BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kota Tangerang secara geografis sangat strategis karena merupakan penyangga utama Ibu Kota Negara DKI Jakarta dan kota paling depan di wilayah Banten. Letak geografis seperti itu sangat menguntungkan bagi daerah Kota Tangerang, terutama dalam pengembangan ekonomi wilayah. Selain itu, kota Tangerang andal dalam kegiatan sektor-sektor ekonomi strategis seperti industri, perdagangan, perumahan dan perbankan serta keuangan. Tumpahan aktivitas ekonomi dari metropolitan Jakarta selain merupakan modal penggerak ekonomi juga membawa dampak ikutan berupa permasalahan lingkungan, kesediaan lahan dan tingginya angka migrasi. Besarnya arus migrasi yang tidak diikuti oleh ketersediaan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia serta permasalahan lainnya menjadikan Kota Tangerang menghadapi permasalahan yang kompleks. Brockerhoff dalam laporan Population Brief (1997) dalam Harian Kompas, (18 Juni 2005) mengungkapkan, karena pertumbuhan penduduk yang begitu tidak terkendali, kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya tidak lagi menawarkan kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan di pedesaan. Sejalan dengan Brockerhoff , Todaro (2004) menyatakan “negara berkembang (termasuk Indonesia) dihadapkan pada persoalan perkotaan yang pelik. Beberapa persoalan tersebut adalah minimnya fasilitas pelayanan dasar umum, seperti sanitasi, sampah, buruknya tempat tinggal dan lain sebagainya”. Melihat sejumlah persoalan tersebut, dengan demikian pendapatan dan distribusi
pendapatan
tidaklah
cukup
untuk
meng-capture
makna
pembangunan sebenarnya. Oleh sebab itu, pakar ekonomi pembangunan sependapat diperlukan ukuran yang lebih komprehensif untuk mengukur
2
sampai sejauh mana upaya-upaya pembangunan demi kesejahteraan masyarakat telah dicapai oleh sebuah wilayah. Salah satu indikator pembangunan tersebut adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Human Development Index/HDI). IPM mencakup tiga indikator yaitu masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis (literacy), serta standar hidup (standard of living) yang diukur dengan paritas daya beli (PPP). Dalam situs internet Pemerintah Kota Tangerang dinyatakan bahwa program dan kegiatan yang terkait dengan upaya pembangunan manusia antara lain pelatihan keterampilan PBK bagi anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal, penanganan terhadap 232 orang terlantar di Kota Tangerang, dan penyelenggaraan pelatihan keterampilan usaha bagi keluarga miskin. Dampak dari program dan kegiatan ini, Kota Tangerang merupakan wilayah yang nilai IPM-nya tertinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Provinsi Banten. Nilai IPM Kota Tangerang mencapai 75,5 pada 2006. Berdasarkan ranking yang telah disusun oleh United Nation Development Program (UNDP), nilai ini berada pada level indeks pembangunan manusia menengah. Upaya pencapaian ini memang didukung oleh fakta empirik di Kota Tangerang. Namun demikian, khususnya pada bidang pendidikan, Angka Partisipasi Murni (APM) memang mengalami peningkatan. Tetapi pada masing-masing jenjang terdapat perbedaan APM. Tingkat SMP/MTs dan SMA/MA lebih rendah dibanding SD/MI yaitu 85,25 pada SD/MI, 55,33 pada SMP/MTs dan 23,87 pada SMA/MA (www.kotatangerang.go.id) Kota Tangerang terdiri atas 13 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif, dan akhirnya ditetapkan sebagai kotamadya sesuai dengan UU/ No. 2/1993 tentang Pembentukan Kotamadya Tangerang pada tanggal 27 Februari 1993 . Sebutan “kotamadya” diganti dengan “kota” pada tahun 2001.
3
Para pakar ekonomi pembangunan sependapat bahwa upaya untuk meningkatkan pembangunan manusia membutuhkan penanganan yang menyeluruh (comprehensive). Pendekatan komprehensif diperlukan mengingat tujuan pembangunan sangatlah luas yang melibatkan keterkaitan antarsektor, anterpelaku, dan multisumber daya. Salah satu pendekatan yang telah ditempuh adalah pendekatan otonomi daerah dan desentralisasi. Kerangka desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah memiliki dua dimensi dasar, yaitu dimensi ekonomi dan dimensi politik. Dari dimensi ekonomi, pelaksanaan desentralisasi merupakan momentum bagi bangkitnya demokrasi ekonomi. Momentum tersebut dapat dilihat dari tujuan otonomi daerah dalam mendorong kemandirian daerah. UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menitikberatkan pada apa yang disebut decentralization).
sebagai desentralisasi administratif (administrative Desentralisasi
administratif
dimaksudkan
untuk
mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Pendelegasian tanggung jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities). Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum. Tujuan akhirnya adalah tentu mencapai tujuan pembangunan, yaitu peningkatan kapabilitas manusia.
4
UU.
No.
33/2004
Perimbangan
Keuangan
Pusat-Daerah
menitikberatkan pada desentralisasi keuangan yang merupakan komponen inti dari konsep desentralisasi. Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri. Desentralisasi keuangan dalam prakteknya terdiri dari beberapa bentuk, termasuk (a) pendanaan mandiri; (b) menjalin kerjasama pendanaan dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan dan infrastruktur; (c) ekspansi sumber pendapatan daerah melalui berbagai retribusi; (d) dana bagi hasil dari Pemerintah Pusat dan (e) utang luar negeri. Dengan adanya kewenangan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yaitu: (a) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumber daya yang belum optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer; dan (b) lebih berorientasi pada efektifitas pengeluaran yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan serta program pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Bentuk nyata dari responsifitas tersebut, seyogyanya pemerintah daerah dapat lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Namun pertanyaannya, sampai sejauh mana otonomi bisa dimaknai oleh Pemerintah Kota Tangerang dalam upaya menciptakan pembangunan bagi masyarakat setempat? Pertanyaan ini relevan sebab secara deduktif hampir sebagian besar kalangan menganggap bahwa otonomi daerah dalam kerangka upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah belum optimal, karena pemahaman masyarakat dan birokrasi pemerintahan daerah masih terjebak dalam diskursus bagaimana mendapatkan taxing power yang dimiliki daerah yaitu kewenangan dalam menggali sumber-sumber pendapatannya (PAD) dan untuk memanfaatkannya. Lewis mencatat, Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil (Lewis, 2001). Siregar (2001) juga mengemukakan bahwa bagi banyak
5
daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama untuk tahun anggaran 2000 (setelah desentralisasi). Konstatasi ini menunjukkan banyak daerah belum secara optimal menyediakan pelayanan dasar (basic service) kepada masyarakat sehingga berimplikasi
pada
ketimpangan
tingkat
kesejahteraan
nonpendapatan
(nonmoneter) di daerah. Studi Bappenas dan UNDP menunjukkan, secara umum kinerja pelayanan publik di Daerah Otonom Baru (DOB) cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah (i) tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama,
(ii)
ketersediaan
tenaga
pelayanan
pada
masyarakat
karena
perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan (iii) masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik yang diberikan (Bappenas & UNDP, 2008). Hasil studi ini paralel dengan studi yang dilakukan World Bank (2009) yang menemukan bahwa hampir 25% kondisi infrastruktur pendidikan di sejumlah daerah sangat rendah. Studi World Bank juga menunjukkan, ada perbedaan mencolok antara capaian jenjang pendidikan penduduk di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,5 tahun (World Bank, 2006). Dalam kaitan inilah, faktor yang dapat menciptakan pelaksanaan otonomi kondusif terhadap kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Selain itu, sebagaimana amanat UU. No. 33/2003 tentang Perimbangan Keuangan PusatDaerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan dana hibah (block grant), yaitu DAU yang memiliki tujuan sebagai dana penyeimbang. Melihat tujuan DAU ini, peningkatan kapabilitas manusia, termasuk di dalamnya pemberian akses terhadap pelayanan publik dasar, seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah. Kinerja pelayanan pemerintah daerah atas pelayanan dasar umum saat ini antara lain akan tercermin dari kebijakan alokasi sektoral dalam APBD.
6
Makin besar anggaran belanja yang dialokasikan ke dalam suatu sektor (baik absolut maupun relatif), makin besar perhatian pemerintah daerah terhadap sektor itu, dan makin terbuka peluang bagi terciptanya kinerja pelayanan yang baik untuk sektor tersebut. Kebijakan anggaran (budget policy) tampaknya akan menjadi syarat keharusan (necessary condition) bagi pintu masuk pelayanan publik yang berkualitas. Namun demikian, syarat keharusan tersebut bukanlah akhir dari upaya pemerintah daerah untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan publik. Sebab, terdapat syarat lain yang semestinya dipenuhi yaitu antara lain responsifitas pemerintah daerah atas keluhan masyarakat dari pelayanan yang telah diberikan, aksesibilitas pelayanan, debirokratisasi dan efisiensi dalam penggunaan anggaran.
1.2 Perumusan Masalah Tujuan desentralisasi dan otonomi adalah peningkatan pelayanan kepada
masyarakat,
percepatan
pertumbuhan
demokrasi,
percepatan
pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, tujuan otonomi secara lebih terukur sebenarnya antara lain meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (growth), mengurangi tingkat pengangguran, dan mengurangi angka kemiskinan. Semua tujuan tersebut menuju satu sasaran akhir, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika pemerintah daerah berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah berhasil mencapai salah satu tujuan pembangunan. Tujuan tersebut terangkum dalam UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Salah satu penekanan dalam paket undang-undang tersebut adalah adanya desentralisasi administratif yang dimaksudkan sebagai pendistribusian kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya keuangan
7
sebagai upaya menyediakan pelayanan umum yang efektif dan efisien kepada masyarakat. Aspek lain yang menjadi penekanan paket undang-undang tersebut adalah adanya desentralisasi fiskal dan desentralisasi administratif. Kedua aspek ini semata-mata ditujukan agar pemerintah daerah lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk, khususnya dalam hal kebutuhan akan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur). Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan kapabilitas manusia yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Indikator kapabilitas manusia diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam konteks semangat desentralisasi fiskal, upaya peningkatan IPM ditempuh melalui fungsi alokasi belanja dan distribusi belanja dari struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD). Hal yang terpenting dari kedua fungsi tersebut yaitu fungsi alokasi belanja publik. Hal ini disebabkan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti belanja pendidikan, kesehatan, pertanian, infrastruktur dan lain-lain. Dalam kaitan itulah UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, terdapat komponen anggaran yang diperuntukkan sebagai dana perimbangan (equalization transfer) (Dana Alokasi Umum/DAU). Salah satu tujuan dari DAU ini adalah upaya pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas pelayanan publik kepada masyarakat. Ketersediaan akses terhadap pelayanan publik ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pembangunan manusia di Kota Tangerang. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan difokuskan pada 3 (tiga) rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM di Kota Tangerang? 2. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang?
8
3. Bagaimana kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah Kota Tangerang?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan 3 (tiga) pertanyaan penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pengaruh belanja publik dan pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM di Kota Tangerang. 2. Menganalisis persepsi masyarakat tentang pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang. 3. Menganalisis kinerja keuangan publik sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah Kota Tangerang.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi baik yang bersifat akademis maupun praktis. 1. Manfaat akademis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu ekonomi, khususnya tentang aspek-aspek perekonomian daerah. Secara spesifik, penelitian ini diharapkan
dapat
mengembangkan
substansi
desentralisasi
fiskal
khususnya bidang belanja publik dalam kerangka otonomi daerah. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian di seputar otonomi daerah berserta aspek-aspeknya, seperti desentralisasi fiskal terkait dengan kinerja keuangannya, IPM, dan pelayanan publik bidang pendidikan di Kota Tangerang. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi daerah yang bersangkutan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan otonomi mereka dalam upaya mempercepat kesejahteraan masyarakat, meningkatkan IPM, meningkatkan kinerja keuangan daerah serta
9
meningkatkan kinerja pelayanan publik terutama pelayanan publik bidang pendidikan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian mencakup permasalahan sebagai berikut: 1. Pengaruh Belanja Publik Lingkup ini membahas pengaruh belanja publik. Belanja publik adalah pos pengeluaran dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Kota Tangerang untuk kepentingan publik. Dalam penelitian ini, alokasi belanja publik dibatasi pada: (a) sektor pertanian, (b) sektor pendidikan, (c) sektor kesehatan, (d) sektor perumahan, dan (e) sektor infrastruktur. Kelima belanja tersebut akan diteliti pengaruhnya terhadap IPM, sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah di Kota Tangerang 2. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam penelitian ini mengacu pada tiga ukuran, yaitu bidang pendidikan yang diukur oleh kemampuan bacatulis, kesehatan yang diukur oleh usia harapan hidup dan standar kehidupan yang diukur oleh paritas daya beli. Perlu dijelaskan bahwa terdapat banyak faktor determinan yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan IPM. Namun demikian, dalam penelitian ini faktor determinan yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan IPM tersebut adalah belanja publik di Kota Tangerang. 3. Persepsi Masyarakat Tentang Pelayanan Publik Bidang Pendidikan Efektifitas pelayanan publik merupakan salah satu indikator berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mengukur sejauh mana keberhasilan pelayanan publik tersebut dijalankan, maka hal itu tergantung dari respons yang diterima masyarakat sebagai penerima manfaat dari pelayanan publik. Dalam penelitian ini, persepsi masyarakat tentang pelayanan publik di Kota Tangerang akan dibatasi pada pelayanan publik bidang pendidikan sebelum dan pelaksanaan otonomi.
10
4. Kinerja Keuangan Publik Kinerja keuangan publik adalah salah satu indikator untuk melihat sampai sejauhmana derajat desentralisasi fiskal dalam desentralisasi fiskal di Kota Tangerang dijalankan. Terdapat empat indikator untuk melihat sampai sejauhmana kinerja keuangan publik di Kota Tangerang, yaitu: (a) derajat desentralisasi fiskal; (b) kapasitas penciptaan pendapatan; (c) proporsi belanja modal; dan (d) kontribusi sektor pemerintah.