BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Seperti halnya negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya, Ukraina memiliki kedekatan khusus dengan Rusia. Namun, Ukraina menjadi spesial karena letak geopolitiknya yang cukup strategis, yaitu tepat di antara negara-negara Uni Eropa dan Rusia. Hal ini menjadikan Ukraina salah satu negara yang dilewati jalur pipa minyak gas dari Rusia dan Asia Tengah ke Eropa. Khususnya bagi Rusia, Ukraina merupakan salah satu jalur akses terhadap Laut Hitam, yang sangat strategis untuk kepentingan ekonomi (sumber daya alam), maupun militer (pangkalan Angkatan Laut). Tak heran, Rusia selalu berusaha mempertahankan kedekatannya dengan Ukraina dari segala aspek. Sayangnya, bukan hanya Rusia yang melihat peluang menguntungkan di Ukraina. Uni Eropa dan Barat pun nampak berusaha mendekatkan diri dengan negara ini. Posisi Ukraina menjadi semakin penting bagi Rusia sejak tahun 2004, ketika menjadi salah satu negara yang mengalami revolusi, menambah daftar panjang rangkaian Coloured Revolution yang terjadi di negara-negara pecahan Uni Soviet. Coloured Revolutions yang terjadi pada kisaran tahun 2003 hingga 2005 merupakan serangkaian revolusi yang didorong oleh tuntutan perubahan dalam pemerintahan, umumnya berupa keinginan demokratisasi dan liberalisasi pasar. Nilai-nilai Barat yang dianggap ancaman bagi Rusia. Peristiwa ini pertama kali terjadi di Georgia (Rose Revolution), kemudian merambat ke Ukraina (Orange Revolution) dan Kyrgyztan (Tulip Revolution). Beberapa tanda-tanda kemunculan revolusi serupa sempat terjadi pula di Azerbaijan, Armenia, Kazakhztan, dan Moldova. Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya Rusia selalu terlibat dan berusaha menghalangi revolusi tersebut. Rusia melihat bahwa revolusi ini merupakan bentuk ancaman terhadap konsistensi pengaruhnya di negara-negara bekas Soviet. Hal ini mendorong Rusia untuk mengambil kebijakan-kebijakan luar negeri yang mampu menghalau pergerakan revolusi. Untuk kasus ini, Rusia sebenarnya mampu menggunakan kebijakan koersifnya. Sejak lama Rusia dikenal dengan keunggulannya dalam jumlah penduduk dan luas teritori. Jumlah penduduk yang cukup besar memungkinkan bagi Rusia membangun kekuatan militer yang cukup besar hingga kini, tidak hanya dengan mengerahkan tenaga penduduknya sebagai prajurit, tetapi juga untuk bekerja di industri persenjataan. Kedua, daratannya yang sangat luas merupakan ladang berbagai macam mineral yang mampu menjalankan roda industri energinya hingga 1
saat ini. Berbekal itu semua, Rusia memiliki nilai bargaining position yang cukup tinggi ketika berhadapan dengan negara-negara tetangganya. Dengan memainkan harga atau saluran pipa minyak dan gas alam saja, Rusia sudah mampu mengguncang Eropa. Di wilayah bekas Soviet, Rusia bisa mendirikan pangkalan militer dengan mudah dengan memanfaatkan instabilitas keamanan di wilayah-wilayah tersebut. Melihat perkembangan Rusia yang sedemikian rupa, tak heran Rusia selalu dijuluki sebagai salah satu sumber kekuatan militer dan ekonomi (hard power) terkuat di dunia. Namun, ada beberapa faktor yang kemudian menyadarkan Rusia bahwa langkah koersif saja tidak cukup. Pertama, keberadaan negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan di wilayah-wilayah tertentu. Negara-negara anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat menggunakan pendekatan diplomatis, berusaha meminimalisir unsur pemaksaan apalagi upaya-upaya kekerasan yang beresiko. Rusia sadar bahwa pihak Barat berhasil menyebarkan pengaruh dan ideologinya di Eropa Timur, terutama Ukraina dengan upaya pembentukan opini, melalui NGO dan media.1 Hal ini membuat upaya militer Rusia akan terlihat mencolok di wilayah tersebut sehingga akan mengundang kecurigaan. Kedua, negara-negara bekas area Soviet merupakan negara yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang sangat dekat dengan Rusia. Ini merupakan potensi bagi Rusia untuk mengoptimalkan soft power, yaitu dengan terus menekankan kedekatan kultural, agama, dan budaya politik tertentu yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan mereka. Dalam beberapa serial Coloured Revolutions tadi, Rusia diuntungkan dengan lemahnya kekuatan civil society. Mereka mengambil peran sebagai inisiator dan pemimpin revolusi, hingga menggulingkan pemerintahan yang ada, tetapi pada akhirnya hanya terjadi pergantian personil dalam pemerintahan, tanpa ada perubahan sistem. Kekuasaan kembali pada kaum elit yang tidak dapat lepas dari dukungan kekuatan asing dan masih memegang erat budaya politik lama ala Soviet.2 Meskipun begitu, tidak sedikit negara yang berhasil menjalankan revolusi, salah satunya Ukraina. Viktor Yuschenko yang merupakan tokoh dengan label proBarat ternyata berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu, mengalahkan Viktor Yanukovych yang mendapat dukungan dari Rusia.3 Keberadaan Yuschenko (2005-2010) sempat membawa angin segar dalam demokrasi di Ukraina, ketika ia bersedia
1
Jarosław Dwiek-Karpowicz, ‘Limits to Russian Soft Power in the Post-Soviet Area’, Deutschen Gesellschaft für Auswärtige Politik (DGAP) Analyse, No. 8, 2012, hal. 6 2 T. Tudoroiu, ‘Rose, Orange, and Tulip: The failed post-Soviet revolutions’, Communist and Post-Communist Studies, Vol. 40, 2007, hal. 316 3 J. Gerlach, hal. 10-11
2
menandatangani amandemen konstitusi yang mengurangi kekuasaan Presiden. 4 Di masa Yuschenko pula, Ukraina semakin dekat dengan Uni Eropa dan NATO. Namun, itu tidak bertahan lama. Rusia diuntungkan dengan lemahnya komitmen Yuschenko dalam melakukan pembaharuan dan Eropanisasi di Ukraina. Di tahun 2010, Yanukovych berhasil menempati posisi Presiden. Keberadaan Yanuovych setidaknya mengamankan kepentingan dan pengaruh Rusia di Ukraina. Ironisnya, di masa kepemimpinannya inilah Yanukovych melakukan blunder kebijakan yang mendorong gerakan protes besar yang ternyata jauh lebih besar dan kuat daripada gerakan serupa sembilan tahun lalu, bernama Euromaidan. Yanukovych awalnya hampir menandatangani perjanjian perdagangan bebas (Association Agreement) dengan Uni Eropa, tetapi kemudian membatalkannya secara sepihak.5 ―Revolusi‖ akhirnya terjadi untuk kedua kalinya di Ukraina pada akhir November 2013, sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah Yanukovych yang diprakarsai oleh kelompok Euromaidan, yaitu masyarakat yang menuntut integrasi Ukraina dengan Uni Eropa. Selain faktor pendorong yang lebih kompleks, bukan hanya penolakan atas hasil pemilu seperti revolusi Orange, gerakan Euromaidan ini ternyata berkembang menjadi masalah yang jauh lebih besar hingga memakan waktu yang lebih lama pula. Dalam prosesnya mereka dihadang massa pro Rusia yang mendukung kebijakan Yanukovych untuk terus membangun hubungan baik dengan Rusia. Massa pro-Rusia ini terpusat di wilayah Selatan dan Timur Ukraina, meliputi Crimea, Luhansk, Donetsk, dan sebagian Odessa. Wilayah-wilayah tersebut ternyata memiliki dua faktor yang memudahkan akses Rusia ke wilayah tersebut., yaitu budaya dan kedekatan geografis. Sejak awal tahun 2014 lalu, Ukraina Timur masih dalam kondisi yang sama sekali tidak kondusif. Terpilihnya presiden baru dari kalangan independen diikuti dengan penandatanganan Association Agreement di pertengahan tahun 2014, tidak pula membawa dampak positif bagi situasi keamanan di wilayah Donetsk dan Luhansk. Tulisan ini akan mencoba mengkaji keterlibatan Rusia dalam revolusi Euromaidan, terutama bagaimana Rusia memanfaatkan soft power dalam kebijakannya sehingga mampu menggalang massa pro-Rusia yang tak hentinya menyuarakan penolakan terhadap ide integrasi dengan Eropa, disertai dukungan pada keberadaan pengaruh Rusia di Ukraina senahai langkah awal Rusia untuk menghadapi revolusi ini. Strategi Rusia dalam 4
H.E. Hale , ‘Democracy or autocracy on the march? The colored revolutions as normal dynamics of patronal presidentialism’, Communist and Post-Communist Studies, Vol. 39, (2006) , hal. 313 5 Henry E. Hale, Patronal Politics: Eurasian Regime Dynamics in Comparative Perspective, Cambridge University Press, Cambridge, 2014, hal. 215
3
mempertahankan pengaruh dan kepentingannya di Ukraina, dilihat dari peristiwa ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai arti soft power dalam interaksi internasional, di samping hard power yang selalu melekat dalam kebijakan luar negeri Rusia dan seringkali justru menurunkan popularitas Rusia di kancah internasional.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah ―Bagaimana peran soft power Rusia dalam upayanya menghadapi revolusi Euromaidan di Ukraina?‖
1.3. Landasan Konseptual Untuk menjawab rumusan masalah di atas akan digunakan konsep Soft Power yang dijelaskan oleh Joseph S. Nye. Konsep soft power menjadi signifikan ketika merujuk pada fakta bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, dan negara-negara Eropa berhasil menjadi kekuatan utama di dunia dengan memanfaatkan potensi soft power, di samping kekuatan militer dan ekonomi yang dikategorikan sebagai hard power. Berbeda dengan hard power yang bersifat memaksa, soft power berusaha untuk menggunakan cara-cara persuasi yang mampu menyakinkan pihak lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. 6 Meskipun karakter soft power yang sangat mengandalkan persamaan pemahaman dari kedua pihak membuat dampak yang muncul lebih lambat dibanding dengan hard power, soft power terbukti membuat negara-negara tersebut disegani dalam interaksi internasional. Kekuatan non-material atau ideasional seperti budaya dan ideologi ternyata berperan pula dalam mempermudah negara mendapatkan kepentingan nasionalnya. Suatu negara akan disegani dan dihargai ketika ia memiliki kredibilitas yang ditandai dengan stabilitas dalam negaranya. Dalam arti, ketika kebijakan domestik mereka sukses diimplementasikan, negara lain akan menjadikannya sebagai contoh guna mengekor keberhasilan mereka. Akan sulit bagi Cina, Amerika Serikat, dan Uni Eropa untuk menembus pasar internasional, jika ide liberalisasi ekonomi mereka tidak bisa diterima secara luas di dunia, dan untuk keperluan itu, mereka harus mampu membuktikan keberhasilan ide mereka di level domestik. Sebelumnya, kita perlu mengenal apa itu power atau kekuatan dalam studi ilmu politik. Nye dalam bukunya yang berjudul The Future of Power, mengungkapkan bahwa power bisa diartikan sebagai cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Nye mengungkapkan
6
Joseph S. Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics, Public Affairs, New York, 2004, Preface
4
bahwa power bisa didefinisikan sebagai 1) resources; dan 2) behaviour. Sebagai resources artinya power didapatkan dari sumber-sumber yang dimiliki satu negara untuk mendapatkan sumber-sumber tertentu yang dimiliki pihak lain. Sedangkan, sebagai behavior, kekuatan didapatkan dari perilaku suatu negara yang dilakukan dengan harapan perilaku tersebut dapat mempengaruhi perilaku negara lain.7 Nye kemudian memperkenalkan dua jenis kekuatan dalam politik, yaitu hard power (kekuatan militer dan ekonomi), dan soft power. Jika hard power sering dikaitkan dengan kebijakan koersif dan paksaan, soft power sebaliknya. Menurut Nye jenis kekuatan ini menekankan pada usaha sebuah negara untuk mempersuasi, mendorong, dan meyakinkan negara lain bahwa ide-idenya benar dan patut diperjuangkan. Soft power memiliki sifat co-optive yang artinya membutuhkan kemampuan untuk membentuk apa yang diinginkan orang lain, memanipulasi pilihan politik tertentu dengan meyakinkan bahwa pilihan lain tidak realistis. 8 Berdasarkan pengertian dasar power yang dijelaskan Nye, soft power sebagai sumber daya artinya proses konversi semua sumber daya yang dimiliki negara seperti nilai, budaya, kebijakan, bahkan termasuk performa ekonomi dan militer, melalui cara-cara diplomasi, pemberian bantuan atau pendampingan, program pertukaran pelajar, pelatihan, dan lain sebagainya. Sementara, dalam artinya sebagai perilaku, soft power terbentuk melalui pembentukan etikat baik yang patut dicontoh oleh negara lain. Untuk itu, diperlukan karisma, sikap kederwanan, dan kompetensi yang menunjang.9 Soft power dalam politik bisa dilihat dari tiga sumber utama. 10 1) Budaya. Budaya ini bisa menarik atau tidak tergantung wilayah atau tempat yang dimaksud. Nye mengilustrasikan bahwa budaya atau nilai-nilai liberal akan sulit diterima di negara-negara Islam konservatif, sehingga strategi ini tidak akan efektif. Untuk itu, perlu ada sasaran dan prospek yang jelas sebelum menggunakan budaya sebagai soft power di suatu wilayah. Dalam kasus Rusia ini, ia menggunakan soft power di wilayah-wilayah yang terlihat potensial seperti negara pecahan Uni Soviet karena kedekatan kultural dan sejarah. 2) Nilai atau budaya politik. Hal ini berkaitan dengan ideologi yang membentuk karakter pemerintahan dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diterapkan suatu negara. Hal tersebut akan berpengaruh pada citra suatu negara di level internasional. Dalam kasus ini, Rusia memiliki karakter pemerintah dengan satu 7
J.S. Nye, The Future of Power, Public Affairs, New York, 2011, hal. 6-11 Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics, hal. 7 9 Nye, The Future of Power, hal. 99-100 10 Nye, The Future of Power, hal. 84 8
5
pemimpin yang kuat disertai kebijakan represif. Karakter ini membuat Rusia berada dalam posisi yang berseberangan dengan nilai-nilai Barat. Meskipun begitu, budaya politik Rusia tersebut masih diwarisi oleh kebanyakan negara-negara pecahan Uni Soviet. 3) Politik luar negeri, yaitu ketika negara terlihat berdaulat dan memiliki otoritas moral yang baik. Ini terkait dengan kredibilitas suatu negara dalam interaksi internasional, bagaimana ia bisa mendapatkan kepercayaan dari negara lain melalui konsistensi dan komitmennya dalam setiap kebijakan atau sikap politiknya. Soft power bisa dilakukan melalui dua jalur, tidak hanya dari jalur pemerintah yang hanya melibatkan kalangan elit atau pejabat (model 1), tetapi juga masyarakat biasa (model 2). Hal ini menyebabkan banyak pula yang mengaitkan soft power dengan diplomasi publik yang melibatkan media massa sebagai pembentuk opini publik, serta NGO sebagai penggerak masyarakat. Berikut adalah skema pengoperasian soft power dilihat dari dua jalur.11 Model 1 (dampak langsung) sumber daya
elit pemerintahan
daya tarik
kebijakan
Model 2 (dampak tak langsung) sumber daya
masyarakat umum
daya tarik/penolakan
massa pro/kontra
kebijakan
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk mengeksekusi soft power, yaitu agenda setting, daya tarik, dan persuasi. Agenda-setting adalah cara suatu negara berusaha mengemas pesan yang ingin disampaikannya pada pihak lain sehalus dan secerdas mungkin hingga mampu meyakinkan pihak yang disasar mengikuti apa yang diinginkan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengumpulkan fakta-fakta atau bukti yang mampu membentuk opini pihak lain mengenai satu isu. Attraction atau daya tarik berkaitan dengan tiga aspek, yaitu 1) benignity (kemurahan hati), yaitu bagaimana agen soft power berhubungan dengan sasarannya, sehingga bisa memunculkan simpati, kepercayaan, dan dukungan; 2) competence (kompetensi), berkaitan dengan kinerja agen yang mampu menimbulkan
kekaguman,
penghargaan, dan motivasi; terakhir 3) charisma (karisma), yaitu bagaimana agen membentuk nilai dan visi tertentu, sehingga bisa menginspirasi serta memunculkan ketaatan.
11
Nye, The Future of Power, hal. 95
6
Persuasi, merupakan cara yang menggabungkan strategi pertama dan kedua, sehingga prosesnya tidak berhenti pada pengumpulan fakta dan pembentukan argumen yang rasional, tetapi melibatkan daya tarik dan emosi untuk mengemas fakta serta argumen yang dimaksud.12 Meskipun begitu, soft power memiliki beberapa kelemahan. Pertama, jika melihat pada sumber soft power yang berupa budaya, maka akan ditemukan bahwa budaya tersebut hanya bisa diterima dengan baik di wilayah yang memiliki kemiripan. Hal ini membuat pengaruh budaya sebagai soft power tidak mencakup wilayah yang luas. Kedua, dampak dari soft power akan dengan cepat terdifusi ke berbagai aspek yang artinya akan sulit mengamati dampaknya secara spesifik pada satu aspek. Namun, dalam beberapa kasus, dampak dari soft power bisa dilihat pada satu aspek saja. Ketiga, pemerintah tidak memiliki akses penuh terhadap soft power karena fleksibilitasnya yang bisa dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat umum. Inilah yang seringkali menimbulkan konflik atau perbedaan preferensi antara pemerintah dengan aktor-aktor lain dalam satu negara ketika mengeksekusi soft power.13 Terakhir, soft power bukan sesuatu yang bisa dihitung secara kuantitatif, sehingga peneliti akan menggunakan metode deskriptif kualitatif yang membuat hasil kajian mengenai soft power akan cenderung lebih subjektif. 14 Selain itu, sumber-sumber soft power pun sebenarnya hanya bisa berhasil jika diiringi dengan faktor-faktor pendukung yang harus dimiliki wilayah sasaran soft power sebagai berikut.15 Pertama, tingkat integrasi negara, yaitu meliputi integrasi budaya (etnis, bahasa, dan agama), integrasi teritori, dan persamaan latar belakang sejarah. Kedua, kekuatan kepemimpinan di level nasional, berupa kebijakan pemerintah dan respon masyarakat. Ketiga relevansi antara strategi nasional dan kepentingan nasional, yaitu terdiri dari persamaan kepentingan dan ideologi. Meskipun dinamakan soft power, jenis kekuatan ini memiliki fungsi dan peran yang sama dengan hard power. Soft power tidak hanya digunakan untuk tujuan yang ‗baik‘, tetapi tujuan apapun, termasuk kepentingan Rusia dalam menghalau revolusi di Ukraina. Perbedaanya, soft power menekankan pendekatan yang jauh lebih damai, yaitu dengan berusaha mengurangi resiko konflik atau perang. Rusia telah menyebutkan arti penting soft
12
Nye, The Future of Power, hal. 90-93 Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics, hal. 15-17 14 V. Rukavishnikov, Russia’s “Soft Power” in the Putin Epoch, dalam Roger E. Kanet (ed.) Russian Foreign Policy in the 21st Century, Palgrave Macmilan, New York, 2010, hal. 78 15 Lada L. Roslycky, ‘Russia’s smart power in Crimea: sowing the seeds of trust’, Southeast European and Black Sea Studies, Vol. 1, No. 3, September 2011, hal. 300 13
7
power dalam kebijakan luar negerinya melalui Russian Foreign Policy Review 2007, yaitu dengan menyebutkan kaitannya dengan promosi budaya dan keterlibatan NGO. Komitmen Rusia untuk mengoptimalkan potensi soft powernya di negara-negara pecahan Uni Soviet diwujudkan dalam pembentukan Russky Mir Foundation pada tahun yang sama. Lembaga ini bertujuan memiliki beberapa agenda termasuk mempromosikan bahasa dan budaya Rusia, menjaga hubungan dengan diaspora Rusia di luar negeri, dan membentuk opini publik yang positif mengenai Rusia. Russky Mir sendiri telah bekerjasama dengan Persatuan Gereja Orthodoks Rusia sejak tahun 2009, terutama untuk menjaga hubungan dengan minoritas Rusia di wilayah pecahan Soviet, termasuk di Crimea, Ukraina sebagai salah satu pusat ajaran Ortodoks terbesar.16
1.4. Argumen Utama Berkaca dari pengalamannya menghadapi Orange Revolutions ketika Rusia ternyata gagal menghalau terjadinya pergantian kekuasaan ke tangan elit oposisi yang pro-Barat, Rusia menggunakan strategi yang cukup berbeda dalam menghadapi Euromaidan. Hal ini didorong oleh beberapa keadaan. Pertama, gerakan revolusi diinisiasi oleh masyarakat awam, bukan kelompok oposisi yang terorganisir dengan rapi. Kedua, Rusia kehilangan akses ke kalangan elit pemerintah pusat Ukraina semenjak kepergian Yanukovych yang diiringi dengan semakin surutnya popularitas partai politik Pro Rusia dalam pemilu beberapa waktu lalu. Untuk itu, Rusia pun memilih untuk memfokuskan upayanya di wilayah-wilayah yang cukup potensial saja, yaitu di Ukraina Timur dengan memanfaatkan soft power yang terdiri dari dua hal; 1) pendekatan ideologi, melalui konsep sovereign democracy; 2) pendekatan agama, yaitu ajaran agama Ortodoks. Soft power Rusia yang diwujudkan dalam bentuk kampanye dan propaganda ini berperan dalam mengumpulkan massa anti-Maidan di Ukraina Timur yang rela berjuang mempertahankan dukungan mereka pada Rusia, sehingga menciptakan perpecahan dalam masyarakat Ukraina.
1.5. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian ini akan berupa studi literatur yang berhubungan dengan teori dan konsep serta berita mengenai peristiwa yang relevan dengan topik penelitian, sehingga mengandalkan data 16
Michal Wawrzonek, ‘Ukraine in the ''Gray Zone'': Between the ''Russkiy Mir'' and Europe’, East European Politics and Societies, Vol. 28, September 2014, hal. 761-762
8
sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, dan artikel surat kabar, baik cetak maupun elektronik. Analisis data bersifat deskriptif, sehingga data akan diolah dalam bentuk narasi dengan pendekatan induktif Data yang akan dibutuhkan di sini adalah gambaran mengenai politik luar negeri Rusia secara umum di era kontemporer; potensi penggunaan soft power di area bekas Uni Soviet, utamanya Ukraina; narasi lengkap mengenai revolusi Euromaidan yang disertai krisis di Ukraina Timur; serta keterlibatan Rusia dalam mendorong krisis tersebut sebagai upayanya menghadapi Euromaidan. Penelitian ini fokus pada bahasan tentang revolusi Euromaidan yang terjadi sejak akhir tahun 2013 dan berbagai perkembangannya hingga awal tahun 2015.
1.6. Sistematika Penulisan Tulisan ini akan terdiri dari empat bagian. Bab I akan berisi pendahuluan mengenai latar belakang masalah, yaitu penjabaran mengapa topik ini penting untuk dibahas; pertanyaan penelitian yang akan menjadi kunci pembahasan dari skripsi ini; landasan konseptual yang akan menjadi instrumen analisa; argumen utama; metode penelitian yang di dalamnya termasuk pula jangkauan penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II akan dimulai dengan narasi mengenai fenomena revolusi Euromaidan yang terjadi Ukraina pada akhir tahun 2013 lalu. Kemudian dilanjutkan dengan krisis yang terjadi di Ukraina Timur serta keterlibatan Rusia dalam kasus ini, yaitu meliputi kepentingan dan kebijakan apa saja yang dilakukan Rusia sehingga mendorong terjadinya instabilitas keamanan di Ukraina. Bab III membahas tentang soft power dalam kebijakan Rusia dalam mendorong pemberontakan di Ukraina Timur, yaitu ideologi 1) sovereign democracy dan 2) ajaran agama Kristen Ortodoks. Bagian ini akan terdiri dari sejarah singkat yang menjelaskan latar belakang penggunaan soft power dalam kebijakan luar negeri Rusia. Kemudian dilanjutkan dengan analisa peran soft power tersebut dalam upaya menghadapi Euromaidan, yaitu cara Rusia mengeksekusi soft power tersebut serta dampaknya dalam mendorong terjadinya krisis di sejumlah wilayah di Ukraina. Bab IV merupakan bagian terakhir atau penutup yang berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan.
9