BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada suatu malam yang tidak begitu cerah, tampak sekelompok jamaah pengajian sedang melantunkan shalawat bersama. Mereka terdiri dari pemudapemudi, ibu-ibu dan juga bapak-bapak. Semua membaur, menyatu dalam wadah kebersamaan yang intens. Tidak terdapat sekat antara jamaah laki-laki dan perempuan, tidak tampak pula dominasi simbolisme agama seperti kopiah, gamis dan sarung. Mereka umumnya bercelana jeans, berkaos oblong dan mengenakan jaket, duduk melantai dengan beralas tikar seadanya. Tampak seorang jamaah mulai membaca ayat-ayat Alquran dengan pengeras suara, kemudian diikuti oleh jamaah yang lain. Sekali-sekali mereka terlibat dalam dialog tentang agama, politik, dan kebudayaan secara luas. Sejurus kemudian, mereka asyik menjadi pendengar yang baik atas apa yang disampaikan seorang figur pada pengajian itu. Pada saat yang lain, perlahan suasana berubah semarak dan meriah oleh kreatifitas aransemen musik. Berikutnya, mereka menampakkan kegembiraan yang tidak biasa, tertawa dengan lepas seakan menikmati kebersamaan itu. Mereka juga terlihat khusuk dalam atmosfer suasana malam yang hening, berdoa sekaligus menutup pengajian dengan beberapa nasehat dan bersalaman satu sama lain. Fenomena di atas masih dapat dijumpai saat ini di Dusun Jetis Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta. Pengajian ini diberi nama Mocopat Syafaat oleh Emha Ainun Nadjib. Semangat awalnya adalah bershalawat bersama-sama dengan iringan aransemen musik KiaiKanjeng. Shalawatan bersama pada pengajian Mocopat Syafaat diadakan satu kali setiap bulan, dan sudah berlangsung selama belasan tahun. Seiring berjalannya waktu, pengajian Mocopat Syafaat terus mengalami dinamika, dan semakin bertambah banyak pula peserta shalawatan yang datang. Secara umum mereka mengikuti pengajian mulai dari awal hingga sampai selesai. Pengajian ini berlangsung sekira selama tujuh jam. Sebagian dari peserta shalawatan sudah mulai berdatangan sejak lepas waktu isya, sebagian
lainnya datang menyusul secara bergelombang. Mereka menampakkan wajah antusias dan memilih tetap bergeming hingga jelang subuh dini hari. Shalawatan bersama pada pengajian Mocopat Syafaat menunjukkan gejala fenomena sosial-keagamaan yang massif-terpola, konsisten-kontinu, dan unikotentik. Peserta pengajian melakukan praktek keagamaan dengan membaca ayatayat Alquran, bershalawat, dan juga berdoa. Tidak kurang juga mereka melakukan dialog pengetahuan yang menekankan pada arti penting pemahaman kognitif, baik di bidang agama maupun budaya secara luas. Kesadaran seni yang melahirkan kreatifitas bermusik, ditampilkan oleh KiaiKanjeng dengan memadukan spirit nilai tradisionalitas lokal dan modernitas. Tentunya tidak sederhana memahami kompleksitas pengajian Mocopat Syafaat, sehingga penafsiran pada dimensi religiusitas saja, akan kurang memadai dan terkesan reduktif dan simplifikatif. Penelitian dalam rangka memahami agama-agama dunia dan juga penganutnya telah mulai dirintis oleh banyak kalangan ilmuan, baik dari disiplin teologi, psikologi, antropologi dan juga budaya. Pemahaman secara sosiologis atas agama, juga telah digagas oleh beberapa ilmuan sosial terdahulu. Mereka sudah melakukan studi terhadap fenomena-fenomena keagamaan yang mulai muncul di tengah masyarakat. Bagi Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Perancis, fenomena keagamaan yang muncul di tengah masyarakat, dapat dijelaskan dengan memosisikan masyarakat sebagai pintu masuk dan sekaligus subyek agama. Durkheim melihat agama sebagai potret ideal masyarakat dalam mengekspresikan kebersamaannya. Dia memahami agama sebagai lambang kolektifitas masyarakat dalam bentuknya yang ideal. Karena itu, agama merupakan sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif masyarakat yang diwujudkan menjadi (dalam bentuk) upacara-upacara atau ritus-ritus.1 Karl Marx (1818-1883), sosiolog Jerman, yang banyak menulis tentang ekonomi sejarah dan sedikit menyinggung soal agama justru melihat agama dengan tatapan mata sinis. Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat.2 Agama bagi dia hanya menyebabkan masyarakat merasa asing dengan keadaan di 1
Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Yogyakarta: UGM, 2012, hal, 93. Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: UIP, 2007, hal, 271. 2
2
sekitarnya. Agama bukannya berfungsi sebagai pengikat kolektifitas masyarakat sebagaimana dikatakan Durkheim, melainkan menjadi alat bagi rezim sistem penguasa untuk meninakbobokan kebebasannya. Masyarakat dibuat nyaman dan tidak kritis, mereka hanya datang ke tempat-tempat peribadatan mengadu dan memasrahkan persoalan hidupnya atas nama kepatuhan teologis. Ketaatan masyarakat dalam menjalankan ritual-ritual agama dicurigai Marx hanya sebagai pelarian dari persoalan hidup yang menderanya. Berbeda dengan Marx dan Durkheim, Max Weber (1864-1920) memandang agama sebagai sistem nilai yang berpotensi merubah keadaan masyarakat. Agama mengajarkan sistem tata nilai kepada pemeluknya. Ketaatan penganut agama oleh Weber dipandang sarat dengan pemaknaan subjektif atas nilai-nilai itu. Dalam menjelaskan agama, dia memilih berpijak pada individu yang dipercaya mempunyai pilihan bebas. Agama memiliki ruh semangat dalam kehidupan penganutnya. Spirit kapitalisme yang akhirnya menjadi sistem perekonomian dunia modern menurut Weber lahir dari nilai-nilai agama yang dianut pemeluk Protestan, walaupun harus tetap diakui bahwa etika agama bukan satu-satunya faktor penentu etika ekonomi.3 Namun setidaknya Weber menyakini bahwa pemahaman ide-ide agama yang oleh sebagian orang dianggap tidak rasional, ternyata memiliki rasionalitas nilai tersendiri bagi penganutnya. Mereka mengorientasikan tindakannya atas dasar pemahaman nilai yang dimilikinya itu. Ketiga ilmuan sosial di awal (Durkheim, Marx dan Weber) sepintas memiliki kesamaan sekaligus perbedaan dalam menjelaskan fenomena agama di tengah masyarakat. Mereka sama-sama melihat agama dari segi fungsinya atas bidang kehidupan modern secara luas. Durkheim menilai agama menjalani fungsi integratif atas individualisme masyarakat modern, dan menghukum anggotanya secara moral. Marx memahaminya dari fungsi ideologi kelas, sementara Weber menjelaskan fungsi agama atas etika ekonomi. Namun ketiganya memilih pintu masuk berbeda dalam menjelaskan agama. Durkheim dan Marx masuk melalui
3
Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, hal, 5.
3
struktur masyarakat dan kelas, sementara Weber melalui individu yang tindakan beragamanya dipercaya penuh makna dan sarat kepentingan nilai-nilai. Ideologisme agama versi Marx, kurang relevan bila digunakan untuk memahami fenomena pengajian Mocopat Syafaat. Selain karena karakter inklusifitas dan multikulturalitasnya, pengajian ini lebih banyak menekankan sisi pemahaman kognitif peserta shalawatan yang bersifat dialogis, bukan dogmatis. Pengajian Mocopat Syafaat hampir-hampir mendekati gejala intelektualisme dan spiritualisme agama, ketimbang ideologisme agama.4 Sebab itu pula, maka fungsionalisme agama dalam pandangan Durkheim yang deterministik dan menganggap ketaatan penganut agama sebagai panggilan dan paksaan struktur, tidak memenuhi harapan untuk memahami gejala tersebut. Pengajian Mocopat Syafaat sama sekali tidak memaksa peserta shalawaan untuk datang. Peserta shalawatan tidak terikat secara struktur, mereka bebas menentukan sikapnya untuk datang atau pun tidak datang. Maka dari itu, sebagai langkah awal menuju pintu masuk, konsep rasionalisme agama Weberian dianggap dapat menjadi pijakan. Sosiologi interpretatif Weberian bisa menjadi langkah awal dalam memahami keterlibatan peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat. Kendati demikian, Sosiologi tidak cukup hanya memahami sisi religiusitas peserta shalawatan melalui yang dipraktekkan, lebih dari itu Sosiologi juga diharapkan mampu menelisik dimensi kognitif dan kehidupan sehari-harinya. Pada titik ini, tugas Sosiologi terutama Sosiologi agama terasa lebih berat, bahkan penjelasan dengan hanya memakai konsep rasionalitas Weber pun tidak cukup memadai. Sehingga, dalam konteks studi ini, dirasakan perlu dilengkapi dengan pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat fenomenologis. Suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan penganutnya.5
4
Nurkholis Madjid, “Dakwah Islam di Indonesia: Tantangan Pascakolonialisme dan Perubahan Sosial dalam Masyarakat Plural,” dalam Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 1998, hal, 115. 5 Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal, 26-7.
4
Alfred Schutz (1899-1959) adalah seorang peletak dasar batu bata pertama pendekatan fenomenologis dalam tradisi Sosiologi. Pendekatan fenomenologis Schutz, berkepentingan menelisik konstruksi kesadaran individu. Schutz berpijak pada kepercayaan bahwa dunia kehidupan sehari-hari bersifat intersubjektif. Bagi Schutz, dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran seorang individu terbagi dengan individu lain. Sehingga kesadaran seorang individu, tidak pernah bersifat pribadi sepenuhnya, melainkan telah terbagi, dan menjadi bagian kesadaran orang lain.6 Pendekatan fenomenologis Schutz ini, kemudian dikembangkan Peter L. Berger dalam memahami perilaku beragama di tengah masyarakat. Berger dan Thomas Luckmann (1990) menyusun suatu risalah sosiologi pengetahuan yang menganggap bahwa realitas terbentuk secara sosial. Tesis yang sangat dipengaruhi pendekatan fenomenologis Schutz ini, kemudian juga dipakai Berger (1991) untuk menganalisis agama sebagai realitas sosial. Menurut Berger, agama itu secara dialektis membentuk dan sekaligus dibentuk penganutnya. Dia memahami bahwa tindakan beragama seorang individu, tidak cukup hanya dijelaskan dari pandangan determinitistik Durkheimian, atau subjektifistik Weberian. Lebih dari itu, Berger percaya bahwa objektivisme agama mempunyai kekuatan memaksa penganutnya untuk taat melalui proses internalisasi, dan di sisi lain penganutnya juga memiliki subjektivisme kebebasan bertindak melalui proses eksternalisasi.7 Studi ini berupaya menelisik kesadaran peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat, dengan menggunakan pendekatan fenomenologis Schutz. Suatu pendekatan untuk mengungkapkan makna di balik keterlibatan individu dalam praktek keagamaannya. Bagaimanapun juga realita fenomena pengajian Mocopat Syafaat, menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang masih menuntut jawaban. Masih belum ditemukan suatu hasil studi yang berupaya mengungkapkan konstruksi pemaknaan peserta shalawatan, serta memotret sikap dan perilaku keseharian mereka. Peserta shalawatan, tentu memiliki konstruksi pemaknaan otentik terhadap pengajian Mocopat Syafaat. Beberapa studi terdahulu yang dilakukan 6 Irving, M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal, 259. 7 Peter, L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991, hal, 4.
5
Rozi (2005) dan Wahyu (2010), menempatkan pengajian Mocopat Syafaat sebagai suatu gerakan politik dan sosial. Sejumlah studi lain, juga masih mengkaji pengajian Mocopat Syafaat secara struktur-kelembagaan, dan dari sudut cara pandang orang luar. Studi yang lebih menekankan pada sisi konstruksi pemaknaan subjektif pelaku, dengan sudut pandang orang dalam, masih terbilang langka. Jikapun terdapat studi yang menggunakan frame atau kerangka terakhir, itupun dengan menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda. Sehingga, studi sosiologis dengan pendekatan fenomenologis Schutz, dirasa masih mendapat tempat untuk mengkaji fenomena sosial-keagamaan yang janggal ini. Maka dari itu, studi ini bertujuan (tujuan studi ini adalah) mengembalikan makna shalawatan bersama pada pengajian Mocopat Syafaat kepada peserta shalawatan, dan memotret perilaku dan pilihan sikap mereka dalam kehidupan keseharian. Pada konteks ini, akhirnya persoalan meaning atau pemaknaan, persepsi, nilai-nilai, alasan, motif, argumentasi, maksud dan harapan, harus dikembalikan kepada peserta shalawatan yang mengalami secara langsung. Peserta shalawatan, tentunya memiliki konstruksi pemaknaan subjektif tersendiri terhadap pengajian Mocopat Syafaat, dan studi ini berkepentingan menangkap proses konstruksi pemaknaan subjektif itu. Dengan pendekatan fenomenologis Schutz, cara memandang peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat akan lebih terwakili. Pengalaman subjektif peserta shalawatan menjadi penting untuk ditelusuri, dikaji ulang, dan diceritakan kembali, dengan memakai jarak pandang, sudut pandang, dan cara pandang mereka yang terlibat langsung. Sejumlah asumsi awal yang bersifat (mengandung) pertanyaan terhadap pengajian Mocopat Syafaat dapat dimunculkan di sini. Pertama, di tengah kondisi masyarakat modern yang kian rasional, nilai-nilai agama yang dulu oleh Weber dipercaya mendukung berdirinya kapitalisme, justru tampak mulai tergerus oleh perkembangan sistem kapitalisme itu sendiri.8 Rasionalitas birokrasi modern telah menggerogoti semangat beragama penganutnya. Apakah gejala intelektualisme dan spiritualisme agama sebagaimana yang tampak pada pengajian Mocopat 8
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Jakarta: Gramedia, 1988, hal,
239.
6
Syafaat merupakan suatu antitesis atau sintesis terhadap kondisi itu. Apakah fenomena pengajian Mocopat Syafaat sedang ingin membenarkan pendapat Andre Malraux, seorang filsuf Perancis tentang abad ke-21 sebagai the age of religion atau abad agama, atau malah justru sedang membenarkan pendapat Marx bahwa candu agama menjadikan asing penganutnya akan dunia luar. Kedua, apakah pengajian Mocopat Syafaat suatu proyek besar yang sedang mengemban misi politis sebagaimana yang diamanatkan seorang pemikir budaya Soedjatmoko, “apabila kita berniat mengurangi kemungkinan penindasan yang lebih besar di abad ke-21, masyarakat harus belajar mengembangkan saluran yang tidak diracuni dan kurang manipulatif bagi informasi, partisipasi dan aksi pilitik.”9 Atau semua itu, tidak lain adalah bentuk dominasi struktur (negara/lembaga agama) atas diri individu, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim. Boleh jadi komunalitas atau kebersamaan peserta shalawatan, bukan semata atas dasar pilihan sadar yang berangkat dari pemahaman nilai-nilai agama, tapi lebih karena dogmatisasi belaka. Apakah secara individualitas, peserta shalawatan memang religius sebagaimana yang dipraktekkan, atau itu hanya sekedar tindakan semu penuh kepuraan karena berhubungan dengan legitimasi pihak tertentu. Ketiga, sejak abad ke-14 hingga abad ke-16 Masehi, renaissance atau kelahiran kembali, dan aufklarung atau pencerahan Eropa – yang menekankan kebebasan dan rasionalisme – mulai mencampakkan sakralitas nilai-nilai agama. Sejak itu pula, secara perlahan agama mulai ditinggalkan oleh penganutnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan juga teknologi informasi, telah menyingkap tirai pesona dunia, menggantikan peran agama dalam kehidupan masyarakat modern. Namun hari ini, semangat nilai-nilai agama sudah mulai muncul kembali dalam bentuk spiritualisme di belahan Eropa dan Amerika. Apakah ini semacam titik balik kepercayaan masyarakat modern pada nilai-nilai agama, setelah sekian lama digerogoti oleh semangat renaissance dan aufklarung. Apakah gejala yang tampak pada pengajian Mocopat Syafaat merupakan bagian darinya.
9
Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko, (peny.), Menjelajah Cakrawala Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko, Jakarta: Gramedia, 1994, hlm, 203.
7
Keempat, bershalawat atau shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat dari sudut pandang tertentu bukanlah termasuk kegiatan populer di tengah masyarakat modern, apalagi bila dilakukan secara bersama-sama. Shalawatan merupakan aktifitas keagamaan yang bercorak tradisional. Sementara semangat masyarakat hari sekarang adalah meninggalkan hal-hal yang bersifat tradisional-keagamaan menuju pada sesuatu yang bersifat modern dan sekuler. Gaya hidup glamor, hedon dan konsumtif sudah menjadi tren atau kecenderungan masyarakat modern. Lalu, apakah ekspresi keagamaan peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat merupakan wujud resistensi (perlawanan) atas modernitas, atau justru bentuk lain tersubordinasinya dimensi sakralitas agama di tengah masyarakat modern. Apakah ini semacam budaya tandingan dengan spirit perlawanan, atau hanya pengakuan kekerdilan agama dan ketidakmampuannya menghadapi semangat zaman. Atau, apakah semua ini hanya semacam ekspresi bentuk “kekalahan” kalangan penganut agama di tengah dominasi dan semaraknya budaya populer masyarakat modern. Bagaimanapun juga shalawatan bersama pada pengajian Mocopat Syafaat di dusun Jetis Kasihan Bantul Yogyakarta, sedikit banyak tetap menunjukkan gejala berbeda. Shalawatan bersama ini terbilang konsisten, massif, kontinu dan terpola. Merupakan suatu peristiwa yang “janggal” dan mengherankan, tatkala mengetahui dan menyaksikan peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat tetap bergeming selama berjalannya pengajian. Padahal, pengajian ini berlangsung selama tujuh jam, dari sejak lepas waktu shalat isya hingga jelang waktu shalat subuh, dini hari. Apa yang membuat peserta shalawatan sebegitu antusiasnya. Tidakkah mereka memiliki pertimbangan tertentu, sehingga sampai memutuskan untuk hadir dan ikut melibatkan diri pada pengajian Mocopat Syafaat. Atas sebab apa, dan demi untuk apa mereka tergerak datang. Tentu, tidak dengan serta merta dan begitu saja mereka memutuskan ikut pengajian Mocopat Syafaat. Mereka, diasumsikan mempunyai berbagai motif dan makna yang tidak tunggal.
8
1.2. Rumusan Masalah Sejumlah asumsi yang terdapat pada latar belakang penelitian di awal dirasakan perlu untuk dikonfirmasikan pada fakta yang sesungguhnya. Demi untuk mengonfirmasi beberapa asumsi tersebut dengan cara menemukan data yang valid berkenaan dengan pengalaman peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat, maka pencarian kembali jawaban, atas fenomena pengajian yang janggal ini dilakukan. Dari beberapa asumsi yang telah disampaikan di awal, maka penelitian ini memokuskan pada dua pertanyaan pokok yang juga telah diformulasikan dalam bentuk rumusan masalah sebagaimana berikut. Bagaimana konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat? Bagaimana konstruksi pemaknaan itu dipahami kembali oleh peserta shalawatan dalam konteks kehidupan sosial sehari-harinya?
1.3. Tujuan Penelitian Studi ini dimaksudkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan mendasar yang telah disampaikan pada rumusan masalah di awal. Sederhananya penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan menggambarkan konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, berikut representasi konstruksi pemaknaan itu, di dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari peserta shalawatan. Dengan mendeskripsikan konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, berikut representasinya dalam kehidupan sosial sehari-hari mereka, diasumsikan dapat pula memaparkan pengalaman-pengalaman subjektif mereka selama melibatkan diri pada pengajian Mocopat Syafaat. Dengan kalimat lain, studi ini menceritakan kembali pengalaman subjektif peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat, dengan memakai cara mereka memandang. Peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat yang secara aktif-intensif terlibat langsung, merupakan seorang individu yang menjadi bagian dari anggota masyarakat dimana mereka tinggal-menetap dan menjalani kehidupan sosial kesehariannya. Keterlibatan dalam kurun waktu yang terbilang lama, sebagai peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat, tentu memiliki makna tertentu pula, ketika memerankan diri sebagai anggota masyarakat dimana
9
mereka tinggal-menetap dan menjalani kehidupan sosial kesehariannya. Studi ini sekali lagi menggambarkan pengalaman subjektif, dan semesta makna yang telah didapatkan peserta shalawatan selama mengikuti pengajian Mocopat Syafaat, berikut representasi makna itu dalam konteks kehidupan sosial sehari-harinya.
1.4. Manfaat Penelitian Dengan menemukan jawaban dari pertanyaan pada rumusan masalah di awal, maka studi ini dimaksudkan untuk dapat memunculkan ke permukaan, mengenai keberadaan suatu fenomena pengajian, berikut orang-orang yang secara sadar terlibat dan melibatkan diri pada pengajian tersebut. Muara dari penelitian ini adalah mengandaikan terjadinya penularan kesadaran ke individu-individu lain. Paling minimal, kebermanfaatan studi ini adalah terdapat pada pengungkapan pengalaman, rasa, motivasi, semangat, berikut kesadaran peserta shalawatan yang melibatkan diri pada pengajian Mocopat Syafaat. Syukur-syukur bila kenyataan ini dapat memercik, dan menular pada individu lain di tempat dan waktu berbeda.
1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang pengajian Mocopat Syafaat dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Mohammad Rozi (2005) tentang “Negeri Kecil di Negeri Besar: Studi tentang Upacara Ritual Komunitas Maiyah di Bantul Yogyakarta”. Dengan menggunakan metode Etnografi, Rozi mengungkapkan bahwa pengajian Mocopat Syafaat merupakan fenomena kultural yang mengarah pada gerakan islam komunal berbasis santri. Kaum santri dengan mengenakan simbolisme islam seperti peci dan sarung, masih terbilang mendominasi peserta shalawatan yang hadir pada waktu itu. Kondisi ini juga yang mengantarkan Rozi sampai pada sebagian kesimpulan bahwa kegiatan peserta shalawatan adalah sebagai sebuah gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum santri. Dalam penelitiannya, Rozi menyimpulkan bahwa pengajian Mocopat Syafaat yang tampak sebagai ritual keagamaan ternyata lebih banyak mengarah pada bentuk gerakan islam komunal, yang mana gerakan ini lebih bersifat politis dan sebagai bentuk anyar atau aktual dari gerakan islam konvensional yang selama ini cenderung bersifat assosiasional.
10
Ian Leonard Betts (2006), telah membukukan hasil penelitian seputar Maiyah secara lebih luas, berikut sosok Emha Ainun Nadjib dengan judul The Silent Pilgrimage: Emha Ainun Nadjib, A Lifelong Journey of Faith. Edisi bahasa indonesia diberi judul Jalan Sunyi Emha. Bett menceritakan bahwa sejak perkenalan pertamanya pada 1998, dia selalu mengikuti berbagai aktifitas Emha dan berhasil menghimpun banyak informasi secara langsung darinya. Tidak hanya itu, dia juga berhasil mewawancarai beberapa kolega dekat Emha, kemudian meminta komentar mereka mengenai sosok Emha. Selain mengupas tentang beberapa karya Emha, Betts juga banyak menyoroti perjalanan Emha bersama musik KiaiKanjeng baik di aras lokal maupun global. Betts menyimpulkan bahwa pasca reformasi 1998, Emha dengan musik KiaiKanjeng lebih memilih jalan sunyi ketimbang turut meramaikan hiruk-pikuk kontestasi politik nasional kala itu. Jalan sunyi itu ia lalui dengan menyambangi berbagai lapisan masyarakat, dari masyarakat kota hingga pelosok desa dan bahkan mancanegara. Bagi Bett, Emha adalah sebuah paradoks. Dia (Emha), menurut Bett, mengetahui betul, dan bicara banyak mengenai kebobrokan politik nasional tapi tidak berhasrat menduduki jabatan politik tertentu. Emha lebih memilih untuk “disisihkan” dari kontestasi perpolitikan nasional, dan menempuh jalan sunyi dengan melayani masyarakat. Penelitian tentang pengajian Mocopat Syafaat juga telah dilakukan oleh Wahyu Aji Nugroho (2010) mengenai “Komunitas Maiyah sebagai Sebuah Gerakan Sosial Baru menuju Masyarakat Multikultural”. Dengan menggunakan metode Case Study, Wahyu menyimpulkan bahwa pengajian Mocopat Syafaat merupakan sebuah bentuk gerakan sosial baru menuju masyarakat multikultural. Menurut Wahyu, sikap toleransi yang tergambar pada pengajian Mocopat Syafaat dipercaya dapat menjadi modal berharga dalam sebuah gerakan sosial baru menuju masyarakat multikultural. Selain itu, Prayogi R. Saputra (2012), juga telah melakukan kajian terhadap pengajian Mocopat Syafaat. Saputra menceritakan berbagai pengalamannya selama mengikuti pengajian Mocopat Syafaat dengan merefleksikan tema-tema yang pernah didiskusikan. Saputra sebagai pelaku, telah dengan baik menulis tentang pengajian Mocopat Syafaat secara independen, dalam arti tidak terikat
11
secara formalitas akademik. Dia lebih banyak menyoroti secara reflektif berbagai pemikiran dan permenungan Emha Ainun Nadjib, dan juga beberapa tema diskusi yang dibahas pada pengajian Mocopat Syafaat. Dari beberapa diskusi yang diikutinya, Saputra menyimpulkan bahwa pengajian Mocopat Syafaat lebih banyak menekankan pada arti penting kerjasama antara akal, hasrat dan qolbu. Siapa saja yang dapat menyeimbangkan sistem kerja ketiga komponen yang melekat pada diri setiap manusia itu, maka ia termasuk orang yang berhasil. Saputra menuliskan bahwa pada pengajian Mocopat Syafaat, wacana mengenai pengelolaan ketiga komponen tersebut kerap didiskusikan. Bahkan terrefleksikan dalam sejumlah lirik lagu ciptaan KiaiKanjeng. Dari beberapa penelitian terdahulu mengenai pengajian Mocopat Syafaat, ternyata masih belum didapati suatu hasil penelitian yang menggambarkan konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, dan pengalaman subjektif dalam kehidupan sosial kesehariannya. Maka dari itu, studi ini berupaya menekuni makna, mendeskripsikan pengalaman subjektif, serta menemukan aplikasi/representasi makna itu, dalam sikap dan perilaku keseharian peserta shalawatan. Menilik dari fokus kajiannya, tentu studi ini berbeda, atau tidak sama dengan studi sebelumnya. Pada sejumlah studi yang telah dilakukan, masih belum ditemukan suatu upaya untuk bagaimana mengungkapkan motifmotif, konstruksi pemaknaan, berikut pengalaman subjektif peserta shalawatan. Jika mencermati perkembangan pengajian Mocopat Syafaat belakangan ini, maka tesis awal dalam penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa pengajian Mocopat Syafaat lebih sebagai semacam gerakan yang bersifat politis, ternyata hingga hari ini tidak terbukti, setidaknya itu masih belum teraktualkan. Sementara itu, kesimpulan awal yang menyatakan bahwa pengajian Mocopat Syafaat sebagai bentuk gerakan sosial baru menuju masyarakat multikultural, kiranya itu hanya dapat ditemui/disaksikan dalam wujud semangat pluralitas dan insklusifitas yang terbangun dalam pengajian itu sendiri. Akan tetapi, sekali lagi bahwa klaim atas pengajian Mocopat Syafaat sebagai suatu gerakan politis dan gerakan sosial, butuh ditelusuri kembali dengan menggunakan perspektif dan cara pandang peserta shalawatan – yaitu, mereka yang secara aktif-intensif melibatkan diri pada
12
pengajian Mocopat Syafaat. Bagaimana sesungguhnya konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, yang dikatakan sebagai suatu gerakan tersebut. Upaya ini setidaknya dapat menggambarkan pengalaman subjektif peserta shalawatan dengan menggunakan cara pandang mereka sendiri, yang secara langsung melibatkan diri pada pengajian Mocopat Syafaat. Pencarian kembali atas konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, dan bagaimana konstruksi pemaknaan itu dipahami kembali oleh mereka dalam konteks kehidupan sosial sehari-harinya, dilakukan dalam rangka mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh beberapa studi akademik terdahulu, mengenai pengajian Mocopat Syafaat. Ruang kosong yang dimaksud yakni level kesadaran-individual tiap-tiap peserta shalawatan dalam memaknai pengajian Mocopat Syafaat, yang disimpulkan sebagai suatu gerakan. Penelitian ini menjadikan level kesadaran-individual tiap-tiap peserta shalawatan, sebagai sandaran utama. Melangkah dari situ, studi ini berupaya menemukan konstruksi pemaknaan peserta shalawatan terhadap pengajian Mocopat Syafaat, berikut representasi pemaknaan itu, pada konteks kehidupan sosial sehari-harinya. Di samping beberapa argumentasi di awal, tetap harus diakui pula bahwa pada batas tertentu, memang terdapat kemiripan antara studi ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah peneliti terdahulu, mengenai pengajian Mocopat Syafaat. Secara lebih luas, studi ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu sama-sama menjadikan peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat sebagai fokus kajian dan unit analisis. Namun penelitian ini tetap berbeda dalam hal permasalahan mendasar yang menjadi sandaran utama, dan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, ketidaksamaan metode dan pendekatan juga menjadi pembeda. Dengan begitu, tentunya hasil akhir dari penelitian ini tetap akan memiliki keunikan tersendiri dan tentunya akan berbeda pula dengan hasil temuan pada penelitian terdahulu.
13
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Studi ini merupakan jenis penelitian lapangan yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan kualitas data yang bernilai-sarat makna, dan mendalam serta valid. Sementara pendekatan fenomenologis dimaksudkan untuk menggambarkan data secara apa adanya berdasarkan tampakan fenomena. Pendekatan fenomenologis mencoba menemukan dan memahami secara lebih mendalam semesta makna pengajian Mocopat Syafaat bagi peserta shalawatan. Fenomenologi sebagaimana diungkapkan Bogdan dan Tylor (1992), memandang sikap dan tindakan individu – yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan orang – sebagai produk dari cara orang tersebut menafsirkan dunianya.10 Fenomenologi sebagai suatu pendekatan, dipercaya dapat menangkap proses penafsiran itu. Proses penafsiran dalam pendekatan fenomenologis, sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Berger dan Kellner (1985), bahwa kerja penafsiran membutuhkan penyesuaian antara struktur relevansi pengamat dengan struktur relevansi orang lain dan kelompok di mana ia termasuk.11 Seorang pengamat tidak dapat menafsirkan makna orang lain tanpa mengubah, walaupun paling sedikit, sistem makna pada dirinya sendiri.12 Pendekatan fenomenologis, dipahami memiliki lingkup-cakupan lebih luas ketimbang metode kualitatif. Metode kualitatif sebagai cara mendapatkan data, tentu mengandaikan terlebih dahulu seorang pengamat dapat menghampiri realitas, termasuk informan, secara fenomenologis. Pendekatan fenomenologis membimbing pengamat agar dapat masuk ke dalam dunia pemikiran informan, dan kemudian berpikir sebagaimana mereka berpikir. Pendekatan fenomenologis menempatkan suasana dan atmosfer penelitian sebagai yang pertama kali bagi
10
Robert Bogdan dan Steven J. Tylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif, suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa oleh Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional, 1992, hal, 35-6. 11 Peter, L. Berger dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali, Esai tentang Metode dan Bidang Kerja, Jakarta: LP3ES, 1985, hal, 26. 12 Ibid, hal, 27.
14
pengamat, kemudian membantunya agar dapat konsisten layaknya pemula abadi.13 Apa yang akan dilakukan oleh seseorang yang mengalami sesuatu sebagai pengalaman pertama kali – ibarat terlempar pada suatu tempat yang sama sekali baru. Tentunya orang ini akan menganggap pengalamannya itu sebagai sesuatu yang bernilai, dan berusaha mencerap makna dari pengalaman itu sebagaimana adanya. Asumsi teoretik sebagai pisau analisis dalam melakukan interpretasi dan penafsiran, telah lebih dulu ditangguhkan. Dengan demikian, setiap jawaban informan, dan gejala yang nampak, akan dipandang sebagai penuh makna.
1.6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Setiap jenis penelitian lapangan tentunya mensyaratkan terdapatnya konteks di mana penelitian lapangan itu dilakukan. Hal ini tentunya akan sangat berbeda dengan, misalnya jenis penelitian literatur, yang mana pada yang terakhir ini, dalam operasionalnya, peneliti lebih banyak berkutat pada persoalan teks semata. Penelitian mengenai pengalaman subjektif peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat dilakukan di Dusun Jetis, Kelurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan unit analisis individu (baca: peserta shalawatan) yang secara aktif dan intensif ikut terlibat pada pengajian Mocopat Syafaat. Mengenai kapan waktu penelitian ini dilakukan, secara struktural formalitas akademik, studi ini sebenarnya telah dimulai sejak berakhirnya semester kedua perkuliahan: pada akhir September 2012, hingga awal Januari 2013. Sehingga rentang waktu yang dilalui selama proses penelitian adalah berkisar tiga bulan lebih dua minggu. Akan tetapi peneliti dalam hal ini telah juga melakukan upayaupaya pendekatan awal semacam pre-observation yang sudah dimulai sejak 2011 pertengahan. Di samping itu, kondisi lapangan menyebabkan penelitian berlanjut hingga Desember 2013. Dari beberapa kali pengamatan langsung di lapangan dilakukan, yaitu pada saat pengajian Mocopat Syafaat diadakan, akhirnya peneliti
13
Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 2002, hal,
110-1.
15
telah mendapatkan informasi awal yang berkenaan dengan ’orang dalam’ yang sekaligus ’penjaga pintu’ untuk peneliti sampai bisa masuk pada informan.
1.6.3. Subyek Penelitian Subjek penelitian dalam studi ini adalah individu (peserta shalawatan) yang secara aktif dan intensif mengikuti pengajian Mocopat Syafaat. Mengingat peserta shalawatan yang hadir tidak sedikit, maka penentuan kriteria informan dilakukan dengan kembali mempertimbangkan tujuan, kegunaan dan maksud awal penelitian ini. Tujuan studi ini adalah menemukan makna pengajian Mocopat Syafaat bagi peserta shalawatan. Maka dari itu, kriteria informan melingkupi beberapa ketentuan sebagai berikut. Pertama, peserta shalawatan yang melibatkan diri secara aktif-intensif dari sejak pengajian Mocopat Syafaat pertama kali diadakan hingga saat sekarang tetap masih terlibat. Kedua, peserta shalawatan aktif-intensif dan yang juga memiliki kemampuan artikulatif dalam menceritakan pengalaman subjektifnya. Ketiga, tentu saja peserta yang dimaksud haruslah juga merupakan seorang individu-aktif yang menyadari perannya sebagai bagian dari anggota masyarakat dimana ia tinggal dan menjalani aktifitas kehidupan kesehariannya. Kriteria pertama memiliki arti penting terkait dengan kebutuhan akan datadata yang bersifat dinamis dan progresif mengenai dinamika pengajian Mocopat Syafaat. Kriteria berikutnya lebih mempertimbangkan sisi kemudahan dan efisiensi dalam menangkap dan memahami penuturan informan. Hal ini dipertimbangkan karena berangkat dari asumsi awal bahwa sejumlah peserta shalawatan pada masa awal pengajian adalah warga setempat yang berbahasa jawa dalam komunikasi kesehariannya. Penuturan pengalaman subjektif informan, dengan sepenuhnya dalam bahasa jawa akan menjadi kendala bagi peneliti. Kriteria terakhir, memiliki arti penting untuk mendapatkan variasi status sosial dan aktifitas keseharian informan, yang dalam mana mereka berinteraksi. Penentuan informan berdasarkan kriteria di awal dilakukan dengan bertanya kepada ’penjaga pintu’ pengajian Mocopat Syafaat. Penjaga pintu yang dimaksud adalah ’orang dalam’ yang sekaligus pembabat alas pengajian Mocopat Syafaat. Penjaga pintu mempunyai informasi awal berkenaan dengan peserta shalawatan
16
yang aktif-intensif mengikuti pengajian Mocopat Syafaat hingga saat sekarang. Selain itu, penjaga pintu juga secara umum mengetahui seputar aktifitas keseharian peserta shalawatan tersebut. Informasi ini tentu amat berarti dan sangat membantu sebagai upaya seleksi awal, di tengah tingginya tingkat fluktuasi keterlibatan peserta shalawatan yang sangat banyak itu. Selain itu, informasi awal mengenai aktifitas sehari-hari peserta shalawatan yang aktif-intensif dari penjaga pintu juga menjadi dasar awal dalam menentukan informan. Informasi dari penjaga pintu dirasakan cukup mendasar karena dia merupakan orang di balik layar. Tentu tidak mengherankan bila penjaga pintu cukup mengenal dengan baik sejumlah peserta shalawatan, terutama yang terlibat pada awal-awal pengajian Mocopat Syafaat diadakan, yang ternyata mereka juga tetap masih aktif ambil bagian hingga hari sekarang. Setelah mengetahui dan menemui informan yang memiliki pengalaman lebih lama dan berkemampuan artikulatif dalam menceritakan pangalamannya itu, serta bersedia berbagi pengetahuan mengenai pengajian Mocopat Syafaat, maka langkah berikutnya adalah pengamat kembali mengkonfirmasi informan terkait mengenai keterlibatannya dalam pengajian Mocopat Syafaat. Penegasan ini dimaksudkan untuk mengetahui secara sadar bahwa informan terkait, mengikuti pengajian Mocopat Syafaat memang berangkat dari pilihan diri yang sadar. Kriteria informan semacam inilah yang diasumsikan dapat menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian secara fenomenologis. Berdasarkan kriteria informan yang telah ditentukan di awal, maka didapati tujuh peserta shalawatan yang memenuhi kriteria dan juga bersedia terlibat dan dilibatkan dalam penelitian.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melalui beberapa cara yaitu pengamatan langsung, wawancara dan dokumentasi. Pertama, pengamatan langsung ditempuh dengan dua cara: tidak terlibat dan terlibat. Pengamatan langsung tidak terlibat, memosisikan diri pengamat sebagai orang luar. Pengamat hanya mengamati saja peristiwa pengajian sebagai seorang non-partisan dengan pengambilan jarak. Sedangkan, pengamatan langsung terlibat
17
memosisikan diri pengamat sebagai orang dalam. Pada momentum ini, diri pengamat adalah juga diri peserta shalawatan; pengamat juga sekaligus peserta shalawatan. Pengamatan langsung terlibat mengandaikan seorang pengamat mampu memandang dengan menggunakan cara pandang peserta shalawatan. Kedua, wawancara dengan sejumlah informan. Jika menggunakan istilah tahapan, maka pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung (pada pembahasan sebelumnya) merupakan kategori tahap pertama. Pada tahap berikutnya, pengamat melakukan wawancara secara mendalam dengan sejumlah informan. Cara wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur, sehingga proses wawancara terkesan sangat cair-mengalir mengikuti alur sudut pandang informan. Tentunya “tidak terstruktur” di sini dimaksudkan sebagai bentuk antisipasi atau sikap preventif pengamat, agar jawaban yang disampaikan tidak menjadi bias. Terkadang, atau malah justru sering terjadi, strukturisasi pertanyaan penelitian dalam wawancara, mengesankan jawaban informan bias sudut pandang pengamat. Maka dari itu, tidak terstrukturnya pertanyaan wawancara, tidak lain adalah demi untuk mendapatkan data yang sifatnya mendasar dari sudut pandang informan. Ketiga, telaah atas dokumen: memanfaatkan sumber data sekunder yang didapatkan dari sejumlah literatur yang memuat informasi mengenai pengajian Mocopat Syafaat. Dalam hal ini, data sekunder bisa saja berupa tulisan seperti dalam bentuk laporan hasil riset, buletin dan buku, atau rekaman dalam bentuk audio dan video. Selain itu, studi ini juga memanfaatkan dokumen dan arsip literatur yang secara substansi memiliki keterkaitan langsung dengan penelitian. Berikutnya, pengumpulan dan penggalian data kualitatif dengan bersandar pada pendekatan fenomenologis dilakukan dengan benar-benar menjaga validitas dan kualitas data dengan cara menempatkan informan sebagai individu yang sadar serta menyadari keterlibatannya pada pengajian Mocopat Syafaat. Peristiwa dan aktifitas pengajian diasumsikan hanya bisa digambarkan oleh informan yang berkesadaran, tentunya dengan mensyaratkan tidak adanya sikap intimidatif oleh pengamat terhadap informan. Sikap intimidatif itu bisa saja dalam bentuk susunan pertanyaan wawancara. Dengan argumentasi tersebut, maka kelirulah jika pengamat memosisikan diri sebagai pihak aktif-dominatif, yang menjadikan daftar
18
wawancara sebagai pedoman. Justru sebaliknya, pengamat lebih bersikap pasifreaktif terhadap informan, ini artinya bahwa pertanyaan pada saat wawancara, bersifat mengalir mengikut alur jawaban yang disampaikan kepada pengamat. Kemudian, setelah wawancara dianggap cukup dan selesai, pengamat (sekali lagi) melakukan pengamatan langsung ke lapangan. Cara ini, dimaksudkan untuk melakukan cross check atas data yang telah didapatkan dari informan pada saat wawancara, dengan kenyataan di lapangan. Kepentingan pengamat dalam hal ini adalah untuk melihat kembali secara langsung atas apa yang telah dikatakan (disampaikan) informan pada saat proses wawancara. Tentunya cara ini dilalui demi untuk menjaga validiatas dan kualitas data yang telah didapatkan sebelumnya melalui wawancara. Maka dari itu perlu dipertegas lagi di sini, bahwa sumber data primer dalam penelitian lapangan tidak selalu hanya informan, tapi data primer juga melingkupi fenomena dalam bentuk peristiwa dan juga aktifitas di lapangan. Pada akhirnya dapat disadari, bahwa fenomena, selalu dipahami sebagai sumber data yang tidak kalah primer-nya ketimbang informan. Penelitian ini pada kenyataannya sangat bersifat dinamis. Artinya pengamat, dalam upaya mendapatkan data dari informan, tidak hanya berhenti pada saat pengajian Mocopat Syafaat diadakan, tapi lebih dari itu, pengamat juga menindaklanjuti pada waktu dan tempat berbeda, dimana informan bisa ditemui. Wawancara dengan beberapa informan kerap dilakukan di tempat tinggalnya. Sejumlah informan dalam studi ini tinggal menetap di lokasi pengajian Mocopat Syafaat diadakan. Pengamat memilih tidak tinggal-menetap, mempertimbangkan jarak yang cukup dekat dari tempat tinggal menuju lokasi. Tambahan pula aksesnya sangat mudah dijangkau dan dilalui dengan kendaraan roda dua. Setiap satu atau dua hari dalam satu minggunya, pengamat datang dengan sepeda motor. Agenda bertemu pun mengikuti aktifitas keseharian informan. Seorang informan yang memiliki aktifitas sebagai pedagang di pasar memilih bertemu pada sore hari dan terkadang malam hari. Pada saat wawancara dilakukan, pengamat memulai bertanya dengan sejumlah pertanyaan kunci kepada informan. Selebihnya peran pengamat adalah menjadi pendengar yang baik, sembari sekali-sekali memunculkan pertanyaan yang sifatnya meminta penegasan
19
dan konfirmasi, atau hanya sekedar mengulang pernyataan yang disampaikan untuk menunjukkan perhatian bahwa pengamat masih mendengarkan ceritanya. Pada saat pertemuan pertama kali dengan setiap informan, sebagaimana biasanya, pengamat selalu memulai dengan memperkenalkan diri pertama kali. Setelah itu, diteruskan dengan menanyakan persoalan yang sifatnya umum seperti aktifitas kesehariannya, internal keluarga, dan lingkungan sekitar. Selebihnya, wawancara dan pendalaman data menarik lainnya, dilanjutkan pada hari-hari lain. Sebagian informan, lebih mudah untuk ditemui, tapi beberapa yang lain mempunyai jadual kantor yang cukup padat. Menyiasati yang terakhir ini, pengamat membuat janji untuk bertemu di akhir pekan, saat hati libur atau masa cuti. Pada momentum pertama kali bertemu, informan merasa canggung, mereka berpikir tidak pantas untuk bercerita terkait pengalamannya selama mengikuti pengajian Mocopat Syafaat. Memahami suasana yang demikian, pengamat berinisiatif untuk bersikap lebih merendahkan hati dengan mengatakan bahwa informan terkait mempunyai sesuatu yang penting untuk diceritakan. Kemudian selalu disusul dengan keterbukaan untuk menceritakan lebih dulu tentang diri pribadi dan tujuan studi. Dengan begitu, sekiranya informan mendapatkan suasana nyaman dan merasa tidak ada beban untuk bercerita. Upaya ini umumnya berhasil. Setelah pengamat bercerita mengenai diri pribadi, direspon dan ditimpali dengan pertanyaan dari informan. Pada saat menjawab inilah, pengamat secara alamiah mulai memasuki dunia pengalaman informan dengan cara memberikan pertanyaan balik berupa pertanyaan yang bersifat umum dan sejumlah pertanyaan kunci. Selain itu, pengamat juga ikut melibatkan diri pada sejumlah forum yang diikuti oleh informan. Upaya ini dilakukan selain untuk mendapatkan perhatian dari informan juga untuk menjaga hubungan baik agar komunikasi tetap berjalan lancar, cair dan mengalir. Tentunya upaya ini juga dilakukan dalam rangka melihat secara langsung aktifitas informan sejauh yang masih bisa dijangkau oleh pengamat. Kemudian pada pengajian Mocopat Syafaat tiap tanggal tujuh belas setiap bulannya, pengamat mengusahakan melibatkan diri. Sesekali memerankan diri sebagai peserta shalawatan, ini artinya pengamat melakukan pengamatan terlibat. Kemudian pada saat yang lain menjadi pengamat tidak terlibat, sembari
20
melakukan refleksi atas apa yang dilihat, didengarkan, dan dirasakan saat itu, atas peristiwa dan aktifitas peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat. Berikut adalah skema proses pengumpulan data yang dilakukan. Fenomena pengajian Mocopat Syafaat dan informan merupakan sebagai sumber data utama bersifat primer. Yang pertama, data didapatkan dengan cara pengamatan, baik secara terlibat maupun tidak terlibat. Yang kedua data diperoleh dengan cara wawancara tidak terstruktur terhadap (dengan) informan. Sementara data sekunder didapatkan dari seleksi dan pembacaan atas berbagai teks dan literatur.
sumber data (primer) fenomena pengajian mocopat syafaat
pengamat /peneliti pengamatan terlibat & tak terlibat
wawancara
(primer) informan
pembacaan teks
(sekunder) dokumen & literatur
Bagan 1: Proses Pengumpulan Data
Tentunya dengan segera, perlu ditegaskan pula di sini bahwa tidak semua data – baik data sekuder maupun primer – memiliki relevansi secara langsung dengan penelitian ini. Maka dari itu, dengan perasaan sangat menyesal (permintaan maaf dalam hati kepada informan) karena proses reduksi data tetap dilakukan. Setelah proses reduksi data selesai dilakukan, maka dengan sendirinya data yang didapatkan baik dari hasil wawancara langsung, pengamatan terlibat dan tidak terlibat, maupun data-data sekunder yang lainnya, secara otomatis telah teridentifikasikan dan terkategorisasikan. Sehingga pada tahap berikutnya, datadata yang telah diseleksi melalui proses-proses tersebut, menunggu analisis lanjutan, tentunya dengan melewati sejumlah tahapan dengan kerangka teoretik.
21
1.6.5. Teknik Analisis Data Analisis data pada studi ini dilakukan secara dinamis dan berkelanjutan, sebagaimana Bogdan dan Tylor menyatakan bahwa dalam penelitian pengamatan peserta, analisis data itu sedikit banyak merupakan proses yang berkelanjutan: saat pengumpulan data, dan setelah pengumpulan data.14 Bahkan menurut BergerKellner, analisis data sebenarnya telah berlaku sebelum pengumpulan data. Setidaknya, kerangka teoretik telah bekerja layaknya partner, saat sebelum mengumpul data.15 Seorang pengamat memiliki asumsi awal, sudut pandang dan perspektif tertentu, mengenai yang diteliti. Pengamat bukan ibarat gelas kosong, melainkan terisi asumsi teoretik tertentu sebagai mesin analisis dalam melakukan reduksi data, sistematisasi data dan penarikan kesimpulan sementara. Hanya saja pendekatan fenomenologis mendidik agar piawai meletakkan dalam tanda kurung, asumsi-asumsi teoretik yang dimiliki pada saat sebelum pengumpulan data. Tentu saja ini menjadi tugas dan tanggung jawab seorang fenomenolog melakukannya. Adapun tahapan atau langkah-langkah analisis data mengacu pada Clark E Moustakas yang meliputi empat tahapan. Pertama, penangguhan klaim/epoche; kedua, reduksi fenomenologis; ketiga, variasi imajinatif; dan keempat, perpaduan antara deskripsi tekstural dan deskripsi struktural.16 Pertama, konsep epoche memosisikan pengamat layaknya pemula, sehingga mampu menerima segala fenomena (gejala yang tampak) tanpa prasangka. Kedua, reduksi fenomenologis sebentuk upaya mengalami fenomena (melihat dan mendengar fenomena) dalam tekstur dan makna aslinya. Ketiga, variasi imajinatif menemukan makna struktur esensial fenomena dan juga pengalaman. Keempat, perpaduan deskripsi tekstural dan struktural, penggambaran hakekat fenomena secara keseluruhan.17
14
Robert Bogdan dan Steven J. Tylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif, suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial, alih bahasa oleh Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional, 1992, hal, 139. 15 Peter, L. Berger dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali, Esai tentang Metode dan Bidang Kerja, Jakarta: LP3ES, 1985, hal, 30-1. 16 Clark E. Moustakas, Phenomenological Research Method, United States of America: Sage Publication, 1998, hal, 180-1. 17 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hal, 50, 52-3.
22
Berikut adalah urut-urutan lengkap proses tahapan analisis data Moustakas yang diadopsi dari bukunya: Phenomenological Research Method.18 Pertama, epoche: menjauhkan diri dari konsepsi-konsepsi pengetahuan, kemudian membuka diri bagi kehadiran fenomena. Epoche membantu seorang pengamat supaya mampu menangguhkan asumsi-asumsi, penilaian, klaim, dan pertimbangan awal yang dimilikinya mengenai sesuatu. Suatu proses yang memutuskan hubungan pengalaman dan pengetahuan, yang dimiliki sebelumnya. Kedua, reduksi fenomenologis: menyusun klasifikasi temuan tekstural dari fenomena yang menampakkan diri, yang meliputi beberapa tahapan. (a)
Horizonalisasi: membuka diri terhadap kesemestaan makna, karena pada dasarnya setiap makna sama-sama bernilai.
(b)
Pembatasan skala pemaknaan guna mendapatkan makna yang tetap atau konstan dari pengalaman.
(c)
Penentuan kesamaan bobot dan tema: mengelompokkan unit-unit makna yang sesuai dengan tema, supaya tidak terjadi pengulangan.
(d)
Deskripsi tekstural tiap individu: memaparkan kesamaan unit makna tiap informan sesuai (mengikuti) tema.
(e)
Penggabungan deskripsi tekstural: menggabungkan deskripsi tekstural tiaptiap informan, ke dalam (menjadi) deskripsi tekstural universal. Ketiga, variasi imajinatif: memikirkan kemungkinan-kemungkinan makna
lain atas deskripsi tekstural, guna menemukan deskripsi struktural dari sebuah pengalaman (ini akan bermuara pada bagaimana pengalaman berbicara mengenai dirinya). Berikut tahapannya. (a)
Memperkaya perspektif atas fenomena dengan memanfaatkan perbedaan situasi, posisi dan peran yang tidak tunggal.
(b)
Fantasi selingan-bebas: memantasikan kemungkinan perubahan tipe-tipe struktural, yang menimbulkan tipikal tekstural.
(c)
Menyusun daftar kualitas struktural pengalaman.
18
Clark E. Moustakas, Phenomenological Research Method…, hal, 180-1. Selebihnya beberapa uraian, mengacu pada Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian…, hal, 48-53.
23
(d)
Mengembangkan tema-tema struktural yakni dengan cara mengelompokkan kualitas struktural sesuai tema.
(e)
Menggunakan struktur universal sebagai tema, meliputi: waktu, ruang, relasi dengan diri dan dengan orang lain, perhatian, kausalitas atau struktur intensional.
(f)
Deskripsi struktural tiap individu: menyatu-padukan kualitas struktural dan tema ke dalam deskripsi struktural tiap individu.
(g)
Penggabungan deskripsi struktural: menggabungkan deskripsi struktural tiap-tiap individu, ke dalam bentuk (menjadi) deskripsi struktural universal. Keempat, sintesis antara deskripsi tekstural gabungan dengan deskripsi
struktural gabungan: secara intuitif dan reflektif, menyatu-padukan keseluruhan deskripsi tekstural dan keseluruhan deskripsi struktural, guna membangun perpaduan makna dan esensi, dari fenomena dan pengalaman. Mengacu pada Moustakas, maka tahap-tahapan analisis dan penyajian data pada studi ini dilakukan dengan urutan sebagai berikut: Pertama, menerapkan konsep epoche terhadap pengajian Mocopat Syafaat sebagai suatu fenomena: teks, objek, dan makna-makna subjektif informan. Kedua, melakukan reduksi fenomenologis. (1) Melakukan horizonalisasi terhadap masing-masing informan mengenai proses mereka menjadi peserta shalawatan dengan berbagai makna subjektifnya. Alasan internal-eksternal, motifkarena, dan motif-agar. Setelah itu (2) melakukan pembatasan skala makna tetapkonstan, dengan menemukan kriteria atau tema-tema dari makna-makna yang muncul menurut informan. Misalkan makna diskusi egaliter, dikaitkan dengan tema pengetahuan. Berikutnya (3) mengelompokkan unit-unit makna tiap-tiap informan sesuai tema, agar tidak terjadi pengulangan dan tumpang tindih. Setelah itu (4) memaparkan kesamaan unit makna tiap informan secara tekstural. Kemudian (5) menggabungkan paparan tekstural tiap informan menjadi deskripsi tekstural universal. Ketiga, melakukan variasi imajinatif. (1) Memperkaya sudut pandang dalam membaca makna deskripsi tekstural universal, dengan memakai posisi, situasi dan peran berbeda. (2) Memantasikan kemungkinan struktural lain, yang akan dapat
24
memunculkan makna deskripsi tekstural. Setelah itu (3) menyusun daftar kualitas struktural pengalaman tiap informan. Kemudian (4) mengembangkan tema-tema struktural, dengan mengelompokkan kualitas struktural sesuai tema. Berikutnya (5) menjadikan struktural universal sebagai tema: ruang, waktu, kausalitas atau struktur intensional. Berikutnya lagi (6) mendeskripsikan struktural tiap informan: menggabung struktur dan tema (4+5) ke dalam (menjadi) struktural tiap informan. Dan kemudian (7) menggabungkan struktural tiap informan menjadi deskripsi struktural universal. Keempat, menyintesiskan deskripsi tekstural universal dan struktural universal: guna mengonstruksi perpaduan makna dan esensi dari fenomena dan pengalaman.
Berikut model penelitian fenomenologi yang diadopsi dari Moustakas.
Epoche (fenomena, suasana, informan&teks)
reduksi fenomenologi
variasi imanjinatif deskripsi tekstural
deskripsi struktural perpaduan deskripsi tekstural dan struktural
Bagan 2: Model Penelitian Fenomenologi Sumber: Diskematisasikan dari Clark E. Moustakas (1994: 180-1)
25
1.7. Kerangka Teoretik Kerangka teoretik atau juga kerangka konseptual untuk menganalisis data, dan tentunya yang membingkai studi ini secara keseluruhan adalah menggunakan teori fenomenologi sosial Alfred Schutz. Sejumlah pemikir fenomenologi seperti Edmund Husserl dan Martin Heidegger, masih menempatkan (memperlakukan) fenomenologi, semata sebagai metode dan bidang kerja filosofis murni. Sehingga fenomenologi filosofis keduanya, agak kurang relevan dalam menggambarkan fenomena sosial-keagamaan pengajian Mocopat Syafaat. Schutz adalah orang yang pertama kali merintis (memulai) cara kerja fenomenologi yang amat filosofis itu, ke dalam tradisi Sosiologi. Dia telah mengongkretkan fenomenologi filosofis yang sedemikian abstrak, dan kemudian membumikan (meng-awam-kan) cara kerjanya yang teoretis-filosofis itu, menjadi lebih praksis dan berwatak sosial. Fenomenologi sosial Schutz memahami dunia sosial sebagai dunia intersubjektif. Dalam konteks fenomenologi sosial, peserta shalawatan adalah subjek (individu) yang melakukan tindakan sosial bersama dengan individu lainnya, sehingga memiliki kesamaan dan kebersamaan dalam ikatan struktur makna intersubjektif. Sejumlah teori lain yang sealiran dengan teori fenomenologi sosial Schutz, seperti teori interaksi simbolik, teori tindakan sosial, dan teori konstruksi sosial, akan turut mewarnai analisis studi ini. Pada dasarnya, fenomenologi sebagai teori memiliki semangat yang sama dengan teori-teori berparadigma interpretatif lainnya. Teori Sosiologi berparadigma interpretatif lahir dari hembusan napas kreatif ilmuan sosial yang tidak puas dan sedikit jengah atas sikap otoritatif teori berparadigma positivistik. Paradigma interpretatif lebih mengedepankan makna penting tindakan individu ketimbang kekuatan institusi masyarakat. Sedangkan paradigma positivistik bersandar pada asumsi dasar bahwa kekuatan institusi masyarakat menentukan tindakan individu. Perbedaan paradigma adalah menjadi alasan utama tidak digunakannya teori yang dinaungi paradigma positivistik. Studi ini, tentu saja menggunakan paradigma interpretatif yang dikenal berwatak nominalis dan mikro-subjektif. Berikut merupakan diskusi yang berupaya menggambarkan argumentasi teori yang digunakan.
26
1.7.1. Fenomenologi Sosial Alfred Schutz (1899-1959) Schutz adalah orang pertama yang secara serius berupaya menerapkan cara kerja filsafat fenomenologi ke dalam ranah ilmu sosial, sehingga fenomenologi yang semula sangat filosofis menjadi lebih aplikatif dalam teori Sosiologi. Jauh sebelumnya, istilah fenomenologi telah diperkenalkan lebih dulu secara filosofis pada tahun 1764 oleh J. H. Lambert, dalam penjelasannya mengenai ”teori penampakan.” Kemudian, Immanuel Kant (1786) menggunakan istilah yang sama untuk membedakan antara nomena dan fenomena, antara hakikat dan tampakan. Berikutnya, Georg W. F. Hegel (1807) memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan ”pengalaman kesadaran.” Setelah Hegel, masih terdapat sejumlah filsuf lain yang menggunakan istilah fenomenologi. Namun fenomenologi sebagai sebuah arah baru dalam metode filsafat, dimulai oleh Edmund Husserl (18591938). Dia dikenal banyak kalangan sebagai bapak fenomenologi karena atas jasa besarnya dalam mengembangkan fenomenologi sebagai metode filsafat.19 Schutz membaca karya-karya awal Husserl terutama yang berkenaan dengan metode kerja fenomenologi. Fenomenologi sebagai metode filsafat terlacak dalam karya awal Husserl mengenai ”Penelitian tentang Logika” yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai permulaan fenomenologinya.20 Dalam karya lainnya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, Husserl meneliti konsep lebenswelt atau dunia kehidupan. Penyelidikan dengan memakai konsep intensional ini berupaya menyingkap kedalaman dari segala bentuk kesadaran pengalaman langsung manusia, seperti pengalaman religius, moral, estetis, konseptual dan inderawi.21 Husserl berhasil dalam penyelidikannya dan menyatakan bahwa konsep lebenswelt atau konsep dunia kehidupan yang telah dilupakan ilmu pengetahuan Eropa akibat cara berpikir positifis dan saintis, bisa menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan.22 Keberhasilan ini menjadikan cara kerja
19 20
Loren Bagus, Kamus Filsafat, cet. ke-2, Jakarta: Gramedia, 2000, hal, 234-6. Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 2002, hal,
106. 21
Loren Bagus, Kamus Filsafat…, hal, 236. R. Bubner, Modern German Philosophy, London: Cambridge University Press, 1981, hlm, 33, dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positifisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal, 59. 22
27
filsafatnya disebut-sebut sebagai filsafat fenomenologi transendental, yang menjelaskan proses primordial paling mendasar yang menjadikan manusia dapat mengetahui. Filsafat fenomenologi transendental berupaya menguraikan cara kerja kesadaran pada diri manusia, berikut proses kesadaran itu dapat terbentuk.23 Semangat filsafat fenomenologi transendental Husserl cukup memengaruhi fenomenologi sosial Schutz. Dalam salah satu bukunya, The Phenomenology of The Social World (1932, 1960, 1967, 1972), Schutz menghubungkan analisis fenomenologis atas dunia kehidupan – konsep yang dipinjam dari Husserl, dengan metodologi ilmu sosial yang dipelajarinya dari Max Weber (1864-1920).24 Dalam karyanya tersebut, Schutz mempersenyawakan ’konsep filsafat fenomenologi’ Husserlian dengan ’konsep pemahaman’ Weberian. Schutz berkepentingan menyelami dan memahami makna tindakan individu dengan menyelidiki konstruksi kesadarannya. Dia percaya bahwa kesadaran pada diri individu terbentuk melalui pengetahuannya, yang kemudian melahirkan tindakannya. Kontribusi Schutz dalam tradisi Sosiologi, salah satunya adalah pemberian arah baru bagi perkembangan Sosiologi Pengetahuan secara lebih luas. Fenomenologi sosial Schutz melakukan kritik terhadap pendekatan naturalisme25 dalam tradisi sosiologi. Schutz mengembalikan arti penting kesadaran dan makna subjektif pada setiap tindakan individu. Semangat ini telah dirintis lebih dulu oleh Weber melalui subjektifisme tindakan, dan George Herbert Mead dengan interaksionisme simbolik. Kemudian Herbert Blumer, murid Mead mengembangkan pemikiran gurunya. Belakangan, Peter Ludwig Berger dan 23
Ito Prajna-Nugroho, Fenomenologi Politik, Membongkar Politik Menyelami Manusia, Purworejo: Sanggar Pembasisan Pancasila, 2012, hal, 48. 24 Thomas S. Eberle, “The Phenomenological Life-World Analysis and The Methodology of The Social Sciences,” makalah dipresentasikan pada The Meeting of The Society for Phenomenology and Human Sciences, Arlington, 30 Oktober 2009, hal, 123. 25 Pendekatan naturalisme dalam tradisi ilmu sosial menganggap prinsip dan metode kerja ilmu alam seperti objektif; faktual-empiris; dan kuantifikasi angka, dapat diterapkan secara general dan universal pada bidang ilmu sosial-budaya yang sesungguhnya bersifat lebih cair. Anggapan keliru yang melakukan perluasan dan pukul rata pada dunia kehidupan secara luas ini kemudian dikritik oleh pendekatan fenomenologis. Kritik filosofis terhadap pendekatan naturalisme sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa pemikir sebelum Schutz. Spengler misalnya, melakukan kritik itu dari perspektif filsafat sejarah. Dia memakai istilah ‘Krisis Peradaban Barat’ yang menunjuk kepada ranah materialnya. Sementara Husserl mengritisi dari tataran filsafat murni dengan istilah ‘Krisis Budaya Eropa’ yang merujuk pada ranah logika. Periksa Hassan Hanafi, Tafsir Fenomenologi.
28
Thomas Luckmann mengadopsi ide-ide Weber, Mead, dan juga Schutz. Tidak hanya itu, Berger dan Luckmann juga menggunakan tiang penyangga lainnya berupa ide-ide objektifisme Emile Durkheim dan hukum dialektika Karl Marx. Berbeda dengan mereka, Schutz dengan semangat subjektifisme Weber dan fenomenologisme Husserl, berjuang mengembalikan kiblat subjektifisme dalam tradisi sosiologi. Dia menawarkan jalan keluar berupa komitmen dan seruanajakan untuk kembali melakukan refleksi kritis terhadap konsep-konsep mengenai kesadaran kehidupan, pemahaman tentang dunia, simbol-simbol, dan ide-ide.26 Fenomena shalawatan bersama yang banyak melibatkan peserta shalawatan, pada pengajian Mocopat Syafaat dapat dipahami dengan salah satunya melalui pintu masuk fenomenologi sosial Schutz. Ide-ide Schutz mengenai motif tindakan (agar dan karena), intensional (hubungan langsung), dan intersubjektif (saling bertukar sudut pandang), dapat membantu menekuni semesta makna shalawatan bersama pada pengajian Mocopat Syafaat. Peserta shalawatan pada pengajian Mocopat Syafaat memiliki pengalaman subjektif tertentu, sebelum, selama dan sesudah terlibat di dalamnya. Mereka datang dari latar belakang sosial budaya berbeda, dan pemikirannya juga dibentuk oleh kultur dan pengalaman yang tidak sama. Pengalaman-pengalaman peserta shalawatan, yang bisa saja dalam bentuk pemahaman terhadap simbol-simbol budaya, atau berupa konstruksi pemikiran, telah membentuk kesadaran mereka. Pemahaman terhadap proses pembentukan kesadaran peserta shalawatan melalui (dengan menggunakan) ide-ide Schutz akan dapat menguak semesta makna keterlibatan mereka pada pengajian Mocopat Syafaat.
1.7.1.1. Mencengkeramai motif untuk memahami makna Fenomenologi sosial Schutz banyak dipengaruhi oleh pemikiran Husserl dan Weber. Schutz menghubungkan, mengembangkan dan sekaligus mengritisi pemikiran keduanya. Proses terbentuknya kesadaran pada diri manusia dalam pandangan Husserl, dihubungkan dengan teori tindakan dalam pandangan Weber. 26
Irving, M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal, 259.
29
Schutz, kemudian mengembangkannya dengan cara menganyam dasar-dasar argumentasi yang melatarbelakangi suatu tindakan. Bagi Schutz, dalam memahami dunia sosial, tidak cukup dengan hanya mengamati tindakan dan perilaku individu yang tampak di permukaan saja. Tapi, lebih jauh dari itu adalah mengetahui motif dan kesadaran individu atas tindakannya itu, yang diarahkannya pada orang lain, itu lebih menentukan kebermaknaannya. Oleh karenanya, dunia kesadaran setiap individu (bekal pengetahuan dan dunia konseptualnya) menjadi kata kunci untuk memahami makna setiap tindakannya. Agar dapat memasuki dunia kesadaran individu, Schutz mengawalinya dengan mencengkeramai motif-motif yang melatarbelakangi setiap tindakan individu. Schutz menganggap bahwa setiap tindakan individu memiliki dua unsur motif yang melatarinya. Pertama, The Genuine Because-Motive dan kedua, The ”In-Order-To” Motive.27 Motif pertama (motif-karena) dilatarbelakangi dan dibatasi oleh pengalaman masa lalu. Sementara motif kedua (motif-agar) juga dilatarbelakangi pengalaman masa lalu, akan tetapi memiliki ekspektasi harapan pada masa depan yang tidak terbatas. ”Motif karena” menjelaskan dorongan tindakan seseorang dari sudut pandang kepastian dan batasan masa lalu, atas apa yang telah pernah dialaminya. Sedangkan ”motif agar” lebih menggambarkan proses tergeraknya seseorang melakukan sesuatu, dari perspektif kemungkinankemungkinan yang akan dialaminya pada masa datang. Tom Campbell (1994) membagi teori fenomenologi sosial Schutz menjadi dua pembahasan utama yakni teori tentang manusia, dan teori tentang masyarakat. Menurut Campbell, teori Schutz tentang manusia, berbicara soal “motif karena” dan “motif agar”, yang melekat pada setiap tindakan individu. Sementara teori Schutz tentang masyarakat menekankan arti penting kesadaran pada tindakan individu. Campbell menegaskan bahwa, Schutz, dengan pemilahan antara teori individu dan masyarakat, ingin menggarisbawahi arti penting motif dan kesadaran dalam setiap tindakan individu. Kesadaran individu atas setiap tindakannya adalah
27
Alfred, Schutz, The Phenomenology of The Social World, New York: Northwestern University, 1972, hal, 86-96.
30
penting untuk ditelusuri. Schutz ingin menekankan bahwa kesadaran dan tindakan individu bersifat dialektis dan saling membentuk satu sama lain.28 Pengungkapan konstruksi kesadaran yang melahirkan makna pada tindakan individu dalam suatu fenomena sosial, tentunya lebih dulu mengandaikan telah mengetahui motif tindakannya. Motif tindakan individu tidak hanya bersumber dari dalam dirinya, tapi juga dari luar. Motif dari luar, tetap memiliki arti penting yang sama dengan motif dari dalam. Misalnya teman saya satu kampus, memilih datang pada pengajian Mocopat Syafaat karena temannya yang satu kontrakan mengajak dia turut serta. Tindakan mengikuti pada individu yang demikian, tetap memiliki orientasi masa depan yang sama sekali bebas. Ini artinya, kendatipun “motif karena” pada individu hanya sekedar ikut-ikutan, namun “motif agar” yang melekat pada dirinya tetap bernilai kesadaran tertentu yang bersandar pada pengetahuannya. Basis pengetahuan yang dimiliki setiap individu adalah tidak sama. Perbedaan simpanan pengetahuan tiap-tiap individu akan menentukan kebermaknaan tindakannya itu. Karenanya, perlu ditegaskan bahwa pengetahuan dan kesadaran individu, sangat terkait-berkelindan dengan makna tindakannya. Kedua motif tindakan individu di awal (motif karena dan motif agar) adalah sama-sama sebagai buah hasil dari pengalaman masa lalu individu, dan menjadi faktor penyebab tindakannya. Namun keduanya tidak sama dalam menyimpulkan berbagai kemungkinan akibat dari tindakan itu pada masa depan. “Motif karena” memercayai sifat deterministik pada tindakan individu, sementara “motif agar” masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan makna lain dari tindakan individu.29 Seorang pengamat dengan perspektif “motif karena,” akan segera menyimpulkan tindakan individu yang tampak sama, sebagai tindakan yang memiliki satu motif saja. Sementara dari sudut pandang “motif agar,” seorang pengamat akan menunda asumsi-asumsinya atas tindakan yang tampak serupa itu. Misalnya sama-sama ikut shalawatan, boleh jadi fenomena yang tampak adalah sama-sama duduk mengikuti shalawatan bersama, akan tetapi ekspektasi “motif agar” pada setiap diri peserta shalawatan tentunya tidak tunggal. 28 29
Tom, Campbell, Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal, 235-51. Ibid, hal, 241.
31
Pengalaman masa lalu individu sangat memengaruhi tindakannya pada hari sekarang, dan tujuan yang diinginkan pada masa depan. Masa lalu adalah semua yang dialami individu sejak lahir, baik pengalaman di wilayah publik ataupun privat, yang semua itu telah membentuk pengetahuan diri individu saat sekarang, dan membentuk caranya melihat masa depan. Masa lalu, tidak hanya dipahami dalam hitungan tahunan atau abad, tapi juga dalam hitungan bulan dan minggu, atau hari kemarin, atau malah justru tadi malam. Pengalaman-pengalaman yang dipunyai individu yang sangat khas dan otentik ini, dipercaya menjadi pemicu dan memotivasi individu dalam tindakannya secara berbeda. Individu yang mengalami kesulitan finansial sewaktu kecil, memiliki prinsip dan motivasi berbeda dalam kehidupan ekonomi kesehariannya, dengan individu yang sejak kecil telah terbiasa merasakan kondisi-kondisi yang sebaliknya – kecukupan finansial. Lebih jauh lagi dari itu, teori tindakan Weber yang dikembangkan Schutz berupaya memahami motif dan makna tindakan individu secara lebih mendalam dan primordial. Schutz menyatakan bahwa untuk memahami makna tindakan individu, tidak bisa hanya berhenti pada tataran tindakannya atau perilakunya yang tampak. Tapi muatan kesadaran pada tindakannya itu, dan bagaimana kesadarannya itu diarahkan pada orang lain, itulah yang menjadi poin penting. Kesadaran pada diri individu terbentuk seiring dengan konsentrasi dan fokus yang sengaja diarahkan pada sesuatu, atau dalam bahasa Schutz yang diadopsinya dari Husserl disebut intensional. Intensional berarti kesengajaan. Intensional atau kesengajaan akan menerbitkan kesadaran, sehingga kesadaran selalu bersifat intensional. Tindakan individu bertolak dari kesadaran yang bersifat intensional yang dialami dan diarahkan pada orang lain. Sebagaimana dinyatakan Schutz ”...intentional conscious experiences directed toward the other self.”30 Tindakan seorang individu akan dapat dipahami maknanya dengan tidak hanya sebatas memahami ”motif karena” saja, tapi juga ”motif agar.” Kerja sama antara “motif karena” dan “motif agar”, di dalam mencermati tindakan individu, dipercaya lebih dapat memahami makna tindakan individu. Kendatipun kedua 30
Alfred, Schutz, The Phenomenology of The Social World, New York: Northwestern University, 1972, hal, 144.
32
motif (motif-karena dan motif-agar) sama-sama mengacu pada pengalaman masa lalu, namun asumsi-asumsi dasar yang digunakan keduanya berbeda. Pada yang pertama, “motif karena” mengacu pada masa lalu sebagai sebab tindakan individu. Sedangkan yang kedua, “motif agar” memantasikan peristiwa masa lalu – menempatkan peristiwa masa lalu, pada masa depan yang sudah direncanakan akan bakalan terjadi. Dalam konteks ini, Schutz memakai logika struktur bahasa untuk memahaminya: “Future Perfect Tense” (saya sudah akan melakukannya). Dia menekankan bahwa makna diberikan kepada apa yang telah dilakukan dengan melihatnya (mengalaminya) kembali, tapi tidak secara aktual.31
1.7.1.2. Esensi situasi hubungan langsung secara tatap muka Situasi hubungan langsung secara tatap muka menempatkan ruang dan waktu sebagai suatu yang esensial. Dalam pengalaman sosialnya, seorang individu selalu berbagi waktu dan tempat dengan sesamanya, entah itu dengan sesama teman satu kampung, satu kontrakan, atau sama komunitas lainnya. Setiap saat, dirinya dapat melihat dan memahami pikiran sesamanya, di kala tumbuh bersamasama. Hubungan langsung secara tatap muka menggambarkan situasi antara seorang individu dengan individu yang lainnya, terjalin kontak langsung dalam wilayah jangakuannya. Sebagaimana Schutz menyatakan, ”...face-to-face situation is a person thus in reach of each other’s direct experience...”.32 Ini artinya, antara individu yang satu dengan yang lain, saling menyadari dan memperhatikan keberadaannya. Situasi hubungan langsung secara tatap muka akan lebih memberi efek bila masing-masing saling berorientasi pada keberadaan orang lain. Situasi hubungan langsung secara tatap muka akan dapat terjadi bila intensionalitas seorang individu, dengan secara sengaja diarahkan kepada individu lain. Hubungan langsung secara tatap muka selalu diawali dengan intensionalitas secara pertama kali. Intensionalitas menghasilkan kesadaran pada diri seorang individu akan sesuatu, dan menjadikannya sadar terhadap sesuatu. Intensionalitas akan mengantar diri individu untuk dapat menyadari keberadaan individu lain, 31 32
Tom, Campbell, Tujuh Teori Sosial…, hal, 240. Alfred, Schutz, The Phenomenology of The Social World..., hal, 163.
33
selain dirinya. Intensionalitas menjadikan diri individu sadar akan keberadaan orang lain. Situasi tatap muka atau hubungan langsung secara tatap muka akan dapat berlangsung, selalu dengan terlebih dahulu mengandaikan seorang individu, dengan secara sengaja mengarahkan fokus dan konsentrasinya pada orang lain. Intensionalitas menjadi syarat pertama kali, agar supaya situasi tatap muka dapat berlangsung, yang itu juga menjadi basis bagi keberlangsungan interaksi sosial. Berger-Luckmann (1990) dengan teori kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial menyatakan bahwa pengalaman yang paling penting dengan orang-orang lain berlangsung dalam situasi tatap-muka, yang merupakan kasus prototipikal dari interaksi sosial. Semua kasus lainya merupakan penjabaran darinya. Dalam situasi tatap muka, subjektifitas satu individu dengan yang lainnya, saling membuka melalui gejala-gejala yang maksimal. Walaupun memang ada kemungkinan terjadi kesalahan tafsir dari gejala itu, seperti adanya upaya saling menutupi, atau menyatakan sesuatu bukan yang sebenarnya. Namun, tidak ada bentuk hubungan sosial lain yang bisa mereproduksi kekayaan akan gejala subjektifitas yang menampakkan diri dalam situasi tatap-muka. Hanya pada hubungan langsung secara tatap muka, subjektifitas orang lain benar-benar dekat.33 Bahkan pengetahuan saya mengenai diri saya sendiri, dalam situasi hubungan langsung secara tatap muka, setidaknya masih tetap membutuhkan proses refleksi terlebih dahulu. Saya tentu membutuhkan pengambilan jarak sesaat dari realitas di luar diri saya, bila ingin memikirkan keberadaan saya sendiri. Saya akan mengalihkan fokus saya dari yang lain di luar diri saya, kemudian saya memusatkan perhatian atas diri saya sendiri. Sementara, pengetahuan saya atas orang lain dalam situasi hubungan langsung secara tatap muka, tanpa membutuhkan refleksi terlebih dahulu, karena saya secara begitu saja menyadari keberadaanya. Tidak hanya itu, dalam hubungan langsung secara tatap muka, pengetahuan saya mengenai diri saya melalui proses refleksi, tidak terlepas dari gejala-gejala yang distimulus oleh sikap orang lain terhadap saya. Betapa 33
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990, hal, 41-2.
34
pentingnya hubungan langsung secara tatap muka, karena refleksi yang saya lakukan atas diri saya pun ditengarai oleh sikap atas saya, yang diperlihatkan oleh orang lain.34 Di samping itu, intensitas percakapan dalam suatu hubungan langsung secara tatap muka tetap memiliki arti penting, kendatipun frekuensi pertemuan itu sendiri tidak terlalu tinggi (dalam arti tidak terlalu sering). Tentu saja, situasi yang lebih berbobot adalah intensitas percakapan dan frekuensi pertemuan, sama-sama tinggi. Akan tetapi, walaupun frekuensi pertemuan dalam suatu hubungan langsung secara tatap muka terbilang tidak terlalu sering, ia akan tetap bebobot bilamana intensitas percakapan dalam pertemuan langsung secara tatap muka itu tergolong tinggi. Dengan kalimat berbeda, betapapun frekuensi pertemuan dalam suatu hubungan langsung secara tatap muka tidak terbilang sering, selagi tetap mengedepankan percakapan intensif, maka intensitas percakapan dapat dianggap sudah menutupi kekurangan frekuensi pertemuan itu. Sebagaiman dinyatakan oleh Berger-Luckmann: ”...Berbagai percakapan bisa diperbandingkan dari segi kepadatan kenyataan yang dilahirkannya atau dipertahankannya. Secara keseluruhan, frekuensi percakapan meningkatkan potensinya untuk melahirkan kenyataan, namun kekurangan frekuensi itu kadang-kadang bisa dikompensasi oleh intensitas percakapan yang berlangsung.”35
1.7.1.2.1. Hubungan Engkau Dalam kehidupan sosial sehari-hari, setiap orang hampir selalu terlibat atau melibatkan diri dalam situasi hubungan engkau. Sewaktu mengendarai kendaraan bermotor, perhatian dan konsentrasi tentu akan tertuju pada kendaraan-kendaraan yang lainnya. Pengendara memberi perhatian terhadap jarak dan juga kecepatan kendaraan di depannya. Apapun saja yang masih berada di sekitar wilayah jangkauan penglihatan dan pendengaran, sepanjang ada kesengajaan untuk menyadarinya, akan menyita perhatian. Ketertujuan dan keterarahan terhadap 34 35
Ibid, hal, 43. Ibid, hal, 221.
35
sesuatu dengan secara sengaja, akan menghasilkan kesadaran atasnya. Situasi hubungan engkau, akan dapat terjadi bila seseorang menyadari keberadaan sesuatu yang lain selain dirinya. Ketika seseorang sedang duduk menyendiri di suatu tempat umum yang sedang sepi, lalu tidak berselang lama dia menyaksikan orang lain datang ke tempat itu, maka pada saat itu hubungan engkau sedang berlaku. Karena perhatian dan fokusnya terbagi kepada orang yang baru datang. Dia menyadari keberadaan orang lain dalam wilayah jangkauannya selain dirinya sendiri. Tentu saja hubungan engkau yang dimaksud, tidak sama alias berbeda dengan hubungan engkau dalam suatu pengamatan langsung tidak terlibat yang dilakukan seorang pengamat dalam suatu penelitian. Bagaimanapun juga, hubungan engkau dalam situasi hubungan langsung secara tatap muka, merupakan pembahasan dalam konteks interaksi sosial, dan bukan dalam konteks pengamatan. Hubungan engkau dalam interaksi sosial dipahami sebagai hubungan engkau yang berpotensi bersifat timbal balik dan dua arah, yang bermuara pada hubungan kita. Sedangkan hubungan engkau yang dipahami sebagai aktivitas pengamatan dalam suatu penelitian, bersifat satu arah dan tidak timbal balik.
1.7.1.2.2. Hubungan Kita Hubungan kita merupakan bentuk timbal balik dari hubungan engkau. Situasi hubungan kita hanya dapat terjalin bilamana hubungan engkau telah terpenuhi. Hanya dalam situasi hubungan kita, antara seorang individu dengan individu yang lainnya, dapat saling memahami satu sama lain. Pemahaman secara intersubjektif, hanya dapat berlaku dalam situasi hubungan kita. Dengan kalimat lain, bila seorang individu menyadari keberadaan individu lain, maka hubungan engkau sedang berlangsung. Kemudian, bila keduanya saling menyadari keberadaan masing-masing, maka situasi ini sudah memasuki tahap hubungan kita. Hubungan engkau dan hubungan kita, dapat terjadi, selalu karena diawali kesadaran intensional pada diri salah seorang, kemudian pada kedua-duanya. Kedua hubungan tersebut (hubungan engkau, dan hubungan kita), hanya bisa terjadi bila seorang individu, kemudian satu sama lainnya, dengan secara sengaja saling mengarahkan perhatiannya. Situasi hubungan kita selalu diawali dengan
36
situasi hubungan engkau dalam situasi hubungan langsung secara tatap muka, yang dengan itu dapat memungkinkan terciptanya dialog satu sama lain. Situasi hubungan kita menjadi amat penting karena merupakan syarat agar dapat terjadinya pergeseran sudut pandang antara satu individu dengan yang lainnya. Hubungan kita beranjak dari hubungan engkau, yang dihasilkan dari situasi hubungan langsung secara tatap muka. Kesemuanya itu hanya dapat berlangsung dengan terlebih dahulu mengandaikan seorang individu dengan secara sengaja mengarahkan fokus dan konsentrasinya pada orang lain, Schutz menyebutnya intensional. Seandainya suatu hubungan engkau, berlanjut secara timbal-balik, maka akan terjadi proses saling menyadari satu sama lain, dan ini akan mengantarnya pada suatu tahapan hubungan kita. Hubungan kita menjadi syarat terjadinya pertukaran sudut pandang. Masing-masing sudut pandang adalah perspektif yang bersifat subjektif. Saling bertukar sudut pandang ialah proses silang-subjektif – yaitu berbagi subjektifitas antara satu sama lain dalam situasi hubungan langsung secara tatap muka – atau dalam bahasa Zeitlin, hubungan perspektif secara timbal-balik. Schutz menyebutnya pemahaman intersubjektif.
1.7.1.3. Pemahaman intersubjektif Schutz menyatakan bahwa dunia sosial keseharian selalu merupakan suatu yang intersubjektif.36 Setiap individu mengalami suatu dunia yang sama dengan individu lain. Dunia yang ditempati seorang individu, dimana dia dilahirkan dan menjalani kehidupannya, adalah juga dunia bagi individu yang lain. Tindakan kesehariannya hampir selalu memiliki hubungan dengan orang lain. Apa yang dia lakukan, bagaimana dirinya bersikap, dengan sendirinya akan berdampak pada sikap orang lain atas dirinya. Sehingga kesadaran pada dirinya mau tidak mau, selalu telah terbagi pada orang lain. Sebaliknya, kesadaran orang lain juga menjadi bagian dalam kesadaran dirinya. Orang lain dapat mengerti dan memahami tindakannya, tentu dengan mengandaikan orang lain itu memiliki tingkat kesadaran tertentu atas apa yang diperbuatnya. Subjektifitas pada dirinya 36
Irving, M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995, hal, 259.
37
mendapat pendakuan pada diri orang lain bersangkutan. Pada titik ini subjektifitas dunia pribadinya mengalami silang subjektifitas dengan dunia pribadi orang lain. Pada proses inilah intersubjektifitas berlaku, dunia sosial keseharian dirinya ternyata selalu bersifat intersubjektif dengan dunia sosial keseharian orang lain. Kesadaran subjektif seorang individu memang tidak begitu saja dengan mudah dapat dipahami pihak lain. Karena obyek dari kesadaran tidak hanya fenomena empiris yang bersifat fisik dan lahiriah, tapi juga berupa unsur suatu kenyataan subjektif bathiniah.37 Pada kenyataannya bukan kesadaran individu itu sendiri yang menampakkan diri pada pihak lain, tetapi kesadarannya akan sesuatu, atau gejala kesadarannya – yang itu berupa persepsinya atas realitas, tindakantindakannya, dan tindakan orang lain atasnya – itulah yang bisa dipahami. Kesemuanya itu oleh Schutz disebut sebagai sistem tanda yang merepresentasikan kesadaran individu. Sistem tanda dapat ditemukan serta dipahami salah satunya pada dan dengan bahasa.38 Dengan demikian, keberadaan orang lain atau lawan bicara, bukanlah semata objek materi, tapi juga mewakili semangat nilai tertentu, sebagaimana itu terdapat pada benda-benda peninggalan budaya purbakala. Sehingga dalam suatu interaksi langsung, bukan hanya penampakan benda atau suara pembicara yang mesti dimaknai, tapi juga pesan nilai pada yang tampak dan yang terdengar itu harus juga dipahami. Karena pada yang tampak dan yang terdengar itu, juga menyiratkan makna tertentu untuk dapat dipahami. Selain membahas mengenai konsep kesadaran, Schutz juga menyatakan bahwa ”kemampuan saling tukar-menukar sudut pandang” merupakan suatu yang ideal, bahkan dalam dunia mikro yang relatif sederhana sekalipun.39 Setiap individu memiliki kecenderungan subjektif yang relatif berbeda, perbedaan kecenderungan ini mengerucut pada perbedaan perspektif pula. Sehingga setiap individu mempunyai tafsiran berbeda terhadap realitas yang sama. Akan tetapi, perbedaan perspektif itu tetap memperoleh tempat dalam dunia kesadaran masingmasing individu. Kesadaran untuk saling memahami tiap-tiap perspektif itu, 37 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan..., hal, 30. 38 Irving, M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi..., hal, 261. 39 Ibid, hal, 262.
38
menandakan bukti adanya ”kekitaan” dalam hubungan tersebut. Fenomena ”kekitaan” atau ”hubungan-kita”, dipahami Schutz mengandung makna transenden, dan hanya dapat dipahami secara simbolis terutama melalui bahasa. Kendatipun setiap individu hidup pada satu dunia kehidupan yang sama, namun realitas kehidupan itu sendiri bersifat tidak tunggal. Realitas terbentuk secara subjektif mengikuti kesan dan minat setiap individu. Realitas kehidupan sesuai dengan perspektif seorang individu terhadapnya, ia bersesuaian dengan konstruksi kesadaran yang terbangun pada diri individu. Setiap individu memiliki kesan dan minat masing-masing, sehingga realitas yang bersumber dari satu dunia yang sama, dimaknai secara berbeda oleh kehidupan di dalamnya – realitas itu berganda. Dalam realitas ganda, setiap individu mempunyai ekspektasi, harapan, dan keinginan. Ini artinya, ada yang diprioritaskan dalam kehidupan pribadinya. Apakah itu dinamakan cita-cita, harapan atau rintangan untuk mencapainya, semuanya mengendap menjadi tumpang tindih dalam kesadaran individu. Semuanya itu merupakan sumbangan pengalaman yang didapatkan dari orang sebelumnya. Sifat ganda realitas ini, memberi kesadaran pada individu bahwa ada cita-cita dan harapan subjektif lain di luar cita-citanya. Mungkin ini yang dimaksud
Schutz
sebagai
”makna
khusus
lainnya”
dalam
kesadaran
intersubjektif.40 Bagaimana berbagai pengalaman bermakna pada seorang individu dalam meraih cita-citanya, dapat dipahami dan dimengerti oleh individu lain. Ini bisa mungkin terjadi karena di antara mereka memiliki arus kesadaran yang sama, dan itu bisa dikomunikasikan lewat media bahasa dan juga melalui tindakan. Schutz menyatakan bahwa setiap individu berinteraksi dengan dunianya, dengan ’bekal pengetahuan’ yang terdiri dari konstruk-konstruk dan kategorikategori ’umum’ yang pada dasarnya bersifat sosial.41 Tindakan individu yang secara subjektif bermakna, memiliki asal usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia
40
Ibid, hal, 264. James A. Holstein dan Jaber F. Gubrium, ”Fenomenologi, Etnometodologi, dan Praktik Interpretatif”, dalam Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, 2009, hal, 336. 41
39
kehidupan bersama.42 Begitu pula tindakan peserta shalawatan yang melibatkan diri pada pengajian Mocopat Syafaat, memiliki makna subjektif tertentu yang sangat berkaitan dengan kehidupan sosial kesehariannya yang dialami bersama. Pengalaman langsung secara bersama, dan dalam suasana kebersamaan yang intensif pada pengajian Mocopat Syafaat, tentu juga membentuk makna subjektif tertentu pada diri mereka. Makna subjektif yang terbentuk dalam kesamaan dunia sosial dan dalam suasana kebersamaan yang intens, sangat memungkinkan terjadinya saling bertukar sudut pandang di antara para peserta shalawatan, yang itu pada akhirnya membentuk pola intersubjektifitas di antara mereka. Menurut Schutz, bekal pengetahuan adalah satu-satunya sumber yang memungkinkan setiap individu menginterpretasikan pengalaman, memahami maksud dan motivasi individu lain, memperoleh pemahaman intersubjektif, dan pada akhirnya mengupayakan tindakan.43 Mengikuti pemikiran Schutz mengenai pemahaman intersubjektif, dapat dijelaskan bahwa pengajian Mocopat Syafaat membentuk dunia intersubjektif peserta shalawatan yang itu terbangun dalam suasana kesamaan dan kebersamaan. Pengajian Mocopat Syafaat yang diselingi dengan diskusi dialogis, mengupayakan pemahaman kognitif atas nilai-nilai kehidupan secara luas dan substantif. Proses ini tentunya memberi pengetahuanpengetahuan baru kepada peserta shalawatan. Intersubjektifitas antar peserta shalawatan tersusun atas batubata pengetahuan yang beberapa serpihannya didapatkan dari pengajian Mocopat Syafaat dan itu mengonstruksi kesadarannya. Kesadaran intersubjektif Schutz dalam batas tertentu, dapat dipahami pula melalui teori interaksi simbol George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Doyle Paul Johnson (1990) menyebut bahwa perhatian utama teori interaksi simbol adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan yang erat antara konsep-diri individu dan pengalaman-pengalaman bersama. Bagi Johnson,
42
R. Bubner, Modern German Philosophy, London: Cambridge University Press, 1981, hlm, 33, dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positifisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal, 60. 43 James A. Holstein dan Jaber F. Gubrium, ”Fenomenologi, Etnometodologi, dan Praktik Interpretatif”, dalam Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research..., hal, 336.
40
kenyataan sosial muncul dari interaksi simbolik.44 Di samping itu, Margaret M. Poloma (2010) yang mengutip Blumer, menyebutkan bahwa terdapat tiga premis utama dalam teori interaksi simbol. Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Kedua, makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Ketiga, maknamakna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.45 Intersubjektif dalam terminologi Schutz tentu berbeda dengan terminologi ”objektifasi” Berger-Luckmann. Schutz memahami intersubjektif masih dalam koridor penghargaan atas ekspektasi makna subjektif individu, karena ekspektasi makna pada tindakan individu sangat mendasar bagi Schutz. Ekspektasi tindakan individu tidak bisa dilihat hanya sebagai objektifasi dialektika Berger-Luckmann, karena setiap tindakan individu bersifat intensional yang diarahkan, yang itu disebabkan pengalaman masa lalu dan untuk mewujudkan tujuan pada masa datang yang telah ditetapkan. Berger-Luckmann melakukan generalisasi dan perluasan makna subjektifas ini dengan menggunakan konsep objektifasi. BergerLuckmann – yang meracik ulang ramuan George Mead dan Max Weber, ternyata juga dipengaruhi determininistik Durkheimian dan dialektika struktur-individu Marxian – mereduksi subjektifitas makna pada tindakan individu. Implikasi dari kenyataan ini tentunya adalah pembatasan ekspektasi makna subjektif pada diri individu. Sehingga subjektifitas makna yang menjadi semangat fenomenologi sosial Schutz menjadi tergerus oleh objektifasi yang reduktif dan simplifikatif. Intersubjektif dalam terminologi Schutz dalam batas tertentu justru lebih mendekati tradisi interaksi simbolik ketimbang kontsruksi sosial. Sebagaimana Mead dan Blumer memahami proses sosial yang membentuk organisasi sosial, bukan berangkat dari struktur yang memaksa, tapi lebih pada internalisasi setiap individu dengan sesamanya yang menghasilkan kesepakatan dalam memaknai simbol-simbol interaksi sosial. Ini tentu berbeda dengan Berger-Luckmann yang memahami interaksi sosial sebagai proses konstruktif, yang itu memberi peluang bagi organisasi-struktural objektif, memangkas subjektifitas makna pada proses 44
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern II, Jakarta: Gramedia, 1988, hal,
45
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, cet. ke-10, Jakarta: Rajawali pers, hal, 258.
3-5.
41
interaksi tersebut. Pengajian Mocopat Syafaat tidak menampakan gejala layaknya organisasi-struktural objektif sebagaimana dalam pemahaman Berger-Luckmann, tapi lebih mendekati gejala organisme-kultural subjektif dalam pemahaman MeadBlumer. Sehingga konstruksi sosial Berger-Luckman, terutama konsep objektifasi, tidak dapat sepenuhnya memahami fenomena pengajian Mocopat Syafaat. Namun harus segera disebutkan pula di sini bahwa konstruksi sosial Berger-Luckmann, hanya dapat dipakai sebatas menjelaskan proses internalisasi dan eksternalisasi pada pengajian Mocopat Syafaat. Dua konsep ini (internalisasi, eksternalisasi), bisa dipakai dalam melihat proses sosial yang terjadi pada pengajian Mocopat Syafaat karena hampir-hampir mendekati konsep intersubjektif Schutzian. Berikut konseptualisasi teori atau kerangka pikir fenomenologi sosial Alfred Schutz dan sejumlah konsep pendukung dalam menggambarkan fenomena sosialkeagamaan pengajian Mocopat Syafaat.
max weber (pemahaman tindakan sosial)
alfred schutz (fenomenologi sosial)
edmund husserl (fenomenologi filosofis)
fenomena pengajian mocopat syafaat peter l. berger & thomas luckmann (konstruksi sosial)
-konsep kebersamaan -shalawatan bersama -dialog pengetahuan -kesadaran seni -spiritualitas -dunia kehidupan
konstruksi makna
george h. mead & herbert blumer (interaksi simbol)
dunia kerja makna
Bagan 3: Kerangka Pemikiran Penelitian Fenomenologi mengenai Pemaknaan Peserta Shalawatan terhadap Pengajian Mocopat Syafaat
42