BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang mempunyai 17.504 pulau, tetapi selama ini proses pembangunan tidak berorientasi pada kondisi geografis kepulauan. Konsep pembangunan yang dipakai diadopsi dari negara-negara yang mempunyai karakteristik wilayah kontinental (mainland) sehingga konsep yang dipakai seringkali tidak berorientasi pada pengembangan pulau-pulau kecil. Selain itu selama 32 tahun dengan penerapan Konsep Growth Pole yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro dengan sistem sentralisasi yang dianut pada masa Orde Baru menyebabkan terjadinya polarisasi pembangunan baik secara spasial, sektoral, dan personal (pelaku pembangunan), sehingga konsep tersebut tidak memberikan proses penetesan ke bawah (Trickle down effect) seperti yang diharapkan, dan sebaliknya yang terjadi justru proses pengurasan sumber daya pada wilayah belakang (hinterland) secara besar-besaran (masive backwash effect), dan akhirnya secara spasial, sektoral dan personal terjadi kesenjangan yang besar. Provinsi Maluku Utara adalah wilayah kepulauan yang terdiri dari 395 pulau besar dan kecil, sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 tidak dihuni, dengan luas daratan 31.814,36 Km2 atau sebesar 22% dan perairan laut seluas 108.441 Km2 atau 78%, sehingga luas wilayah seluruhnya adalah 140.256,36 Km2. Pulau yang tergolong besar yaitu Pulau Halmahera dengan luas 18.000 Km2, kemudian pulaupulau kecil yaitu Pulau Obi 3.900 Km2, Pulau Taliabu 3.195 Km2, Pulau Bacan 2.878 Km2, Pulau Morotai 1.983,54 Km2 dan pulau-pulau lebih kecil lainnya yaitu Pulau Ternate 110,70 km2, Tidore 116,02 km2, Makian, Kayoa, Gebe, dan sebagainya. Pulau-pulau kecil tersebut di atas merupakan aset sumber daya alam yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan manfaat ekonomi yang tinggi, baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik, pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati kelautan maupun terestial. Keanekaragaman
tersebut selain memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat non-konsumtif yang tak ternilai harganya (Fauzi, 2003). Akibat dari sistem perencanaan pembangunan yang sentralistik, pembangunan di Provinsi Maluku Utara terpusat pada Kota Ternate yang menjadi pusat pemerintahan yang berada di Pulau Ternate (110,70 km2), sehingga terjadi ketimpangan yang besar antara wilayah Kota Ternate dengan wilayah-wilayah lain di Maluku Utara. Salah satu wilayah hinterland yang penting dan strategis untuk mendapat perhatian di Provinsi Maluku Utara adalah Kabupaten Halmahera Utara, karena sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan antar negara (wilayah terluar). Dikatakan penting karena wilayah ini disamping memiliki sumber daya alam potensial, ironisnya mempunyai tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah karena memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) pada urutan ke tujuh dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara, dan dikatakan strategis karena wilayah ini berada pada wilayah perbatasan antar negara tepat di kawasan Lautan Pasifik antara Indonesia dengan Republik Kepulauan Palau. Wilayah pulau-pulau kecil Halmahera Utara yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Morotai mempunyai jumlah pulau sebanyak 31 pulau. Secara administrasi terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan Morotai Utara, Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Selatan Barat, Kecamatan Morotai Jaya, dan Kecamatan Timur, serta terdiri dari 64 desa. Kepulauan ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara pada tahun 2003. Pulau-pulau di Kepulauan Morotai tidak semuanya berpenghuni, hanya sebanyak 6 pulau yang dihuni diantaranya Pulau Morotai mempunyai jumlah penduduk sebesar 44.865 jiwa, Pulau Rao jumlah penduduk 1.623 jiwa, Pulau Ngele-Ngele besar jumlah penduduk 447 jiwa, Pulau Saminyamau jumlah penduduk 484 jiwa, Pulau Kolorai jumlah penduduk 312 jiwa, dan Pulau Galo-Galo besar jumlah penduduk sebesar 532 jiwa sehingga total jumlah penduduk di Kepulauan Morotai sebesar 49.933 jiwa pada tahun 2004. Jumlah penduduk di Kepulauan Morotai mengalami pertambahan sebesar 7% dari jumlah sebelumnya 46. 664 jiwa pada tahun 2003, dengan pola pemukiman terpencar dan tidak merata, terkonsentrasi pada wilayah pesisir.
2
Penduduk yang mendiami Kepulauan Morotai sangat majemuk, terdiri dari Suku Galela, Tobelo, Ternate, Sangier, Buton dan Bugis, namun yang menjadi budaya dominan dan dijadikan tradisi kehidupan masyarakat di wilayah Kepulauan Morotai adalah budaya Suku Tobelo Galela dan Ternate. Dominasi budaya Suku Tobelo Galela di Kepulauan Morotai karena mayoritas penduduk yang ada di Kepulauan Morotai dihuni oleh suku Tobelo Galela, sedangkan berperannya budaya Ternate di Kepulauan Morotai karena wilayah tersebut secara historis merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Ternate. Seperti gugusan pulau kecil lainnya, Kepulauan Morotai memiliki sumber daya alam seperti pertanian tanaman pangan, yaitu ubi kayu, padi sawah dan padi ladang. Tanaman perkebunan seperti kelapa, cengkeh, pala, coklat (cacao) serta kopi. Perikanan laut yaitu jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, jenis ikan demersal, ikan karang, udang, lobster serta cumi-cumi. Selain itu juga mempunyai potensi kehutanan yang besar, kemudian kepulauan ini juga mempunyai keindahan alam pulau-pulau kecil dan taman bawah laut sebagai potensi pariwisata bahari serta beberapa situs peninggalan perang dunia II sebagai potensi pariwisata sejarah. Potensi tanaman pangan di Kepulauan Morotai di dominasi oleh ubi kayu, dengan jumlah produksi sebesar 33, 87% (1.305 Ton/Th) dari total produksi tanaman pangan di Kepulauan Morotai (khusus di Kecamatan Morotai Selatan dan Morotai Selatan Barat), sedangkan produksi padi sawah dan padi ladang hanya sebesar 12,05% (464,2 Ton/Th) dan 17,1% (659 Ton/Th). Hal ini mencirikan bahwa Kepulauan Morotai tidak terlalu bertumpu pada sektor tanaman pangan padi sawah dan ladang. Untuk tanaman perkebunan dari komoditas kelapa, cengkeh, cacao, pala serta kopi, yang menjadi dominan sebagai tanaman yang diusahakan di Kepulauan Morotai adalah tanaman kelapa. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Jenderal Perikanan dan Balai Penelitian Perikanan Laut dalam Bappeda Provinsi Maluku Utara 2006, perairan Halmahera Utara diperkirakan mempunyai potensi sumberdaya ikan laut (standing stock) sebesar 148.473,8 ton/tahun, yang berarti memiliki potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sebesar 86.660,6 ton/tahun, terdiri dari kelompok ikan pelagis sebanyak 48.946,4 ton/tahun dan kelompok ikan demersal sebanyak 32.664,2 ton/tahun.
3
Dengan pendekatan ratio luas perairan laut antara Morotai dengan Kabupaten Halmahera Utara dan asumsi ikan menyebar merata, diestimasi potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Morotai adalah 27.350,09 ton/tahun. Sementara menurut Dinas Perikanan Provinsi Maluku Utara (2005), potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Halmahera Utara sebesar 119.771 ton/tahun. Dengan pendekatan yang sama, diperkirakan potensi lestari sumberdaya ikan di perairan Morotai sebesar 37.779,73 ton/tahun. Dengan posisi Kepulauan Morotai yang berada di wilayah pasifik, menjadikan wilayah ini mempunyai potensi perikanan tangkap cakalang yang besar karena secara alamiah migrasi ikan cakalang dari laut Jepang ke lautan pasifik dan seterusnya ke Laut Maluku, Laut Halmahera, dan Laut Banda melintasi wilayah perairan Kepulauan Morotai. Menurut Arifin (2006), Kepulauan Morotai merupakan daerah penangkapan ikan cakalang yang potensial di perairan Laut Maluku. Kondisi tersebut memberikan dorongan yang kuat kepada masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan usaha perikanan tangkap khususnya komoditas cakalang di perairan Kepulauan Morotai sejak dulukala. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Utara komoditas cakalang merupakan primadona nelayan di Halmahera Utara dari jenis-jenis ikan yang ada, sehingga komoditas ini mempunyai jumlah produksi yang besar, penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan produknya yang berorientasi ekspor dengan daerah tujuan Banyuwangi dan Jakarta. Menurut Uktolseja et al. dalam Arifin (2006), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk dalam golongan tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 – 80 cm. Tuna yang termasuk tuna besar diantaranya adalah madidihang (Thunus albacares), albacare (Thunnus alalunga) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40-180 cm.
Sedangkan berdasarkan survey
pendahuluan dalam penelitian ini, nelayan di Kepulauan Morotai umumnya hanya melakukan penangkapan ikan cakalang dan sangat sedikit melakukan penangkapan ikan tuna, walaupun di Kepulauan Morotai memiliki potensi ikan tuna cukup besar. Hal ini disebabkan karena peralatan armada nelayan di Kepulauan Morotai mempunyai kapasitas mesin dan angkutan yang kecil sehingga jarak wilayah penangkapannya masih dalam kategori dekat yaitu pada wilayah 4-12 mil laut, dan dengan kondisi peralatan
4
yang tradisional sehingga hanya dapat menangkap ikan cakalang yang berukuran kecil. Dengan itu maka, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pemanfaatan komoditas ikan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. Sektor pariwisata Kepulauan Morotai mempunyai potensi yang sangat menjanjikan, wisata bahari dengan potensi alam pantai yang mempunyai panorama pasir putih dan kondisi air laut yang tenang dan jernih. Kepulauan Morotai yang dikenal dengan nama Morty pada perang dunia II dijadikan sebagai pangkalan tentara sekutu dalam penyerangan terhadap Jepang di Nusantara dan Asia timur, sehingga Pulau Morotai memiliki potensi pariwisata sejarah yang terkait dengan perang dunia II. Peninggalan perang dunia II seperti tempat persembunyian Jenderal Mac Arthur Panglima perang tentara Sekutu di Pasific, Tempat persembunyian Panglima Tentara Jepang dan peninggalan lainnya. Bukti sejarah yang paling monumental lainnya adalah bandar udara yang mempunyai 7 landasan pacu (run way) dengan ukuran landasannya 60 x 2.7 km. Landasan tersebut dibuat dari batu alam sehingga masih dalam kondisi baik. Sementara ini bandara tersebut digunakan sebagai pangkalan TNI-AU yang hanya mengfungsikan 1 landasan pacu (run way). Salah satu problem utama dalam pembangunan kelautan sejak Orde Baru sampai saat ini adalah bagaimana menciptakan suatu kelembagaan yang menunjang pengelolaan sumber daya kelautan (Kusumastanto, 2003). Selanjutnya menurut Fauzi (2005), ada beberapa faktor yang menjadi kendala untuk mengembangkan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, selain kendala biofisik yang ditandai dengan semakin menurunnya kemampuan kapasitas sumber daya untuk menyuplai kebutuhan permintaan akibat terdegradasinya sumber daya perikanan, di sisi lain kendala ekonomi dan kelembagaan tidaklah kalah penting dengan kendala biofisik tersebut. Dalam perspektif sejarah, karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kepulauan Morotai merupakan bagian dari karakteristik budaya Moloku Kie Raha (Maluku Utara). Secara umum masyarakat Kepulauan Morotai memegang erat adat istiadat dibawah pengaruh Kesultanan Ternate, sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani yang mengusahakan pertanian tanaman keras atau perkebunan. Tanaman perkebunan yang paling banyak diusahakan adalah tanaman kelapa, sedangkan perikanan adalah perikanan tangkap ikan cakalang.
5
Dolabololo adalah kumpulan syair yang merupakan pegangan bagi masyarakat Moloku Kie Raha yang berisi petunjuk atau arahan tentang hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Dalam memanfaatkan sumberdaya laut, para nelayan yang menangkap ikan, memegang teguh falsafah yang terkandung di dalam
Dolabololo.
Di
dalam
Dolabololo
terdapat
syair
yang
berbunyi
HAU FOMA TAI PASI MORO-MORO FO MAKU GISE yang artinya kurang lebih adalah semua nelayan adalah hamba Allah yang mencari nafkah dari harta Allah, sehingga tidak boleh ada yang disembunyikan di antara para nelayan tersebut. Ditinjau dari sosial kapital, kelembagaan di atas memberikan kekuatan tersendiri yang mendudukan para nelayan pada posisi yang sama dalam mencari nafkah. Dengan cara seperti ini telah tercipta suatu pemerataan (equity), sehingga tidak ada yang tumbuh cepat dan tidak ada pula yang “ketinggalan kereta”. Kelembagaan seperti ini sangat efektif dalam membina dan memperkokoh sosial kapital diantara mereka, dan ternyata sosial kapital ini telah terbangun selama berabad-abad, dan telah terbukti sangat ampuh dalam menghadapi berbagai gejolak perekonomian, pengaruh politik maupun pengaruh paham eksternal lainnya seperti yang dialami pada zaman penjajah (Mansyur, 1999). Selain Dolabololo, kelembagaan Dibo-dibo dikenal sebagai pedagang yang berperan dalam mengumpulkan hasil tangkapan ikan yang kemudian dijual ke pasar. Dibo-dibo memberikan keperluan nelayan sebelum mereka melaut, dapat berupa bahan makanan, umpan, maupun kebutuhan lainnya yang dibutuhkan oleh nelayan dalam mencari ikan. Hasil tangkapan mereka akan dijual kepada Dibo-dibo yang telah menunggu kedatangan para nelayan ditempat berlabuh. Selain kelembagaan lokal yang dijelaskan di atas, dalam pengelolaan sektor perikanan di Kepulauan Morotai juga terdapat kelompok-kelompok nelayan, pihak swasta dan pemerintah daerah yang mengelola sumber daya pada sektor perikanan. Namun kelompok nelayan dan swasta yang berusaha masih dalam skala kecil atau masih berada pada sektor primer dan belum berkembang pada skala yang lebih besar pada pengembangan sektor sekunder dan tersier. Sedangkan keberadaan kelembagaan pemerintah daerah dirasakan masih terbatas, baik dalam bentuk aturan-aturan (peraturan daerah) maupun organisasi/ perangkat daerah yang mengelolah sumberdaya tersebut.
6
Keragaman kelembagaan perikanan yang ada di Kepulauan Morotai mestinya menjadi suatu kekuatan yang dapat mengelola potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya. Nilai-nilai budaya dari kelembagaan perikanan lokal yang digambarkan sebelumnya sudah harus ditransformasi kedalam kelembagaan perikanan yang formal seiring dengan hilangnya peranan kelembagaan lokal tersebut, sehingga pola kelembagaan perikanan di Kepulauan Morotai baik unsur kelembagaan pemerintah daerah, kelembagaan pengusaha (swasta), dan kelembagaan nelayan yang dikelolah dengan menggunakan manajemen moderen tidak luput dari nilai-nilai budaya lokal tersebut. Hal ini penting karena dengan nilai-nilai kelembagaan yang sudah melembaga di masyarakat akan menjadi lebih mudah diaplikasi dengan menggunakan manajemen organisasi yang moderen. Diketahui bahwa saat ini kelembagaan lokal yang digambarkan di atas tidak lagi berperan dalam mengelola sumberdaya perikanan di Kepulauan Morotai, untuk itu maka dalam penelitian ini fokus kajian kelembagaan dilakukan untuk melihat pola kelembagaan pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang. Dengan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil, selama ini pemanfaatan sumber daya alam di Kepulauan Morotai tidak didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai. Prasarana dan sarana transportasi darat misalnya, saat ini belum dapat menghubungkan antara ke tiga kecamatan di Pulau Morotai, di antaranya Kecamatan Morotai Utara dengan Morotai Selatan, serta antara Morotai Utara dengan Morotai Selatan Barat, sehingga proses perdagangan antar wilayah di Kepulauan Morotai tidak berjalan sebagaimana mestinya karena mempunyai biaya transpor yang mahal. Begitu juga kondisi prasarana dan sarana transportasi laut, saat ini memiliki aksesibiltas antar pulau yang rendah karena didominasi oleh perahu nelayan dan perahu-perahu ukuran kecil. Prasarana dan sarana sub sektor perikanan juga mengalami kondisi serupa, selain peralatan dan armada penangkapan nelayan yang masih tradisional, sub sektor ini juga tidak ditunjang dengan prasarana penunjang seperti pelabuhan pendaratan ikan (PPI), stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), pabrik es dan industri pengolahan (penanganan pasca panen), sehingga produktivitas usaha nelayan belum optimal. Di sisi lain, kegiatan pengawasan yang lemah menyebabkan sering terjadi pencurian ikan
7
(illegal fishing) di perairan Kepulauan Morotai yang dilakukan oleh nelayan asing dari Negara Fhillipina dan Taiwan. Ketimpangan prasarana dan sarana sosial ekonomi di Kepulauan Morotai merupakan salahsatu problem mendasar yang dialami oleh masyarakat di Kepulauan Morotai. Dengan karakteristik wilayah kepulauan yang terpencar, keberadaan prasarana dan sarana sosial ekonomi terasa begitu penting untuk menunjang aktivitas perekonomian masyarakat. Selama ini, interkoneksitas antar pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai memiliki hubungan yang buruk, aksesibilitas terjadi dalam satu arah ke pusat pelayanan. Desa Daruba merupakan pusat pelayanan dalam berbagai aktivitas sosial ekonomi di Kepulauan Morotai, dengan hubungan antar wilayah yang terpusat menyebabkan kegiatan sosial ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Morotai mengalami inefisiensi (high cost). Berdasarkan pada kondisi sumberdaya alam, sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Morotai seperti dikemukakan di atas, memberikan indikasi bahwa wilayah Kepulauan Morotai memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, namun pengelolaan yang belum optimal mengakibatkan wilayah tersebut menjadi wilayah yang tertinggal. Pada Tabel 1 digambarkan kondisi sosial ekonomi wilayah di Provinsi Maluku Utara, ditampilkan sebagai gambaran terjadinya ketimpangan pembangunan antara wilayah. Pengembangan wilayah pulau-pulau kecil di Halmahera Utara bukan persoalan yang sederhana, dengan potensi sumber daya alam yang belum optimal dikelola dan karakteristik wilayah pulau-pulau kecil yang rentan (vulnerabilty), ketergantungan, terpencar dan isolatif, menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Untuk itu maka analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, analisis pusat atau hirarki kapasitas pelayanan sub sektor perikanan, analisis networking pulau-pulau kecil, serta kajian pemanfaatan sumber daya perikanan komoditas cakalang dan kelembagaannya diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam pengembangan wilayah pulau-pulau kecil.
8
Tabel 1. Perbandingan Relatif Kinerja Perekonomian Wilayah di Provinsi Maluku Utara Maluku Utara
Kota Ternate
Halmahera Utara
Halmahera Barat
Halmahera Tengah
Halmahera Selatan
Halmahera Timur
Kepulauan Sula
Kota Tidore
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2000)
40.89
14.78
41.68
39.09
72.30
40.01
62.99
36.47
53.26
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2002)
41.17
14.67
42.12
38.99
73.64
42.59
65.21
38.24
55.57
Kont sekt prim thdp PDRB (%) (2004)
40.58
14.37
41.43
39.88
76.93
44.94
69.24
39.72
58.21
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2000)
41.44
73.51
33.90
36.85
22.69
35.43
29.30
37.37
38.11
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2002)
40.88
73.59
33.02
38.20
22.84
35.88
29.28
37.60
37.93
Kont sekt tersier thdp PDRB (%) (2004)
41.84
74.26
34.10
39.91
25.52
39.12
31.94
41.08
41.21
Tingkat Pertumbuhan (%) (2002)
2,44
2,80
3,41
1.39
1.67
3.25
2.39
3.49
2.40
Tingkat Pertumbuhan (%) (2004)
4,70
5,54
3,35
2.60
5.27
5.68
5.52
5.41
5.71
PDRB per-kapita (Rp) (2002)
2.479.694
1.475.531
2.243.887
PDRB per-kapita (Rp) (2004)
2.472.538
1.597.590
2.121.146
2.085.094
5.250.299
2.501.404
3.418.064
2.147.840
2.737.499
Jumlah penduduk (jiwa) (2004)
869.235
151.152
171.738
94.645
37.706
180.752
56.819
125.987
82.053
IPM (2002)
65.8
-
-
-
-
-
-
-
-
IPM (2004)
66.4
73.4
64.9
64.6
66.1
64.9
65.0
65.0
65.2
26
1
7
8
2
6
4
5
3
Peringkat IPM (2004)
Sumber : Diolah dari data BPS Propinsi Maluku Utara 2005a dan 2005b.
1.2 Perumusan Masalah Orientasi pembangunan pada masa lalu sering bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi makro serta program pembangunan yang selalu terfokus pada wilayah-wilayah daratan (mainland) dan pusat pemerintahan (pusat pertumbuhan) mengakibatkan terjadi kesenjangan antara pulau besar, pusat pemerintahan, dan wilayah perkotaan dengan pulau kecil, wilayah pulau terluar, dan wilayah perdesaan. Selain itu perhatian pada pulau-pulau kecil terluar dan kawasan perbatasan selama ini selalu menekankan pada pendekatan keamanan (security approach) dibandingkan dengan pendekatan kesejateraan (prosperity approach). Kondisi seperti di atas menjadikan wilayah pulau-pulau kecil di Kabupaten Halmahera Utara yakni pada gugusan Kepulauan Morotai menjadi wilayah yang kurang disentuh oleh dinamika pembangunan, sehingga mengakibatkan sumber daya yang dimiliki oleh wilayah pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai belum dapat dikelola secara optimal, hal tersebut dapat kita lihat pada pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang yang menjadi komoditas andalan masyarakat di Kepulauan Morotai yang masih bertumpu pada sektor primer. Pengembangan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salahsatu faktor penting adalah keunggulan komoditas pada sektor/ sub sektor pembangunan, di Halmahera Utara umumnya dan Kepulauan Morotai khususnya terdapat tiga komoditas utama yang diusahakan oleh masyarakat, yaitu perikanan cakalang, perkebunan kelapa, dan hasil hutan (kayu gelondongan). Namun komoditas/ sub sektor ini masih mempunyai share yang kecil terhadap PDRB Kabupaten Halmahera Utara. Untuk itu komoditas/ sub sektor ini perlu dianalisis untuk melihat sektor yang menjadi basis wilayah serta mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga pengembangan komoditas atau sektor/ sub sektor unggulan dapat berpengaruh positif terhadap perkembangan wilayah. Sebagai wilayah pulau-pulau kecil yang mempunyai potensi perikanan yang besar, orientasi ekonomi masyarakatnya jelas bertumpu pada sub sektor perikanan, untuk itu pengembangan sub sektor perikanan di wilayah pulau-pulau kecil tersebut harus berdasarkan pada tingkat perkembangan wilayah yang memiliki prasarana dan sarana perikanan yang memadai. Untuk itu maka kajian tentang pusat perkembangan
10
wilayah dan hirarki/ kapasitas pelayanan perikanan tangkap menjadi hal yang penting sehingga perencanaan pengembangan sub sektor perikanan dapat mempunyai orientasi wilayah yang jelas sekaligus dapat berfungsi sebagai pusat untuk mengembangkan wilayah dengan berbasis sumber daya perikanan. Komoditas cakalang merupakan salahsatu usaha utama masyarakat di Kepulauan Morotai, sehingga usaha perikanan ini sangat menentukan tingkat kehidupan masyarakat dan pengembangan wilayah tersebut. Namun selama ini usaha pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan apalagi mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai, padahal wilayah ini mempunyai potensi sumber daya perikanan cakalang yang besar, untuk itu maka kajian pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan saat ini, potensi lestari, dan prospek pemanfaatan di masa yang akan datang. Pada aspek kelembagaan, selama ini pengaturan pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai menunjukan kurangnya dukungan kelembagaan formal (aturan dan organisasi), baik pada pengaturan produksi, konservasi, keuangan, pemasaran, dan keamanan. Di sisi lain kelembagaan lokal juga telah mengalami degradasi nilai sekaligus kehilangan peranannya di masyarakat, sehingga pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang belum optimal dan masih berada pada sektor primer dengan karakteristik usaha yang masih tradisional. Di samping itu di perairan Kepulauan Morotai sering terjadi illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing, hal ini memberikan indikasi bahwa ada kelemahan dalam penerapan aturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan perbatasan antar negara. Pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara selain memiliki sumber daya alam yang potensial juga memiliki sifat-sifat yang unik seperti, rentan (vulnerabilty), terpencar dan isolatif. Karakteristik kepulauan ini memiliki kerumitan tersendiri jika tidak ditunjang dengan prasarana dan sarana sosial ekonomi yang memadai. Gambaran prasarana dan sarana sosial ekonomi yang timpang di Kepulauan Morotai memberikan indikasi bahwa interkoneksitas antara pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai tidak memiliki networking yang baik, dan sebaliknya mengalami hubungan yang dendritik. Hubungan antar pulau-pulau kecil (kawasan) yang berbentuk dendritik akan mengakibatkan inefisiensi dalam aktivitas perekonomian wilayah.
11
Dengan itu maka, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan cakalang serta mengembangkan wilayah Kepulauan Morotai Kabupaten Halmahera Utara diperlukan kajian pada aspek-aspek penting seperti kajian sektor/sub sektor yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, analisis pusat atau hirarki kapasitas pelayanan sub sektor perikanan, networking antar pulau, serta kajian pemanfaatan sumber daya perikanan komoditas cakalang dan kelembagaannya. Dari uraian-uraian di atas maka dirumuskan permasalahan pokok yang perlu diteliti adalah : 1. Sektor/sub sektor apa yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk pengembangan wilayah di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 2. Bagaimana pusat (hirarki kapasitas) pelayanan perikanan tangkap dan pusat pelayanan desa di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 3. Bagaimana pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 4. Bagaimana pola kelembagaan pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 5. Bagaimana networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halmahera Utara ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk : 1. Menganalisis sektor/sub sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 2. Menganalisis pusat (hirarki kapasitas) pelayanan perikanan tangkap dan pusat pelayanan desa di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 3. Menganalisis pemanfaatan sumber daya perikanan cakalang oleh nelayan di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 4. Mengkaji pola kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang di Kepulauan Morotai Halmahera Utara. 5. Menganalisis networking pulau-pulau kecil di Kepulauan Morotai Halamahera Utara.
12
Sumber Daya Alam Flow/dapat diperbaharui
Stok/Tidak dapat diperbaharui
Habis Terkonsumsi
Dapat didaur ulang
Minyak Gas Batubara Dll.
Sumberdaya Metalik
Peran kelembagaan Dlm pengelolaan SDP tangkap
Memiliki zona kritis
Tdk memiliki zona kritis
Perikanan Kehutanan Tanah Air dari mata air
Energi surya pasang-surut
Angina Gelombang Dll.
SD ini akan menjadi stok jika telah melewati kapasitas regenerasinya (Fauzi, 2000a)
13