BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam tinggi. Salah satu sumberdaya wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki nilai ekologis, ekonomis dan sosial yang tinggi. Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat ikan, udang, kerang dan jenis biota lainnya untuk memijah dan daerah asuhan bagi jenis-jenis udang (Fauzi, 1999). Hutan mangrove juga berfungsi menjaga stabilitas garis pantai, melindungi pantai dan tebing sungai, memfilter dan meremidiasi limbah, serta untuk menahan banjir dan gelombang. Secara ekonomis fungsi hutan mangrove merupakan sumber energi, daerah pengembangan perikanan dan pertanian, penghasil bahan bangunan, bahan tekstil, dan produk bernilai ekonomi lainnya. Di samping itu hutan mangrove juga memiliki manfaat sosial seperti tempat berinteraksi sosial dan jasa-jasa wisata. Dari berbagai manfaat tersebut, nilai manfaat hutan mangrove secara langsung hanya 3,56% sedangkan nilai manfaat tidak langsung mencapai 96,44%
(Suhaeri,
2005).
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
apabila
hanya
memperhatikan manfaat langsung, maka hutan mangrove akan cenderung dikonversi untuk pemanfaatan lainnya. Fakta menunjukkan bahwa kerusakan mangrove ada dimana-mana, bahkan intensitas kerusakan dan luasannya cenderung meningkat secara siginifikan (Bratasida, 2002; Imanuddin dan Mardiastuti, 2002; Santoso, 2002). Penyebab kerusakan mangrove sangat beragam menurut ruang dan waktu. Secara umum kerusakan mangrove diakibatkan oleh tiga faktor yaitu: (1) faktor internal seperti alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak, permukiman, industri dan adanya pencemaran limbah, pestisida dan logam berat, (2) faktor eksternal seperti kerusakan DAS hulu yang menyebabkan tingginya sedimentasi dan akumulasi zat pencemar, dan (3) faktor lain yang belum diidentifikasi (Waryono dan Yulianto, 2002; Bratasida, 2002; Kusmana, 2002). Kegiatan
konversi
lahan
mangrove
menjadi
tambak,
kawasan
permukiman, dan perindustrian telah menyebabkan degradasi hutan mangrove baik secara fisik maupun habitat. Penurunan luas hutan mangrove di sepanjang
2 Pantai Utara Jawa berkaitan dengan belum adanya kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir, pembuangan limbah industri dan rumah tangga, dan sedimentasi akibat pengolahan lahan yang kurang baik. Penyebab yang terbesar adalah konversi kawasan hutan mangrove untuk usaha tambak, permukiman, dan kawasan industri secara tak terkendali (Dahuri et al., 2001). Akibatnya kualitas perairan pesisir merosot tajam, karena intrusi dan abrasi air laut yang tidak dapat dikendalikan. Dampak ekonomisnya terlihat dari menurunnya persediaan air tawar, hancurnya usaha pertambakan di daerah pesisir, pencemaran logam berat dan bahan beracun berbahaya serta menurunnya jenis, jumlah dan kualitas flora dan fauna di ekosistem pesisir. Hutan mangrove di Teluk Jakarta seluas 9.749 ha. Areal hutan mangrove di Teluk Jakarta terbentang mulai dari pantai Tangerang hingga Bekasi. Kawasan ini meliputi tiga wilayah administratif, yaitu Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tanggerang, dan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. Saat ini hutan mangrove di Teluk Jakarta terus mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi tambak telah membawa dampak penurunan luas hutan mangrove. UNEP dan LPP-Mangrove (2004) menyebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di Teluk Jakarta rusak berat dan sebagian telah berubah fungsi menjadi permukiman dan budidaya. Apabila konversi hutan mangrove menjadi tambak tidak dihentikan dan kegiatan eksploitasi hutan mangrove tidak diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi, maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan bahkan pemusnahan hutan mangrove yang akan merugikan dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir. Teluk Jakarta telah tercemar oleh logam berat (khususnya merkuri) dan pestisida (rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT yang keduanya melebihi ambang batas yaitu 0,5 ppb). Keadaan menjadi lebih buruk karena pembuangan minyak dari kapal dan perahu kecil. Ikan dan invertebrata yang hidup di daerah tercemar selanjutnya mengancam populasi burung air melalui sistem rantai makanan. Bahkan dapat membahayakan kesehatan masyarakat bagi mengkonsumsi ikan yang tercemar. Permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir Teluk Jakarta semakin berkembang dan kompleks seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Terjadi peningkatan pemanfaatan lahan dan sumberdaya hutan mangrove.
3 Peningkatan pemanfaatan lahan di hutan mangrove akan merusak ekosistem mangrove. Rusaknya hutan mangrove di wilayah Teluk Jakarta disebabkan beberapa hal yakni meningkatnya konversi lahan untuk permukiman, sarana dan prasarana dan
kegiatan
lainnya
sejalan
dengan
meningkatnya
jumlah
penduduk.
Peningkatan pembangunan dan permukiman akan menimbulkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, yang pada kenyataannya belum memperhitungkan kerugian yang berdampak sosial ekonomi dan ekologis. Demikian juga dengan pembangunan wilayah pesisir sekitar kawasan hutan mangrove, pemanfaatan untuk usaha tambak yang dilakukan secara tidak bijaksana. Hal ini merupakan kekeliruan dalam menilai fungsi hutan mangrove. Untuk jangka pendek, manfaat ekonomi yang diperoleh dari lahan untuk industri relatif tinggi dibanding sebagai lahan mangrove. Namun demikian, untuk jangka panjang, terjadi penurunan nilai lahan industri yang semakin menurun, sedangkan nilai lahan hutan mangrove relatif stabil untuk jangka panjang. Dengan demikian, pertimbangan jangka panjang dalam pembangunan akan menjadi faktor penting dalam pelestarian hutan mangrove. Tekanan penduduk dan tingginya permintaan lahan untuk permukiman dan industri menyebabkan kerusakan mangrove tidak dapat dielakkan. Kepentingan kepentingan
ekonomi
dan
lingkungan.
sosial Upaya
lebih
dominan
pemanfaatan
dibandingkan
dengan
mangrove
dengan
mengkombinasikan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial faktanya masih merupakan konsep yang belum banyak diimplementasikan (Wartaputra, 1990). Eksploitasi menyebabkan
terhadap
masalah
sumberdaya
lingkungan
alam
(Sumarwoto,
yang
berlebihan
2001;
Alikodra,
akan 2002).
Munculnya masalah lingkungan secara langsung atau tidak langsung akan berakibat pada menurunnya kualitas sumberdaya manusia yang pada akhirnya akan memperlemah upaya pembangunan itu sendiri (Keraf, 2002). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai penggerak utama pembangunan, diharapkan mampu melihat secara cermat segala potensi yang ada di wilayahnya serta merencanakan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Selama ini, yang menjadi pokok perhatian dari pembangunan adalah peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kondisi ekologis dan sosial budaya. Akibatnya terjadi degradasi lingkungan berupa
4 penurunan kualitas tanah, air, dan udara. Di samping itu, juga menimbulkan konflik sosial karena kesenjangan pendapatan. Mengingat pentingnya keberadaan hutan mangrove untuk fungsi ekologisnya dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat pesisir, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan untuk menjamin kelestarian hutan mangrove. Berdasarkan
hal
tersebut
penelitian
tentang
pengembangan
kebijakan
pembangunan daerah dalam penyelamatan hutan mangrove yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu telah dicanangkan oleh pemerintah. Berbagai strategi dan program dirumuskan untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan seperti pemberdayaan masyarakat pesisir, pengelolaan kawasan mangrove secara terpadu, pembentukan daerah perlindungan laut, rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak hingga bantuan langsung kepada masyarakat pesisir. Berbagai regulasi dalam pengelolaan wilayah pesisir termasuk pengelolaan hutan mangrove juga telah dirumuskan. Namun demikian, laju kerusakan hutan mangrove masih relatif tinggi Secara umum kawasan mangrove di Teluk Jakarta mengalami degradasi baik fisik maupun habitat. Secara spesifik kondisi mangrove di Teluk Jakarta dapat dideskripsikan menurut tiga kawasan, yaitu: Muara Gembong, Muara Angke, dan Teluk Naga. Hutan mangrove di Kecamatan Muara Gembong semakin berkurang dikarenakan lahan mangrove diubah menjadi lahan tambak yang berakibat pada terjadinya abrasi, intrusi air laut menurunkan kualitas air dan tanah untuk tambak yang ditandai rendahnya produktivitas tambak serta adanya ketidakteraturan dalam hal penataan permukiman masyarakat yang dibangun di sepanjang pesisir pantai sederhana. Kawasan mangrove di Muara Angke sebagian besar dikonversi menjadi permukiman dan kawasan perniagaan. Populasi mangrove di lokasi ini sudah sangat menipis. Masalah tersebut diperparah oleh dampak aktivitas pasar ikan yang membuang limbah tangkapan laut berupa kulit kerang di atas kawasan mangrove. Pertumbuhan anakan mangrove serta biota perairan di sekitarnya menjadi terhambat bahkan rusak karena timbunan kulit kerang yang menumpuk tebal di atas permukaan tanah. Hanyutnya sampah anorganik dari hulu sungai yang masuk ke muara menambah tingkat pencemaran polusi di sekitar perairan
5 mangrove.
Tingginya
kandungan
bahan
pencemar
yang
hanyut
telah
mempercepat kerusakan mangrove di kawasan Muara Angke. Kawasan mangrove di Teluk Naga sudah berada pada kondisi yang memperihatinkan. Kawasan mangrove sudah berubah 70% menjadi lahan tambak. Tindakan konversi ke lahan tambak telah dilakukan sangat tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Kandungan pirit yang tinggi dan jarangnya populasi mangrove di sekitar tambak menjadikan produktivitas tambak menjadi sangat rendah. Persaingan prioritas penggunaan lahan antara tambak dan kawasan pariwisata menjadikan populasi mangrove semakin tergeser (DLH Kabupaten Tangerang, 2004). Berkurangnya ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Teluk Naga karena usaha tambak yang dikembangkan di wilayah itu seluas 4.740,79 ha sebagian besar memanfaatkan lahan hutan mangrove di sekitar pesisir yang mengakibatkan abrasi yang tidak terbendung dan intrusi air laut yang menghancurkan sebagian besar usaha petani. Kerusakan hutan mangrove di wilayah pesisir Tangerang ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan kebutuhan masyarakat yang meningkat dalam pemanfaatan kayu dari hutan (DPK Kabupaten Tangerang, 2003). Faktor lain yang signifikan mempengaruhi hilangnya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah pengembangan kawasan untuk kegiatan usaha. Konsepsi pembangunan Jakarta sebagai water front city akan berdampak pada hilangnya ekosistem mangrove. Pemda DKI Jakarta melalui Badan Reklamasi Pantai (BRP) merencanakan reklamasi pantai utara (pantura) seluas 2.700 ha sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Pemerintah Provinsi DKI menargetkan akan membuka daratan baru untuk keperluan industri, perkantoran, pusat bisnis, sarana transportasi, dan permukiman. Reklamasi pantai di daerah rawa-rawa sepanjang wilayah pesisir mengakibatkan hilangnya fungsi pemijahan, sehingga memperbesar aliran permukaan. Reklamasi yang tidak terkontrol juga akan menghilangkan dan mengubah fungsi ekologis. Isu lingkungan lain yang berkaitan dengan rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah peningkatan muka air laut akibat pemanasan global dan penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan telah menyebabkan intrusi air laut ke wilayah daratan semakin tinggi. Hal ini akan berdampak terhadap kerusakan ekologi dan bangunan fisik di sekitar Teluk Jakarta.
6 Karakteristik wilayah pesisir yang dipengaruhi oleh arus air merupakan faktor yang sulit untuk dikendalikan. Pencemaran air oleh limbah rumah tangga dan industri yang dilakukan di sekitar Muara Angke akan menyebabkan kerusakan lingkungan di seluruh wilayah pesisir Teluk Jakarta. Demikian pula dengan kegiatan industri di Teluk Naga akan berdampak terhadap kualitas perairan di seluruh wilayah Teluk Jakarta. Karakterisitik
tersebut
berbeda
dengan
dimensi
sosial
budaya
masyarakat. Kawasan pesisir Muara Gembong dan Teluk Naga dihuni oleh sebagian besar nelayan, sedangkan masyarakat Muara Angke sangat bervariasi. Dengan demikian, penyebab kerusakan hutan mangrove di ketiga lokasi ini berbeda-beda. Hutan mangrove di Muara Gembong dirambah untuk keperluan tambak dan kebutuhan kayu untuk rumah tangga, di Teluk Naga untuk keperluan tambak dan industri, sedangkan di Muara Angke untuk keperluan lahan permukiman dan perniagaan. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) kondisi hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini, (2) kebutuhan stakeholder dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, (3) kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove Teluk Jakarta secara berkelanjutan.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kondisi fisik dan kualitas ekosistem hutan mangrove Teluk Jakarta saat ini; 2. Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta di masa mendatang; 3. Menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memperoleh data dan informasi tentang kondisi hutan mangrove dan kualitas eksosistem mangrove di Teluk Jakarta sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan hutan mangrove di masa mendatang;
7 2. Sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan dalam proses pelibatan masyarakat
dalam
mengembangkan
partisipasi
masyarakat
untuk
pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan; 3. Memberikan
sumbangan
untuk
memperkaya
ilmu
kajian
lingkungan
khususnya pengembangan strategi dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pikir Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia hara bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan fungsi sosial sebagai lahan interaksi bagi masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong daerah untuk mengambil kewenangan pengelolaan mangrove melalui eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi sesaat. Konflik kepentingan antara sektor seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pekerjaan Umum maupun antar wilayah seperti antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan faktor lain yang menyebabkan degradasi kuantitas (kerapatan dan luas) maupun kualitas (komposisi dan proporsi) mangrove semakin dipercepat. Ancaman kerusakan bagi mangrove sebagian besar berasal dari aktivitas manusia yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Secara sederhana penyebab kerusakan mangrove dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung melalui: alih fungsi, reklamasi, pencemaran, abrasi, dan sedimentasi dan secara tidak langsung melalui fenomena alam seperti penyakit, hama, dan meningkatnya muka air laut. Salah satu indikator hancurnya mangrove akibat alih fungsi mangrove untuk tambak, industri dan permukiman tanpa mengindahkan kaidah konservasi lingkungan (Wartaputra, 1990; Kusmana, 2002). Perubahan hutan mangrove menjadi tambak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama jika terjadi pembukaan berlebihan yang menyebabkan oksidasi pirit dan intrusi serta
8 abrasi gelombang laut, sehingga tanah menjadi irreversible, tidak produktif dan sangat sulit direhabilitasi (Naamin, 2002; Soedharma et al., 1990). Dalam kasus mangrove di Teluk Jakarta sebagai suatu ekosistem yang meliputi tiga wilayah administrasi provinsi (DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten), berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan dan pemanfaatan antar wilayah akibat perbedaan cara pandang. Kondisi ini diperburuk dengan adanya konversi mangrove untuk tujuan ekonomi, sehingga mendorong kerusakan mangrove semakin parah. Faktor lain yang mendorong rusaknya hutan mangrove di Teluk Jakarta adalah rendahnya capacity building yang meliputi sumberdaya manusia, institusi dan mekanisme aturan. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya koordinasi di tingkat perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara apa yang diinginkan (demand side) dan apa yang dimiliki dari hutan mangrove (supply side) (Alikodra, 2002). Kerusakan sumberdaya mangrove juga terjadi karena ekstensifikasi yang berlebihan untuk perluasan wilayah tambak tanpa memperhitungkan kualitasnya, serta adanya pembabatan habis untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat. Perbedaan persepsi dari cara pandang antara peran mangrove terhadap lingkungan dan alih fungsi menyebabkan konflik yang tidak mudah dipecahkan, seperti kasus Teluk Jakarta. Kemampuan tawar sektor ekonomi yang lebih kuat dibandingkan sektor lingkungan menyebabkan pembabatan mangrove sulit dikendalikan. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan kebijakan dan strateginya untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Persepsi masyarakat terhadap mangrove juga merupakan salah satu yang mendorong kerusakan ekosistem mangrove. Salah satu bentuknya adalah pengembangan tambak ekstensif yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Supriharyono
(2000)
menyatakan
kerusakan
hutan
mangrove
terutama
disebabkan oleh banyaknya konversi hutan mangrove yang dijadikan tambak. Sedangkan Budhisantoso (1998) menyebutkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan pengembangan kawasan pesisir, adalah
9 menyusutnya persediaan sumberdaya, khususnya hutan mangrove, dan merosotnya mutu lingkungan. Oleh karenanya, pengelolaan kawasan pesisir tidak terbatas pada pembinaan kelestarian alam, melainkan juga upaya pemberdayaan penduduk secara perseorangan maupun kolektif. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup mutlak diperlukan karena perusakan terhadap sumberdaya mangrove masih terus terjadi. Dalam pelaksanaannya diperlukan pendekatan partisipatif, yakni masyarakat lokal dilibatkan dalam proses pembangunan. Hambatan dan gangguan dalam pengelolaan hutan mangrove yang mencerminkan kaidah-kaidah perlindungan ekosistem di Indonesia antara lain adalah benturan kepentingan pihak yang berkompeten, lemahnya informasi ekosistem hutan mangrove, kelemahan di aspek pemanfaatan, masalah sosial ekonomi masyarakat, sistem silvikultur hutan mangrove, dan aspek hukum dan kelembagaan (Machfuddin dan Nasendi, 1997). Kebijakan mengenai konversi lahan mangrove secara berlebihan menyebabkan rusaknya kawasan pesisir. Terjadinya kerusakan wilayah pesisir akibat pembukaan hutan yang berlebihan, mengakibatkan kualitas dan kelestarian sumberdaya mangrove mengalami ancaman dari berbagai pemangku kepentingan. Terdapat tiga kelompok stakeholder kunci dalam pembangunan wilayah pesisir yakni pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiga kelompok ini memiliki motif yang berbeda dalam pemanfaatan hutan mangrove. Apabila kebijakan pemanfaatan hutan mangrove tidak sesuai dengan kesepakatan ketiganya, maka kerusakan hutan mangrove akan terus berlanjut. Dengan demikian, kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan hutan mangrove perlu dipertimbangkan sehingga terjadi sinergi dalam pemanfaatan secara lestari. Perbedaan kepentingan antara stakeholder terhadap pemanfaatan hutan mangrove, seperti antara kehutanan, perikanan, pertanian, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata dan perindustrian, menimbulkan tekanan yang beragam terhadap keberadaan hutan mangrove. Selain itu terjadinya degradasi hutan mangrove juga disebabkan pencurian dan penebangan yang tidak terkendali dan pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Agar permasalahan pengelolaan mangrove dapat direpresentasikan, maka
perlu
pemahaman
mengenai
faktor-faktor
penentu
keberhasilan
10 pengelolaan mangrove. Dalam hal ini perlu disusun alat bantu pengambilan keputusan kebijakan pengelolaan mangrove sesuai kebutuhan stakeholder dan peraturan
perundangan
yang
ada,
sehingga
konsep
perencanaan
dan
pemanfaatan mangrove dapat berkelanjutan. Dalam hal studi kasus Teluk Jakarta, maka diperlukan pemahaman tentang kondisi ekosistem mangrove yang ada saat ini di tiga wilayah, evaluasi kebijakan pemanfaatan mangrove di Teluk Jakarta, dan analisis kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan mangrove di masa mendatang. Pemahaman terhadap ketiga hal tersebut merupakan masukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan di Teluk Jakarta. Sistem pengambilan keputusan yang mendukung upaya ini perlu dirumuskan dengan pendekatan yang komprehensif. Rumusan hasil keputusan ini merupakan rekomendasi untuk kebijakan pembangunan wilayah pesisir terpadu. Secara rinci kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian
11 1.6 Novelty Sumbangan pemikiran baru dari penelitian ini ialah memberikan informasi dan pendekatan baru dalam menyusun kebijakan dan strategi pembangunan daerah dalam pengelolaan hutan mangrove di Teluk Jakarta berdasarkan aspirasi pemangku kepentingan yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi sumberdaya yang ada dan fungsi ekosistem mangrove, sehingga pemanfaatan hutan mangrove dapat berkelanjutan khususnya di era otonomi daerah.