BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan tersebut adalah dengan adanya layanan Rumah Sakit. Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang dituntut agar mampu mengelola kegiatannya dengan mengutamakan tanggungjawab tenaga profesional bidang yang dimiliknya, baik itu tenaga profesional kesehatan maupun non kesehatan. Dalam menjalankan aktifitas pelayanannya, rumah sakit memiliki tenaga medis dan tenaga keperawatan yang mempunyai uraian tugas dan kewenangan klinis yang jelas, demi tercapainya layanan kesehatan yang bermutu dan profesional. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepadamasyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adlah ilmu pengetahuan, teknologi dan kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus di pertahakan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi. Dokter dalam keilmuannya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hokum yaitu diperkenakannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan manusia. Maraknya tuntutan hokum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undangundang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan dalam upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecanggihan system penyampaian informasi, membuat masyarakat semakin mudah dan cepat mengakses informasi yang 1
mereka inginkan melalui internet. Pada zaman sekarang pasien dan keluarga pasien bisa saja berdiskusi dengan Dokter tentang penyakitnya, hal ini dikarenakan biasanya sebelum berkonsultasi ke dokter mereka sudah terlebih dahulu mencari informasi melalui internet mengenai penyakit atau keluhan yang dirasanya. Dengan munculnya budaya seperti ini, maka secara tidak langsung dokter harus selalu meningkatkan keilmuannya, karena pasien akan semakin kritis dan gampang menuntut jika mereka tidak puas atau merasa tertipu. Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu. Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif, misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan. Akhir-akhir ini, perbincangan masalah yang menyangkut profesi kedokteran dan bidang hukum semakin ramai dan menarik banyak minat berbagai kalangan, khususnya orang-orang yang mempunyai kaitan dengan profesi hukum dan kedokteran. Hal tersebut merupakan hal yang positif, dan sekaligus menunjukkan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat. Cara berpikir masyarakat menjadi semakin kritis terhadap berbagai aspek kehidupan. Banyak hal yang tadinya tidak menjadi pusat perhatian kini mencuat ke permukaan dan menjadi sorotan masyarakat. Misalnya saja mengenai masalah malpraktik, yang merupakan masalah hukum yang dihadapi dalam praktik kedokteran. Dalam pembicaraan mengenai masalah malpraktik kita tidak hanya membicarakan masalah hukum dan praktik kedokteran belaka, tetapi kitapun harus pula menyoroti hubungan timbal balik antara profesi kedokteran dan masyarakat. Antara dokter dan pasien ada saling ketergantungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak masyarakat memerlukan kehadiran dokter 2
untuk menyembuhkan penyakitnya, sedang di pihak lain dokter dalam menjalankan profesinya membutuhkan masyarakat. Bidang medis telah mengalami perkembangan yang amat pesat. Melalui pengetahuan dan teknologi medis yang serba modern, diagnosis suatu penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna sehingga pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif dan efisien. Dengan peralatan dan obat-obatan kedokteran yang modern, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan; bahkan hidup seorang pasien pun dapat “diperpanjang” untuk waktu tertentu dengan bantuan alat-alat dan obat-obatan tersebut. Demikian pula cepat atau lambatnya proses kematian seorang penderita, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi modern tersebut.
1.2 Rumusan masalah Makalah ini akan membahas pertanggungjawaban hukum (medical liability) yang dibebankan kepada seorang dokter terkait pelayanan praktik kedokteran
1.3. Tujuan Penulisan a. Untuk mengetahui hubungan hukum antara dokter, pasien dan penyedia sarana kesehatan b. Untu mengetahui bagaimana pertanggung jawaban hukum (Medical Liability) yang diterima pasien akibat pelayanan kesehatan yang diberikan
BAB II 3
PEMBAHASAN 2.1. Aspek Hukum Medical Liability Perlindungan hukum bagi pasien erat kaitannya dengan perlindungan konsumen yaitu pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi pasien dimaksudkan sebagai tindakan untuk melindungi pasien jika ada kelalaian maupun kesalahan dokter ataupun tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik. Disebut kelalaian medik karena kelalaian ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik. Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan tindakan medik, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan ataupun kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan. Selain mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat pentingkarena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat yang permanen. Sebagai bagian dari perlindungan hukum bagi pasien baik yang bersifat preventif maupun represif dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 4 dinyatakan bahwa : (1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. (2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.
4
Berdasarkan penjelasan pasal di atas mengenai Konsil Kedokteran Indonesia bahwa Konsil Kedokteran Indonesia terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi yang memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Hal in penting untuk diketahui pasien terkait perlindungan hukumnya terutama dalam fungsi pembinaan dari Konsil Kedokteran Indonesia karena erat kaitannya dengan penyelenggaran praktik kedokteran baik oleh dokter maupun dokter gigi. Selain itu, pasien merasa aman karena penyelenggaraan praktik kedokteran telah diawasioleh Konsil Kedokteran Indonesia sehingga dokter maupun dokter gigi dalam menyelenggarakan praktiknya lebih berhati-hati dan teliti. Di Indonesia penyelesaian kasus kelalaian medik berdasarkan mediasi dapat diselesaikan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa : Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas: a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang menjalankan tugasnya bersifat independen. Selanjutnya diperjelas lagi pada pasal 66 Undang-undang Nomor 29 tentang Praktek Kedokteran yang berbunyi: 1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesi kedokterannya dapat
5
mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia 2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: a. Identitas Pengaduan b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan c. Alasan pengaduan 3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepeda pihak yang berenang dan atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktek kedokteran yang meraka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalaui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang merupakan jalur nonlitigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien atau keluarga pasien yang menduga telah terjadinya kelalaian atas diri pasien tidak menutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana. Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menangani pengaduan masyarakat, sesuai dengan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran: “ Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi” Kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan. Apabila hal itu dilakukan oleh doker, baik dengan sengaja maupun karena kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kepada pasien, maka pasien atau keluarganya dapat meminta tanggung jawab hukum (responsibility) pada dokter yang bersangkutan.
6
Bentuk tanggung jawab hukum yang dimaksud disini meliputi tanggung jawab hukum perdata, tanggung jawab hukum pidana, dan tanggung jawab hukum administrasi. Jika pertanggungjawaban ini dibatasi pada hubungan hukum antara pasien dengan dokter yang didasarkan pada suatu transaksi atau perjanjian terapeutik, keduanya dimata hukum sama sederajat. Untuk melihat lebih jelas dan terang tentang kesalahan (kesengajaan ataukelalaian), adalah hal hal yang menyangkut tentang atau yang berkaitan dengan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan dokter. Hak dan kewajiban tersebut meliputi : 1.
Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan
2.
persetujuan untuk menerima perawatan Masalah persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter atau
3.
tenaga kesehatan Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan perawatan. Hal ini banyak sekali hubungannya dengan masalah kealpaan dan standar pelayanan medis Di dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum
(liability) : 1.
Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji
2.
sebagaimana diatur dalam pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam bidang pidana, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi dapat dimintai tanggung
jawab pidana. Ketentuan yang dapat diterapkan adalah ketentuan yang terdapat dalam pasal 359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pelanggaran dalam ketiga ketentuan itu adalah tindakannya yang menyebabkan matinya orang atau luka karena kehilafan.
7
Aspek hukum administrasi tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi disini dilihat dari sudut kewenangannya, yaitu: Apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak melakukan perawatan? Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan berbagai persyaratan, salah satu persyaratan yang paling penting adalah izin dari Menteri Kesehatan RI. Dengan adanya izin tersebut, barulah dokter yang bersangkut an berwenang melakukan tugas sebagai pelayan kesehatan, baik pada instansi pemerintah maupun pada instansi swasta atau melakukan praktek secara perorangan 2.2. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Tenaga Kesehatan dalam Melaksanakan Tindakan Medik Dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana salah satu klausulanya menentukan bahwa yang merupakan salah satu prinsip pertangggungjawaban karena kesalahan dalam perbuatan melawan hukum adalah termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini didasarkan pada suatu teori yang dikenal dengan nama “teori hubungan majikan dengan buruh” atau juga yang dikenal dengan istilah doktrin respondeat superior. Ditentukannya pertanggungjawaban majikan dalam pasal 1367 Kitab UndangUndang Hukum Perdata atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh bawahan untuk menjamin kepastian berhasilnya ganti rugi. Penerapan doktrin respondeat superior ini mempunyai dua tujuan pokok yaitu: 1. Adanya jaminan bahwa ganti rugi yang dibayar pada pasien yang menderita kerugian akibat tindakan medik dokter 2. Hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter Untuk mengajukan gugatan terhadap Rumah Sakit, dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur sebagai berikut:
8
1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodic kepada dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan 2. Majikan atau rumah sakit mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang harus ditaati bawahannya 3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan 4. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien Berkaitan dengan tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan terutama tanggung jawab hukum Rumah Sakit, dalam hal ini sebagai suatu badan hukum yang memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa melalui dua cara: 1. Langsung sebagai pihak pihak pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi 2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan melawan hukum. Hukum Perdata membedakan kategori Rumah Sakit selaku pihak tergugat (korporasi) yaitu Rumah Sakit pemerintah dan Rumah Sakit swasta. Berkaitandengan Rumah Sakit pemerintah, maka manajemen Rumah Sakit pemerintah, Dinas Kesehatan/ Menteri Kesehatan dapat dituntut. Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena pegawai yang bekerja pada Rumah Sakit Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan untuk manajemen Rumah Sakit swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia. Jika diamati dengan seksama maka layanan yang diberikan oleh Rumah Sakit kepada pasien yang dirawat dapat dirinci menjadi: a. Medical care (Pengobatan Kesehatan) b. Nursing care (Keperawatan; hal-hal yang dilakukan perawat) c. Supportive care (Penggunaan alat-alat penunjang medik dan nonmedik) Untuk kesalahan yang menyangkut management error maka tanggung jawabnya dibebankan kepada Rumah Sakit. Oleh sebab itu, Rumah Sakit dituntut untuk menerapkan 9
manajemen yang baik; seperti selalu melakukan control terhadap semua peralatan medik dan nonmedik serta dengan teratur melaksanakan kalibrasi terhadap semua peralatan medik yang menurut peraturannya wajib dikalibrasi. Untuk kerugian yang disebabkan oleh medical error, sangat tergantung pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai attending physician (mitra) maka Rumah Sakit berdasarkan prinsip umum tidak bertanggung jawab atas kesalahan dokter, tetapi kedua belah pihak (Rumah Sakit dan dokter) dapat membuat kesepakatan tersendiri yang di dalamnya meliputi pula pembagian presentase tanggung gugat apabila pada suatu waktu harusmembayar ganti rugi. Bila status dokter sebagai employee (agent/pekerja) maka berdasarkan doktrin respondeat superior, tanggung gugatnya dapat dialihkan kepada Rumah Sakit sebagai employer (bos/penyedia pekerjaan). 2.3. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan tanggungjawab tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang karena keawamannya tidak mengetahui apa yang terjadi pada waktu tindakan medik dilakukan, hal ini dimungkinkan karena informasi dari dokter tidak selalu dimengerti oleh pasien. Seringkali pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian, sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Yang seringkali menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap kesalahan/kelalaian yang diperbuat oleh dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan kadang-kadang kalau ada sesuatu hal yang diduga terjadi malpraktek, maka dipakai oleh pasien sebagai kesempatan untuk memaksa dokter membayar ganti rugi. Pada penentuan bersalah tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya dokter sangat rentan terhadap publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan menjadi sorotan di media massa, 10
membayar komplain pasien, tanpa melalui proses hukum. Kesalahan ini sering disalah gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan melindungi dirinya dengan berbagai cara untuk menghindari gugatan dari pasien. Salah satu cara yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu asuransi ; atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena biaya pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban. Sebenarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan dan diketahui oleh para dokter pada umumnya, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan dan kelalaian dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk memahami ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi di samping memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik. Kalau dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri perjanjian pada umumnya, karena obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan “kesembuhan” pasien, melainkan mencari “upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien. Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang “upaya” atau disebut (Inspanings verbintenis ) bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut (Resultaatverbintenis). Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara lain karena ; pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua 11
belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed consent). Di Indonesia informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya. Sebab dalam konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya sesuai dengan standard operasional (SOP). 2.4. Malpraktek dan kelalaian Kamus Besar bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan: “praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik”. Malpraktek kedokteran adalah sebuah proses yang melibatkan kesalahan prosedur penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dimaksud diantaranya adalah kesalahan pada diagnosa, kesalahan pemberian obat, kesalahan pemberian terapi atau kesalahan penanganan pasien oleh dokter. Dalam semua kasus malpraktek kedokteran, pasien tentu adalah pihak yang dirugikan. Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun lebih dari itu bisa saja berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga. Adami Chazawi menyebutkan bahwa malpraktik medic terjadi kalau dokter atau orang yang ada di bawah 12
perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang; dengan menimbulkan akibat (causal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter. a. Kelalaian medik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kelalaian dari asal kata lalai
yang
berarti
“tindakan
yang
kurang
hati-hati,
tidak
mengindahkan
(kewajiban,pekerjaan,dsb.), lengah”. Dalam An Indonesian-English Dictionary 3th Edition, Kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness. Dalam kamus Hukum Edisi lengkap, terjemahan dari: culpa (Lat.) atau schuld (Bld.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah “kekhilafan atau kelalaian yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut”. Jenis kelalaian Menurut teori hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: 1. Kealpaan ringan (culpa levissima) 2. Kealpaan berat (culpa lata) Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut dengan tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud, yaitu: (1). Orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya, dan (2). Orang yang memiliki kategori lebih. (Dr.Ari Yunanto). Unsur-unsur kelalaian. Untuk lebih berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut J.guwandi, harus dipenuhi 4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu : 1. Duty to Use Due Care
13
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara dokter dan pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya. 2. Deriliction (Breach of Duty) Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat di dalam situasi dan keadaan yang sama. 3. Damage (Injury) Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah “cedera atau kerugian” yang diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah (injury) tidak saja dalam benyuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain. 4. Direct Causation (proximate Cause) Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat.
14
Perbedaan malpraktik medik dengan kelalaian medic Terminologi malpraktek medik (malpraktic medic) dan kelalaian medic merupakan 2 hal yang berbeda. Kelalaian medic memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga kerena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakantindakan yang dilakukan dengan sengaja (international, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu: (J.Guwandi : 1994)
Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang
berlaku. Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan kerena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
b) Tindakan medik Tindakan medik adalah tindakan professional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengulangi penderitaan (samsi Jacobalis : 2005 ) c) Risiko medik ( Untoward Result) Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satusatunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. (Dr. Ari Yunanto : 2010) Kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan , bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidak sengajaan atau kesalahan 15
yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang professional harus selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi. d) Kecelakaan Medik (medical mishap) "Kecelakaan Medis" (medical mishap, misadventure, accident) adalah sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan, sehingga tidak dihukum. Kecelakaan adalah lawan dari kesalahan, kecelakaan mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya (voorzienbaarheid: Jonkers). (J.Guwandi : 2007) Asalkan kecelakaan ini merupakan kecelakaan murni, dimana tidak ada unsur kelalaiannya. Hal ini disebabkan karena didalam Hukum Medis yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadinya akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting untuk diketahui. Untuk itu dipakailah tolok ukur, yaitu Etik Kedokteran dan Standar Profesi Medis. Sebagaimana diketahui Hukum Pidana pertama-tama melihat dahulu akibat yang ditimbulkan, baru motif dari tindakan tersebut. (J.Guwandi : 2007) Untuk itu kita mengambil salah satu kamus, yaitu :The Oxford Illustrated Dictionary (1975)yang antara lain merumuskan "Kecelakaan" sebagai : Suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tidak disengaja. Sinonim yang bisa disebutkan adalah : "accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck". Namun tentunya tidaklah semua "tindakan yang tidak disengaja" termasuk kategori kecelakaan,
2.5. Malpraktek dan pertanggungjawaban hukumnya (medical liability) Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita 16
jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum. Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran. Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya. Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan 17
ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana. Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran. Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik. 2.6.1. Latar belakang timbulnya Malpraktek 18
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya. Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek. 2.6.2. Jenis Malpraktek 1. Malpraktek Etik Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter. Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
19
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik. 2. Malpraktek Yuridik Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi : 1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
20
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
Ada kerugian
Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
21
Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. 3. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice) Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. 4. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional) Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar. 5. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness) Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis. 6. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence) 22
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien. 7. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice) Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik. Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut : 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal. 2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). 3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf. Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan. Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
23
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan. Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja. 2.6. Penanganan Malpraktek di Indonesia Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
24
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran. Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan. Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law. Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
25
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan). Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3). Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak 26
sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal dari penelitian ini, antara lain : 1) Perlindungan hukum bagi pasien dimaksudkan sebagai tindakan preventive sekaligus represif dalam hal jika ada kelalaian maupun kesalahan dokter ataupun tenaga kesehatan dalam melaksanakan tindakan medik. Tindakan preventive dalam hal ini dapat berupa pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan berupa pembinaan maupun pengawasan terhadap dokter dan Rumah Sakit sedangkan tindakan represif berupa tindakan yang dapat ditempuh jika dikemudian hari timbul sengketa melalui jalur non-litigasi dengan
mengadukan
kasusnya
melalui
Majelis
Kehormatan
Disiplin Kedokteran
Indonesiaataupun melalui Lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa dan menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana tanpa menutup kemungkinan untuk menempuh kedua jalur tersebut baik litigasi maupun non litigasi secara sekaligus. 2) Rumah Sakit, baik yang dimiliki pemerintah ataupun swasta, merupakan organisasi yang sangat kompleks. Di sarana kesehatan tersebut banyak berkumpul pekerja professional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula peralatan yang digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu Rumah Sakit akan semakin kompleks pula permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah gampang menentukan pembagian tanggung gugatnya. Selain pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis, penyebab
27
terjadinya kerugian itu sendiri juga sangat menentukan sejauh mana Rumah Sakit dan tenaga kesehatan harus bertanggung jawab. 4.2. Saran Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut : a. Bagi Rumah Sakit hendaknya menjalankan manajemen Rumah Sakit yang baik khususnya untuk memperjelas mengenai tanggung jawab hukumnya. Tujuannya untuk memudahkan pasien menentukan apakah tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan kompetensinya atau merupakan tindakan yang berada dibawah pengawasan pihak Rumah Sakit ; b. Hendaknya bagi pasien mengetahui dengan jelas aturan atau payung hukum yang melindunginya dan dibutuhkan ketelitian serta kemauan oleh pasien untuk lebih aktif dalam penyembuhan kondisi kesehatannya ; c. Bagi dokter hendaknya menjalankan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana mestinya untuk menghindari ataupun mengurangi terjadinya kelalaian medik.
28
Daftar pustaka
Crowley, Ryan. 2014. Medical Liability Reform: Innovative Solutions for a New Health Care System. Philadelphia: American College of Physicians; Policy Paper. (Available from American College of Physicians, 190 N. Independence Mall West, Philadelphia, PA 19106.) Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. “Malpraktek dalam pelayanan Kesehatan (Malpraktek Medis)”. Bina Widya. Vol 19, No.3. Jakarta Wahyudi, Setya. 2011. Tanggung jawab Rumah Sakit terhadap Kerugian akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11 No.3. Semarang Bahder Johan Nasution,(2005). Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta Siti Kemala Rohima. 2013. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Kelalaian Tenaga Kesehatan ( Dokter ) Dalam Melaksanakan Tindakan Medik Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Pradana, Firmansyah. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Korban Malpraktik Medik yang Dilakukan oleh Dokter di Kota Makasar. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar
29
30