BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan Boko Haram saat ini menjadi fenomena yang menarik untuk diulas dalam studi Afrika. Boko Haram digambarkan sebagai kelompok teroris yang melakukan penyerangan dengan basis agama di bagian utara Nigeria. Namun, sedikit yang mengetahui bahwa kelompok ini bermula sebagai gerakan sosial yang aktif menyuarakan tentang ketidakpedulian pemerintah terhadap Nigeria bagian utara melalui jalan dakwah. Kelompok tersebut menjadi sorotan di tahun 2009 sejak berbagai kasus kekerasan terhadap pasukan keamanan Nigeria, serangan brutal ke beberapa desa, gereja, masjid, pasar dan sekolah, serta pembunuhan ulama Muslim terkemuka di utara Nigeria (Sergie & Johnson, 2014). Diperkirakan telah terjadi lebih dari 800 serangan yang dilakukan oleh Boko Haram sejak 2009. Boko Haram semakin sulit diatasi dengan adanya ancaman teror di berbagai daerah di Nigeria Utara, serta dengan kondisi politik di Nigeria Utara yang justru menyebarkan berbagai rumor serta teori konspirasi. Pergerakan Boko Haram yang terjadi saat ini di Nigeria bagian utara adalah tantangan keamanan terbesar yang dihadapi oleh Nigeria sejak perang saudara di Nigeria (1967-1970) berakhir. Boko Haram – yang berasal dari bahasa Arab dan Hausa, secara literal memiliki arti pendidikan barat, atau non-Islam, dilarang (Verini, 2013). Jauh sebelum menjadi Boko Haram, kelompok tersebut berawal dari sebuah kelompok dakwah. Terbentuk pada tahun 1995 dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Hijra di Borno, Nigeria utara (Taiwo & Olugbode, 2009). Namun, dengan adanya perubahan pemimpin pada tahun 2002, kelompok tersebut juga merubah namanya menjadi Jama’atu Ahlus Sunnah Lid-da’wah wal Jihad , yang berarti Asosiasi Sunni untuk Dakwah Islam dan Jihad (Blanchard, 2014). Perubahan nama ini juga diikuti dengan perubahan struktur kelompok tersebut. Ada beberapa hal yang dapat disorot dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah Hijra dan Jama’atu Ahlus Sunnah Lid-da’wah wal Jihad antara tahun 1995 hingga 2009.
1
Pertama, mereka berawal sebagai sebuah kelompok dakwah yang menggunakan jalan nirkekerasan. Mereka lantang menyuarakan akan kegagalan pemerintah dalam membangun kehidupan masyarakat di daerah tersebut, korupnya pemerintahan Nigeria, serta tingginya angka pengangguran. Namun dalam rentang waktu tersebut mereka mengalami berbagai perubahan hingga akhirnya menjadi sebuah kelompok teroris. Kedua, keberagaman latar belakang anggota kelompok tersebut, mulai dari individu dengan motivasi agama ataupun politik, preman, dan juga kaum terpelajar, namun kelompok ini didominasi oleh pengangguran. Keberagaman ini menjadi salah satu hal yang menarik ketika mereka mengubah kelompok tersebut menjadi sebuah kelompok teroris. Perubahan modus operandi yang digencarkan oleh Boko Haram terlihat semenjak penyerangan yang dilakukan oleh Boko Haram di beberapa negara bagian pada Juli 2009 (Smith, 2009). Penyerangan yang dilakukan di Bauchi, Yobe, Borno and Kanoare menewaskan sekitar 700 orang. Pada 28 Juli 2009, aparat keamanan menyerang kediaman Muhammad Yusuf, salah satu tokoh Boko Haram, dan melakukan penangkapan. Selang dua hari dari penangkapan tersebut, Mohamed Yusuf dinyatakan tewas saat berusaha melarikan diri dari penjara. Karena dianggap ebagai kejanggalan, para pendukung Yusuf kemudian melakukan kerusuhan karena merasa tidak terima dan marah terhadap aparat keamanan yang dianggap sewenangwenang. Sejak saat itu, kegiatan Boko Haram lebih banyak melibatkan kekerasan dan kriminalitas. (Smith, 2009) Pada Juli 2011, Boko Haram mengeluarkan pernyataan kebencian dan mengingatkan kepada penduduk Nigeria yang beragama islam untuk menjauhi kaum kristiani, pejabat pemerintahan, serta menjauhi rumah dan bangunan mereka, karena mereka adalah target penyerangan selanjutnya; “This is a government that is not Islamic. Therefore, all its employees-Muslims and non-Muslims are Infidels. (...) therefore, we have the right to kill them all. But if there are people who profess Islam and do not take part in Government or Western Education, their blood and wealth are sacred unless otherwise.” (Zaid, 2011) Pada 14 April 2014, Boko Haram menyerang dan menculik para siswi sekolah khusus perempuan di desa Chibok, dan membawa mereka ke suatu daerah 2
di dekat perbatasan Kamerun (Cuddihy, 2014). Sebelumnya pada Februari 2014, kelompok ini juga melakukan penyerangan ke sekolah dan membakar asrama yang menewaskan 29 siswa, namun tidak melukai para siswi sekolah tersebut. Kasus ini membuat Boko Haram menjadi lebih dikenal di dunia internasional, terlebih karena adanya dukungan dari berbagai figur yang menyuarakan untuk membebaskan para siswi tersebut. Reaksi pemerintah terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok ini salah satunya adalah dengan cara menangkap anggota keluarga dari anggota Boko Haram (Pearson & Zenn, 2014). Namun langkah ini dianggap tidak efektif karena Boko Haram justru memperbesar intensitas penyerangan. Adanya insiden kekerasan pada Juli 2009, menjadi titik balik dari Boko Haram. Sejak insiden tersebut, ada dua perubahan yang dapat dicermati. Pertama, pergerakan Boko Haram pasca Juli 2009 hingga saat ini, hanya bergerak secara rahasia, dan tidak ada lagi dakwah-dakwah terbuka. Mereka memilih menggunakan pergerakan bawah tanah, terlebih sejak adanya razia dan penangkapan terhadap kelompok tersebut. Kedua, sejak 2009 mereka menganggap bahwa jihad yang mereka lakukan tidak hanya bersifat regional, namun juga menjadi kepentingan nasional. Karena bagi mereka, misi saat ini adalah mendirikan syariat Islam di Nigeria,dan berusaha menyerang orang-orang yang dianggap terkait. Hal ini dicontohkan dari adanya pernyataan yang memperingatkan Amerika Serikat bahwa jihad telah dimulai, bom bunuh diri di gedung PBB Abuja pada Agustus 2011, serta penculikan tujuh anggota keluarga berkewarganegaraan Perancis di Kamerun (Audu, 2013). Melihat peristiwa tersebut, penelitian ini akan berfokus pada transformasi yang terjadi di dalam Boko Haram. Penulis akan memaparkan perubahan kelompok tersebut dari satu fase ke fase lainnya, hingga akhirnya menjadi Boko Haram. Perubahan tersebut akan dianalisis dengan melihat berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan kelompok tersebut.
1.2 Pertanyaan Penelitian Skripsi ini akan meneliti mengenai dinamika Boko Haram dengan menggunakan konsep yang akan dipaparkan selanjutnya. Dengan demikian,
3
pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah: Mengapa Boko Haram mengubah pergerakannya; yang berawal dari dakwah menjadi aksi kekerasan? Apa saja faktor yang berpengaruh terhadap perubahan tersebut?
1.3 Kerangka Teori a) Gerakan Sosial Untuk menggambarkan Boko Haram dalam masa awalnya berdiri, perlu menggunakan dengan kerangka yang bisa menjelaskan identitas kelompok tersebut, yaitu sebagai gerakan sosial. Hal ini merujuk kepada kemunculan dan pergerakan kelompok tersebut untuk menuntut adanya perubahan dalam sistem politik untuk menganut sistem syariah di Nigeria. Sidney Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai “collective challenges by people with common purposes and solidarity in sustained interaction with elites, opponents and authorities” (Tarrow, 1994). Bagi Tarrow (1994), penyebab mengapa orang-orang bergabung dengan gerakan sosial adalah sebagai respon terhadap adanya peluang politik yang tersedia, dan dengan adanya aksi yang kolektif mereka memiliki kesempatan untuk membentuk yang rezim politik yang baru, atau paling tidak, sesuai dengan gambaran mereka. Tujuan pembentukan gerakan sosial adalah memperbaiki dan mengubah kehidupan sosial. Sehingga dalam masyarakat yang taraf hidup yang dianggap tidak memuaskan, peluang politik tersebut memunculkan alasan bagi mereka untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Untuk melihat lebih jauh mengenai gerakan sosial, Tarrow (1994) membagi gerakan sosial ke dalam empat ciri yang saling berkaitan. Pertama, collective challenge, bagaimana gerakan sosial memproyeksikan tujuan mereka dan juga memberikan identitas bagi kelompok mereka untuk membedakan kelompok mereka. Identitas ini dapat diartikan dengan simbolisasi; penggunaan seragam ataupun perangkat tertentu, atau dengan memiliki model pergerakan yang khas. Kedua, dengan adanya common purpose atau tujuan bersama. Tujuan bersama menjadi esensi dari gerakan sosial. Ketiga, rasa solidaritas yang berkembang dari tujuan bersama tersebut. Keempat, sustaining collective action yang diartikan sebagai memelihara aksi perlawanan. Ketiga sifat empiris yang telah dijelaskan
4
sebelumnya akan menjadi sia-sia jika dalam kelompok tersebut tidak dapat mempertahankan aksi perlawanannya (Tarrow, 1994). Untuk mempertahankan gerakan sosial, gerakan sosial yang ingin bertahan akan melakukan berbagai cara untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada, termasuk untuk melakukan berbagai pergerakan. Dalam konteks ini, Tarrow berargumen bahwa modular repertoire of contention diperlukan (Tarrow, 1994). Umumnya, setiap gerakan sosial memiliki repertoire of contention masing-masing, dan digunakan sebagai identitas aksi pergerakan kelompok tersebut. Konsep gerakan sosial memiliki bahasan yang luas. Tidak hanya dalam melihat bagaimana pergerakan kelompok tersebut, namun bagaimana berbagai unsur yang terlibat dalam gerakan sosial memiliki andil dalam pergerakan kelompok tersebut. Beberapa bahasan dari gerakan sosial yang menjadi fokus dalam skripsi ini adalah pengaruh resource mobilization dan pengaruh pemimpin dalam gerakan sosial. Pertama, dalam resource mobilization melihat pada kemampuan kelompok untuk mendapatkan sumber daya dan memobilisasi masa untuk mencapai tujuan mereka. Menurut Tilly, hal ini dijelaskan dengan asumsi bahwa anggota dari gerakan sosial adalah orang-orang rasional, dimana para anggota tersebut setidaknya harus memiliki koneksi dalam politik dan sumber daya untuk menggerakkan kelompok tersebut (Tilly, 1978). Dengan kata lain, pergerakan yang hanya mengandalkan kesadaran serta solidaritas dari anggotanya, tidak akan bergerak secara maksimal. Sumber daya yang cukup, serta orang-orang yang memiliki visi adalah hal yang esensial dalam aksi gerakan sosial. Sumer daya dalam hal ini termasuk pendanaan, keahlian, akses pada media, hingga berbagai peralatan penunjang (Kendall, 2012). Kedua, mengenai kepemimpinan dalam gerakan sosial. Pemimpin menjadi hal yang berpengaruh dalam pergerakan sosial karena peran mereka, bagaimana mereka memberi inspirasi akan komitmen, memobilisasi sumber daya, membuat peluang untuk pergerakan serta membentuk strategi (Morris & Staggenborg, 2004). Sehingga, adanya perbedaan dalam setiap kepemimpinan dari masing-masing individu dapat berpengaruh dalam pergerakan sebuah gerakan sosial.
5
Melalui konsep ini, penulis akan menggunakannya untuk memahami bahwa Boko Haram memiliki siklus ‘kehidupan’ sebagai gerakan sosial; dimulai dari bagaimana mereka terbentuk, hingga bagaimana langkah yang mereka ambil untuk mencapai common purpose. Tidak hanya untuk melihat Boko Haram sebagai gerakan sosial, konsep ini diperluas untuk melihat pengaruh dari adanya resources mobilization dalam pengembangan kelompok ini, dalam bagaimana mereka dapat memobilisasi masa hingga memiliki anggota, sumber daya, serta persenjataan sebesar ini. Serta melihat bagaimana adanya pengaruh kepemimpinan setiap individu dalam kelompok tersebut. Dimana masing-masing memiliki set repertoar aksinya masing-masing, dan mempengaruhi aksi Boko Haram saat ini.
b) Repertoire of Contention Konsep repertoire of contention pertama kali diperkenalkan oleh Charles Tilly. Kata repertoar yang berarti berbagai pilihan aksi yang sudah disiapkan sebelumnya, dan contention yang diistilahkan sebagai friksi ataupun konflik. Konsep ini mejelaskan bagaimana setiap pergerakan memiliki set pilihan aksi yang dapat dilakukan (Tilly, 1993). Repertoar aksi berbeda antara satu waktu dengan lainnya, ada repertoar yang dapat diambil dari preseden masa lalu, ataupun inovasi baru yang dianggap sesuai dengan kondisi masa kini (Tilly, 2004). Tilly menjelaskan bahwa repertoire of contention digunakan sebagai cara memandang bagaimana kedua kubu saling merespon terhadap aksi claim-making yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Dan aksi-reaksi tersebut umumnya memiliki pola spiral. Spiral pertentangan ini akan merangkum bagaimana aksi dan reaksi yang dilakukan oleh kedua pihak; apakah pertentangan menjadi semakin memanas karena kedua pihak berusaha untuk menjatuhkan satu sama lain dengan meningkatkan kekuatan mereka, atau akhirnya salah satu pihak mengalah dan pihak lainnya mengikuti. Aksi dan reaksi ini yang menentukan adanya perubahanperubahan dari masing-masing kubu dalam bertindak (Tilly, 2006). Seperti yang dijelaskan dalam konsep gerakan sosial, tidak akan ada pergerakan yang terjadi jika tidak memiliki tujuan. Dalam repertoire of contention dikenal dengan adanya klaim. Klaim ini dianggap sebagai goal bagi para aktor, dan
6
bentuknya tergantung dengan fase yang mereka alami terhadap kelompok oposisi. Lebih lanjut, Tilly menjelaskan adanya tiga macam klaim yang berbeda dalam kondisi contention; a. Identity – Klaim yang menginginkan adanya keterlibatan suatu pihak tertentu sebagai pengakuan terhadap eksistensi mereka. b. Standing – Klaim yang menginginkan tempat atau posisi tertentu dalam rezim. c. Program – Klaim untuk menuntut sebuah program ataupun kebijakan. Namun, adanya repetisi dari aksi claim-making dapat menjadi bumerang ketika terlalu sering dilakukan. Hal ini terjadi karena menimbulkan rasa bosan, dan aksi tersebut dengan mudah diacuhkan. Bagi Tilly, aksi yang efektif tidak seperti marching band yang sudah melakukan latihan berulang-ulang, melainkan seperti pertandingan sepak bola (Tilly, 2006). Bagaimana aktor dapat melakukan aksinya seperti rencana yang telah dibuat, dan disaat yang bersamaan dapat melakukan improvisasi yang sesuai. Tilly (2006) mengkategorikan tiga penyebab adanya aksi dan reaksi dalam repertoar; pertama adanya hubungan antara claim-making dengan kehidupan sosial. Kedua, akumulasi dari sinyal dalam friksi itu sendiri, dan ketiga, pergerakan dari rezim itu sendiri. Repertoar sendiri dapat ditarik dari identitas yang dimiliki, hubungan sosial, dan juga dari kehidupan sosial sehari-hari. Dari hal tersebut, tumbuhlah collective claim dan kesadaran dari para aktor akan maknanya. Konsep repertoire of contention menjelaskan mengapa Boko Haram memilih untuk merubah pergerakan untuk mencapai tujuannya untuk memperbaiki kondisi Nigeria Utara melalui pendirian negara syariah. Karena selama pergerakan kelompok ini dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah Hijra hingga Jama’atu Ahlus Sunnah Lid-da’wah wal Jihad, tidak ada tanggapan positif dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan sosial di Nigeria Utara. Kurangnya respon dari aksi claim-making tersebut, serta sebagai upaya bagi Boko Haram untuk beradaptasi dengan lingkungannya, mendukung adanya perubahan repertoar aksi kelompok ini.
7
c) Political Violence Kekerasan seringkali dianggap sebagai cara yang efektif untuk memposisikan diri dalam berbagai kasus. Menurut Della Porta (1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki kecenderungan untuk merespon terhadap kekerasan. Aksi kekerasan pun mendapatkan perhatian lebih dari media. Terutama bagi kelompok yang ingin memposisikan dirinya untuk lebih dikenal, penggunaan kekerasan menjadi efektif dalam membuat dan menyebarkan rasa takut. Della Porta mendefinisikan political violence secara umum sebagai “the mean behavior that violates the prevailing definition of legitimate political action” (Della Porta, 1995). Secara umum, agak sulit untuk melihat parameter dari ‘legitimate political action’, namun dalam kasus ini, penulis melihat aksi kekerasan Boko Haram sebagai bentuk dari political violence. Political violence sendiri dianggap sebagai salah satu bentuk dari repertoar aksi yang melibatkan adanya kekerasan secara fisik, karena umumnya aksi kekerasan fisik dianggap sebagai illegitimate. Termasuk juga berbagai aksi kekerasan seperti mencuri dan merusak properti atau sarana publik. Untuk melihat seberapa jauh kekerasan yang terjadi, Della Porta memberikan empat tipologi mengenai berbagai jenis kekerasan yang berkembang (Della Porta, 1995);
unspecialized violence – Kekerasan yang bersifat low-level, dan tidak terorganisir.
semimilitary violence – Kekerasan yang juga bersifat low-level, namun terorganisir.
autonomous violence – Kekerasan yang bersifat high-level, namun terorganisasi secara spontan.
clandestine violence – Kekerasan yang ekstrim, dan terorganisir secara rahasia oleh kelompok-kelompok radikal. Untuk menjelaskan adanya perilaku kekerasan ini, Della Porta (1995)
berargumen bahwa aksi kekerasan digunakan sebagai langkah terakhir yang dilakukan kelompok antisistemic. Ia juga menambahkan, adanya ketidakpuasan dari kelompok tersebut menjadi penjelasan dari aksi tersebut.
8
Menurut Kornhauser (1959), para aktivis dari kelompok radikal umumnya bertindak berdasarkan rasa frustasi, terutama dari adanya gap antara ekspektasi mereka dengan kapabilitas yang mereka miliki untuk memperjuangkan isunya. Serta, melihat bagaimana para aktivis tersebut berhasil mengajak orang lain disekitarnya, Kornhauser memiliki asumsi bahwa aktor yang melakukan political violence adalah seorang yang memiliki pengaruh besar (Kornhauser, 1959). Relevansi konsep ini dengan kasus Boko Haram adalah untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana perubahan Boko Haram dalam rentang 2009 hingga kini, masih terus berkembang menggunakan kekerasan. Konsep ini menjadi fondasi untuk menjelaskan level penggunaan kekerasan dalam Boko Haram yang intensitasnya semakin mebesar dari tahun ke tahun.
1.4 Argumentasi Adanya perubahan strategi dalam pergerakan Boko Haram terjadi karena berbagai faktor. Dalam hal ini, penulis melihat ada dua faktor internal dalam Boko Haram berpengaruh, yaitu faktor sumber daya dan pemimpin. Dan faktor eksternal yang berasal dari luar Boko Haram, yaitu pengaruh dari tindakan oposisi. Pertama, faktor sumber daya yang dimiliki Boko Haram. Akses terhadap sumber daya memfasilitasi mereka untuk melakukan perubahan pergerakan. Dengan kemampuan mobilisasi sumber daya tersebut, Boko Haram dapat mengembangkan repertoarnya dengan cara yang dianggap efektif, yaitu kekerasan. Sumber daya seperti uang, manpower, dan persenjataan yang mereka miliki menunjang langkah tersebut. Kedua, faktor kepemimpinan dalam Boko Haram. Pemimpin memiliki posisi strategis dalam menentukan repertoar, sehingga perbedaan gaya kepemimpinan dari tiap individu, berpengaruh terhadap berbagai pilihan aksi yang mereka gunakan. Ketiga adalah faktor eksternal dari kelompok ini, yaitu tindakan oposisi. Bagi Boko Haram, lawan mereka adalah Pemerintah Nigeria. Dalam hal ini, tindakan oposisi dilihat dari bagaimana respon yang diberikan oposisi terhadap keberadaan kelompok ini. Tindakan oposisi yang cenderung bersifat apatis serta kinerja militer Nigeria yang melemah, menjadi sorotan dalam menjelaskan perubahan strategi Boko Haram.
9
1.5 Metode Penelitian Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini adalah mengenai transformasi yang terjadi dalam Boko Haram. Dalam mengkaji isu ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data-data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan sumber-sumber internet seperti laporan, artikel dan berita dari situs internet mengenai isu konflik di Nigeria utara. Data-data tersebut akan diseleksi sesuai dengan keterkaitannya dan akan digunakan sebagai landasan informasi dalam menulis.
1.6 Sistematika Bab Rencana penelitian ini akan memuat empat bab yang akan disusun dengan sistematika sebagai berikut; Bab Pertama berisi tentang latar belakang dari isu yang akan diteliti, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesa, dan sistematika penulisan seperti halnya pada proposal ini. Bab Kedua akan diuraikan mengenai kemunculan Boko Haram, perubahan yang terjadi dalam Boko Haram, serta berbagai aksi kekerasan yang dilakukan sejak perubahannya. Bab ketiga dan keempat akan berisi analisis mengenai perubahan yang terjadi dalam kelompok tersebut, apa faktor yang mempengaruhi, dan bagaimana hal itu mempengaruhi pergerakan Boko Haram di masa ini. Skripsi akan ditutup dengan Bab Lima yang berisi kesimpulan yang merangkum penjelasan dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya.
10