BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan pokok manusia terdiri dari 3 jenis yaitu kebutuhan sandang berupa pakaian, kebutuhan pangan berupa berbagai jenis makanan dan minuman serta kebutuhan papan berupa tempat tinggal. Manusia tidak dapat lepas dari ketiga kebutuhan tersebut dan selalu berusaha untuk memenuhi ketiganya. Tempat tinggal atau permukiman merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah, manusia purba sudah memiliki tempat untuk melindungi diri mereka dari sinar matahari, hujan dan binatang buas. Manusia purba memilih bertempat tinggal di dalam gua-gua ataupun hutan-hutan tertentu yang dekat dengan sumber kehidupan mereka, dimana aktivitas manusia dan tempat mereka tinggal merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan. Dari waktu ke waktu bentuk dan kriteria tempat tinggal manusia selalu mengalami perubahan. Pembangunan dan modernisasi yang terus menerus berlangsung merupakan penyebab perubahan bentuk dan fungsi permukiman. Pembangunan perekonomian suatu negara tidak pernah lepas dari pembangunan permukiman sebagai suatu kebutuhan dalam kehidupan masyarakat. Saat ini, masalah permukiman di Indonesia mencerminkan akibat-akibat dari keterbelakangan pembangunan dan juga sekaligus masalah pembangunan itu sendiri, di negara berkembang kita temui adanya permukiman kumuh (slum area) yang dapat dikatakan tidak memenuhi kriteria layak sebagai tempat tinggal. Faktor utama pendorong dari masalah permukiman ini yaitu jumlah penduduk yang selalu bertambah tiap tahunnya, bahkan pada dekade ini terjadi perubahan signifikan dalam jumlah penduduk terutama di negara berkembang seperti China, India dan Indonesia (UN, 2013) Tahun 2012, penduduk dunia diperkirakan sekitar 7,2 milliar jiwa, ditahun 2025 diprediksi naik menjadi 8,1 milliar jiwa, hingga di tahun
1
2050 mencapai 9,6 milliar jiwa (UN, 2013). Jumlah penduduk yang semakin bertambah ini secara otomatis akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan permukiman. Pada umumnya manusia memanfaatkan lahan yang belum terbangun untuk dijadikan ruang hidup sehari-hari. Permukiman manusia selalu memiliki pola tertentu yang berhubungan dengan semua aspek kehidupannya baik itu sosial, ekonomi, budaya dan lainnya. Manusia purba memilih tinggal berkelompok di daerah hutan karena dekat dengan sumber mata pencaharian mereka sebagai pengumpul makanan, pemburu hewan dengan pola permukiman tersebar (dispersed) sesuai dengan keberadaan sumber kehidupannya atau nelayan yang biasanya tinggal di daerah tepi pantai yang dekat dengan sumber penghidupannya yaitu perikanan. Keseluruhan permukiman ini akan menimbulkan pola spasial tertentu dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kota Batam merupakan salah satu dari 6 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, dan merupakan kota terbesar di provinsi ini yang terdiri dari 12 Kecamatan. Batam sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Indonesia memegang peranan penting dalam perekonomian regional wilayah sumatra. Kota ini pertama kali dibuka pada tahun 1960-an dengan fungsi sebagai daerah industri dan perdagangan, alih kapal, penumpukan dan basis logistik serta pariwisata (Profil Batam, 2010). Saat ini dapat dilihat Batam menjadi salah satu kota industri, perdagangan dan pariwisata yang berkembang sangat pesat. Di tahun 2007, Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas meliputi pulau Batam, Tonton, Setokok, Rempang, Galang, Galang Baru dan Nipah berdasarkan UU No. 44 Tahun 2007. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri (UU No. 5 Tahun 1984). Kegiatan industri merupakan sektor pendorong kemajuan kota ini,
2
kebutuhan akan tenaga kerja yang besar membuat penduduk dari daerah lain bermigrasi mengadu nasib. Industri-industri di Batam pada umumnya membentuk kluster-kluster yang dinamakan sebagai kawasan industri, yang terdapat di beberapa lokasi di Kota Batam. Industri sendiri menyumbang lebih dari 50% dari keseluruhan PDRB kota Batam (BPS, 2010) ini membuktikan bahwa peran industri dalam perkembangan ekonomi Kota Batam sangat besar. Perkembangan pembangunan Kota Batam ini juga diikuti oleh perkembangan spasial yang cepat, hingga sekarang terlihat perubahan yang sangat signifikan dari segala aspek. Penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun, hingga di Tahun 2010 mencapai 1.235.881 jiwa, padahal pada tahun 1993 penduduk kota Batam hanya 146.705 jiwa (Batam dalam angka, 2010). Pertumbuhan penduduk yang signifikan ini secara otomatis diikuti dengan perubahan penggunaan lahan serta peningkatan permintaan ruang untuk permukiman dan berbagai fasilitas pendukungnya. Perubahan spasial wilayah ini sangat menarik untuk diteliti terutama kaitannya dengan persebaran, pola dan proses perkembangan permukiman dan industri. Antara sumber kehidupan dengan lingkungannya terjadi interaksi jika dikaitkan dengan fungsi kota ini sebagai kota industri, perdagangan dan pariwisata, ditambah faktor-faktor eksternal seperti letaknya yang berdekatan dengan Singapura sebagai negara maju yang turut mempengaruhi pengembangan permukiman dan industri Kota Batam. Industri sebagai kegiatan dominan serta permukiman sebagai sarana penunjangnya merupakan dua hal yang patut untuk diteliti perkembangan dan hubungannya. Batam sendiri memiliki kekhasan geografis yaitu berada di garis terluar Indonesia dan hanya 2 mil laut dari Singapura serta merupakan kota pulau yang berbukit-bukit dengan permukiman sebagian besar merupakan perumahan yang mana ini berbeda dengan kota lainnya di Indonesia. Geografi sebagai ilmu dengan objek utama permukaan bumi, memiliki tiga jenis pendekatan, yaitu pendekatan spasial, ekologi dan
3
kompleks wilayah. Berbagai pendekatam tersebut sangat menarik digunakan dalam mengkaji perkembangan permukiman dan industri yang ada di kota Batam ini. Pendekatan keruangan (spatial approach) sebagai pendekatan khas dalam ilmu geografi dan kompleks wilayah (regional complex approach) dapat secara holistik mengkaji perkembangan yang sangat cepat ini serta berbagai masalah perkotaan yang berkaitan. Penelitian ini juga cukup menarik untuk memprediksi perkembangan permukiman di Kota Batam di masa yang akan datang dan kebijakan penataan ruang yang dapat dilakukan untuk mengatasi permintaan ruang yang semakin besar.
1.2. Perumusan Masalah Perkembangan Batam cukup cepat jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia. Dalam kurun waktu 40 tahun kota ini tidak jauh berbeda dengan kota lain seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang dan lainnya. Berbagai sarana dan prasarana telah dibangun di kota pulau ini, seperti bandara internasional, pelabuhan internasional baik itu pelabuhan penumpang maupun barang, pusat perbelanjaan yang megah, hingga pusat hiburan masyarakat kota. Dari segi arah pengembangan sebenarnya sudah jelas dari Visi Batam “Terwujudnya Kota Batam sebagai Bandar Dunia Madani yang Modern dan Menjadi Andalan Pusat Pertumbuhan Perekonomian Nasional”. Visi ini menunjukkan bahwa kota ini ingin menjadi daerah perdagangan
yang utama di dunia dan barometer
pertumbuhan ekonomi nasional (www.Batam.go.id). Misi Kota Batam sendiri terdiri dari 5 butir yaitu mensukseskan Kota Batam sebagai Bandar Modern berskala internasional sebagai kawasan investasi dilengkapi dengan fasilitas pusat perdagangan, industri, pariwisata,
perbelanjaan
kuliner,
hiburan,
dan
sebagainya.
Mengembangkan sistem pendukung strategis penataan ruang terpadu meliputi komponen fasilitas sarana dan prasarana sistem transportasi,
4
sistem telekomunikasi dan teknologi informasi (ICT) modern dan penataan lingkungan kota yang bersih, sehat, aman, nyaman dan lestari. Meningkatkan pelayanan prima dalam hal pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, sosial budaya, fasilitasi keimanan dan ketaqwaan, kepemudaan dan olahraga untuk seluruh lapisan masyarakat serta pengentasan kemiskinan. Menumbuhsuburkan kehidupan harmonis dan berbudi pekerti atas dasar nilai keberagaman dan kebudayaan melayu dan memelihara kelestarian lingkungan hidup. Mewujudkan pelaksanaan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Batam.go.id). Dalam visi dan misi diatas tergambar sebuah keinginan menjadi kota yang ideal, namun pada kenyataan dalam mewujudkannya terdapat berbagai kendala dan halangan. Kota dengan luas kurang lebih 103.000 Ha (BPS, 2012) dapat dikatakan memiliki keterbatasan dalam hal luasan daratan dan pertambahan jumlah penduduk yang signifikan menjadi masalah dalam perkembangan Kota Batam. Perkembangan dan kebutuhan yang masif membutuhkan perencanaan yang baik agar masalah perkotaan yang muncul seperti kemacetan, permukiman liar dan perubahan pemanfaatan lahan lindung menjadi budidaya dapat diatasi. Pertambahan penduduk pendatang yang belum dapat diantisipasi berakibat para pendatang mendirikan bangunan di atas tanah dan bangunan perseorangan atau pemerintah secara tidak sah yang disebut sebagai permukiman liar atau rumah liar, sebagian besar mereka telah tinggal di tempat tersebut bertahun-tahun, permukiman liar ini merupakan karakterisitik umum perkotaan di negara berkembang yang berfungsi sebagai penyedia tempat tinggal pada tingkat pendapatan minimum (Branch, 1995: 34, 39). Tahun 2001 saja telah terdapat 60 titik rumah liar dengan 40.000 rumah liar (Kompas, 31 Mei 2001) yang kini telah menjadi masalah tata ruang serius di Batam, karena hilangnya tangkapan air akibat rumah liar. Dalam misi dikatakan bahwa Batam sebagai salah satu pusat industri, dimana industri merupakan salah satu pembangkit pembangunan
5
di suatu daerah, Yunus (1987) menyatakan bahwa working opportunities dalam hal ini industri merupakan salah satu pembentuk lingkaran permukiman dan aglomerasi industri juga menjadi pendorong terjadinya pemusatan kegiatan manusia pada suatu area. Dimana ada industri maka disitu akan menimbulkan berbagai aktivitas lainnya, pembangunan industri akan menyebabkan gejala pemekaran kota dalam artian fisikal seperti permukiman (Yunus, 2005). Hal ini merupakan alasan mengapa peneliti mengambil sektor industri dan kaitannya dengan permukiman sebagai obyek penelitian. Keberadaan industri yang akan memunculkan berbagai permukiman akan membentuk kenampakan spasial dengan pola dan sebaran tertentu apakah itu berkelompok, memusat, tersebar atau lainnya, serta berbagai sarana pendukung wajib disediakan pemerintah salah satunya yaitu ketersediaan permukiman bagi para pekerja industri yang jumlahnya mendominasi struktur ekonomi Kota Batam. Penulis menggunakan tahun 1997 sampai tahun 2007 dengan alasan bahwa pada rentang tahun tersebut terdapat berbagai momen penting yang menentukan perkembangan Batam, diantaranya yaitu krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997-1998, diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999 dan mengalami perubahan di tahun 2004 hingga diberlakukannya status Free Trade Zone bagi Batam, Bintan dan Karimun tahun 2007. Selain itu alasan ketersediaan data juga merupakan alasan penulis memilih rentang waktu tersebut. Dengan berbagai kondisi yang tentunya menentukan perkembangan Kota Batam, maka penulis penting untuk mengkaji hal-hal berikut ini : 1. Bagaimana perkembangan spasial permukiman dan industri Kota Batam tahun 1997-2007? 2. Bagaimana pola sebaran permukiman dan pola sebaran industri Kota Batam tahun 1997-2007? 3. Bagaimana hubungan pola permukiman dengan kegiatan industri Kota Batam?
6
1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan beberapa rumusan masalah diatas maka tujuan dari dilakukannya penelitian ini sebagai berikut : 1.
Mengetahui perkembangan spasial permukiman dan industri Kota Batam tahun 1997-2007
2.
Mengetahui pola permukiman dan pola industri Kota Batam tahun 1997-2007
3.
Mengetahui hubungan pola permukiman dengan kawasan industri di Kota Batam
1.4. Kegunaan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi kegunaan sebagai berikut : 1.
Sebagai syarat bagi peneliti untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
2.
Sebagai masukan bagi pemerintah untuk dapat memprediksi perkembangan dan mengontrol perkembangan Kota Batam dimasa mendatang
3.
Secara praktis, sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah untuk dapat membuat kebijakan berkaitan permukiman yang sesuai untuk masyarakat.
1.5.Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan skripsi, buku dan berbagai jurnal baik skala nasional maupun internasional sebagai rujukan dan perbandingan dalam penyusunannya. Secara umum, penelitian ini mengambil tema perkembangan permukiman dan industri di Kota Batam.$$ Permukiman merupakan salah satu infrastruktur pendukung kegiatan industri yaitu sebagai tempat tinggal bagi para pekerja di industri tersebut, dan pastinya
7
terbetuk suatu pola keruangan dari interaksi keduanya sebaliknya industri merupakan katalisator munculnya berbagai aktivitas kehidupan di suatu daerah. Sesungguhunya sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan pola permukiman yang dikaitkan dengan aspek kondisi sosial-ekonomi. Penelitian sebelumnya lebih melihat hubungan keduanya secara umum terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Terdapat perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya secara umum meskipun mengangkat tema yang relatif sama. Perbedaannya diantaranya yaitu penelitian ini lebih spesifik melihat hubungan pola permukiman di Kota Batam yang cenderung permukiman berkelompok dengan aktivitas industri yang juga berkelompok yang dikenal dengan nama kluster. Selain itu letak penelitian ini yaitu dikota perbatasan dengan Singapura pasti memberikan pengaruh terhadap kondisi ruang yang akan dihasilkan dari kedua interaksi tersebut apalagi jika dikaitkan dengan kebijakan yang khusus yaiu Free Trade Zone (FTZ). Penelitian sebelumnya yang berjudul Hubungan Perkembangan Kawasan Niaga dengan Pola Persebaran Permukiman di Perkotaan Bekasi dari segi tema dan tujuan serta hasil cenderung sama, namun perbedaan yang paling menentukan keduannya yaitu variabel yang diteliti serta metode yang digunakan, penelitian ini cenderung melihat hubungan permukiman dengan kegiatan niaga, sedangkan penelitian penulis mengangkat variabel industri. Sedangkan jika dibandingkan dengan penelitian dengan judul Kajian Pola Spasial Perrtumbuhan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo, lebih mementingkan pada aspek yang lebih rinci yaitu tata guna lahan dengan mengaitkan pada teori tertentu, dan hanya melihat perkembangan spasialnya secara umum, tanpa mengaitkan dengan variabel tertentu. Sedangkan penelitian lainnya dengan tema permikiman lebih cenderung mengarah pada keadaan fisik lahan yang digunakan sebagai permukiman atau dengan kata lain menekankan pada aspek fisik , untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
8
Tabel 1. Acuan Penelitian Sebelumnya
N O 1
JUDUL
Hubungan Perkembangan Kawasan Niaga Dengan Pola Persebaran Permukiman di Perkotaan Bekasi
PENELITI DAN TAHUN PENELITI AN Dhian Widiyani, 2009
TUJUAN
1. Mengidentifikasi perkembangan kawasan niaga di perkotaan Bekasi 2. Mengidentifikasi pola persebaran permukiman di perkotaan Bekasi 3. Menganalisis hubungan dan pengaruh perkembangan kawasan niaga dengan pola persebaran permukiman
LOKASI
METODE
HASIL
PEBANDINGAN DENGAN PENELITIAN YANG AKAN DILAKUKAN
Perkotaan Bekasi, Provinsi Jawa Barat
KuantitatifKualitatif
1. Perkembangan niaga yang terjadi dalam kurun waktu tertentu 2. Peta pola persebaran permukiman di perkotaan bekasi 3. Mengetahui tingkat keterkaitan antara dua sektor yaitu niaga dan permukiman 4. Mengidentifikas i faktor eksternal mendukung
Penelitian dilakukan dengan mengaitkan dua sektor dalam pembangunan wilayah yaitu industri dan permukiman. Metode penelitian yang digunakan kuantitatif dan kualitatif menjadikan penelitian dilakukan dengan aspek keruangan dan aspek lainnya yang dimungkinkan menjadi pendukung terbentuknya hubungan antara dua aspek perkembangan kawasan niaga dan permukiman. Wilayah cakupan tidak hanya terbatas pada administrasi melainkan beberapa wilayah sekitar kota yang juga mengalami perkembangan yaitu wilayah perkotaan
9
2
Kajian Pola Spasial Pertumbuhan Kawasan Perumahan dan Permukiman di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo
Hamzah F. Rachman, 2010
Mengkaji dan Menganalisis pola spasial pertumbuhan kawasan perumahan dan permukiman di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo
Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo
KualitatifDeskriptif
1.
2.
3.
4.
10
hubungan dua variabel Pertumbuhan kawasan permukiman baru berada di kawasan permukiman yang sudah ada Pola tata guna lahan di Kota Limboto lebih pada bentu model zone von Thunen yakni berupa cincin Pola spasial kecamatan Limboto lebih pada bentuk menyebar tidak teratur Pertumbuhan wilayah Limboto paling pesat berada di jalur jalan utama dan
Penelitian yang akan dilakukan mengaitkan pada sektor Industri sebagai penggerak pertumbuhan permukiman dan mempengaruhi bentuk permukiman, sedangkan penelitian ini hanya melihat perkembangan spasial permukiman saja.
3
Explaining Human Settlement Patterns in a Recreational Lake District: Vilas Country, Wisconsn, USA
Jill Schnaiberg, Joan Riera, Monica G. Turner, Paul R. Voss, 2002
1. Mengetahui dimana masyarakat bermukim terhadap danau? 2. Apakah ada perbedaan kualitas daerah terbangun dan tidak terbangun. 3. Apa faktor yang menjelaskan antara pembangunan di danau dengan kepadatan bangunan
Vilas Country, Wisconsn, USA
Kuantitatifkualitatif
4
Pemanfaatan Peta untuk Kajian Pola Pesebaran
Heri Sunu Prapto, 1994
1. Mengevaluasi manfaat peta dalam kajian pola persebaran
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Kuatitatif
11
kawasan perdagangan Terdiri dari 4 kelompok (data 113 danau) karakter danau itu sendirisurvei regional danau karakter tepi danauland cover data sattelite ukuran danau distribution lake map sosial karakter aerial surveys dimana setiap variabel dibagi lagi hingga total variabel yaitu 11 yang erpengaruh pada humman settlement 1. Pola persebaran permukiman secara kuantitaif 2. Pola persebaran
Penelitian ini lebih mengarahkan hal yang lebih mikro, seperti karakteristik dan kualitas permukiman.
Penggambaran peta didasarkan pada kenampakan fisik persebaran permukiman, dalam penyusunan peta juga
Permukiman di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta
permukiman 2. Menentukan pola persebaran permukiman di Daerah Kabupaten Bantul melalui peta dan menyajikan hasil penelitian tersebut dalam bentuk peta 3. Mengkaji melalui analisis peta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola persebaran permukiman di Daerah Kabupaten Bantul
Yogyakarta
Sumber : Data Olahan, 2014
12
permukiman secara kualitatif 3. Peta pola persebaran permukman di Kabupaten Bantul
digunakan variabel pendukung yang terkait dengan kenampakan fisik diantaranya ketinggian tempat, kemiringan lahan, curah hujan, rata-rata skor kemampuan tanah dan lainnya. Pada setiap variabel mempengaruhi pola persebaran permukiman yang terbentuk
1.6.Tinjauan Pustaka 1.6.1. Teori Struktur Ruang Kota Teori konsentris mengungkapkan proses pengembangan suatu kota, teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan tingkat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. Dalam teori ini Burgess membagi kota menjadi 6 zona sebagai berikut (Burgess, 1925) : 1. Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat kegiatan ekonomi 2. Zona peralihan atau zona transisi, mengelilingi CBD, merupakan daerah bisnis, komersial dan light manufacture. 3. Zona permukiman kelas pekerja, dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah yang menginginkan akses mudah ke lokasi kerja 4. Residential zone, merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah ke atas yang memiliki keahlian tertentu. Zona tempat tinggal eksklusif dengan apartemen dan rumah keluarga. 5. Zona penglaju (commuters zone), merupakan daerah diluar batas kota (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Kota satelit dengan waktu tempuh 30-60 menit dari CBD Kemudian tahun 1939, Hoyt juga mengungkapkan teori yang serupa dengan Burgess, namun pada teori sektoral ini memiliki pola ruang yang berbeda dan tidak sesederhana yang diungkapkan oleh Burgess. Hoyt berpendapat bahwa struktur kota bukan berupa lingkaran-lingkaran konsentris melainkan sektor-sektor terpisah dari dalam kota ke luar, dengan anggapan bahwa harga sewa tanah dan pendapatan berpengaruh (Hoyt, 1939) Harris dan Ullman tahun 1945 mengungkapkan bahwa pola konsentrasi dan sektoral dalam kota memang ada, namun tidaklah
13
sesederhana yang diungkapkan oleh Burgess dan Hoyt, Pertumbuhan kota yang diawali dengan satu pusat akan menjadi rumit, dengan munculnya pusat-pusat tambahan yang menjadi pusat pertumbuhan baru dalam kota (growing points). Pusat pertumbuhan baru (nucleus) dapat berupa pusat fasilitas transportasi (pelabuhan, terminal) dan di dalamnya terdapat area spesialisasi pelayanan, seperti retailing, area khusus perbankan, teater dan lain-lain. Perbedaannya yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar, serta sering pula dekat pusat-pusat lainnya (Harris dan Ullman, 1945 dalam Koestoer, 2001) 1.6.2. Kota dan Perkotaan Kota mengandung kompleksitas secara operasional dan analitis jika ditinjau dari berbagai sudut pandang, ini sangat berbeda jika kita hanya meninjau kota secara terpisah satu persatu. Kota dapat dipandang dari segi fsik, sosial maupun ekonomi. Kota dari segi fisik dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu bangunan-bangunan dan kegiatannya yang terdapat diatas atau dekat dengan muka tanah, instalasi-instalasi bawah tanah, dan kegiatan-kegiatan di ruangan “kosong” di angkasa, sedangkan dipandang dari segi sosial, kota berhubungan erat dengan besaran jumlah penduduk dan komposisi penduduknya, secara sosial juga dapat dipandang dari sudut keruangan yaitu disekeliling pusat pemerintahan dan komersial biasanya terdapat apartemen dan bangunan tidak terawat sebagai tempat tinggal penduduk. Secara ekonomi, kota dipandang sebagai fungsi untuk menghasilkan penghasilan yang cukup melalui produksi barang dan jasa, demi mendukung kehidupan penduduknya dan keberlangsungan kota itu sendiri (Branch, 1985), pendapat Branch diatas berkaitan erat dengan teori struktur kota Burgess dan ahli lainnya. Yunus (2005) menjelaskan definis kota dalam 6 (enam) tinjauan terhadap kota. Tinjauan kota menurut Yunus adalah (1) tinjauan dari segi
14
Yuridis Administratif, (2) Segi Fisik dan Morfologis, (3) Jumlah Penduduk, (4) Kepadatan Penduduk, (5) Fungsi dalam suatu wilayah organik, dan (6) segi Sosial-kultural. Kota dalam tinjauan yuridis adalah suatu daerah dalam wilayah negara yang keberadaannya diatur dalam perundang-undangan/peraturan
tertentu,
dibatasi
oleh
batas-batas
administrasi dan memiliki status sebagai kota (kota administratif, kota madya, kota besar) dengan pemerintah yang memiliki hak dan kewajiban mengatur wilayah tersebut. Kedua, Kenampakan kota ditinjau dari aspek morfologis adalah suatu daerah dengan tata guna lahan non-agraris, sebagian besar ditutupi oleh bangunan (baik residensial maupun non-residensial) dimana building coverage lebih besar dari vegetation coverage, yang memiliki jaringan jalan kompleks, sistem permukiman yang kompak dan jauh lebih besar dari kesatuan permukiman disekitarnya. Yunus mengemukakan 3 indikator yang dapat digunakan untuk mencermati morfologi kota, yaitu (1) indikator kekhasan penggunaan lahan, (2) indikator kekhasan bangunan dan fungsinya, (3) indikator kekhasan pola sirkulasi. Ketiga, ditinjau dari jumlah penduduknya yaitu berkaitan dengan kemampuan aglomerasi jumlah penduduk untuk menumbuhkan fungsifungsi perkotaan dimana terdapat ukuran tertentu (threshold). Selanjutnya ditinjau dari kepadatan penduduknya, serupa dengan tinjauan dari segi jumlah penduduk, tinjauan dari segi ini juga terdapat threshold tertentu, dalam bentuk kepadatan. Kelima, berupa gabungan dari batasan jumlah penduduk dengan kriteria lainnya, ini muncul karena jika hanya berdasarkan jumlah penduduk belum tepat dan banyak kelemahan, contoh tinjauan ini yaitu gabungan dari jumlah penduduk dan kepadatan penduduk, atau gabungan jumlah penduduk dan struktur mata pencaharian. Terakhir yaitu tinjauan dari segi fungsinya dalam suatu organic region, yaitu wilayah dengan berbagai kegiatan yang saling berhubungan
15
membentuk suatu simpul kegiatan yang terpusat pada titik tertentu, dimana sosial ekonomi sebagai penekanan utama. Menurut UU No 26 Tahun 2007, Kawasan Perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pada dasarnya untuk melihat suatu daerah merupakan kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak fasilitas perkotaan yang diiliki oleh daerah tersebut dan sejauh mana kota tersebut menjalankan fungsi perkotaannya. Adapun fasilitas perkotaan sebagai berikut (Tarigan, 2005): 1. Pusat perdagangan, dapat dilihat hierarkinya berdasarkan luasan pelayanananya, apakah hanya melayani kota itu sendiri, atau kota lain juga, atau provinsi, melayani provinsi, bebrapa provinsi, ekspor hingga internasional beberapa negara. 2. Pusat pelayanan jasa baik perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa perorangan biasanya dalam skala kecil misalnya tukang pangkas, salon, tukang jahit dan sebagainya sedangkan dalam skala perusahaan atau skala besar seperti perbankan, pengangkutan, perhotelan, tempat hiburan dan lain sebagainya. 3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota dan lainnya. 4. Pusat penyediaan fasilitas sosial seperti prasarana pendidikan, prasarana
kesehatan,
tempat
ibadah,
prasarana
olahraga
dan
sebagainya. 5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang sekaligus merupakan pusat pemerintahan, kota terbesar di suatu provinsi biasanya menjadi ibukota sebuah provinsi/pusat pemerintahan tingkat provinsi begitu juga kabupaten/kota.
16
6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi, artinya masyarakat daerah tersebut dapat terhubung dengan baik dengan masyarakat di daerah lainnya melalui telepon, internet, radio, mengirim uang melalui bank, bisa berpergian melalui pesawat, kapal, kereta api dan sebagainya. 7. Lokasi
permukiman
yang
tertata,
kota
didasari
oleh
aspek
penduduknya yang banyak, dimana mereka membutuhkan tempat tinggal, dan meskinya perkotaan menyediakan permukiman yang tertata dengan baik dan rapi. Semakin banyak/lengkap fasilitas dan fungsi perkotaan maka akan makin menggambarkan hierarki sesungguhnya dari kota tersebut, semakin tinggi hierarkinya semakin luas wilayah pengaruhnya. 1.6.3. Pemukiman dan Pola Permukiman Finch (1957) menyataan bahwa permukiman yaitu kelompok satuan-satuan tempat tinggal atau kediaman manusia, yang mencakup berbagai fasilitasnya seperti bangunan rumah, jalur jalan, dan fasilitas lainnya yang dijadikan sebagai sarana pelayanan manusia tersebut. Batasan ini memiliki arti cukup luas yaitu bukan hanya bangunannya saja tetapi juga lingkungan sekitarnya serta penunjang kehidupan manusia tersebut. Sedangkan Zee (1979) menekankan batasan rumah yaitu hasil dan proses dimana manusia dapat menetap di dalam suatu area, kemudian secara sempit diartikan sebagai bangunan rumah tunggal maupun kelompok bangunan rumah. Menurut
Doxiadis
(1974)
dalam
Warsono
(2006)
bahwa
Permukiman adalah penataan kawasan yang dibuat manusia dengan tujuan untuk mempertahankan hidup secara lebih mudah dan lebih aman, dan memberi kesempatan untuk pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian pengertian permukiman dapat dirumuskan sebagai suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional sebagai satuan sosial, ekonomi,
17
dan fisik tata ruang, dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum, dan fasilitas sosial. Menurut Koestoer bahwa, wilayah permukiman di perkotaan yang sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar rumah menghadap secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Kerangka jalannya-pun bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal (Koestoer, 2001). Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, mendefinisikan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sedangkan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1992, pasal 1 (satu) angka 4 (empat) : disebutkan pula bahwa, satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang tertentu, yang dilengkapi sistem prasarana dan sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dan dengan penataan ruang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana. Budihardjo menyatakan bahwa penentuan lokasi perumahan atau permukiman perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) segi teknis pelaksanaanya: mudah untuk dikerjakan, tidak berada di daerah banjir, gempa, angin ribut, mudah dicapai tanpa hambatan, sumber air tersedia dan sebagainya; (2) segi tata guna tanah: tanah yang telah sukar
18
dikembangkan secara produktif, bukan daerah persawahan, bukan daerah usaha seperti perkantoran, industri, tidak merusak lingkungan dan sebagainya; (3) segi kesehatan dan kemudahan: sebaiknya jauh dari pabrik yang berpolusi, lokasinya mudah mendapatkan air minum, listrik, sekolah, dan lainnya, serta lokasinya mudah dicapai dari tempat kerja penghuninya; (4) segi politis dan ekonomis: mendatangkan keuntungan bagi developer, menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitarnya. Keempat kriteria ini diharapakan dapat tercipta kesesuaian dan kenyamanan terhadap penghuni serta terbentuknya pola kawasan yang tertata dan teratur (Budihardjo, 2009). Pola permukiman dan pola distribusi permukiman pada dasarnya merupakan dua hal yang berbeda, terutama jika kita melihat aspek bahasanya (Yunus dalam Ritohardoyo, 2000). Tinjauan pola permukiman dari tinjauan individual menitikberatkan pada bahasan bentuk-bentuk permukiman secara individual, sehingga dapat dibedakan menjadi pola permukiman bentuk melingkar, pola permukiman bentuk persegi panjang, pola permukiman bentuk kubus dan dapat diturunkan ke sub-kategori yang lebih spesifik seperti pola permukiman memanjang sungai, jalan dan garis pantai. Sedangkan tinjauan pola permukiman dari aspek kelompok mengarah pada bahasan sifat persebaran dari individu permukiman dalam satu kelompok dapat dibedakan menjadi pola menyebar atau pola mengelompok dan diturunkan ke katagori lebih spesifik seperti pola menyebar teratur, pola mengelompok teratur dan sebagianya. Pola persebaran permukiman juga dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu tinjauan pola persebaran permukiman dari aspek bentuk persebaran permukiman seperti pola persebaran permukiman melingkar, pola persebaran permukiman sejajar dan sebagainya, sedangkan tinjauan kedua dari aspek persebaran dari kelompok-kelompok permukiman seperti pola persebaran kelompok permukiman menyebar dan pola persebaran permukiman kelompok memusat. Keduanya dapat diturunkan menjadi sub
19
kategori yan lebih spesifik. Kedua hal tersebut berkaitan erat, pola persebaran berbicara mengenai lokasi permukiman dimana yang terdapat permukiman dimana yang tidak, sedangkan pola permukiman berbicara mengenai sifat dari pola permukiman tersebut. Schulz (1979) menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat dengan lingkungan akan membentuk organisasi ruang yang di dalamnya mengandung makna komposisi elemen-elemen pembentuk ruang dengan batasan tertentu. Komposisi ruang ini menunjukkan suatu pola tertentu seperti persegi, lingkaran, atau oval. Setiap pola ini bukan hanya menunjukkan tatanan saja, akan tetapi juga memiliki rangka struktur pembentuk ruang dan di dalamnya mengandung makna centres dan axes. Pola Persebaran Permukiman adalah susunan agihan tempat tinggal, dalam kaitannya dengan lingkungan antara tempat tinggal yang satu dengan yang lain (Abdullah dan Ritohardoyo, 1981). Pola persebaran permukiman dipengaruhi oleh bermacam faktor fisik dan sosial, ekonomi dan budaya. Fisik meliputi ketinggian tempat, kemiringan lereng, kemampuan tanah, ketersediaan air dan curah hujan. Faktor sosial ekonomi meliputi kepadatan penduduk, kepadatan jalan (transportasi), lokasi pertambangan dan industri (Ritohardoyo. 1989) Pola spasial permukiman menurut Wiriaatmadja (1981), antara lain: 1. Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. 2. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya. 3. Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung.
20
4. Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya. Menurut Jayadinata (1999), permukiman di perdesaan secara umum terbagi menjadi dua, antara lain: 1. Permukiman memusat, yaitu yang rumahnya mengelompok (agglomerated rural settlement) dan merupakan dukuh atau dusun (hamlet) yang terdiri atas lebih bahkan ratusan rumah. Di sekitar kampung atau dusun terdapat tanah bagi pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja sehari-hari untuk mencari nafkahnya. Dalam perkembangannya, suatu kampung dapat mencapai berbagai bentuk, tergantung kepada keadaan fisik dan sosial. Perkampungan pertanian umumnya mendekati bentuk bujur sangkar. 2. Permukiman
terpencar,
yaitu
rumahnya
terpencar
menyendiri
(disseminated rural settlement) terdapat di Negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sebagainya. Perkampungan terpencar di negara itu hanya terdiri atas farmstead, yaitu sebuah rumah petani yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat mesin, penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak. Kadang-kadang terdapat homestead, yaitu rumah terpencil.
1.6.4. Industri Menurut UU No. 3 Tahun 2014 tentang perindustrian, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan : 1. Mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional
21
2. Mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur ekonomi 3. Mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau 4. Mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat 5. Membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja 6. Mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional 7. Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Sedangkan kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri
22
1.7.Kerangka Penelitian Penelitian ini berangkat dari perkembangan kota Batam dari tahun 1960an hingga saat ini. Perkembangan kota Batam disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal berupa keadaan atau kondisi diluar wilayah kota Batam seperti migrasi dari berbagai daerah terutama usia produktif dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan motif mencari pekerjaan di bidang industri, kemudian investasi dari luar negeri (PMA) yang didorong oleh adanya kerjasama Indonesia, Malaysia dan Singapura yang dikenal dengan Pertumbuhan segitiga SIJORI (Singapura-Johor-Riau) dan domestik yang besar yang mempengaruhi keadaan ekonomi kota Batam, serta letaknya yang strategis yaitu 2 mil laut dari Singapura serta berada di jalur pusat pelayaran internasional turut menjadi keunggulan dan mempercepat perkembangan kota terutama secara spasial. Faktor kedua yaitu faktor internal berupa pendorong dari dalam wilayah itu sendiri, dalam hal ini yaitu kebijakan yang mendukung dan menarik investasi masuk seperti Free Trade Zone, jumlah penduduk yang meningkat hampir 4 kali lipat dari keadaan tahun 1997 ke tahun 2007 serta pembangunan infrastruktur yang menjadi pemicu perkembangan kota secara spasial. Perkembangan kota ini oleh faktor utama yaitu penduduk yang ditarik oleh bidang industri yang kemudian diikuti oleh adanya sarana permukiman sebagai penunjang aktivitas industri, jumlah kawasan industri dan permukiman mengalami peningkatan secara kuantitas di berbagai lokasi di kota Batam. Oleh karena itu, kedua fenomena ini di Batam saling berkaitan erat sebagai sebab dan akibat. Peneliti mencoba mencari hubungan perkembangan antara dua aspek tersebut dan pola persebaran perumahan dan industri. Hubungan dan perkembangan dianalisis secara kualitatif deskriptif dengan analisis pola keruangan, struktur keruangan, proses keruangan dan kecenderungan keruangan. Hasilnya nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan perkembangan wilayah di masa yang akan datang, sehingga perencanaan ruang dapat dilakukan
23
dengan baik. Berdasarkan uraian diatas maka kerangka penelitian dapat disederhanakan menjadi bagan dibawah ini (gambar 1) :
24
KOTA Faktor Internal : Penduduk Meningkat Infrastruktur Free Trade Zone
Faktor Eksternal : Migrasi Meningkat Investasi Masuk Letak Strategis
Perkembangan Kota Batam, terutama Pulau Batam
Kawasan Perdagangan
Kawasan Pariwisata Permukiman
Kawasan Industri
Lokasi
Kuantitas
Industri sebelum 2000
Lokasi
Industri setelah 2000
Permukiman sebelum 2000
Pola
Perkembangan Hubungan pola permukiman dan perkembangan industri
REKOMENDASI
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
25
Permukiman setelah 2000
Perkembangan permukiman
Perkembangan kawasan industri
Perkembangan
Kuantitas
Pola
1.8.Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian mengacu pada perumusan masalah yang menjadi dasar dari penelitian ini. Perumusan masalah menghadirkan pertanyaan penelitian yang kemudian dijawab dalam tujuan penelitian. Pertanyaan penelitian merupakan bagian terpenting dalam penelitian karena menentukan arah dan metode yang digunakan dalam penelitian. Pertanyaan
penelitian
yang
pertama
yaitu
mengacu
pada
perkembangan spasial kawasan permukiman di kota Batam, perkembangan diketahui dengan memantau pada tahun yang berbeda yaitu 1997 dan 2007, dari ini maka dirumuskan pertanyaan penelitian, bagaimana perkembangan kawasan permukiman dan industri yang ada di Kota Batam tahun 19972007, dari pertanyaan penelitian itu maka dirumuskan bebetapa pertanyaan mikro. Adapun pertanyaan yang muncul yaitu bagaimana kawasan permukiman dan industri terbangun tahun 1997 ? dan bagaimana kawasan permukiman dan industri terbangun tahun 2007 ?. Penelitian ini juga berkaitan dengan pola persebaran permukiman dan industri di Pulau Batam yang berkaitan dengan perkembangan keruangan suatu kota. Maka pertanyaan penelitian yang diajukan yaitu bagaimana pola persebaran perumahan dan industri di Kota Batam ?, Dengan beberapa pertanyaan mikro yaitu bagaimana pola persebaran industri kota Batam ?, Bagaimana pola persebaran permukiman Kota Batam dan Bagaimana arah perkembangan spasial lahan terbangun Kota Batam ? Hubungan antara permukiman dan industri menjadi kajian akhir dari penelitian ini, perkembangan yang saling bersamaan menimbulkan indikasi
adanya
hubungan
diantara
keduanya
seperti
peribahasa
mengatakan “ada gula ada semut”, dimana ada industri disitu akan muncul permukiman. Maka diajukan pertanyaan penelitian yaitu bagiamana hubungan antara perkembangan kawasan industri dengan persebaran permukiman yang ada ?. Adapun pertanyaan pendukungnya, bagaimana gambaran spasial hubungan kawasan industri dan persebaran permukiman
26
di Kota Batam ?. Apakah terdapat indikasi hubungan industri dan permukiman ?, serta bagaimana kedekatan lokasi tempat tinggal dan lokasi industri memepengaruhi pekerja dan pemukim?
27