BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kehidupan dapat diumpamakan sebagai bisnis yang berisiko (Coppala, 2014). Setiap individu harus membuat keputusan yang melibatkan risiko setiap harinya. Pada kenyataannya, setiap individu memiliki preferensi risiko yang berbeda (Donkers dkk 2001). Hal tersebut terjadi karena penilaian individu terhadap hasil yang diperoleh dari risiko yang diambil, berbeda antara satu dengan yang lain (Ward dkk, 1991). Perbedaan preferensi terhadap risiko ini yang dikenal sebagai perbedaan dalam risk attitude. Risk attitude ini berperan penting menentukan pilihan individu dalam berbagai keputusan yang diambilnya (Arrow, 1965). Risk attitude juga sering kali dikaitkan secara empiris dengan berbagai pola perilaku individu (Lonnqvist dkk, 2013). Risk attitude dianggap sebagai unsur penting dalam merumuskan berbagai perilaku yang terjadi di dunia (Reynaund dan Couture, 2012). Meskipun berbagai studi terkait risk attitude telah dilakukan sejak lama, tetapi perdebatan terkait penentuan metode yang paling efektif untuk mengukur risk attitude aktual masih terjadi (Harrison dan Rutstrom, 2008). Secara umum, terdapat dua metode pengukuran risk attitude yang cukup popular (Weber dan Johson, 2008). Metode pertama merupakan metode eksperimen yang dilakukan dengan menganalisis pilihan aktual individu pada suatu permainan atau skenario riil maupun hypothetical, yang telah dirancang untuk mengukur risk attitude (Lejuez dkk, 2002). Metode kedua dilakukan dengan menanyakan secara langsung preferensi risk attitude individu (Weber dkk, 2002). Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah risk attitude dapat diukur dengan mengidentifikasi perilaku yang terjadi saat membuat pilihan dalam task lottery dengan insentif, yang umum dilakukan dalam studi ekonomi (Holt and Laury, 2002) atau risk attitude akan lebih baik diukur dengan menggunakan kuesioner tanpa insentif berdasarkan pernyataan subjek terkait tingkat keinginan mengambil risiko yang diukur dengan
1
2
skala likert, yang biasa digunakan dalam studi psikologi (Lauriola dan Levin, 2001). Jika ditinjau dari aspek biaya, waktu dan kemudahan pengukuran, metode survei lebih murah dan lebih mudah untuk dilakukan, karena tidak memerlukan insentif dan berbagai instruksi seperti yang terdapat pada metode eksperimen (Anderson dan Mellor, 2009). Tetapi menurut Dohmen (2005), penggunaan metode survei kuesioner untuk mengukur risk attitude selama ini dianggap memberikan hasil yang tidak terlalu meyakinkan, karena hasil pengukurannya hanya berupa self-report yang cenderung menggambarkan harapan individu terkait bagaimana perilakunya terhadap risiko dan tidak menggambarkan risk attitude aktual dari dirinya. Faktor-faktor seperti bias akibat kesalahan dalam penilaian terhadap diri sendiri, kurangnya perhatian, dan motivasi strategik dapat menyebabkan distorsi individu dalam menafsirkan risk attitude dari dirinya (Camerer dan Hogarth, 1999). Berbeda dengan metode survei, desain eksperimen dalam pengukuran risk attitude dapat memberikan hasil yang lebih baik (Holt dan Laury, 2002). Metode tersebut mengembangkan teknik pemberian insentif yang sesuai, sehingga dapat mengungkapkan risk attitude seseorang secara lebih akurat karena subjek merasakan dampak langsung dari berbagai keputusan yang diambilnya dalam eksperimen (Handa dan Maluccio, 2010). Di sisi lain, metode eksperimen
dengan
menawarkan
insentif,
dianggap
hanya
memberikan
keuntungan dalam memprediksi preferensi risiko pada domain tertentu, tetapi pendekatan ini kurang efektif dalam memberikan informasi terkait risk attitude pada domains lainnya (Oliver dkk, 2011). Di lain pihak, pengukuran risk attitude dengan menggunakan metode eksperimen dianggap lebih mudah diterjemahkan dalam indeks formal ketika struktur parameter dari utility function dibutuhkan (Andersen, 2008), tetapi menurut Anderson dan Mellor (2009), meskipun metode survei dengan kuesioner sulit untuk diterjemahkan dalam parameter numerical, metode pengukuran ini tetap dapat menjadi prediktor perilaku. Perdebatan terkait keunggulan kedua metode tersebut, menyebabkan beberapa peneliti mencoba membandingkan antara beberapa alat ukur pada metode survei dan eksperimen. Lonnqvist, dkk (2013) melakukan perbandingan beberapa alat ukur pada kedua metode pengukuran serta menganalisis kemampuan
3
faktor kepribadian memprediksi preferensi risiko individu. Pada penelitian Lonnqvist, dkk (2013), faktor yang dianggap dapat memprediksi risk attitude hanya kepribadian, sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi prediktor risk attitude lainnya. Hal yang sedikit berbeda dilakukan dalam penelitian Dohmen, dkk (2009). Dohmen, dkk (2009) mengevaluasi salah satu alat ukur dari metode pengukuran survei, dengan mengidentifikasi keterkaitan antara hasil pengukuran risk attitude dengan beberapa profil personal pembentuk preferensi risiko seseorang, seperti: jenis kelamin, umur, tinggi badan, suku dan latar belakang pendidikan orang tua, serta pendapatan per bulan. Pada penelitian Dohmen, dkk (2009), proses analisis antara alat ukur pada metode survei dan eksperimen kurang optimal, karena kedua alat ukur pada setiap metode pengukuran tidak diperlakukan setara. Pada penelitian tersebut, hasil pengukuran risk attitude dengan alat ukur metode eksperimen dianggap lebih valid sehingga hasil ini digunakan untuk memvalidasi hasil pengukuran alat ukur metode survei. Menurut Wang dan Yuan (2010), faktor yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis alat ukur pada metode pengukuran risk attitude, tidak hanya meliputi faktor yang dapat memprediksi risk attitude, tetapi juga faktor lain yang menjadi output dari kecenderungan preferensi risiko individu dan menurut Dohmen (2005), risky behaviors merupakan output atau refleksi nyata yang terjadi akibat risk attitudes individu. Selain itu, menurut Hillson dan Murray (2007), kinerja juga merupakan hasil nyata dari pilihan atau keputusan dari suatu kondisi tertentu berdasarkan preferensi risk attitude masingmasing individu. Permasalahan yang telah dijabarkan sebelumnya, yaitu masih adanya perdebatan terkait kemampuan metode survei dan eksperimen dalam mengukur risk attitude, dan masih terdapatnya beberapa kelemahan dalam proses analisis metode-metode pengukuran yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, menyebabkan perlu dilakukan penelitian tahap lanjut untuk mengevaluasi alat ukur pada masing-masing metode pengukuran risk attitude.
4
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka diperlukan sebuah penelitian untuk mengevaluasi alat ukur pada metode pengukuran risk attitude dengan survei maupun eksperimen, sehingga dapat diketahui alat ukur yang paling efektif dan efisien untuk mengukur risk attitude. 1.3. Asumsi dan Batasan Masalah Untuk memperjelas cakupan penelitian, maka dibuat beberapa asumsi dan batasan masalah, yaitu: 1. Pemilihan alat ukur yang akan dievaluasi, dilakukan dengan studi literatur. Pada proses studi literatur, akan dipilih alat ukur dari metode survei dan ekperimen yang paling dapat merepresentasikan risk attitude dengan baik serta paling direkomendasikan pada penelitian-penelitian terkait risk attitude yang telah dilakukan sebelumnya. 2. Pengukuran risk attitude dengan metode survei, pada penelitian ini dilakukan pada seluruh populasi responden yang dipilih yaitu mahasiswa tingkat pertama Program Sarjana dan Pascasarjana angkatan 2014, Teknik Industri, Universitas Gadjah Mada dan pengukuran dengan metode eksperimen dilakukan pada beberapa sampel yang merepresentasikan populasi yang dipilih. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi alat ukur risk attitude, sehingga pada akhirnya dapat ditentukan alat ukur yang dapat mengukur risk attitude dengan efektif dan efisien. Adapun tujuan utama tersebut dapat dijabarkan kembali menjadi beberapa bagian yaitu: 1. Memilih alat ukur pada masing-masing metode pengukuran survei dan eksperimen yang akan dievaluasi. 2. Mengidentifikasi risk attitude individu, hasil pengukuran alat ukur dengan menggunakan metode survei dan eksperimen. 3. Membandingkan hasil pengevaluasian alat ukur risk attitude pada kedua metode.
5
4. Menentukan alat ukur yang paling efektif dan efisien dalam mengukur risk attitude. Kriteria efektif dan efisien ini ditentukan berdasarkan kemampuan mengidentifikasi keterkaitan risk attitude dengan berbagai faktor penyebab kecenderungan preferensi risiko seseorang (profil personal, seperti: jenis kelamin, umur, tinggi badan, suku dan latar belakang pendidikan orang tua, pendapatan
per
bulan,
dan
kepribadian),
berdasarkan
kemampuan
merepresentasikan risky behaviors seseorang pada kehidupan nyata. Aspek tambahan yang juga dievaluasi adalah kemampuan alat ukur mendeskripsikan risk attitude seseorang, kemampuan mengidentifikasi keterkaitan risk attitude dengan kinerja seseorang, serta berdasarkan biaya, waktu, dan kemudahan dalam penggunaan. Selain itu alat ukur yang akan dievaluasi dalam penelitian ini harus lolos dalam evaluasi validasi dan konsistensi internal. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan alat ukur yang paling efektif dalam mengukur risk attitude. Selain itu, penelitian ini akan memberikan gambaran, keterkaitan risk attitude dengan berbagai profil personal, kepribadian dan kinerja individu.