1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan garis pantai yang panjang, yakni 95.181 km
sehingga memiliki potensi kekayaan laut berlimpah. Berbagai jenis crustacea seperti lobster, kepiting dan udang, serta keluarga siput, seperti remis dan kerang menjadi komoditas utama negara maritim ini. Indonesia juga merupakan penghasil produk laut non konsumsi seperti mutiara (Erwidodo, 2007). Mutiara adalah satu-satunya jenis batu berharga atau gemstone yang tumbuh dalam organisma hidup. Tidak seperti jenis batu mulia lain yang dihasilkan dalam perut bumi, mutiara terbentuk di dalam hewan. Hewan yang dimaksud adalah keluarga besar molusca atau hewan bertubuh lunak yang merupakan bagian dari ekosistem air (Gofar, 2010). Berdasarkan proses
pembentukannya mutiara dapat
diklasifikasikan menjadi mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi. Mutiara air laut (seawater pearl) dihasilkan oleh spesies kerang mutiara yang hidup di laut, seperti Pinctada maxima (Sutaman, 1993). Sebagai penghasil south sea pearls yang berasal dari kerang Pinctada maxima, Indonesia memiliki sentra budidaya mutiara yang tersebar di beberapa daerah seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Mutiara air laut merupakan salah satu komoditas dari sektor kelautan yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pengembangan usaha di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya peminat perhiasan mutiara dan harganya yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Saat ini Indonesia baru memberikan porsi 26% dari keseluruhan jenis mutiara yang dibutuhkan di pasar dunia, dan angka ini berpotensi untuk ditingkatkan hingga 50% (Bank Indonesia, 2013). Dimensi mutiara jenis south sea pearls, yang mampu dihasilkan dari laut Indonesia memiliki diameter 15 - 16 mm, serta berwarna silver hingga keemasan (Report Market Brief, 2013). Ini termasuk kelompok mutiara berdiameter besar sehingga dijuluki dengan the queen of pearl. 1
2
Mutiara air tawar dihasilkan oleh kerang air tawar seperti Anadonta woodiana. Pada dasarnya proses pembuatan mutiara air tawar tidak jauh berbeda dengan mutiara air laut, dimana mutiara dihasilkan dengan memasukan inti mutiara (potongan saibo) ke dalam kerang melalui proses pengoperasian. Sebagai bentuk perlindungan diri karena masuknya material asing ke dalam tubuhnya, maka kerang mutiara akan melapisi inti tersebut dengan nacre (lapisan mutiara). Pelapisan inti oleh nacre ini akan menghasilkan mutiara. Jika pada kerang air laut, seekor kerang hanya mampu menghasilkan satu buah mutiara dalam kurun waktu 2,5 sampai dengan 3 tahun sejak dari masa operasi inti, maka berbeda halnya dengan kerang air tawar. Seekor Anadonta woodiana mampu menghasilkan 2-8 buah mutiara (tergantung ukuran kerang) dalam sekali masa panen dengan waktu pemeliharaan 12 - 14 bulan (Misra, 2009). Mutiara imitasi adalah mutiara yang dibuat oleh manusia, baik secara tradisional (menggunakan alat sederhana dalam home industry) maupun menggunakan peralatan canggih melalui pabrik-pabrik besar. Mutiara imitasi dibuat dengan cara melapisi inti mutiara yang terbuat dari plastik atau kaca dengan menggunakan cairan mutiara yang dibuat dari serbuk kulit kerang bagaian dalam (Hanano at al., 1990). Karena seluruh proses pembuatannya dilakukan oleh manusia, maka bentuk, berat, warna, ukuran, dan kilauannya dapat direkayasa sedemikian hingga tampak mirip dengan mutiara air laut asli. Untuk menghasilkan mutiara imitasi hanya dibutuhkan waktu 24 jam saja. Proses pengerjaan yang serba praktis mendorong murahnya harga jual mutiara imitasi. Ketiga jenis mutiara tersebut beredar secara luas di pasaran, baik pada skala nasional ataupun global. Proses perdagangan (jual-beli) mutiara dapat berlangsung secara mudah sepanjang pemilik mutiara dapat menunjukkan sertifikat, surat atau nota yang berfungsi sebagai bukti keaslian. Namun, akhirnya pengujian ulang tetap akan dilakukan untuk membuktikan keaslian yang dinyatakan dalam surat atau nota. Masalah kemudian akan muncul apabila mutiara yang diperdagangkan adalah mutiara palsu (imitasi) atau tidak sesuai dengan harapan pembeli. Sangat sulit untuk membedakan antara mutiara air laut, air tawar dan imitasi secara konvensional. Kemajuan teknologi, khususnya dalam memproduksi mutiara
3
imitasi, membuatnya semakin sulit dibedakan dengan mutiara air laut ataupun tawar apabila hanya mengandalkan panca indra manusia. Dibutuhkan suatu upaya yang berbasis high tech pula untuk membedakan ketiga jenis mutiara tersebut secara lebih akurat. Proses identifikasi mutiara selama ini telah dilakukan, baik secara destructive ataupun non destructive testing. Identifikasi mutiara secara destructive testing misalnya pernah dilakukan oleh Scarratt et al. (2012). Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi unsur-unsur kimia yang terkandung di dalam sampel yakni berbagai jenis mutiara yang dihasilkan dari kerang liar, kerang liar yang telah dioperasi kemudian dipelihara di tempat budidaya dan kerang yang dikembangbiakan di tempat pembudidayaan. Proses identifikasi dilakukan dengan menghancurkan sampel sehingga menjadi serbuk untuk selanjutnya dianalisis menggunakan
raman
spectra,
photoluminescence
spectra,
UV-Vis-NIR
reflectance spectra, dan Lasere Ablation-Inductively Coupled Plasma-Mass Spectrometry (LA-ICP-MS). Berdasarkan informasi kandungan kimianya maka sampel penelitian tersebut akan diidentifikasi. Khairoman (2013) juga pernah melakukan identifikasi mutiara air tawar dan imitasi dengan menggunakan teknik spektroskopi. Sampel penelitian berupa mutiara air tawar dan imitasi dibuat menjadi serbuk untuk selanjutnya dianalisa dengan menggunakan ultraviolet fluorescence, Fourier Transform Infrared (FTIR) spectroscopy dan Energy Dispersive X-Ray Fluorescence (EDXRF). Sampel penelitian dibedakan berdasarkan komposisi kimia yang dikandungnya. Jadi, proses identifikasi mutiara secara destructive testing memiliki kelemahan, yakni objek yang akan diteliti harus dihancurkan (dibuat menjadi serbuk). Hal ini tentu kurang relevan apabila diterapkan dalam dunia perdagangan mutiara. Saat
ini
mengidentifikasi
telah
berkembang
mutiara,
metode
menggunakan
nondestructive peralatan
testing
Optical
untuk
Coherence
Tomography (OCT) atau mikro tomografi sinar-X. Ju, et al. (2010) melakukan identifikasi mutiara dengan menggunakan Optical Coherence Tomography (OCT). OCT adalah teknik pencitraan dengan resolusi tinggi yang biasanya diperuntukkan pada objek-objek mikrobiologi. OCT mampu menghasilkan citra
4
struktur permukaan mutiara dengan resolusi tinggi, memprediksi ketebalan lapisan nacre,
dan
berdasarkan
informasi
ketebalan
lapisan
nacre,
diklasifikasikan menjadi mutiara yang berinti atau tidak berinti.
mutiara
Metode ini
mampu menghasilkan citra 2 dan 3 dimensi. OCT memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi mutiara tanpa merusaknya. Kelemahan dari OCT adalah tidak mampu menampilkan citra tampang lintang mutiara secara utuh. Hal ini karena sinar optik yang menjadi sumber dalam teknik pencitraan OCT tidak mampu menembus mutiara, seperti halnya sinar-X. Jadi OCT hanya mampu menampilkan citra permukaan mutiara dengan kedalaman yang terbatas. Pemanfaatan tomografi komputer sinar-X untuk pencitraan tampang lintang mutiara dilakukan oleh Karampelas et al. (2010) dan Krzemnick et al. (2010). Pada hakekatnya mereka melakukan pencitraan tampang lintang dengan menggunakan mikro tomografi komputer sinar-X sehingga struktur internal mutiara tampak jelas. Berdasarkan informasi ini proses identifikasi mutiara alami (yang tidak berinti) dan mutiara hasil budidaya (berinti) dapat dilakukan dengan lebih baik. Selain itu citra tampang lintang tersebut juga dapat direkonstruksi menjadi citra 3 dimensi sehingga menjadi lebih atraktif. Otter et al. (2014) juga melakukan penelitian dengan memanfaatkan mikro tomografi komputer sinar-X untuk menyelidiki rongga pada mutiara hasil budidaya. Kekurangan dalam metode ini adalah proses identifikasi mutiara hanya didasarkan pada bentuk citra tampang lintang objek. Padahal pada beberapa kasus tomografi, memungkinkan dihasilkannya bentuk citra tampang lintang yang terlihat relatif sama dari dua objek yang berbeda. Hal ini disebabkan karena keterbatasan energi sinar-X yang digunakan dan/atau teknik rekonstruksi citra yang kurang optimal. Diperlukan parameter fisis lain, yang relatif lebih akurat dalam mengidentifikasi berbagai jenis materi berdasarkan citra tampang lintang tomografi sinar-X. Ketika berinteraksi dengan materi, sinar-X yang diteruskan oleh materi tersebut akan mengalami pelemahan. Hal ini karena intensitas sinar-X yang melewati materi telah berkurang. Besarnya probabilitas pelemahan yang dialami sinar-X dinyatakan sebagai koefisien atenusi linier (µ). Nilai µ ini ditentukan oleh jenis atom penyusun dan kerapatan suatau material, sehingga bersifat spesifik
5
untuk setiap jenis benda. Dilain pihak, citra tampang lintang objek dari proses tomografi komputer sinar-X, merupakan representasi dari distribusi nilai µ dalam bidang irisan 2 dimensi. Sehingga, selain menyajikan informasi fisis berupa bentuk, citra tampang lintang juga mengandung informasi fisis berupa nilai µ dari objek. Identifikasi berbagai jenis material berdasarkan nilai µ yang diperoleh melalui tomografi komputer sinar-X, terbukti valid dan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Handayani (2006) melakukan penelitian tentang pemanfaatan tomografi komputer untuk pengujian kualitas logam kuningan. Penentuan kualitas logam kuningan didasarkan pada nilai µ dari setiap sampel, dimana semakin tinggi kualitas logam kuningan maka nilai µ semakin besar. Risamasu (2006) melakukan penelitian tentang korelasi antara karat emas dengan nilai koefisien atenuasi linier menggunakan tomografi komputer. Berdasarkan uraian tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang identifikasi mutiara berdasarkan nilai koefisien atenusi linier menggunakan mikro tomografi komputer sinar-X. Selain berdasarkan bentuk citra tampang lintang setiap sampel, informasi fisis berupa nilai µ dapat dijadikan sebagai parameter dalam mengidentifikasi mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi secara lebih ilmiah dan akurat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang identifikasi mutiara dan dapat menjadi referensi untuk penelitian sejenis di masa yang akan datang. 1.2
Rumusan Masalah Parameter fisis yang digunakan sebagai acuan dalam mengidentifikasi jenis
mutiara adalah koefisien atenuasi linier. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah profil garis citra tampang lintang mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi (shell serta resin)?
2.
Berapakah nilai koefisien atenuasi linier mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi?
6
3.
Apakah sitem mikro tomografi komputer sianar-X yang dikembangkan di laboratorium Grup Riset Fisika Citra (GRFC) mampu mengidentifikasi mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi berdasarkan nilai koefisien atenuasi liniernya?
1.3
Batasan Masalah Adapun batasan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Sampel yang diuji adalah mutiara air laut, mutiara air tawar, dan mutiara imitasi yang dikumpulkan dari distributor mutiara. Bentuk semua jenis mutiara tersebut adalah bulat dengan diameter dan volume yang berbeda.
2.
Penelitian ini menggunakan sistem mikro tomografi komputer yang dikembangkan oleh Grup Riset Fisika Citra (GRFC) di Jurusan Fisika, Fakultas MIPA UGM.
3.
Variabel terikat (variabel uji) dalam penelitian ini adalah koefisien atenuasi linier. Pengukuran koefisien atenuasi linier bersifat kuantitatif.
4.
Sampel penelitian dipandang sebagai material yang homogen dalam konteks struktur, dimana koefisien atenuasi diasumsikan seragam pada bahan mutiara, sehingga nilai µ pada beberapa titik dari citra tampang lintang representatif mewakili nilai µ dari seluruh titik pada citra tersebut.
5.
Penelitian ini berbasis pada konsep nondestructive testing (uji tak rusak), sehingga lebih menekankan pada analisis fisis daripada kimiawi.
6.
Energi sinar-X yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 keV dengan kuat arus 20 mA.
1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Mendeskripsikan profil garis citra tampang lintang mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi.
2.
Memperoleh informasi fisis tentang nilai koefisien atenuasi linier dari mutiara air laut, mutiara air tawar dan mutiara imitasi.
7
3.
Mengetahui kemampuan sistem mikro tomografi komputer sinar-X yang dikembangkan
di
laboratorium
GRFC,
FMIPA
UGM
dalam
mengidentifikasi berbagai jenis mutiara (air laut, air tawar dan imitasi) berdasarkan nilai koefisien atenuasi liniernya. 1.5
Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Profil garis mampu menggambarkan kualitas homogenitas mutiara melalui penyajian grafik hubungan antara nilai derajat keabuan dengan posisi pixel.
2.
Setiap jenis mutiara memiliki nilai µ berbeda, demikian juga massa jenis (kerapatan) yang berbeda.
3.
Sistem mikro tomografi komputer sinar-X yang dikembangkan oleh GRFC FMIPA UGM mampu mengidentifikasi berbagai jenis mutiara berdasarkan nilai µ-nya, sebab terlihat adalanya perbedaan nilai µ antara setiap jenis mutiara.
1.6
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Diperolehnya
track
record
kemampuan
dan
pengetahuan
tentang
pemanfaatan sistem mikro tomografi komputer sinar-X yang dikembangkan di laboratorium GRFC, FMIPA UGM, khususnya untuk identifikasi jenis mutiara. 2.
Diperolehnya tata cara uji mutiara berdasarkan pengukuran nilai koefisien atenuasi linier dan profil garis dari setiap jenis mutiara (air laut, air tawar dan imitasi) menggunakan cara tomografi komputer.
3.
Diperolehnya pengetahuan dan rekomendasi bagi masyarakat tentang tata uji mutu mutiara sekaligus proses penjaminan mutunya.