BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d’Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan termasuk dalam kategori ”endangered” (IUCN, 2004) yang berarti mempunyai populasi dalam tahap terancam punah sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dalam perlindungan.
Populasi banteng
mengalami penurunan hingga 80% dalam 20 tahun terakhir, sehingga jumlah banteng pada saat ini tidak lebih dari 8000 ekor di seluruh dunia. Penyebab utama penurunan populasi banteng adalah perburuan oleh manusia, berkurangnya habitat banteng dan degradasi terhadap habitat yang tersisa (Alikodra, 1983).
Sedangkan menurut IUCN (2004), ancaman utama
terhadap kelestarian banteng adalah: 1)hilang atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk; 2)spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor); 3)perburuan; dan 4)perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/patogen. Menurut Soewadji dalam KapanLagi (2003), faktor penyebab penurunan populasi banteng yang umum adalah perburuan liar dengan menggunakan jebakan tradisional maupun senjata api, namun berburu satwa liar pada saat ini telah ditinggalkan setelah masyarakat mengetahui adanya pelarangan perburuan dalam undang-undang dan bahaya dari aktivitas tersebut. Pada dasarnya setiap kawasan konservasi memiliki penyebab dinamika populasi banteng yang beragam dan berbeda.
Penurunan jumlah banteng di Taman Nasional Meru
Betiri terjadi karena perpindahan banteng keluar kawasan. Sedangkan di Taman Nasional Alas Purwo, dinamika populasi banteng disebabkan pemangsaan berlebihan oleh ajak (Iskandar dalam Gatra, 2004). Penyebab penurunan populasi banteng di Taman Nasional Baluran, terutama di padang savana, hingga saat ini masih menjadi pertanyaan karena berbagai upaya yang dilakukan belum memberikan hasil yang optimal. Penjarangan kerbau pada 1990 telah dilakukan di Taman Nasional Baluran dan eradikasi tanaman eksotik Acacia nilotica di padang savana sejak tahun 1993
2 untuk mengatasi penurunan populasi banteng, tetapi hingga saat ini belum diperoleh hasil yang menunjukkan penurunan populasi banteng karena dikonsumsi ajak. Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang termasuk golongan ruminansia. Wilayah penyebaran banteng berada di Indonesia, Myanmar, Indo China, Thailand dan Malaysia Barat dengan tingkat penyebaran di wilayah tersebut rata-rata berada di kawasan lindung (Huffman, 2005).
Salah satu
kawasan lindung di Indonesia yang merupakan habitat banteng adalah Taman Nasional Baluran. Taman Nasional Baluran merupakan bagian dari upaya konservasi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.
Sebelumnya, sekitar tahun
1935, kawasan Baluran ditetapkan sebagai taman margasatwa oleh pemerintah Belanda. Status kawasan Baluran berubah menjadi taman nasional pada tahun 1982 melalui surat keputusan Menteri Pertanian RI No. 327/Kpts/Um/7/1972. Pada tahun 1997, keluar surat keputusan Menteri Kehutanan No. 279/KptsVI/1997 tanggal 25 Mei 1997 yang menyatakan luas kawasan taman nasional sebesar 25.000 ha, meliputi wilayah daratan seluas 23.713 ha dan perairan seluas 1.287 ha. Kemudian terjadi revisi luasan wilayah dengan adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 187/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999, yang menyatakan bahwa luas Taman Nasional Baluran terdiri dari 23.937 ha wilayah daratan dan 1.063 ha wilayah perairan (Departemen Kehutanan, 2004). Habitat yang tersedia untuk banteng di Taman Nasional Baluran sangat beragam.
Banteng bergerak dalam habitatnya sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan pakan dan tempat beraktivitas hidup, yaitu bereproduksi, berkembang biak dan memelihara anak-anaknya.
Salah satu komponen penting dalam
habitat banteng adalah padang rumput atau savana. Satu-satunya padang savana alamiah di Jawa terdapat di Taman Nasional Baluran dengan luas mencapai 10.000 ha atau sekitar 40% dari luas kawasan. Padang savana merupakan sumber pakan utama banteng dan beberapa jenis satwa terestrial lain di Baluran, seperti, rusa dan kerbau liar pada musim kemarau. Padang savana merupakan tempat bersosialisasi antara satwa jantan dan betina serta antara kelompok satwa, termasuk perkawinan dan mengasuh anak yang memerlukan luasan tertentu untuk berbagai kegiatan satwa tersebut. Oleh karena itu, gangguan terhadap struktur padang savana dapat mengurangi
3 intensitas pemanfaatan oleh satwa.
Gangguan ini dapat berupa masuknya
spesies eksotik. Awalnya Acacia nilotica diintroduksi ke dalam Taman Nasional Baluran pada tahun 1963, sebagai tanaman sela untuk sekat bakar (fire break) di daerah hutan jati Perhutani Baluran.
Kemudian pada tahun 1969 jenis akasia ini
ditanam pula di savana Bekol sebagai tanaman pagar untuk mencegah kebakaran padang savana di Baluran. Masuknya Acacia nilotica yang merupakan jenis asing invasif ke sejumlah kawasan savana menekan populasi vegetasi padang rumput endemik yang menjadi pakan satwa, seperti Arundinela setosa (lamuran), Dochantium caricosum (lamuran putih), Sorghum nitidum (padi-padian), Brothriochloa modesta, dan Heteropogon contortus (merakan). Kehadiran Acacia nilotica yang merupakan tumbuhan tahan api menghalangi suksesi padang savana yang terbentuk secara alami melalui kebakaran (Ewusie, 1990). Satwa herbivora (termasuk banteng) mengkonsumsi hijauan Acacia nilotica muda sebagai sumber protein. Namun, satwa tidak dapat mengambil hijauan setelah Acacia nilotica tumbuh besar membentuk pohon. Satwa juga tidak suka bernaung di bawah Acacia nilotica karena batangnya berduri keras dengan tajuk berbentuk payung sehingga jarak antara pohon menjadi semakin kecil dan mempersempit ruang gerak satwa. Dengan tingkat percepatan tumbuhan akasia di Baluran mencapai 100-200 ha/tahun, pada tahun 2000 tumbuhan Acacia nilotica telah menginvasi 50% dari luas savana (Mutaqin, 2001). Kelestarian satwa herbivora, terutama banteng, di Taman Nasional Baluran saat ini, tengah mengalami ancaman serius karena terjadinya perubahan habitat dengan masuknya jenis asing invasif Acacia nilotica yang mengganggu kestabilan ekosistem padang savana (Muttaqin, 2001).
1.2. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem pelestarian banteng di Padang Savana Bekol Taman Nasional Baluran. Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu: 1. Mengidentifikasi dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan banteng di Padang Savana Bekol 2. Mengidentifikasi pengaruh Acacia nilotica terhadap habitat banteng 3. Membangun model pergerakan banteng di Padang Savana Bekol
4 1.3. Kerangka Pemikiran
Kawasan Taman Nasional Baluran kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki ekosistem yang lengkap yang terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan savana dan hutan musim (dataran tinggi dan dataran rendah). Baluran memiliki lebih kurang 27 jenis mamalia di mana 14 jenis merupakan langka dan dilindungi. Banyak satwa liar yang sudah jarang dan langka dapat dilihat, seperti banteng (Bos javanicus), ajak (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), ayam hutan (Gallus sp.), merak (Pavo muticus), kerbau liar (Bubalus bubalis), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp.), rusa (Cervus timorensis), kucing hutan (Felis bengalensis), monyet ekor panjang (Macaca sp.), biawak (Varanus salvator) dan masih banyak lagi. Keberadaan Acacia nilotica menimbulkan dampak yang negatif karena menghalangi terjadinya kebakaran untuk suksesi vegetasi padang savana secara alami (Ewusie, 1990). Tumbuhan ini juga menekan populasi vegetasi endemik pakan satwa herbivora karena memiliki zat alelopati yang mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya (UGM, 1993). Menurut Barata (2000), biomassa tumbuhan bawah dalam naungan Acacia nilotica pada tingkat tiang-pohon 96% lebih kecil daripada biomassa tumbuhan bawah dalam naungan tingkat semai-pancang. Jika dibandingkan pada kondisi savana yang terbuka, biomassa tumbuhan bawah ini hanya mencapai 1,35%. Pada kerapatan Acacia nilotica sekitar 3000 batang/ha, jarak yang tersedia antara tumbuhan berkisar kurang dari 1 meter. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap kelangsungan kehidupan banteng yang terdiri dari jumlah populasi banteng saat ini, laju kelahiran dan kematian banteng, aktivitas makan dan aktivitas sosial dan kapasitas tampung habitat yang digambarkan dari ketersediaan pakan berupa produktivitas dan komposisinya dan pengaruh adanya invasi Acacia nilotica baik populasi, percepatan tumbuh maupun kawasan yang terinvasi dan laju eradication oleh pengelola Taman Nasional Baluran. sistem
ini
diharapkan
akan
dapat
membentuk
Pendekatan-pendekatan model
yang
dapat
menggambarkan kondisi pelestarian satwa banteng pada saat ini dan potensi manajemen pada saat mendatang yang dapat disimulasikan melalui model. Skema kerangka pemikiran untuk penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
5
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
1.4. Perumusan Masalah
Ancaman keanekaragaman hayati yang terjadi di Taman Nasional Baluran pada saat ini menunjukkan adanya degradasi keanekaragaman spesies padang rumput. Hal ini dapat terjadi karena degradasi lingkungan akibat perubahan iklim global dan aktivitas manusia yang merusak ekosistem padang rumput Taman Nasional Baluran diantaranya perambahan hutan, perburuan dan pengenalan spesies asing yang bersifat invasif ke suatu habitat alami. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati akibat spesies asing invasif di Taman Nasional Baluran pada saat ini sangat tinggi, diantaranya terhadap kelestarian satwa banteng dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran. Gangguan terhadap satwa banteng di Taman Nasional Baluran mulai terjadi dengan masuknya Acacia nilotica ke padang savana sehingga mengganggu aktivitas dan mobilitas satwa dalam padang savana.
6 Permasalahan yang dihadapi pengelola Taman Nasional Baluran dalam pelestarian satwa banteng saat ini secara ringkas terangkum dalam Tabel 1. Tabel 1. Permasalahan dalam Manajemen Pelestarian Banteng No. Formulasi Masalah
Informasi
1.
Meningkatnya populasi Acacia nilotica
Acacia nilotica menjadi jenis asing invasif yang membahayakan ekosistem Padang Savana Bekol
2.
Penurunan kapasitas tampung padang savana
Pertumbuhan gulma Acacia nilotica menginvasi Padang Savana Bekol sehingga menekan pertumbuhan vegetasi endemik pakan satwa dan menurunkan kapasitas tampung padang savana
3.
Berkurangnya bagi satwa
gerak
Invasi Acacia nilotica ke padang savana mengurangi tempat melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak
4.
Meningkatnya populasi gulma lain
Ruang kosong bekas Acacia nilotica yang ditebang ditumbuhi oleh jenis gulma lain
5.
Persaingan antara satwa pengguna padang savana
Invasi Acacia nilotica ke padang savana telah mengurangi luasan savana sehingga menyebabkan terjadinya persaingan antara satwa yang ada di padang savana
6.
Tekanan populasi banteng
Terjadi penurunan daya dukung banteng karena dalam perkembangbiakannya, banteng membutuhkan pakan yang mencukupi dan ruang gerak yang memadai untuk melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin, serta mengasuh dan membesarkan anak
ruang
Permasalahan dalam pelestarian satwa banteng dalam Taman Nasional Baluran akibat invasi Acacia nilotica dapat dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan antara habitat banteng dengan keberadaan Acacia nilotica di Padang Savana Bekol, Taman Nasional Baluran? 2. Bagaimana kapasitas tampung padang savana sebelum dan sesudah mengalami pengaruh invasi Acacia nilotica? 3. Bagaimana model dinamika populasi banteng yang memanfaatkan padang savana Bekol? Hubungan antara faktor dalam permasalahan dinamika populasi banteng di Padang Savana Bekol dapat ditelusuri dengan mekanisme umpan balik antara parameter yang berhubungan.
Melalui mekanisme ini dapat diketahui sifat
7 hubungan antara faktor baik yang bersifat positif maupun negatif. Hubungan ini dapat digambarkan dalam loop umpan balik (Gambar 2.)
Gambar 2. Mekanisme Umpan Balik antara Faktor dalam Habitat Pelestarian Banteng di Padang Savana Bekol
1.5. Hipotesis
Penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: 1. Keberadaan Acacia nilotica berpengaruh negatif terhadap kehadiran banteng di Padang Savana Bekol 2. Acacia nilotica menurunkan produktivitas hijauan pakan dan ruang gerak satwa banteng 3. Berkurangnya ruang gerak satwa berpengaruh negatif terhadap dinamika pergerakan satwa banteng
1.6. Manfaat Penelitian
Model dinamika konservasi banteng yang berbasis ekosistem dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai informasi dasar mengenai dampak perubahan habitat terhadap populasi banteng bagi pengelola Taman Nasional Baluran.