai besar rehabilitasi sosial bina grahita “ kartini” dimulai pada masa pemerintahan Belanda tepatnya pada tanggal 15 September 1904 ( pada perkembangannya tanggal ini digunakan sebagai hari ulang tahunnya ). Dalam waktu yang sangat panjang, lembaga ini telah melalui banyak perubahan dan
I-5
perkembangan, baik perubahan nama lembaga, kedudukan, tugas dan fungsi serta tempat tinggalnya, selain itu juga perkembangan di bidang yang lain seperti pegawai, pola pelayanan, jumlah penyandang cacat tuna grahita, dan sarana dan prasarana. Faktor lain yang turut mendasari rencana melakukan penataan balai besar rehabilitasi sosial bina grahita ini adalah semakin bertambahnya jumlah penyandang cacat tuna grahita yang masuk yang tidak diimbangi jumlah penyandang yang keluar disertai dengan sarana dan penataan yang tidak memadai, dibawah ini adalah tabel jumlah penyandang cacat yang datang. Tabel 1. Jumlah penyandang cacat tahun 2003 Jenis kelamin
Jumlah
%
Pria
55
63,96
Wanita
31
36,04
Jumlah
86
100,00
Sumber kantor administrasi
Tabel 2. Jumlah penyandang cacat tahun 2004 Jenis kelamin
Jumlah
%
Pria
135
61,93
Wanita
83
38,07
Jumlah
218
100,00
Sumber kantor administrasi
Jadi dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penyandang cacat tiap tahunnya rata-rata 132 anak atau 43,42% disebabkan pada tahun 2004 ini jumlah penyandang cacat yang masuk mengalami kelonjakan sangat drastis, sebenarnya berdasarkan hasil wawancara dengan pihak pengelola, jumlah penyandang cacat yang masuk untuk tiap tahunnya tidak dapat diprediksi secara tepat, asumsi diatas penulis ambil berdasarkan data terakhir yang ada.
I-6
Tabel 3. Penyaluran pasien berdasarkan klasifikasi dan kualifikasi tahun 2004 no
klasifikasi
kualifikasi A
B
jumlah
ket
C
f
%
f
%
f
%
1
Debil
3
17,64
2
11,76
2
11,76
7
41,18
2
Imbisil
-
-
1
5,89
9
52,95
10
58,82
Jumlah
3
17,64
3
17,65
11
64,71
17
100
Sumber kantor administrasi
Tabel 4. Jumlah pasien yang keluar tahun 2004 no
Jenis pekerjaan
f
%
1
Kembali pada keluarga
35
89,76
2
Kerja di bidang jasa
2
11,12
3
Buka usaha sendiri
1
5,56
4
Kerja di industri rumah
1
5,56
39
100
keterangan
tangga Jumlah Sumber kantor administrasi
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang keluar lebih banyak yang keluar atas kemauan sendiri atau kemauan keluarganya sedangkan untuk pasien yang keluar berdasarkan penyaluran lebih sedikit disebabkan karena benar-benar didasarkan atas perkembangan si pasien tersebut. Pada tabel 3 menunjukkan bahwa pasien yang disalurkan paling banyak berkualifikasi salur C, artinya pasien tidak mempunyai ketrampilan khusus dan hanya bisa melaksanakan realisasi diri. Kondisi tersebut bukan merupakan kegagalan suatu program, tetapi memang keadaan atau kemampuan pasien yang sudah maksimal dan sulit untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagian gedung yang digunakan seperti asrama untuk anak maupun untuk orang tua pendamping dan area servis sebagai penunjang kegiatan merupakan bangunan tua yang membutuhkan penataan kembali dengan tidak menghilangkan unsur-unsur
I-7
peninggalan Belanda, kurangnya ruang-ruang servis sebagai penunjang aktifitas , kurangnya area parkir untuk umum maupun untuk pegawai, kurangnya ruang garasi dan gudang, adanya ruang yang tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya dan masih ada ruang yang dibutuhkan tetapi belum ada di lingkungan balai rehabilitasi , antara komplek I, II, dan III terpisah sehingga memberikan kesan aksesbilitas yang tidak efektif. Dengan penataan yang baik akan memberikan kenyamanan dan aksesbilitas yang mudah dicapai di setiap antar fungsi ruang bagi penyandang cacat itu sendiri maupun bagi pihak pengelolanya maupun tamu yang datang.
1.2
Penataan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” di
Temanggung Jawa Tengah Konsep penataan balai besar rehabilitasi social bina grahita “kartini” Temanggung mengacu pada latar belakang yaitu : ∗
Jumlah penyandang cacat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang tidak diimbangi dengan penyandang cacat yang keluar, sehingga mengakibatkan kekurangan pada zona asramanya terutama pada asrama kolektif, dalam hal ini satu kamar didiami oleh 16 anak baik putra maupun putri dan hanya ada satu yaitu berada di komplek I.
∗
Kurangnya ruang-ruang service seperti gudang dan garasi.
∗
Untuk asrama kolektif letak ruang ganti dengan kamar mandi kurang efektif, ruang ganti berada di dalam kamar sedangkan kamar mandi ada di luar, seharusnya ruang yang masih memiliki hubungan seperti ini diletakkan berdampingan sehingga memudahkan si anak untuk mengaksesnya karena asrama kolektif didiami oleh anakanak yang membutuhkan perhatian dari orang tua pendamping.
∗
Di balai besar rehabilitasi ini terbagi dalam beberapa komplek yaitu komplek I untuk zona asrama, komplek II untuk zona pendidikan dan komplek III untuk workshop atau praktek ketrampilan. Awal mula balai rehabilitasi didirikan berada di komplek II yaitu di zona pendidikan yaitu berfungsi sebagai lembaga sosial tempat penampungan untuk anak-anak telantar, dengan berjalannya waktu berubah menjadi rumah rehabilitasi untuk penyandang cacat tuna grahita dan komplek pun semakin luas yaitu komplek I dan komplek III hingga sekarang. Dengan komplek yang terpisah ini tentu
I-8
saja akan membawa permasalahan yang tidak disadari oleh pihak pengelolanya seperti tekanan psikologis bagi si anak ketika melewati pemukiman penduduk, komplek berada di pinggir jalan raya yang akan membahayakan si anak ketika menyeberangi jalan raya, dengan komplek yang terpisah mengakibatkan antara anak yang tinggal di komplek I, II, dan III kurang komunikasi dan kesan yang ditimbulkan rasa kekeluargaannya kurang, dan hanya memiliki satu dapur yang melayani ketiga komplek tersebut sehingga penghuni komplek II dan III harus pergi ke komplek I.
1.3
Arsitektur Kolonial Belanda sebagai Dasar Perancangan Secara garis besar arsitektur kolonial Belanda memiliki pengaruh yang besar bagi
perkembangan sejarah di Indonesia terutama dalam bidang arsitekturnya, di setiap kota pasti memiliki bangunan yang merupakan hasil karya kolonial Belanda. Kebanyakan bangunan peninggalan kolonial Belanda cocok dengan keadaan alam dan iklim tropis yang ada di Indonesia dan mampu mewadahi semua kegiatan sosial budaya di Indonesia, selain itu juga arsitektur kolonial Belanda mampu memberikan tingkat kenyamanan yang tinggi yaitu melalui sistem penghawaan dan pencahayaan dengan adanya bukaan jendela yang tinggi dan lebar agar sirkulasi udaranya dapat berganti dan pencahayaan dapat masuk melalui ventilasi maupun lewat bukaan jendelanya. Rehabilitasi bina grahita dirintis oleh orang Belanda sehingga sebagian bangunan merupakan peninggalan Belanda terutama pada komplek II pada zona pendidikan yang nantinya akan dipertahankan sehingga kesan kolonial Belanda masih ada. Bentuk bangunan yang simetris sangat cocok untuk diterapkan pada penataan balai rehabilitasi bina grahita khususnya pada zona kantor sebagai pemisah antara asrama putra dan asrama putri. Untuk pencahayaan akan diterapkan pada setiap bukaan jendela dan ventilasi di tiap masing-masing bangunan karena bangunan kolonial Belanda identik dengan garis horizontal dan garis vertikal yang proposional yang sangat sesuai dengan iklim tropis di Indonesia.
I-9
1.4
Rumusan Masalah Bagaimana menata Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” di
Temanggung Jawa Tengah yang dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada di zona asrama, zona pendidikan dan workshop, dengan arsitektur kolonial Belanda sebagai dasar perancangan.
1.3
Tujuan Menata Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” di Temanggung
Jawa Tengah yang dapat meningkatkan kualitas ruang yang ada di zona asrama, zona pendidikan, dan workshop, dengan arsitektur kolonial Belanda sebagai dasar perancangan.
1.4
Sasaran
Melakukan studi tentang penataan.
Melakukan studi tentang Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” di Temanggung Jawa Tengah.
1.5
Melakukan studi tentang batasan-batasan penyandang cacat mental.
Mempelajari arsitektur kolonial Belanda sebagai dasar perancangan.
Lingkup
Penataan akan dilakukan pada kompleks I, II, III serta fasilitas penunjang lainnya yang berada di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung.
Rehabilitasi dibatasi pada Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung.
Cacat mental dibatasi pada Debil dan Imbisil.
Arsitektur kolonial Belanda dibatasi pada fungsi, jenis, bahan meterial dan detail interior.
I-10
1.6
Metode Mencari Data
Wawancara Ditujukan pada pengelola Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung.
Observasi
Pengamatan langsung terhadap lingkungan Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung.
Studi Pustaka / Literatur Mempelajari buku tentang penataan, cacat mental, arsitektur kolonial Belanda.
1.7
Metode Menganalisis Data
Kuantitatif Contoh : mendata jumlah penyandang cacat tuna grahita kemudian akan dikelompokkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh penyandang cacat.
Kualitatif Contoh : 1. Dari hasil yang didapat pada metode kuantitatif akan diberikan penambahan km/wc yang disesuaikan dengan kondisi penyandang cacat. 2. Dari hasil pengelompokan sesuai dengan kemampuan penyandang cacat akan ditata asrama kolektif, asrama partisi, dan cottage yang ideal disesuaikan dengan kebutuhan penyandang cacat.
1.8
Metode Penataan Menggunakan prinsip-prinsip dari arsitektur kolonial Belanda sebagai dasar penataan yang akan diterapkan pada perancangan nantinya.
1.9
Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN Mengungkapkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, sasaran, lingkup, metode, dan sistematika penulisan.
I-11
BAB II
: TINJAUAN BALAI BESAR REHABILITASI SOSIAL BINA GRAHITA “KARTINI” DI TEMANGGUNG JAWA TENGAH Membahas mengenai spesifikasi kondisi balai rehabilitasi serta permasalahan yang terjadi di lingkungan balai tersebut.
BAB III : TINJAUAN TEORITIS Membahas mengenai batasan dan pengertian penataan dan arsitektur kolonial Belanda sebagai dasar perancangan. BAB IV : PENDEKATAN MENUJU KONSEP PENATAAN BALAI BESAR REHABILITASI SOSIAL BINA GRAHITA “KARTINI” TEMANGGUNG Mengungkapkan proses untuk menemukan ide-ide konsep perencanaan dan perancangan melalui metode-metode tertentu yang diaplikasikan pada lokasi. BAB V
: KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Merupakan dasar-dasar untuk menuju transformasi dari konsep ke desain fisik.
I-12