BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang publik (public space) merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan. Masyarakat yang bermukim di wilayah perkotaan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap berbagai masalah sosial bila dibandingkan dengan masyarakat yang bermukim di perdesaan. Masalah-masalah sosial yang timbul dapat disebabkan oleh semakin tingginya individualisme pada masyarakat
serta
berkurangnya
rasa
kebersamaan
dan
sosialisasi
(Sumardjito, 2013). Hal ini merupakan salah satu dampak yang terjadi akibat minimnya ketersediaan ruang publik di perkotaan sehingga masyarakat memiliki keterbatasan tempat untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. Tingginya tuntutan kehidupan di perkotaan dan terbatasnya ruang publik untuk interaksi sosial dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas masyarakat karena stres yang meningkat (Haryadi dalam Setiawan, 2006). Padahal ruang publik memiliki fungsi dan makna sosial-budaya yang tinggi. Ruang publik memiliki fungsi sebagai tempat masyarakat beraktivitas mulai dari berinteraksi antar warga, berkomunikasi, bersosialisasi, serta tempat bermain bagi anak-anak. Kenyataannya saat ini keberadaan ruang publik semakin tertekan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai akibatnya kebutuhan akan lahan permukiman serta sarana dan prasarana pendukungnya juga ikut meningkat (Setiawan, 2006). Kota sebagai pusat kegiatan ekonomi juga mempengaruhi terbatasnya ketersediaan ruang publik. Berbagai kegiatan ekonomi yang terpusat di wilayah perkotaan mengakibatkan pertumbuhan ekonominya ikut meningkat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah maka akan semakin tinggi pula kebutuhan akan jasa. Meningkatnya kebutuhan akan jasa di berbagai sektor akan berdampak pada pertumbuhan 1
kota yang sangat cepat, akibatnya lahan tidak terbangun dibangun menjadi bangunan-bangunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Hal ini mengakibatkan
masyarakat
semakin
tidak
memiliki
wadah
untuk
seringkali
tidak
beraktivitas dengan semakin berkurangnya ruang publik. Pembangunan
di
kota
yang
sangat
cepat
memperhatikan kebutuhan ruang publik untuk aktivitas bermain bagi anak. Padahal menurut Tranter dan Pawson (dalam Widiyanto dan Rijanta, 2012) dunia anak merupakan dunia bermain, sehingga anak memiliki hak untuk mendapatkan akses bermain demi memenuhi kepentingan anak dalam memperoleh dunianya. Kurangnya ketersediaan ruang publik yang sesuai untuk aktivitas bermain membuat kita terbiasa melihat anak bermain di gang-gang sempit bahkan jalan raya yang jelas-jelas membahayakan diri mereka dan orang lain, karena jalan memang bukan arena bermain. Sebagai contoh di Kota Yogyakarta kita dapat melihat di pinggiran Stasiun Lempuyangan menjadi ruang publik dadakan pada sore hari, menjadi tempat anak-anak bermain sambil memandang keretaapi yang melintas. Hal ini dapat menggambarkan bahwa terjadi pergeseran peran ruang publik dimana anak telah menciptakan sendiri ruang menurut persepsinya yang difungsikan untuk bermain tanpa memperhatikan faktor keamanan dan keselamatan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa kebutuhan ruang bermain untuk anak merupakan sesuatu yang mutlak karena bermain merupakan salah satu hak anak yang harus dipenuhi. Menurut Hurlock (dalam Setiawan, 2006) masa kanak-kanak merupakan masa awal manusia berinteraksi dengan lingkungan baik secara fisik, psikologi, maupun sosial. Melalui aktivitas bermain yang baik, sehat, aman, dan mengandung elemen alami dapat membantu membangun karakter, sifat, dan potensi anak di masa yang akan datang. Aktivitas bermain di ruang publik dapat melatih kepedulian, toleransi, strategi, dan kerjasama pada anak sehingga kurangnya ruang publik untuk bermain akan memunculkan berbagai permasalahan bagi anak (Woolley, 2008). Karena tidak memiliki ruang untuk bermain saat ini anak menjadi lebih senang untuk menghabiskan waktu berjam-jam di depan video
2
game, atau play station yang menjamur di sudut kampung. Selain menghabiskan banyak waktu, mahal dan tidak mendidik, permainan video game dapat menghambat perkembangan anak baik dari segi fisik maupun psikologi. Ennew (dalam Elsley, 2004) mengatakan bahwa saat ini anak diposisikan sebagai penghuni ruang yang selayaknya dirancang untuk orang dewasa, dimana interaksi dengan ruang publik seakan dibatasi dan lebih banyak menghabiskan waktu dalam sebuah lembaga seperti sekolah. Keadaan tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif pada anak yang akhirnya akan berujung pada penurunan kualitas sumberdaya manusia di suatu wilayah. Padahal sumberdaya manusia merupakan salah satu aspek penting di dalam pembangunan wilayah itu sendiri. Suatu wilayah dapat berkembang dengan baik jika memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas, oleh karena itulah fasilitas ruang publik dibutuhkan untuk mendukung tumbuh kembang anak demi terciptanya sumberdaya manusia berkualitas yang dimulai sejak dini.
1.2. Perumusan Masalah Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 11 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”. Berkaitan dengan konsep Kota Layak Anak (KLA) yang dicanangkan oleh Kota Yogyakarta maka fasilitas ruang publik sebagai sarana untuk aktivitas bermain menjadi salah satu elemen demi mewujudkan KLA. Konsep KLA di Kota Yogyakarta dirumuskan ke dalam bentuk Kampung Ramah Anak (KRA) yang digagas oleh Walikota Herry Zudianto dan direalisasi pada setiap kelurahan yang ada di Kota Yogyakarta. Konsep KRA menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kota yang ramah, dimana tidak hanya didominasi oleh bangunan-bangunan. Namun
3
pada kenyataannya wilayah kampung kota juga tidak terlepas dari laju pembangunan yang menekan ketersediaan ruang publik terutama untuk aktivitas bermain anak. Widaningsih dkk (2007) berpendapat bahwa privatisasi lahan yang terjadi baik secara individu maupun lembaga juga menjadi penyebab semakin terpinggirkannya ruang publik sehingga mengakibatkan kebutuhan anak untuk bermain di ruang terbuka tidak dapat terpenuhi dengan baik. Kemudian hal ini diperparah dengan gaya hidup modern yang menempatkan anak seperti orang dewasa dengan banyak menghabiskan waktunya di lembaga institusional dan ruang publik tidak lagi menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari (Ennew dalam Elsley, 2004). Jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan permukiman. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.250 Ha dan menurut Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2009 penggunaan lahan terbesar 64,8% (2.106,338 )ܽܪdari luas wilayahnya diperuntukan sebagai perumahan. Selain itu penggunaan lahan untuk kepentingan jasa, perusahaan, dan industri menghabiskan lahan sebesar 18,6% (605.361 )ܽܪ. Kemudian ditambah dengan penggunaan lahan pertanian dan lain-lain maka luas lahan tidak terbangun yang tersedia di Kota Yogyakarta hanya sebesar 0,6% (20,041 )ܽܪ. Kepadatan penduduk secara tidak langsung akan menggambarkan tingginya tingkat kepadatan bangunan. Terutama bangunan perumahan yang terdapat di kampung kota yang pada umumnya tidak direncanakan dan ditata dengan baik sehingga didominasi oleh bangunan-bangunan padat dan minim akan ruang publik. Keterbatasan tersebut membuat anak di kawasan kampung kota memanfaatkan ruang yang tidak semestinya untuk memenuhi kebutuhan bermain mereka. Salah satu kawasan kampung kota di Kota Yogyakarta adalah Kampung Golo yang terdapat di RW 02, Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo. Kampung Golo merupakan satu dari 46 KRA yang ada di Kota Yogyakarta. Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan
4
Perempuan dan Anak (dalam jogjakota, 2013) mengatakan bahwa KRA merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan KLA melalui pembangunan yang berbasis RW yang bertujuan untuk menghormati, menjamin, memenuhi hak anak, melindungi anak dari tindakan kekerasan, eksploitasi, pelecehan, diskriminasi, dan mendengar pendapat anak. Hak anak yang harus dipenuhi oleh pemerintah salah satunya adalah memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan (UU No.23 Pasal 56 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan hal tersebut maka diangkat rumusan masalah untuk penelitian ini dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: -
Bagaimanakah kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
-
Bagaimanakah perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang publik di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
-
Bagaimana analisis spasial keberadaan ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo?
1.3. Tujuan Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan yang akan dicapai sebagai berikut: -
Mengukur kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
-
Mengukur perilaku bermain anak dalam memanfaatkan ruang publik di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
-
Menganalisis secara spasial keberadaan ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain di kawasan Kampung Ramah Anak Golo.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Bagi Peneliti: a. Sebagai bahan penyusunan skripsi untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM.
5
b. Sarana untuk menuangkan gagasan, ide, dan pikiran dalam bentuk tulisan. c. Melatih
dan
mendorong
untuk
berpikir
logis,
kritis
dan
meningkatkan daya serap informasi, khususnya tentang topik yang akan diteliti. 2.
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan bisa berkontribusi dalam referensi tentang kriteria ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain anak di kawasan Kampung Ramah Anak, sekaligus menjadi pedoman bagi penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.
3.
Secara praktis Bermanfaat bagi pengambilan kebijakan dan alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan dan penentu kebijakan bagi ketersediaan ruang publik untuk aktivitas bermain anak di Kota Yogyakarta.
6
1.5. Keaslian Penelitian Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Judul
Penulis
Metode
Hasil
1) Kondisi sosial dicirikan dengan penduduk berpenghasilan menengah kebawah, kepadatan penduduk 215jiwa per hektar dengan mata pencaharian yang beragam. Seting fisik kampung dicirikan dengan kimiringan lahan yang cukup curam ke arah sungai dengan kepadatan bangunan 70-80%. 2) Sebagian besar anak memahami bahwa sungai merupakan bagian penting dalam sistem lingkungan perumahan mereka, serta memiliki persepsi yang positif terhadap sungai. 3) Paling sedikit tedapat lima jenis permainan yang diidentifikasi, secara umum tidak terdapat perbedaan gender dalam peluang bermain, keterbatasan lingkungan tidak membatasi anak untuk menemukan seting lingkungan untuk bermain. 4) Terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi, seting, dan perilaku anak terhadap Sungai Code Utara. P. Mengidentifikasi bentuk Menggunakan metode Kualitas taman bermain di Tlogosari Kulon masuk dan memetakan taman kuantitatif-kualitatif. dalam klasifikasi memadai. Taman bermain sebagai bermain, menganalisis Kualitas taman bermain salah satu indikator KLA belum berperan secara kualitas taman bermain, diukur dengan metode maksimal, dapat dilihat dari: 1) kurangnya
Ruang Bermain Bakti untuk Anak di Setiawan. Kampung 2006. Kota: Studi Persepsi Lingkungan, Seting, dan Perilaku Anak di Kampung Code Utara, Yogyakarta
How Does The Santy Playground Dewi. Role in 2012.
Tujuan Memahami persepsi dan perilaku anak-anak kota terhadap seting perumahan, sungai dan lingkungannya.
Menggunakan pendekatan naturalistik. Metode penggumpulan data menggunakan pemetaan perilaku (behavioral mapping), pemetaan swadaya (self mapping), wawancara, dan observasi lapangan.
7
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Judul
Penulis
Realizing ChildrenFriendly-City?
Lingkungan Kota Layak Anak (ChildFriendly City) Berdasarkan Persepsi Orangtua di Kota Yogyakarta
Tujuan dan menganalisis taman bermain mewujudkan Kota Anak (KLA) di Semarang.
Dodi Widiyanto dan Rijanta, R. 2012.
peran dalam Layak Kota
Mengidentifikasi konsepkonsep yang terkait dengan KLA di Kota Yogyakarta sebagaimana dipersepsikan oleh orangtua.
Metode
Hasil
skoring, diikuti dengan penjelasan dan narasi dari deskripsi peran taman bermain dalam mewujudkan KLA. Pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling kepada orangtua yang memiliki anak dengan umur 0-14 tahun yang tinggal di wilayah Tlogosari Kulon. Wawancara juga dilakukan menggunakan metode accidental sampling dengan anak-anak yang ditemukan di lokasi. Menggunakan metode perumusan konsep secara deduksi berdasarkan hasil studi empiris penelitian.
perhatian pemerintah terkait penyediaan infrastuktur, terutama kualitas taman bermain yang baik. 2) minimnya perhatian orangtua terkait pemanfaatan taman bermain anak. 3) penyediaan infrastruktur yang tidak terintegrasi. 4) dalam perencanaan dan pemanfaatan taman bermain, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan aspirasi.
Terdapat empat konsep utama, yaitu 1) konsep kebijakan; pemerintah telah menyusun peraturan untuk mendukung terciptanya atmosfer KLA di Kota Yogyakarta dan memberikan sosialisasi sampai tingkat kecamatan. 2) Konsep perlindungan; melalui hasil uji empiris di Kota Yogyakarta perhatian orangtua belum mengarah sampai dengan melakukan proteksi yang berlebihan terhadap anak. 3) Lingkungan; anak-anak memiliki hak untuk
8
Lanjutan Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Judul
Penulis
Playground Ripat, J. & Usability: Becker, P. What Do 2012. Playground Users Say?
Tujuan
Mengetahui pengalaman dari penggunaan taman bermain bagi anak-anak yang menyandang disabilities di satu lokasi geografis. Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan kegunaan dari konstruksi taman bermain di masa yang akan datang.
Metode
Menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik purposive sampling dan analisis induktif. Kriteria sampel yaitu anak penyandang cacat dan pengasuhnya.
Hasil mendapatkan lingkungan yang bebas dari polusi dan berbagai pemenuhan hak dasar. 4) Perencanaan bagi anak; pengalaman di Kota Yogyakarta menunjukkan sudah dijumpai suatu fasilitas pendukung kegiatan anak seperti adanya Zona Aman dan Selamat Sekolah. Hasil analisis wawancara menghasilkan tiga pokok utama dalam pembangunan, yaitu playground experiences, hal ini menjelaskan alasan mengapa anak dan keluarga pergi ke tempat bermain dan tipe permainan yang dilakukan oleh mereka. Kedua playground usability yang menjelaskan kegunaan fungsional dari tempat bermain. Ketiga inclusivity yang menjelaskan alasan mengapa narasumber merasa bahwa keberadaan tempat bermain yang memiliki sifat “useable” itu penting.
9
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Studi Geografi (Pendekatan Spasial) Menurut Yunus (2004) dalam ilmu geografi terdapat tiga pendekatan utama yang menjadi acuan bagi geograf, yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologikal (ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex
approach).
Pendekatan-pendekatan
tersebut
menjadi
batasan kegiatan penelitian dalam keilmuan geografi, namun penelitian juga dapat dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan baru yang muncul dari disiplin ilmu lain. Walaupun dapat menggunakan pendekatan ilmu lain sebagai komplementer, dalam melakukan analisis seorang geograf tetap harus mengacu pada ketiga pendekatan
utama
tersebut
untuk
menghindari
terjadinya
marginalisasi peranan geograf itu sendiri. Melalui pemahaman mengenai geograf
pendekatan-pendekatan dapat
memposisikan
geografi
dirinya
secara
dengan
mendalam,
tepat
dalam
pembangunan sesuai dengan bidang keahliannya. Terkait dengan ketiga pendekatan utama dalam ilmu geografi, penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
keruangan
yang
menekankan analisisnya pada keberadaan ruang yang menjadi tempat berlangsungnya seluruh kegiatan manusia. Segala obyek yang terdapat di dalam ruang dapat menjadi obyek penelitian dari berbagai aspek sesuai dengan tujuh tema analisis dalam pendekatan keruangan,
yaitu
analisis
pola
keruangan,
analisis
struktur
keruangan, analisis proses keruangan, analisis interaksi keruangan, analisis asosiasi keruangan, analisis organisasi keruangan, dan analisis tendensi keruangan (Yunus, 2004). Analisis pola keruangan menekankan pada sebaran dan aglomerasi
elemen-elemen
pembentuk
ruang
dengan
mengidentifikasi aglomerasi sebarannya terlebih dahulu dan selanjutnya dihubungkan dengan pertanyaan geografi. Analisis
10
struktur keruangan menekankan pada susunan elemen-elemen pembentuk
ruang.
Langkah
awal
yang
dilakukan
adalah
mengidentifikasi susunan keruangannya. Analisis proses keruangan menekankan pada perubahan yang terjadi pada ruang dalam waktu tertentu. Analisis interaksi keruangan merupakan analisis hubungan timbal balik antar ruang dengan mengenali faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi. Analisis asosiasi keruangan menekankan pada terjadinya asosiasi keruangan antar berbagai kenampakan pada suatu ruang. Analisis organisasi keruangan menekankan pada keterkaitan antara kenampakan yang satu dengan yang lain secara individual yang bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan yang mempengaruhi terciptanya tatanan spesifik dari elemen pembentuk ruang. Analisis tendensi keruangan menekankan pada kecenderungan perubahan suatu gejala yang dapat dilakukan berdasarkan space based analysis, time based analysis maupun gabungan antara space dan time based analysis (Yunus, 2004). Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan “ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup,
melakukan
kegiatan,
dan
memelihara
kelangsungan hidupnya”. Ruang dapat dibedakan menjadi ruang relatif dan ruang absolut. Ruang relatif diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, hanya berupa buah pikiran, dan tidak memiliki bentuk nyata/riil. Ruang absolut merujuk pada bagian permukaan bumi, wilayah alamiah, memiliki bentuk nyata/riil yang dapat tertangkap oleh indera mata tanpa intervensi pikiran. Ruang publik yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan ruang publik yang sifatnya absolut secara fisik.
11
1.6.2. Ruang Publik (Public Space) Ruang publik merupakan suatu ruang yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan atau kepentingan tanpa dipungut biaya. Menurut Peraturan Menteri PU No.12/PRT/M 2009 “ruang publik adalah suatu ruang eksternal ataupun internal yang dapat diakses oleh publik tanpa kontrol ataupun larangan tanpa melihat kepemilikannya”. Misalnya adalah taman umum dan jalan yang dapat bebas diakses dan digunakan oleh setiap orang. Ruang publik tidak hanya berupa ruang terbuka di permukaan bumi namun juga dapat berupa ruang tertutup. Carmona (dalam Parlindungan, 2013) mendeskripsikan ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses bebas oleh masyarakat umum dimana ruang tersebut saling berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya baik lingkungan alami dan binaan, publik dan privat, internal dan eksternal, serta perkotaan dan pedesaan. Menurut Brodin (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik menurut proses pembentukannya dapat dibedakan menjadi: • Ruang publik metafora (metaphorical public space) Ruang dimaknai berdasarkan bagaimana peranan ruang tersebut tanpa memperhatikan bentuk fisik maupun fungsinya. Sebuah ruang pada proses pembentukan ini mengalami pergeseran makna akibat adanya aktivitas, proses interaksi dan komunikasi antara manusia. Tanpa adanya pengendalian formal maka muncullah kesepakatan informal terhadap pemanfaatan ruang sehingga ruang berperan untuk mewadahi hubungan antar manusia. Contohnya adalah ruang publik yang secara fungsional merupakan jalan raya, namun pada waktu tertentu dapat berubah menjadi ruang interaksi. Bantaran rel keretaapi dapat berperan menjadi tempat beraktivitas bagi anak dan orangtua pada sore hari seperti yang terjadi di pinggiran Stasiun Lempuyangan.
12
• Ruang publik harfiah (literal public space ) Ruang dimaknai sesuai dengan sifat fungsional dan bentuk fisiknya serta terbentuk berdasarkan adanya akses. Terbentuknya ruang publik harfiah tidak memperhatikan aktivitas manusia yang terjadi di dalamnya melainkan terbentuk secara teknis melalui proses perencanaan dan perancangan sehingga kegiatan manusia di dalamnya mengikuti sebagaimana tujuan dari perencanaan yang telah dilakukan. Misalnya adalah ruang publik taman bermain
yang dipergunakan secara fungsional sebagai tempat
bermain anak. Menurut sifatnya ruang publik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ruang publik tertutup dan ruang publik terbuka. Menurut Carmona (dalam Parlindungan, 2013) ruang publik memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi ekonomi, fungsi kesehatan, fungsi sosial, dan fungsi lingkungan. Terkait dengan fungsi sosial ruang publik dapat berperan sebagai kawasan rekreasi dan juga dapat diperuntukan sebagai tempat bermain untuk anak-anak. Ruang publik yang berfungsi sebagai kawasan rekreasi digolongkan ke dalam beberapa kategori oleh Perkumpulan Rekreasi Nasional Amerika (dalam B.Gallion & Eisner, 1994), yaitu halaman bermain, tempat bermain lingkungan, dan lapangan bermain. Ketiga kategori tersebut memiliki standarisasi yang berbeda. Perkumpulan Rekreasi Nasional Amerika (dalam B.Gallion & Eisner, 1994) lebih rinci mengemukakan halaman bermain diperuntukan untuk anak berusia dibawah 6 tahun. Satu unit fasilitas ini seharusnya ada disetiap lingkungan dengan jumlah antara 30 hingga 60 keluarga. Tempat bermain lingkungan diperuntukan untuk anak dengan usia 6 hingga 14 tahun. Suatu lingkungan dengan jumlah anak 1.200 orang maka diperlukan dua atau lebih tempat bermain. Halaman bermain dan tempat bermain harus memfasilitasi anak untuk permainan tidak formal dengan dilengkapi oleh sarana-
13
sarana seperti ayunan, prosotan, kotak pasir, tempat senam, ruang untuk berlari, dan peralatan bermain lainnya. Selain itu juga harus dapat memfasilitasi anak untuk berolah raga dan kegiatan yang berhubungan dengan seni seperti mengukir, bermain drama, dan mendengarkan cerita. Kemudian adalah lapangan bermain yang diperuntukan untuk remaja dan orang dewasa. Ruang terbuka ini dapat memfasilitasi 4 atau 5 lingkungan dalam radius tidak lebih dari satu mil. Ketersediaan ruang publik perkotaan menjadi salah satu unsur terwujudnya kota layak anak sesuai dengan kebijakan internasional yang disampaikan oleh UNICEF pada tahun 1996. Kota dikatakan layak anak jika hak-hak anak dapat dipenuhi oleh pemerintah, salah satunya adalah hak anak untuk bermain. Keberadaan ruang publik untuk aktivitas bermain menjadi penting karena dapat mendukung perkembangan anak dengan fasilitas yang dapat menciptakan berbagai kesempatan belajar.
1.6.3. Tipologi Ruang Publik Menurut Carmona (dalam Parlindungan, 2013) berdasarkan perlingkupannya ruang publik memiliki tiga tipologi, yaitu: • External Public Space (Ruang Publik Terbuka) Ruang publik ini merupakan bagian lahan yang berada di luar ruang yang berada di antara kepemilikan privat dan dapat diakses oleh publik. Contohnya jalan, alun-alun, taman, lahan parkir, dan sebagainya. • Internal Public Space (Ruang Publik Tertutup) Merupakan ruang publik yang berupa fasilitas umum yang dikelola oleh pemerintah dan dapat bebas diakses oleh masyarakat. Contohnya adalah perpustakaan, museum, terminal, halte, rumah sakit dan sebagainya.
14
• External and Internal “Quasi” Public Space Ruang publik terbuka maupun tertutup dengan status kepemilikan privat dimana pemilik memiliki kendali terhadap akses dan perilaku masyarakat yang menggunakannya. Contohnya fasilitasfasilitas komersial, kampus, TK, mall, dan sebagainya.
Tipologi ruang publik juga dapat dibedakan berdasarkan fungsinya secara umum oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013) sebagai berikut: • Positive space Ruang publik ini biasanya dikelola oleh pemerintah dan dapat digunakan untuk kegiatan yang sifatnya positif. • Negative space Ruang publik ini tidak dikelola dengan baik sehingga tidak dapat digunakan secara optimal untuk kegiatan publik karena fungsinya yang tidak sesuai dengan kenyamanan dan keamanan aktivitas sosial. • Ambiguous space Ruang ini biasanya dipergunakan sebagai aktivitas peralihan bagi publik dari kegiatan utamanya. • Private space Merupakan ruang pribadi yang dimiliki oleh masyarakat.
Berikut tipologi ruang publik menurut fungsinya secara umum oleh Carmona (dalam Parlindungan, 2013) pada tabel 1.2. Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive space Natural/seminatural urban space Civic space
Lingkungan natural dan semi-natural di perkotaan, biasanya di bawah kepemilikan negara Bentuk tradisional dari ruang perkotaan, terbuka dan dapat digunakan oleh seluruh masyarakat dan memiliki berbagai fungsi
Sungai, selokan, lingkungan alam, seafront, kanal Jalan, lapangan, trotoar
15
Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Positive Space Public open Ruang terbuka yang dikelola, biasanya Taman, kebun, hutan space berupa ruang terbuka hijau untuk umum kota, kuburan walaupun terkadang dikontrol oleh pihak tertentu Negative space Movement Ruang didominasi oleh kebutuhan Jalan besar, jalan space bergerak manusia, terutama untuk raya, rel kereta api, kendaraan bermotor underpasses Service space Ruang didominasi oleh kebutuhan Car park, service persyaratan pelayanan modern yards Left-over Ruang yang tersisa setelah pembangunan, Ruang antara space seringkali tidak memiliki fungsi banggunan, ruang terbuka modern Undefined Ruang yang tidak terbangun, baik telah Redevelopment space ditinggalkan maupun menunggu untuk space, transient dibangun space, ruang yang ditinggalkan Ambiguous space Interchange Pemberhentian dan pertukaran kendaraan, Metros, terminal, space baik internal maupun eksternal stasiun, halte Public private space
Conspicuous space Internalised public space Retail space
Third place spaces Private public space
Seperti ruang publik eksternal, namun sebenarnya milik pribadi dan dikendalikan baik sepenuhnya maupun sedikit Ruang publik dirancang untuk membuat orang asing merasa mencolok dan biasanya tidak diinginkan Secara formal untuk umum dan penggunaan eksternal, diinternalisasi dan terkadang diprivatisasi Milik pribadi namun dapat diakses oleh publik sebagai tempat pertukaran dari satu ruang ke ruang lain Tempat semi publik untuk beraktivitas dan bersosialisasi, baik umum dan privat Ruang milik institusi yang secara fungsional dan penggunanya diatur namun dapat digunakan oleh umum
Ruang sipil milik pribadi, business parks, halaman tempat ibadah Jalan buntu, perumahan berpagar buatan Pusat perbelanjaan, introspective megastructures Pertokoan, pasar, pom bensin Kafe, restoran, perpustakaan, tempat ibadah Lembaga institusional, perumahan, kampus
16
Lanjutan Tabel 1.2. Tipologi Ruang Publik Ambiguous space Visible Secara fisik milik pribadi, namun secara private space visual merupakan ruang publik Interface space User selecting space Private space Private open space External private space
Secara fisik ditandai antara publik dan pivat namun secara umum dapat diakses Ruang untuk kelompok tertentu, yang ditentukan (dan kadang dikontrol) oleh usia atau kegiatan Secata fisik merupakan ruang terbuka privat Secara fisik merupakan ruang privat
Internal Ruang privat atau ruang bisnis private space Sumber: Carmona (dalam Parlindungan, 2013)
Halaman, lahan pertanian, gated square Street cafes, trotoar Skateparks, tempat bermain, lapangan olahraga Sisa pertanian, hutan pribadi Jalan berpagar, kebun pribadi, lahan parkir Kantor, rumah, dsb
1.6.4. Perkotaan Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 Butir q tentang Pemerintahan Daerah, “kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi”. Melalui pengertian tersebut dapat dijabarkan bahwa basis ekonomi utama daerah perkotaan adalah industri dan jasa dengan kepadatan daerah terbangun yang tinggi dan terdapat spesialisasi fungsi yang tinggi. Masyarakat yang ada di dalamnya relatif heterogen dan besar sehingga membutuhkan tingkatan fasilitas pelayanan publik yang lebih tinggi dengan jumlah yang lebih banyak. Selain itu menurut Yunus (2005), kota dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu yuridis-administratif, fisik morfologis, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, fungsinya dalam suatu wilayah
17
organik, dan sosio-kultural. Ditinjau dari segi yuridis-administratif, kota adalah suatu wilayah yang merupakan bagian dari suatu wilayah tertentu yang dibatasi oleh batas administratif yang jelas diatur dalam peraturan dan berstatus sebagai kota dan memiliki pemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya. Ditinjau dari segi fisik morfologis, kota merupakan daerah yang menjadi konsentrasi penduduk yang padat dimana pemanfaatan lahan yang ada di dalamnya didominasi oleh bangunan-bangunan permanen serta memiliki fasilitas yang lebih lengkap daripada daerah perdesaan. Kemudian jika ditinjau dari segi jumlah penduduk, kota diartikan sebagai daerah tertentu yang memiliki jumlah penduduk minimal yang telah ditentukan dan bertempat tinggal pada permukiman yang kompak. Dilihat dari segi kepadatan penduduknya yang dimaksud dengan kota adalah daerah yang memiliki kepadatan penduduk minimal sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Selanjutnya jika ditinjau dari segi fungsinya dalam wilayah organik, kota merupakan suatu wilayah yang menjadi pemusatan berbagai kegiatan dan berperan sebagai kolektor dan distributor barang dan jasa dari wilayah hinterlandnya. Terakhir ditinjau melalui segi sosio kultural, kota diartikan sebagai daerah yang terdiri dari masyarakat dan corak kehidupan yang heterogen dan membutuhkan berbagai fasilitas yang lebih kompleks daripada masyarakat di perdesaan.
1.6.5. Konsep Kampung Ramah Anak Kampung Ramah Anak (KRA) merupakan sebuah inisiasi yang
dilakukan
oleh
pemerintah
Kota
Yogyakarta
untuk
mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang dimulai pada tahun 2011. Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kota Yogyakarta, Irawati (dalam antaranews, 2013) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kampung ramah anak adalah
18
kampung yang dengan sengaja atau dengan sadar berupaya memenuhi hak dan kebutuhan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengertian KRA tersebut sejalan dengan pengertian KLA dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor 2 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 4 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang menyatakan “KLA adalah sistem pembangunan satu wilayah administrasi yang mengintegrasikan
komitmen
dan
sumberdaya
pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak”. KRA merupakan sebuah implementasi yang dilakukan untuk merealisasikan KLA di Yogyakarta melalui lingkup kampung agar pelaksanaan program terkait KLA dapat menjangkau unit terkecil dari sebuah kota yaitu rumahtangga. Masalah yang menjadi alasan dibentuknya konsep KLA yaitu karena kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi menjadi kota yang tidak bersahabat bagi anak sebagai akibat dari minimnya perhatian terhadap kebutuhan dan prioritas anak, serta meningkatnya anak yang hidup dalam kemiskinan. Berdasarkan hal itu maka dibentuklah beberapa indikator KRA yang telah disusun oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu komitmen wilayah, hak sipil dan kebebasan untuk anak, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, hak kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, hak perlindungan khusus, budaya serta sarana dan prasarana. Salah satu sarana dan prasarana yang menjadi hak anak dalam UU
No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah tempat bermain, sehingga pemerintah sudah seharusnya memfasilitasi hal ini. Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak, KLA memiliki tujuan, yaitu:
19
• Meningkatkan komitmen pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di kabupaten/kota dalam upaya mewujudkan pembangunan yang peduli terhadap anak, kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi anak. • Mengintegrasikan potensi sumber daya manusia, keuangan, sarana, prasarana, metoda dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat serta dunia usaha di kabupaten/kota dalam mewujudkan hak anak. • Mengimplementasi perumusan
kebijakan
strategi
dan
perlindungan perencanaan
anak
melalui
pembangunan
kabupaten/kota secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator KLA. • Memperkuat peran dan kapasitas pemerintah kabupaten/kota dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.
1.6.6. Aktivitas Bermain Bermain diartikan dengan pengertian yang berbeda-beda oleh orang yang berbeda. Definisi bermain menurut berbagai ahli dalam Woolley (2008) yaitu, bermain dianggap sebagai proses kreativitas yang berkelanjutan (Aaron dan Winawer 1970); bermain merupakan suatu pendekatan dalam suatu tindakan, bukan suatu bentuk dari sebuah aktivitas (Moyles 1989); bermain merupakan kegiatan alami yang dialami dalam masa kanak-kanak (Prout dan James 1997). Sedangkan menurut The Department for Culture, Media and Sport dalam Woolley (2008), bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh anak ketika mereka mengikuti keinginan dan rasa ketertarikan mereka sendiri yang didukung oleh orang dewasa atau pemerintah untuk membantu memfasilitasi kebutuhan tersebut. Aktivitas bermain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu free play dan directed play. Menurut Moyles (dalam Woolley, 2008) free play merupakan aktivitas bermain yang memberikan kesempatan
20
anak untuk mengeksplor, mengamati dan memahami situasi di sekitarnya sendiri tanpa campur tangan orang dewasa. Directed play merupakan aktivitas bermain dimana orang dewasa mengarahkan anak tentang apa yang harus dia lakukan dengan material-material yang tersedia. Menurut National Playing Fields Association (dalam Woolley, 2008), bermain juga memiliki tipologi yang dibedakan dalam 15 kategori, yaitu symbolic play, rough and tumble play, socio-dramatic play, social play, creative play, communication play, dramatic play, deep play, exploratory play, fantasy play, imaginative play, locomotor play, mastery play, object play dan role play (National Playing Fields Association, 2000). Woolley (2008) mengidentifikasi kategori bermain sebagai berikut: bermain dengan konten verbal, bermain dengan konten imajinasi, bermain dengan konten fisik, dan bermain hanya dengan menggunakan peralatan yang minim seperti berjalan, berbincangbincang, berkumpul dengan teman, dan menonton. Menurut Hurlock (dalam Setiawan, 2006) masa awal interaksi yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya terjadi pada masa kanak-kanak, baik interaksi secara fisik, psikologi, maupun interasi sosial. Interaksi dengan lingkungan pada masa kanak-kanak tersebut dapat dialami melalui aktivitas bermain yang juga memberikan banyak keuntungan bagi tumbuh kembang anak. Melalui kegiatan bermain dapat mengasah dan meningkatkan kecerdasan,
kemampuan
motorik,
kognitif,
sosial
seperti
bernegosiasi; kemampuan bahasa, meningkatkan aktivitas fisik, kesehatan mental, memahami lingkungan, mengasah jiwa seni dan budaya, serta kemampuan kinestetik (Shaw, 1987; Fjortoft, 2001; Isenberg and Quisenberry, 2002; Turner et al., 2009 dalam Ripat dan Becker 2012). Tanpa disadari aktivitas bermain pada anak dapat membangun karakter dan kualitas sumberdaya manusia mulai sejak dini. Sehingga kurangnya aktivitas bermain pada anak akan
21
membawa dampak negatif dalam perkembangannya dan berpotensi menimbulkan masalah sosial dalam lingkungan masyarakat. Aktivitas bermain diperlukan oleh anak sebagai sarana untuk perkembangan kognisi terhadap ruang. Perkembangan kognisi terhadap ruang tersebut dibedakan menjadi 4 periode utama berdasarkan usia oleh Piaget (dalam Setiawan, 2006 ) yaitu sebagai berikut: periode sensimotor (bayi, 0-2 tahun), periode preoperasional (balita, 2-6 tahun), periode operasional konkret (usia sekolah, 6-12 tahun), dan periode operasional formal (usia remaja dan dewasa, 13 tahun ke atas). Berdasarkan periode tersebut, akhir masa kanakkanak terjadi pada periode operasional konkret. Menurut para ahli psikologi dalam Setiawan (2006) periode operasional konkret merupakan usia berkelompok, usia kreatif, dan usia bermain pada anak. Menurut Hurlock dalam Setiawan (2006) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain anak pada usia sekolah, yaitu kondisi sosial anak dengan teman-temannya, kesadaran anak akan perbedaan gender, lingkungan, dan aktivitas lain yang mengurangi kegiatan bermain anak.
1.6.7. Tinjauan Umum Aturan Hukum tentang Bermain Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak di dalam kandungan”. Salah satu hak anak yang harus dipenuhi adalah hak untuk bermain, dimana telah dijamin oleh pemerintah melalui UU tersebut. Hal tersebut tecantum pada Pasal 11 yang dimana setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Selain itu, pada Pasal 56 ayat 1 butir f disebutkan bahwa pemerintah wajib
22
mengupayakan dan membantu anak agar mereka dapat memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Pemerintah terus berupaya untuk dapat mengakomodir hak-hak anak yang telah dipaparkan dalam UU di atas. Sebagai upaya merealisasikan tuntutan pasal dalam UU tersebut perlu diciptakan fasilitas yang secara fungsional memang diperuntukan sebagai kawasan bermain anak. Pengadaan
fasilitas tersebut dapat
direalisasikan dalam bentuk ruang publik. Saat ini ketersediaan ruang publik di Indonesia masih sangat minim khususnya yang sesuai untuk aktivitas bermain anak. Ruang publik dengan udara lepas semakin terpinggirkan dengan adanya mall dan real estate yang mementingkan komersialisasi. Komersialisasi ini tentu membatasi akses masyarakat menengah ke bawah dan tidak sesuai dengan konsep ruang publik yang seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa dipungut biaya.
1.6.8. Kriteria Ruang Tempat Bermain Hurlock (dalam Dewi, 2012) mendeskripsikan tempat bermain sebagai sebuah ruang dimana anak dapat bertemu dengan teman sebaya dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, yang akan membantu membangun kecerdasan dan membentuk karakternya dimasa yang akan datang. Bermain merupakan salah satu hak anak sehingga ketersediaan ruang sebagai tempat bermain dibutuhkan untuk memenuhi hak tersebut. Suatu ruang dianggap sesuai untuk dijadikan sebagai tempat bermain dapat diidentifikasi melalui beberapa kriteria yang dirumuskan menurut Moore (dalam Dewi, 2012), yaitu: • Keamanan,
ruang
sebagai
tempat
bermain
anak
tidak
membahayakan dimana suatu ruang aman dari berbagai ancaman seperti trafficking, kejahatan, kecelakaan, dan sebagainya. Indikator dari keamanan adalah jarak dari permukiman <200m,
23
dapat dilihat oleh jangkauan jarak pandang orangtua untuk pengawasan, jarak ke pusat kegiatan lingkungan sekitar 100m. • Kenyamanan, dimana tempat bermain anak harus memiliki lingkungan yang nyaman dan terbebas dari gangguan-gangguan. Selain itu juga dihindari untuk menjadi tempat yang difungsikan ganda seperti mendadak menjadi lahan parkir atau pembuangan limbah. Kenyamanan dapat dilihat dari tidak ada sampah yang berserakan, tersedia tempat duduk, tong sampah, dan pepohonan rindang. • Kelengkapan fasilitas bermain, terkait dengan ketersediaan alatalat bermain yang dapat dilihat melalui fasilitas yang memadai sesuai dengan jumlah anak dan kondisi fasilitias bermain (terawat atau tidak). • Aksesibilitas, menunjukkan tingkat layanan dan aksesibilitas bermain dari sisi manapun, di mana lokasi tidak dipagar oleh dinding/penghalang dengan ketinggian di atas 150cm, tidak terletak di seberang atau di sepanjang sungai/selokan besar/jalan raya dan jalur pejalan kaki terpisahkan dari jalur kendaraan.
1.6.9. Kerangka Pemikiran Kota sebagai pusat kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi hingga pemerintahan
serta pusat
permukiman
menyebabkan
tingginya pertumbuhan fisik kota sebagai kebutuhan. Lahan-lahan tidak terbangun di perkotaan dirubah menjadi bangunan-bangunan dengan nilai ekonomi tinggi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun, pembangunan bangunan fisik tersebut tidak diiringi dengan pemenuhan kebutuhan akan ruang publik. Padahal keberadaan ruang publik sangat penting bagi masyarakat perkotaan yang hidup dengan berbagai tekanan yang dapat memicu stres. Ruang publik dengan fungsi sosial dan budaya dapat berperan sebagai tempat untuk berekreasi dan tempat bermain untuk anak-anak.
24
Anak-anak merupakan lapisan yang paling rentan terhadap terbatasnya ketersediaan ruang publik terutama untuk aktivitas bermain. Padahal ruang publik untuk aktivitas bermain merupakan salah satu aspek vital untuk mendukung tumbuh kembang anak karena dengan bermain di ruang publik anak akan melakukan interaksi dengan lingkungan di sekitarnya dan akan membentuk kepribadiaan anak di kemudian hari. Tidak dapat dipungkiri ketersediaan ruang publik dengan kriteria yang sesuai untuk aktivitas bermain terutama di kawasan Kampung Ramah Anak perkotaan dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimulai sejak dini. Terbatasnya tempat bermain membuat anak memanfaatkan ruang publik yang ada untuk bermain sehingga perlu dilihat bagaimana perilaku bermainnya terhadap ruang publik tersebut. Melalui kriteria ruang publik dan perilaku bermain anak maka perlu dilakukan analisis secara spasial keberadaan ruang publik untuk melihat hubungan antara keduanya.
25
Laju pembangunan menekan ketersediaan ruang publik
Terbatasnya ruang publik untuk aktivitas bermain
Pemanfaatan ruang publik untuk bermain Kondisi sosial
Keamanan Kenyamanan
Perbedaan gender
Kriteria ruang untuk bermain
Perilaku bermain anak
Fasilitas bermain
Observasi & wawancara
Lingkungan
Observasi & wawancara Aktivitas lain
Aksesibilitas
GIS, analisis deskriptif Analisis spasial ruang publik yang digunakan untuk aktivitas bermain
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Peneliti
26