BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara resmi kerangka liberalisasi perdagangan di bidang pertanian dalam konteks World Trade Organization (WTO) tertuang dalam Agreement on Agriculture (AOA). AOA adalah salah satu perjanjian internasional WTO yang dihasilkan melalui serangkaian perundingan dalam Putaran Uruguay dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Sejak diberlakukan pada 1 Januari 1995, perjanjian ini telah banyak menuai kontroversi dan kritikan terutama dari negaranegara berkembang karena dinilai menghadirkan level playing field yang timpang, dimana petani-petani di negara berkembang dengan pertanian tradisional yang bersifat subsisten, dengan teknologi apa adanya dan berskala gurem, harus bersaing dengan pertanian negara-negara maju yang serba industrial, padat teknologi, berskala luas, dan didukung oleh subsidi besar-besaran dari pemerintahnya. Bagi negara-negara berkembang dengan penduduk besar yang sebagian besar warganya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian berlahan sempit seperti India, Cina dan Indonesia, keterbukaan terhadap produk-produk pangan impor justru menghancurkan pertanian domestik. Para petani gurem itu kalah bersaing melawan petani Amerika Serikat (AS), Kanada dan Australia yang luas usaha taninya antara 100-200 hektar (Khudori, 2005). WTO dengan perangkat kesepakatan-kesepakatan dalam AOA dinilai memproduksi daftar panjang kemiskinan massal petani di berbagai belahan dunia akibat tersingkirnya mereka dari aktivitas pertanian. Namun di tengah berbagai protes, kritik dan kontroversi yang muncul dari penerapan AOA di negara-negara berkembang, Brazil, sebuah negara berkembang dimana sektor pertanian menjadi tulang punggung perekonomian nasional, justru muncul membuktikan kesuksesannya dalam membangun sektor pertaniannya di tengah rezim perdagangan bebas yang selama ini dikecam sebagai penyebab
15
terpuruknya sektor pertanian negara-negara Dunia Ketiga. Brasil telah mengubah dirinya dari negara pengimpor makanan (food net importer) menjadi negara net eksportir pangan terbesar ketiga di dunia dalam waktu kurang dari 30 tahun. Pada tahun 2010, surplus perdagangan pertanian Brazil mencapai lebih dari US$ 53 miliar, membuat pertanian menjadi sumber utama untuk neraca perdagangan dan stabilitas makroekonomi1. Dengan kinerja pertumbuhan ini, Brasil telah menjadi salah satu dari lima produsen makanan utama di dunia dan negara pertama dari daerah tropis yang merekam prestasi demikian. Tidak hanya itu, pada tahun 2011 negara itu mengekspor komoditas pangan sebanyak 10 juta ton ke sejumlah negara2. Topik ini menarik perhatian peneliti karena sebagaimana halnya negara anggota WTO lainnya, Brazil juga meliberalisasi pertaniannya dengan menerapkan dan mematuhi berbagai komitmen yang ditetapkan dalam AOA, namun berbeda dengan kebanyakan negara berkembang lainnya yang merasa sektor pertaniannya menjadi kian porak-poranda dan terpuruk akibat keterbukaan importasi yang ditetapkan, Brazil justru muncul dengan keberhasilannya dalam membangun pertanian domestik dan melakukan ekspansi ekspor, hingga menempati posisi negara net eksportir pangan terbesar ketiga di dunia. Prestasi Brasil ini terjadi justru ketika kritikan terhadap AOA yang dituduh sebagai
1
Produksi sereal Brasil meningkat dari 15 juta ton pada tahun 1961 menjadi lebih dari 75 juta ton pada tahun 2010 (FAO, 2012), yang merupakan peningkatan lima kali lipat dalam enam dekade. Selama periode yang sama, luas lahan pertanian meningkat dari 150 juta menjadi 265 juta hektar, meningkat 1,8 kali lipat. Secara keseluruhan, hasil pertanian Brasil tumbuh sebesar 243 persen antara tahun 1970 dan 2006 (Gasques et al., 2010: Syed, 2012). Ekspor pertanian Brasil telah meningkat dari hanya US$ 1,2 miliar pada 1960 menjadi US $ 62 milyar pada tahun 2010, menjadi eksportir terbesar kedua secara global (FAO, 2012). Pada tahun 2010, surplus perdagangan pertanian mencapai lebih dari US$ 53 miliar, membuat pertanian menjadi sumber utama untuk neraca perdagangan dan stabilitas makroekonomi
2
Ekspor gula Brasil sekitar 17 juta ton (empat kali lipat dari total produksi gula Indonesia tahun 2008 sebesar 4,2 juta ton). Dan Brasil memiliki sapi lebih banyak dibandingkan daengan jumlah penduduknya yang mencapai 190 juta jiwa (Kompas, Mei, 2012).
16
penyebab hancurnya sektor pertanian domestik dan termarjinalisasinya para petani semakin gencar disuarakan oleh negara-negara berkembang.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dalam hal ini peneliti merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Apa strategi yang ditetapkan Brazil dalam menerapkan AOA sehingga negara ini berhasil membangun sektor pertaniannya baik ke dalam maupun ke luar negeri?
1.3
Literature Review Penelitian mengenai pembangunan sektor pertanian Brazil sebelumnya
pernah dilakukan oleh Junior Geraldo Bueno Martha dan Joaquim Bento de Souza Ferreira Filho yang secara singkat membahas mengenai sejarah perkembangan dan perubahan pertanian Brazil dari waktu ke waktu. Dalam penelitian yang dipayungi oleh lembaga penelitian dan pengembangan Kementerian Pertanian Brazil tersebut, Martha dan Ferreira menjelaskan bahwa sejak Perang Dunia II, pertanian Brazil telah mengalami sebuah transformasi dari struktur penanaman lahan-intensif, ke sebuah sistem yang didorong produktifitas. Transformasi tersebut telah berlangsung dalam tiga fase berbeda, yaitu substitusi-impor berdasarkan industrialisasi yang mengabaikan pertanian; modernisasi konservatif pertanian disebabkan kesadaran bahwa persediaan pangan tidak dapat ditingkatkan melalui ekspansi lahan; dan kebijakan pertanian yang lebih terbuka. Industrialisasi dan migrasi ekonomi desa-kota membuat permintaan akan pangan meningkat dan upah buruh yang lebih tinggi (Martha et al., 2012). Penelitian ini menekankan, bahwa sebagian besar perubahan dramatis dalam pertanian Brazil di era tersebut sangat berkaitan dengan meningkatnya sisi permintaan, sebagai implikasi dari proses industrialisasi yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1960an, yang berkaitan dengan pertumbuhan populasi berpendapatan lebih tinggi dan pesatnya urbanisasi. Berdasarkan uraian dalam penelitian Martha (2012), terdapat paling tidak tiga kebijakan utama yang memainkan peran utama dalam proses modernisasi
17
pertanian Brazil, diantaranya yaitu 1) ketersediaan kredit finansial bersubsidi; 2) program penyuluhan desa; dan 3) dukungan yang besar untuk penelitian pertanian melalui pendirian sistem penelitian pertanian nasional. Pemerintah menawarkan seperangkat insentif bagi petani melalui kebijakan kredit, program perluasan desa, pemasaran, dukungan pendapatan serta mekanisme manajemen resiko untuk mendorong pengadopsian teknologi modern dan sistem produksi efisien yang juga ramah lingkungan. Hal ini mengakibatkan transformasi struktural yang luar biasa dalam pertanian Brazil, baik di pasar domestik dan luar negeri, mencatat pertumbuhan produksi 3,66 persen per tahun dan tingkat pertumbuhan produktifitas sebesar 2,95 persen per tahun dari 1975 sampai 2010. Dari tahun 1997 hingga 2009, ekspor pertanian dan agribisnis menghasilkan surplus sebesar USD 403 milyar, memberikan kontribusi besar terhadap saldo rekening eksternal Brazil serta stabilitas makroekonomi (Martha et al., 2012). Dalam hal ini, Martha (2012) menekankan pada bagaimana teknologi pertanian yang konsisten dengan program perlindungan lingkungan pada jangka panjang, tidak saja menjadi rencana pemerintah namun secara mengakar telah menjadi cara pandang yang diadopsi oleh para petani Brazil, sehingga pembangunan di sektor pertanian tidak saja menjadikan peningkatan produktifitas yang masif, tetapi juga menjadi strategi pengentasan kemiskinan yang efektif. Dan dalam perspektif yang lebih global, peningkatan ekspor pertanian di Brazil mencerminkan pentingnya kontribusi negara ini dalam mengurangi kerawanan pangan di dunia, mengurangi tekanan inflasi makroekonomi dan dalam menstabilkan harga di pasar pertanian dunia (Martha, 2012). Sementara itu dalam “OECD Review of Agricultural Policy Reform in Brazil” pada Oktober 2005, OECD (2005) mengulas bahwa salah satu penyebab lonjakan hebat pada ekspor pertanian Brazil adalah adanya perubahan komoditas ekspor yang semula hanya produk tropis tradisional, seperti kopi dan orange juice, menjadi kedelai, gula dan daging (khususnya unggas dan daging babi). Selain itu berubahnya fokus sasaran ekspor juga ikut berkontribusi. Meskipun pasar di negara-negara OECD masih sangat penting, dengan 40% ekspor
18
pertanian ditujukan ke UE, namun pertumbuhan ekspor Brazil paling pesat justru adalah ke negara-negara di luar OECD, terutama Cina dan Rusia. Sementara berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, OECD justru memberikan kritikan, bahwa meskipun pertumbuhan sektor pertanian Brazil telah berkembang pesat, pertumbuhan tersebut belum cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan dan ketidakmerataan pendapatan. Meskipun angka kemiskinan di pedesaan telah menurun drastis, namun masih diatas 60% pada tahun 2000, dua kali lipat dari tingkat kemiskinan nasional secara keseluruhan. Pergantian pemerintah antara 1991 sampai dengan 2000, telah sedikitnya mengurangi jumlah rumah tangga miskin secara umum, namun banyak dari masyarakat miskin, terutama yang terkonsentrasi di daerah utara, tidak terjangkau oleh program-program bantuan pemerintah disebabkan mereka bekerja diluar sektor formal (OECD, 2005). Perkembangan pesat pertanian Brazil juga berimplikasi pada meningkatnya perhatian terhadap konsekuensi lingkungan. Sejak tahun 1990, Brazil telah kehilangan area hutan sebesar wilayah Inggris Raya. Pertanian komersil berskala besar dinilai bertanggung jawab atas deforestasi dan ahead logging serta pembukaan ladang berpindah yang dilakukan oleh banyak petani subsisten (OECD, 2005). Namun dalam penelitiannya mengenai peran kebijakan terhadap transformasi pertanian di Brazil, Wickramasinghe (2012) mengamati bahwa sejak 2010 pemerintah Brazil telah membentuk program pertanian rendah karbon untuk mendorong pengurangan deforestasi, mendorong sistem produksi berkelanjutan dan menyediakan USD 1,3 milyar kredit dari anggaran pemerintah untuk mengkatalisasi investasi pelestarian lingkungan. Sedangkan dalam menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan yang terkonsentrasi di wilayah utara, sebanyak 40 persen dari petani-petani miskin disana didistribusikan ke wilayah lain yang lebih subur dan cocok bagi pertanian (Alves; Rocha, 2010). Tinjauan terhadap beberapa penelitian mengenai kebijakan pembangunan sektor pertanian di Brazil yang pernah dilakukan sebelumnya telah membantu peneliti dalam memahami berbagai strategi dan kebijakan Brazil dalam membangun sektor pertaniannya dan perdebatan yang berkembang didalamnya
19
serta memberikan kerangka pemahaman mengenai bagaimana program-program pembangunan tersebut dapat berjalan seiring dengan penerapan proses liberalisasi dan deregulasi yang dilakukan pemerintah Brazil dalam kebijakan perdagangan di sektor pertanian. Namun demikian, sebagian besar dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, dianalisis hanya dalam kacamata studi pembangunan dan persepktif ekonomi pertanian semata. Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud mengisi ruang kosong tersebut dengan melakukan tinjauan terhadap kebijakan pertanian Brazil di bawah kerangka rezim perdagangan Agreement on Agriculture (AOA) di WTO.
1.4
Kerangka Konseptual Bagian ini menguraikan beberapa teori dan konsep yang mengkerangkai
pemahaman dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam memahami karakter dari kebijakan pembangunan di Brazil, peneliti menggunakan liberal neo-developmentalism yang merupakan paradigm pembangunan paling baru yang memandu negara tersebut untuk keluar dari Washington Concensus dan karakter proteksionisme yang sebelumnya diterapkan, menuju penerapan strategi pembangunan yang memungkinkan sektor usaha domestik untuk menguasai skala ekonomi global. Selain itu, peneliti juga menggunakan beberapa konsep teknis yang berlaku dalam AOA, seperti ketentuan domestic support dan subsidy export sebagai konsep yang mengkerangkai berbagai kebijakan pembangunan pertanian yang diberlakukan pemerintah Brazil.
1.4.1
Liberal Neo-Developmentalism Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 2003 oleh ekonom Brazil
dan mantan pembuat kebijakan, Luiz Carlos Bresser-Pereira, dalam upaya untuk menentukan alternatif lain dari Washington Consensus yang dinilai ortodoks (Bresser-Pereira, 2006). Berkembangnya diskursus ini tak lepas dari dukungan Antonio Barros de Castro, seorang pejabat Bank sentral negara selama pemerintahan Luiz Inácio Lula da Silva, dan seorang sosiolog, Celia Kerstenetzky yang menulis tentang pentingnya menyatukan konsep developmentalisme dan
20
negara kesejahteraan (Kerstenetzky 2010; 2011). Pada akhir dekade, konsep neodevelopmentalisme semakin popular dikalangan beberapa ekonom dan ekonomi politik Brazil, hingga konsep ini memasuki diskursus pembangunan internasional (Khan, 2010). Kemudian pada tahun 2010, berbagai ilmuwan Brazil dan internasional yang terkemuka berkumpul dalam sebuah konvensi di Sao Paolo, menggabungkan para pemikir strukturalis dan Keynesian dalam sebuah paradigma pembangunan baru dengan manifesto berjudul “Ten Theses on NeoDevelopmentalism.” Cornel
Ban
(2012),
menguraikan
bagaimana
pemerintah
Brazil
melembagakan sebuah rejim kebijakan hibrida yang melingkupi berbagai prioritas ekonomi liberal yang berasal dari Washington Consensus dan kebijakan neodevelopmentalis yang lebih intervensionis. Ketika mempertahankan tujuan stabilitas makroekonomi dan mengurangi pengangguran, pemerintah Brazil juga mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman asing. Brazil mengalami reformasi privatisasi, liberalisasi dan deregulasi yang signifikan, tetapi pada saat yang sama negara ini juga mengkonsolidasikan perannya sebagai pemilik dan investor dalam industri dan perbankan saat menerapkan kebijakan industri perekonomian terbuka serta melakukan pendekatan yang hati-hati terhadap pergerakan bebas modal. Untuk menangkap hibriditas ini, para penstudi menyebut rejim ini "liberal neodevelopmentalism" (Ban, 2012: 1-34). Menurut para pendukungnya, neo-developmentalisme mensyaratkan sebuah bentuk baru state activism yang berbeda dengan peran negara pada periode developmentalis
maupun
developmentalis
(1930an
pada
fase
-1980an),
neoliberal pemerintah
1990an. Brazil
Pada tidak
periode hanya
memprioritaskan pembangunan pada industrialisasi secara top down, tetapi juga menjadi aktor dalam industri. Birokrasi negara merancang tujuan, perusahaan milik negara memainkan peran inti di banyak sektor industri. Sementara kebijakan sosial dirancang hanya untuk menjaga kelas pekerja industri dan kelas menengah tetap tenang, tidak difokuskan untuk mengurangi kemiskinan (Arbix dan Martin, 2010: 4). Pada era neoliberal di tahun 1990an, model pembangunan lebih diwarnai oleh privatisasi, liberalisasi, pembongkaran instrumen kebijakan industri
21
secara parsial, dan program pengurangan kemiskinan yang tentatif. State activism pada masa neo-developmentalis, negara memainkan peran yang lebih aktif dalam pembangunan industri, dan mengambil langkah yang lebih agresif untuk menurunkan angka kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Ketika Brazil membangun new state activism, Brazil justru memelihara dan mengambil keuntungan dari keterbukaan pasar dengan menjamin daya saing industri domestik. Upayanya dipusatkan pada mendirikan bentuk baru kebijakan industri yang menekankan inovasi dan kemitraan dengan industri. Pada saat yang sama, negara menempatkan perhatian substansial pada kebijakan sosial dan redistribusi serta berusaha mengintegrasikan kebijakan sosial dengan strategi pertumbuhan industrial (Trubek, 2012: 1-38). Yang menjadi inti dari neo-developmentalisme adalah sebuah program pembangunan kapitalis nasional yang dimaksudkan untuk memandu transisi negara-negara berkembang keluar dari Washingon Concensus. Berbeda dengan import substitution industrialization (ISI) yang diterapkan developmentalis sebelumnya, nasionalisme ekonomi dalam pengertian neo-developmentalisme berarti penerapan strategi pembangunan yang memungkinkan sektor usaha domestik untuk menguasai skala ekonomi global, proses pembaruan teknologi serta kebijakan inovasi dan perdagangan yang ditargetkan pada rezim kepemilikan intelektual yang kuat dan peluang investasi bagi badan usaha domestik. Neodevelopmentalisme memahami pembangunan ekonomi sebagai sebuah proses struktural. Hal ini mencakup komitmen untuk memobilisasi semua sumberdaya manusia yang tersedia, meningkatkan produktivitas di masing-masing industri dan transfer finansial yang stabil terhadap sektor-sektor berupah dan bernilai tambah tinggi (Ban, 2012). Di sisi lain, tidak seperti proteksionisme dan pesimisme ekspor dari old developmentalism, neo-developmentalis berpikir bahwa karena negara-negara middle income telah menyelesaikan tahap infant industry, proteksionisme harus dihapuskan dan tujuan dari perekonomian terbuka harus diterima sebagai hal yang fundamental, namun tetap dilengkapi dengan tujuan menggunakan kebijakan industri untuk meningkatkan pangsa dari produk dan jasa bernilai tambah tinggi.
22
Hal ini harus dilakukan melalui kebijakan industri yang ditargetkan pada perusahaan yang dinilai mampu bersaing secara internasional. Strategi pembangunan neo-developmentalism ini juga membawa karakter export-led model, yang memiliki dua keunggulan utama dibandingkan model subsitusi import (import-substitution model). Pertama, pasar yang tersedia untuk industri tidak terbatas pada pasar domestik saja. Hal ini penting bagi negaranegara kecil, namun sama-sama fundamental bagi negara dengan pasar domestik yang relative besar seperti Brazil. Kedua, jika sebuah negara mengadopsi strategi ini, maka hanya perusahaan yang efisien untuk ekspor yang akan diuntungkan oleh kebijakan industri tersebut. Berbeda dengan import-substitution model, yang justru hanya perusahaan-perusahaan tidak efisien yang diuntungkan oleh kebijakan proteksi. Di sektor pertanian, konsep neo-developmentalisme membantu peneliti untuk memahami fleksibilitas yang ditunjukkan Brazil dalam mengubah kebijakannya dalam menghadapi perubahan situasi sosial ekonomi dan politik. Meskipun Brazil mengawali model pembangunannya dengan kebijakan subsitusi impor yang mendiskriminasikan pertanian sejak 1945 sampai 1960, negara ini segera mengubah arah pembangunannya karena menyadari kekurangan dari kebijakan substitusi impor dalam mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, terutama di sektor pertanian. Hal ini memperjelas bahwa pertanian subsisten tidak memberikan pendapatan yang memadai bagi negara, juga tidak dapat diharapkan untuk meningkatkan pasokan pangan melalui perluasan area pertanian, yang secara efektif menyebabkan perubahan praktek pertanian tradisional ke arah sistem pertanian berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Penerapan strategi pembangunan neo-developmetalis dalam kebijakan pertanian Brazil selama empat dekade, telah membawanya menjadi eksportir pertanian terbesar kedua di dunia. dengan keunggulan komparatif yang lebih tinggi, para petani Brazil telah menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk merespon fluktuasi harga internasional. Pemerintah pada gilirannya telah mengadopsi kebijakan yang memungkinkan transmisi bebas dari harga pasar internasional untuk harga domestik. Hal tersebut menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi swasta
23
pada sektor pertanian. Sebagai hasil dari kebijakan perdagangan terbuka yang dilakukan, Brazil telah menjadi lokomotif dalam perdagangan pertanian internasional (Siregar, 2012).
1.4.2
Agreement on Agriculture Dalam rezim WTO, praktik-praktik perdagangan dan industri pertanian
diatur melalui Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/ AOA). Pada prinsipnya, tujuan AOA adalah untuk memperluas liberalisasi perdagangan di bidang pertanian serta secara bertahap mengurangi distorsi perdagangan dengan menerapkan aturan permainan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang kemudian bermetamorfosa menjadi WTO pada 1 Januari 1995. Dalam praktik-praktik perdagangan internasional, hingga tahun 1985, penggunaan subsidi
ekspor
telah
mendominasi
perdagangan
komoditas
pertanian.
Kecendrungan itu segaris dengan fenomena restriksi atau barrier dalam perdagangan pertanian dunia. Mengingat aneka ragam restriksi yang telah menimbulkan distrosi dalam perdagangan internasional di sektor pertanian, maka dalam teks AOA dirumuskan cara dan aturan permainan yang bermaksud untuk menurunkan praktik-praktik penyebab distorsi tersebut. Upaya–upaya liberalisasi secara legal melalui pengurangan berbagai praktik distorsi seperti itu dalam AOA, secara ringkas diklasifikasikan menjadi tiga elemen pokok kebijakan, yaitu market access, domestic support dan export subsidy.
a. Market Access (MA) Mekanisme-mekanisme kunci dalam MA adalah membangun perdagangan dengan rezim tariff (tariffication), pengurangan tarif (tariff reduction), dan pengikatan besarnya tarif masing-masing produk pertanian (binding of all agricultural tariffs) (Sawit, 2003: 61). Tarifikasi atau yang disebut comprehensive tarriffication pada prinsipnya adalah mekanisme penarifan tanpa kecuali. Penarifan ini dilakukan dengan mengubah semua bentuk kebijakan non-tariff measures (NTM) menjadi tariff equivalent. Artinya, proteksi di sektor pertanian
24
sejatinya masih diperbolehkan, asalkan proteksi tersebut dalam bentuk tariff, tanpa harus mengurangi tingkat proteksinya. Tariff reduction merupakan komitmen untuk menurunkan tariff rata-rata (simple average) sebesar 36 persen atau minimal 15 persen yang berlaku untuk setiap mata tariff dalam jangka waktu enam tahun. Tetapi prosentase dan jangka waktu penurunan ini berlaku bagi negara-negara maju. Sementara untuk negara berkembang, penurunan tarifnya sebesar 24 persen atau minimal 10 persen untuk setiap mata tariff dalam jangka waktu sepuluh tahun (Khudori, 2004). Sasaran penurunan tariff adalah hambatan non-tariff yang sudah diganti dengan tariff.
b.
Domestic Support Komitment mengenai Domestic Support (DS) diwujudkan dalam bentuk
kebijakan penurunan subsidi baik untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan (transfer) dana kepada produsen. Komitmen ini dilatarbelakangi oleh riwayat kebijakan subsidi yang telah mendarah daging dalam praktik-praktik industri pertanian di negara-negara maju. Ketentuan AOA tidak melarang semua bentuk subsidi kepada produsen, tetapi menentukan disiplin yang lebih teratur dalam wilayah domestik. Teks-teks kesepakatan AOA dirancang agar DS dirubah sedemikian rupa sehingga dapat dihilangkan, atau kalaupun ia masih ada maka pengaruhnya terhadap distorsi perdagangan dan produksi tiap-tiap produk pertanian berdampak kecil sekali (Khudori, 2004). Ada dua tipe dari DS, yaitu yang dapat digolongkan dalam Green Box3, dan lainnya masuk ke dalam Amber Box4.
3
Green Box, mengacu pada Annex 2 AOA, adalah daftar pembayaran domestik yang dikecualikan dari kalkulasi MS (Aggregate Measure of Support), seperti untuk program lingkungan, pengawasan penyakit, pembangunan, infrastruktur, dan bantuan pangan domestik. Juga termasuk pembayaran langsung ke produsen bila berbentuk tetap dan berdasarkan periode sejarah (disebut juga decoupled payments) dan pembayaran pemerintah untuk asuransi pendapatan dan program darurat. 4
Amber Box, adalah pembayaran subsidi ke produsen dan subsidi domestik lainnya yang harus dikurangi, tetapi tidak dihapuskan. Amber Box dihitung berdasarkan AMS, yaitu nilai yang setara dengan tunai dukungan pemerintah untuk produsen pertanian. Semua pengeluaran pemerintah di bidang pertanian dianggap sebagai Amber Box.
25
Bagi sebagian besar negara berkembang, tidak mudah untuk menghitung nilai AMS. Apabila perhitungan AMS tidak dapat dilaksanakan, misalnya karena sulit memperoleh data, maka alternatifnya adalah menghitung lewat jumlah pengeluaran pemerintah (Khudori, 2004: 74).
Menurut
AOA, disiplin
pengurangan subsidi adalah sebesar 20 persen dari tingkat semula untuk negara maju (developed countries/ DC) dan 13,33 persen untuk negara-negara berkembang (less developing countries/ LDC) dari tahun dasar yang ditetapkan (1986-1988). Penurunan tersebut sudah harus dilakukan selama kurun waktu enam tahun untuk negara maju dan sepuluh tahun untuk negara berkembang. Semua komitmen itu telah dimasukkan dalam schedule of commitment yang dibuat pada masing-masing negara anggota WTO. Sedangkan pada kategori Amber Box, ada tiga tipe yang dikecualikan untuk dikurangi (exempted from reduction), yaitu: 1. De minimis, yaitu tingkat support yang dianggap mempunyai pengaruh minimum terhadap distorsi produksi atau perdagaangan. 2. Sejumlah bantuan yang mendorong pembangunan pertanian dan perdesaan di negara-negara; dan 3. Bantuan langsung sebagai program untuk membatasi produksi suatu komoditas, kadang-kadang aspek ini dimasukkan dalam Blue Box5.
c. Export Subsidy Komitmen dalam Export Subsidy (ES) dimaksudkan untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang menyalurkan bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan subsidi ekspor dilaksanakan pada target volume komoditas yang diekspor maupun dalam bentuk nilai (budgetary). Pengurangan subsidi ekspor bertujuan untuk mengurangi distorsi di pasar internasional, karena kebijakan subsidi ekspor dianggap dapat memancing persaingan yang tidak sehat antara negara pemberi subsidi dan negara pengimpor. Sejauh ini, sejumlah negara memang telah menyediakan dana subsidi ekspor. Dan 5
Blue Box adalah hasil kompromi guna menghindari kebuntuan perundingan antara AS dengan Uni Eropa di tahun 1992 (Khudori, 2005: 78).
26
biasanya
langkah
ini
dilakukan
untuk
menciptakan,
memperluas,
dan
mempertahankan pasar ekspor yang tersebar di berbagai negara.
1.4.3
Kerangka Analisis untuk Faktor-Faktor Kompetitif Untuk menganalisis faktor-faktor kompetitif yang mempengaruhi sektor
pertanian Brazil, peneliti mengadopsi kerangka ekonomi yang dikembangkan USITC (United States Trade Commission), yang menggabungkan asumsi analitis, parameter, dan struktur yang mendefinisikan kondisi persaingan dalam perdagangan pertanian (USITC, 2008). Kondisi persaingan di bidang pertanian mencakup ekonomi, kelembagaan, dan peraturan lingkungan di mana perusahaan bersaing. Faktor kompetitif didefinisikan sebagai faktor penentu langsung dan tidak langsung dari kemampuan pemasok untuk menawarkan produk dengan karakteristik yang diinginkan oleh pembeli, yang mendasarkan keputusan pembelian mereka pada tiga kriteria utama: biaya pengiriman (delivered cost), diferensiasi produk (product differentiation) dan keandalan pasokan (reliability of supply). Di pasar di seluruh dunia, daya saing pertanian diukur dengan membandingkan kriteria-kriteria ini pada produk dalam negeri dengan produk impor. Dalam penelitian ini, terutama pada Bab 3, analisis ini akan mengeksplorasi kepentingan relatif dari biaya pengiriman, karakteristik produk dan keandalan pasokan dalam menentukan daya saing ekspor pertanian Brazil terutama pada komoditas pertanian utama di pasar-pasar kunci. Gambar 1.2 berikut ini menidentifikasi beberapa faktor kompetitif yang spesifik untuk pertanian (USITC, 2012).
27
Gambar 1.1. Jangkauan luas faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing di pasar pertanian
Sumber: USITC (2012)
28
a.
Biaya Pengiriman Untuk banyak produk pertanian yang diperdagangkan secara global, biaya pengiriman adalah kriteria yang paling penting dalam membuat keputusan pembelian. Bagi produsen produk pertanian, agar memiliki daya saing di pasar ekspor, mereka harus mampu memasok produk ke pembeli pada atau di bawah harga yang ditawarkan oleh eksportir lain dan produsen dalam negeri. Oleh karena itu, daya saing harga dari supplier bergantung pada faktor-faktor yang cenderung menurunkan atau menaikkan biaya pengiriman mereka vis a vis biaya pengiriman produk impor atau domestik lainnya di pasar mereka. Biaya pengiriman produk dalam negeri bergantung pada ongkos produksi barang dan ongkos transportasi domestik dari titik produksi ke titik konsumsi. Biaya produksi pada gilirannya bergantung pada biaya input pertanian seperti pupuk dan upah tenaga kerja. Penggunaan bioteknologi, seperti mesin dan irigasi juga mempengaruhi biaya pengiriman. Biaya transportasi berasal dari beberapa faktor, termasuk biaya bahan bakar dan efisiensi sistem transportasi, yang pada gilirannya tergantung pada faktorfaktor seperti kualitas jalan dan pelabuhan. Biaya tambahan juga mempengaruhi keseluruhan biaya pengiriman ke pasar ekspor. Hal ini termasuk biaya transportasi internasional, konversi mata uang, cakupan resiko perdagangan dan tarif di pasar luar negeri. Biaya pengiriman barang-barang ekspor juga meliputi pengeluaran pada regulasi impor, seperti mematuhi standar Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan dalam memenuhi persyaratan pelabelan dan kemasan di pasar negara importir.
b.
Diferensiasi Produk Selain biaya pengiriman, para pembeli juga membandingkan tingkat diferensiasi produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk impor dalam membuat keputusan pembelian mereka. Semakin produk tersebut mengalami proses pengolahan dan bermerek, semakin karakteristik dan reputasi produk tersebut mempengaruhi keputusan pembelian, sehingga
29
membuat pertimbangan biaya pengiriman menjadi kurang penting. Produk sejenis dibedakan dari satu sama lain melalui karakteristik produk yang unik, seperti kemasan merek, label dan tingkat kenyamanan, dengan bantuan investasi besar dalam pemasaran, promosi dan media iklan.
c.
Keandalan Pasokan Keandalan pasokan (reliability of supply) mengacu pada kemampuan pemasok untuk memberikan produk tertentu, dengan kualitas tertentu dalam volum yang telah disepakati, ke lokasi yang ditentukan pada waktu kontrak. Resiko yang melekat pada produksi pertanian (berpotensi mempengaruhi kuantitas dan kualitas pasokan) membuat kriteria ini sangat penting bagi pembeli untuk dipertimbangkan. Produk dapat dibedakan oleh ketersediaan mereka pada tahun yang berbeda, terutama ketika pemasok luar negeri mampu mengirimkan barang di luar musim untuk konsumen domestik. Keandalam pasokan tergantung pada efisiensi rantai pasokan, termasuk infrastruktur penyimpanan dan transportasi, serta sistem informasi pasar. Di bidang pertanian, beberapa faktor dapat mengganggu keandalan pasokan, seperti kontrol eksport yang dipaksakan pemerintah, kerusuhan politik, infrastruktur transportasi yang buruk, dan jumlah produksi yang tidak stabil (karena cuaca buruk), yang pada gilirannya dapat menyusutkan surplus ekspor suatu negara (USITC, 2012).
Berbagai konsep yang terdapat dalam kerangka konseptual ini berguna bagi peneliti untuk mengupas dan menjawab pertanyaan penelitian. Konsep neodevelopmentalism membantu peneliti untuk memahami bagaimana perubahan paradigma dalam strategi pembangunan termanifestasi pada reformasi agraria yang terjadi secara struktural, membawa pertanian Brazil menjadi sangat maju hingga dapat membalikkan keadaan dari yang semula net importer menjadi net exporter pangan terbesar ketiga di dunia. Sementara konsep-konsep yang ada dalam ketentuan AOA, membantu peneliti untuk mengetahui celah-celah mana saja yang potensial digunakan Brazil untuk memberikan dukungan dan subsidi
30
kepada pertanian domestik namun disaat yang sama tetap berjalan mematuhi kerangka disiplin AOA.
1.5
Argumen Utama Berangkat dari perspektif neo-developmentalism yang digunakan peneliti,
maka argumen yang dibangun dalam penelitian ini adalah pertama, keberhasilan Brazil dalam membangun sektor pertaniannya tidak terlepas dari perubahan paradigma pembangunan, yang semula proteksionis terhadap infant industry, berorientasi pada substitusi impor dan diskriminatif terhadap sektor pertanian karena pembangunan industri hanya difokuskan pada sektor manufaktur, menuju model pembangunan neo-developmentalis yang liberal dan berorientasi ekspor (led-export model). Strategi pembangunan neo-developmentalis melahirkan reformasi struktural yang meliputi privatisasi berbagai badan usaha milik negara (state
owned
enterprises),
deregulasi
pasar
domestik,
dan
liberalisasi
perdagangan. Keberhasilan ini dimungkinkan karena new state activism (NSA) yang menjadi karakter utama neo-developmentalisme membuat negara dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam membangun sektor pertanian menjadi berskala industri, dengan mengintegrasikan kebijakan sosial seperti pemberian subsidi serta redistribusi pertanian ke dalam strategi pertumbuhan industri melalui berbagai program kemitraan dan pengembangan inovasi. Negara menghapuskan kebijakan proteksionisme dan memberlakukan keterbukaan ekonomi dengan membuka akses pasar, namun di saat yang sama menggelontorkan berbagai program pengentasan kemiskinan yang berintegrasi dengan program peningkatan produktifitas dan daya saing pertanian domestik agar dapat berkompetisi di pasar internasional. Reformasi agraria yang lebih liberal tersebut juga menciptakan iklim investasi yang stabil di sektor pertanian yang berimplikasi pada perluasan jumlah lahan pertanian secara signifikan. Kedua, kecermatan Brazil dalam mempelajari celah-celah dalam teks-teks kesepakatan AOA, terutama mengenai ketentuan Green Box dan Amber Box dalam komitmen Domestic Support, memungkinkan Brazil dapat membangun berbagai justifikasi untuk tetap memberikan subsidi dan dukungan bagi pertanian
31
domestik, tanpa melanggar disiplin dan aturan-aturan AOA dengan memanfaatkan jenis-jenis subsidi yang diperbolehkan dalam kategori green box.
1.6
Metode Penelitian Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode Penelitian Kualitatif,
metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Secara garis besar penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa yang pada saat penelitian dilakukan (Moleong, 2005: 3). Metode ini menggunakan data-data yang relevan dengan untuk kemudian dijelaskan menggunakan kerangka konseptual yang ada untuk memperoleh kesimpulan. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yakni data primer dan data sekunder. Adapun sumber data diperoleh melalui penulusuran narasumber langsung dan juga penulusuran dalam bentuk literatur/dokumentasi baik dalam bentuk buku, laporan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Pengumpulan data akan dilakukan melalui metode-metode sebagai berikut: a. Studi Analisa Data Penulusuran Informasi data primer yang diperoleh dari narasumber yang relevan dan terpercaya baik melalui penelitian lapangan maupun telaah literatur, serta mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari beragam literatur seperti buku, jurnal, dokumen ataupun rlis media sebagai data penunjang. Mempelajari bahan-bahan hasil wawancara maupun data-data tertulis, browsing dan data via internet dan juga mencermati masalah-masalah terkini yang berakitan dengan penelitian ini. b. Analisis Isi Analisis data bersifat deskritif-kualitatif dan evaluatif. Data yang telah diperoleh dari dokumen-dokumen akan dianalisis secara cermat dan mendalam. Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil,
32
artinya dalam menganalisis isi lebih memperhatikan sebab akibat dari berbagai variable yang saling mempengaruhi. c. Sasaran Penelitian Bukti atau data untuk keperluan penelitian berasal dari beragam sumber yaitu bukti dokumentasi yang mencakup surat, memorandum, laporan-laporan atau catatan tertulis peristiwa dan dokumen-dokumen administratif seperti proposal, laporan kemajuan dan dokumen-dokumen internal lainnya.
1.7
Jangkauan Penelitian Penelitian memerlukan pembatasan waktu untuk menghindari pembiasan
pokok pembahasan dan dapat lebih fokus untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Dalam penelitian ini, jangkauan waktu yang diteliti dibatasi sejak masa pemerintahan Luiz Inacio Lula Da Silva, yaitu dari tahun 2003 sampai 2011, saat perubahan struktural dalam strategi pembangunan berlangsung secara signifikan dan reformasi agraria dilakukan secara masif hingga mengakselerasi
produktifitas
pertanian
Brazil.
Namun,
tidak
menutup
kemungkinan adanya pembahasan dari tahun sebelum dan setelahnya, selama pembahasan tersebut relevan dalam membantu menjawab pertanyaan penelitian.
1 .8 Sistematika Penelitian Penelitian ini terdiri dari empat bagian dengan sistematika penulisan yang diawali dengan Bab I, berisikan hal-hal yang melatarbelakangi pelaksanaan penelitian, identifikasi masalah, perumusan masalah yang menjadi fokus utama untuk dijawab dalam penelitian ini, argumen utama, metodologi penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan. Pada Bab II, peneliti akan membahas mengenai strategi kebijakan pemerintah Brazil dalam pembangunan pertanian di dalam negeri, yang dimanifestasikan pada berbagai program bantuan domestik pertanian berupa subsidi kredit produksi, pemasaran dan investasi bersuku bunga rendah bagi petani komersial, bantuan pembangunan desa dan subsidi pendapatan bagi petani
33
keluarga (family farmers), program penelitian pertanian, dan asuransi pedesaan bagi para petani. Lebih lanjut peneliti pun akan menguraikan bagaimana implikasi dari berbagai program bantuan pertanian tersebut terhadap ketentuan domestic support dalam AOA-WTO. Selanjutnya Bab III membahas tentang bagaimana strategi pertanian Brazil dalam memasuki pasar global dan melakukan ekspansi ekspor. Diawali dari penjelasan dan analisis mengenai berbagai faktor kompetitif yang mempengaruhi daya saing ekspor pertanian Brazil di pasar global yang dikonsentrasikan pada beberapa komoditas utama. Serta analisis mengenai pertumbuhan perusahaanperusahaan agribisnis Brazil dan bagaimana mereka memasuki rantai pasokan pangan global melalui ekspor dan penanaman modal asing (foreign direct investment/ FDI). Terakhir, pada Bab IV yang merupakan penutup, berisikan kesimpulan bahwa new state activism yang diterapkan Brazil membuat negara dapat berperan aktif dalam membangun sektor pertanian dalam negeri dan disaat yang sama mengambil manfaat dari keterbukaan pasar dengan terus menjamin daya saing industri pertanian agar dapat berkompetisi di pasar global dan memanfaatkan berbagai celah mekanisme subsidi domestik yang diperbolehkan dalam rezim Agreement on Agriculture- WTO.
34