1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang dikenal sebagai sumber utama penghasil minyak nabati sesudah kelapa. Minyak sawit kaya akan pro-vitamin A dan vitamin E terutama dalam bentuk tokoferol dan tokotrienol. Kelapa sawit selain penghasil minyak nabati juga dapat dimanfaatkan dalam bidang non pangan sebagai bahan industri tekstil, farmasi, kosmetik, sabun dan biodiesel (Hariyadi, 2010). Kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Masa produksi kelapa sawit cukup panjang sekitar 22 tahun sehingga mempengaruhi biaya produksi, serta tahan terhadap hama dan penyakit. Konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata – rata 25 kg/tahun setiap orang, dan akan terus meningkat sesuai pertambahan penduduk (Badrun, 2010). Pada tahun 1980-an, Indonesia menjadi produsen terbesar minyak kelapa sawit dan memiliki lahan berkisar 294.000 hektar. Pada tahun 2010, lahan sawit terus berkembang hingga mencapai 7,8 juta hektar dan menempati posisi pertama dalam produksi minyak kelapa sawit. Indonesia mampu menghasilkan 20 juta ton minyak kelapa sawit CPO (Crude Palm Oil) per tahunnya (Lubis, 2012). Kelapa sawit Tenera merupakan hasil hibridisasi antara Dura dan Pisifera. Tenera merupakan jenis kelapa sawit bibit unggul karena memiliki sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertile, presentase daging perbuahnya dapat mencapai 90% dan kandungan minyak pertandannya dapat mencapai 28%.
1 1
2
Seiring peningkatan konsumsi akan minyak nabati di dunia dan khususnya di Indonesia, maka sangat tidak memungkinkan jika pelestarian kelapa sawit masih mengharapkan cara konvensional. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat diambil untuk pemecahan masalah tersebut adalah pengembangan teknik kultur jaringan yang dapat menghasilkan bibit yang seragam dan tidak bergantung pada musim, sehingga tidak terkendala oleh lingkungan. Kultur jaringan telah terbukti dapat menyediakan bibit berbagai tanaman yang akan digunakan secara luas terutama pada tanaman semusim. Melalui kultur in vitro tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan, karena faktor perbanyakannya tinggi. Penggandaan biakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan
melalui
jalur
organogenesis
dan
embriogenesis
somatik
(Purnamaningsih, 2002). Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Eksplan yang digunakan dapat berbeda tergantung jenis tanaman dan tahap perkembangan dari eksplan. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdifferensiasi lanjut, hal ini disebabkan karena pada jaringan muda masih tersusun oleh sel – sel yang aktif membelah. Embriogenesis sangat menguntungkan karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan cara yang konvensional. Selain itu, teknik in vitro melalui embriogenesis somatik dapat diinduksi dari berbagai tipe eksplan. Eksplan yang diperoleh dari bunga betina kelapa sawit sangat berpotensi untuk menghasilkan embrio somatik (Guedes et al., 2011). Hal ini dikarenakan sifatnya yang meristematis dan juga pengambilan eksplan dalam jumlah banyak tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman induk.
2
3
1.2.
Permasalahan
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih, 2002). Proses embriogenesis somatik telah berhasil digunakan dengan menggunakan medium padat dan cair. Keuntungan yang dapat diperoleh dari embriogenesis somatik antara lain penggandaan dapat dilakukan jumlah banyak, meningkatkan dalam informasi genetik dan produksi biji sintetis (Inpuay et al., 2012). Embriogenesis somatik memiliki keuntungan jika diinduksi dari beberapa tipe eksplan, seperti eksplan yang didapat dari pembungaan. Pembungaan yang dewasa dapat lebih menjanjikan, karena jumlah meristem bunga pada proses pembungaan cukup tinggi dan sumber eksplan itu sendiri tidak terbatas, selain itu eksplan dapat diperoleh dari tanaman dewasa tanpa harus menyebabkan kerusakan pada tanaman induk (Guedes et al., 2011). Bagian tanaman yang didapat dari eksplan berupa bunga betina dapat dikulturkan untuk inisiasi kalus, kultur kalus bertujuan untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, tunas, endosperm, dan mesofil), tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Menurut Endress (Pandiangan, 1994) bahwa inisiasi kalus sebaiknya menggunakan eksplan dari jaringan muda. Eksplan tersebut mempunyai kondisi fisiologis untuk dapat di induksi membentuk kalus pada medium nutrisi yang tepat, setelah terlebih dahulu disterilisasi dan dipotong – potong dalam ukuran kecil. Kalus merupakan suatu kumpulan sel – sel amorphous yang terbentuk dari sel – sel jaringan awal yang membelah diri secara terus – menerus. Kalus merupakan materi essensial dalam kultur jaringan, hormon yang biasa digunakan untuk inisiasi kalus adalah auksin karena auksin berperan langsung dalam merangsang pembentukan kalus. Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras 3
4
dan kompak, Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). (George & Sherrington, 1984). Embriogenesis somatik melalui kalus merupakan metode perbanyakan dengan teknik kultur jaringan, melalui embriogenesis somatik jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan memiliki peluang transformasi yang lebih tinggi karena embrio somatik dapat berasal dari satu sel somatik. Embriogenesis somatik yang berasal dari eksplan bunga betina dengan perbedaan posisi atau zona dan jenis konsentrasi zat pengatur tumbuh merupakan kajian yang masih belum lengkap hasilnya saat ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui posisi eksplan bunga betina dan konsentrasi yang sesuai untuk induksi kalus embriogenik, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh zona eksplan bunga betina dan perbedaan konsentrasi yang diberikan.
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Membentuk embrio somatik dengan kultur kalus dari eksplan bunga betina kelapa sawit jenis Tenera. 2) Mencari pertumbuhan terbaik eksplan bunga betina pada posisi tandan yang berbeda untuk inisiasi kalus pada tanaman kelapa sawit. 3) Mencari konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terbaik untuk pertumbuhan kalus dari eksplan bunga betina
4
5
1.4.
Hipotesis Penelitian
1) Embriogenesis somatik melalui inisiasi kalus bunga betina kelapa sawit dapat menghasilkan bibit sawit dalam jumlah yang banyak dan hasil yang seragam. 2) Eksplan bunga betina pada pengambilan dari daerah basal tandan akan berpotensi untuk inisiasi kalus sehingga menghasilkan embrio somatik. 3) Konsentrasi 2,4 – D sebanyak 132 mg/L memberikan pertumbuhan terbaik pada kultur jaringan dari eksplan bunga betina kelapa sawit.
1.5.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan : 1) Memberikan informasi tentang inisiasi kalus dengan embriogenesis somatik kelapa sawit. 2) Memberikan informasi tentang posisi bunga betina pada tandannya sebagai sumber eksplan dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit. 3) Memberikan informasi tentang konsentrasi 2,4 D yang sesuai bagi eksplan bunga betina dalam proses regenerasi tanaman kelapa sawit.
5