BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat suatu bangsa. Indonesia saat ini sedang mengupayakan pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan di Indonesia dapat dikatakan lebih maju di daerah perkotaan yang sebab pembangunannya relatif lebih cepat karena mengingat jumlah penduduk dan aktivitas di daerah perkotaan yang lebih banyak. Pada kenyataannya terjadi ketimpangan pembangunan terutama terjadi antara Jawa-luar Jawa, kawasan Indonesia Barat-Timur, serta ketimpangan kota dengan desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (http://www.bps.go.id/?news=1023) penduduk miskin pada tahun 2013 di Indonesia 28,07 juta orang, pada daerah perkotaan jumlah 10,5 juta orang penduduk miskin dan di desa sebesar 17,74 juta orang. Berdasarkan hal tersebut di atas memberikan gambaran faktual kondisi yang terjadi dalam masyarakat perdesaan secara keseluruhan. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia Sangat ironis memang dengan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan luas kurang lebih 4,8 juta km2 dengan luas daratan 1,9 juta km2 yang tersebar di 62.806 buah desa (Wasistiono dan Tahir 2007: 1). Penduduk miskin di Indonesia bermukin di desa dengan kondisi yang masih
1
tertinggal dalam bidang pendidikan dan sulitnya lapangan pekerjaan. Menanggapi permasalahan di atas pemerintah melakukan inisiatif dengan membuat kebijakan pembangunan nasional, yang memberi perhatian penting pada pembangunan desa. Pembangunan desa adalah upaya yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan untuk mencapai masyarakat desa yang dicita-citakan guna mencapai masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana diungkapkan Soemantri (2010: 70) bahwa : Pembangunan desa disusun secara partisipasif oleh Pemerintah Desa sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan lembaga kemasyarakatn desa, karena lembaga kemasyarakatan desa merupakan mitra kerja Pemerintah Desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Berdasarkan pada kenyataan di atas, muncul gagasan-gagasan dan rencana-rencana pembangunan antara lain bertujuan untuk membebaskan masyarakat pedesaan dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, dan sebagainya melalui program pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam permasalahan pembangunan perdesaan adalah rendahnya aset yang dikuasai oleh masyarakat perdesaan ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat ke sumber daya ekonomi, seperti informasi, teknologi dan jaringan kerjasama. Oleh karena itu diperlukan sasaran yang dapat dilakukan dalam pembangunan perdesaan meliputi: 1) Mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan; 2) Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan pemukiman di perdesaan; 3) Meningkatkan akses, kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Kehadiran Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan makna dasar bahwa desa menuju self governing community yaitu suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri dengan menganut prinsip money follow function yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintah (Tesis Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa, Agus Subroto: 2009). Menurut Widjaja (2012: 24) menyatakan fungsi pemerintah desa hanya sebagai unsur pelaksana daerah yang kegiatannya dirancang dari atas ke bawah (top down planning) sehingga besifat sentralistik.
2
Desa memiliki posisi yang sangat strategis, sehingga diperlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi desa tersebut. Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan, kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di pedesaan maka diperlukan sumber pendapatan desa. Sejalan dengan hal itu Widjaja (2012: 133) maka pemerintah memberikan Alokasi Dana APBD Kabupaten Provinsi dan Pemerintah Pusat sebesar 10% untuk pemerataan pembangunan di pedesaan. Pembangunan fisik merupakan wujud dari pembangunan desa, akan tetapi sarana dan prasarana desa masih kurang memadai dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut maka dana merupakan faktor dasar dalam meningkatkan pembangunan desa. Sesuai dengan pernyataan Simanjuntak (dalam Agus Subroto, Tesis Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa, 2009) bahwa transfer dana menjadi penting untuk menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum. Konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah desentralisasi kewenangan harus disertai dengan desentralisasi fiskal. Realisasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah mengakibatkan adanya dana perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa yang lebih dikenal dengan sebutan Alokasi Dana Desa (ADD). Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa bahwa Alokasi Dana Desa (ADD) yaitu dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Tujuan pemberian ADD menurut Sahdan, dkk. (2006: 6) sebagai berikut. 1) Untuk memperkuat kemampuan keuangan desa (APBdes) dengan demikian sumber APBDes terdiri dari PADes ditambah ADD; 2) Untuk memberi keleluasaan bagi desa dalam mengelola persoalan pemerintahan, pembangunan serta social masyarakat desa; 3) Untuk mendorong terciptanya demokrasi desa; 4) Untuk meningkatkan
pendapatan
dan
pemerataannya
dalam
rangka
mencapai
kesejahteraan masyarakat desa. Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dalam menerapkan atau dalam menjalankan kebijakan ADD, diperlukan adanya kelembagaan yang kuat di desa, sehingga dana tersebut dapat terkelola dengan baik. Kelembagaan desa yang
3
kuat dapat menjamin keberlanjutan ADD dan program yang dibiayai ADD dapat melibatkan perangkat desa dan masyarakat desa secara keseluruhan. Kemudian sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disahkan 15 Januari 2014, Pemerintah Desa mendapat tambahan alokasi anggaran dari APBN yakni sekitar 10% yang direalisasikan secara bertahap sesuai kemampuan negara. Dana Desa tersebut diberikan kepada seluruh desa dengan kisaran rata-rata Rp 1 miliar per tahun tergantung jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis dan angka kemiskinan serta . Dana Desa tersebut mulai cair tahun 2015 dan baru diimplementasikan pada bulan April 2015. Sehingga kini sumber APBDes selain dari PAD, Dana Pengembalian, ADD yang bersumber dari transfer APBN dalam bentuk DAU maupun DAK, juga mendapat tambahan dari Dana Desa. Lantas seperti apa implementasinya dan apa dampaknya? Paper ini mencoba mendeskripsikan implementasi Dana Desa di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan diambil yaitu : 1) Bagaimana implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa? 2) Apakah implementasi Dana Desa memberi dampak bagi pembangunan desa?
1.3. Tujuan Tujuan pembuatan paper ini adalah : 1) Memenuhi tugas kelompok mata kuliah Studi Implementasi Kebijakan pada Jurusan Ilmu Adminisrasi Negara Universitas Widya Mataram Yogyakarta. 2) Untuk menjelaskan Implementasi Dana Desa setelah diterapkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. 1.4 Manfaat Adapun manfaat yang dapat diambil dari paper ini adalah : 1) Mahasiswa dapat mengetahui implementasi Dana Desa;
4
2) Mahasiswa dapat mengetahui dampak dari implementasi Dana Desa; 3) Menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut tentang implementasi Dana Desa.
1.5 Kerangka Teori Kebijakan Publik Secara umum istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. (Winarno, 2002 : 14). Robert Eyestone mengatakan kebijakan publik adalah hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Sementara itu, Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan (Winarno, 2002 : 15). Tahap-tahap kebijakan publik meliputi (William Dunn dalam Winarno, 2002 : 28-30) : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Implementasi Kebijakan Publik James P. Lester dan Joseph Stewart dalam Winarno (2002 : 101-102) memandang implementasi dalam pengertian luas, yaitu merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sementara itu Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individuindividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya (Winarno, 2002 : 102).
Model Implementasi Kebijakan Menurut Model Implementasi Kebijakan dari Edward III dijelaskan bahwa penentu kebijakan dapat dilaksanakan dengan sukses atau justru mengalami
5
kegagalan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Sumber Daya, Disposisi, Komunikasi dan Struktur Birokrasi (Winarno, 2002 : 125-154). Keempat faktor tersebut
saling menentukan dan saling berhubungan, sehingga
sebuah
implementasi kebijakan akan berjalan lancar dan sukses apabila telah memenuhi empat faktor tersebut secara bersama-sama. Sumber daya, sebuah implementasi kebijakan memerlukan sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya pendukung terkait yang diperlukan. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III dalam Leo Agustino (2006 : 151) dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan
kebijakan
atau
melaksanakan
tugas
yang
diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat
6
menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa
yang
harus
dilakukannya,
dan
memiliki
wewenang
untuk
melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil..
Disposisi, sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III dalam Leo Agustino (2006 : 152), adalah: a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga. b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh
7
para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi. sebuah implementasi kebijakan akan terlaksana dengan baik apabila ada dukungan dari masyarakat.
Komunikasi, hal tersebut menjadi penting dalam implementasi kebijakan, karena berpengaruh terhadap isi pesan yang tersampaikan kepada masyarakat tentang suatu program. Tanpa komunikasi sebuah kebijakan yang dirancang bagus belum tentu akan berjalan baik. Komunikasi dua arah antara pelaksana kebijakan dan masyarakat harus baik, demi mencapai pemahaman yang sama dalam suatu kebijakan. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
8
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua).
Ketidakjelasan
pesan
kebijakan
tidak
selalu
menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika
perintah
yang diberikan
sering berubah-ubah,
maka
dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Struktur Birokrasi, walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
9
10
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan
yang kuat
dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tujuan dari pengaturan desa adalah untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama. Selain itu juga membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab. Terwujudnya kesejahteraan umum yang lebih cepat, meningkatkan pelayanan publik, ketahanan sosial budaya, memajukan perekonomian masyarakat Desa dan mengurangi kesenjangan pembangunan nasional juga merupakan tujuan dari UU ini. Tak kalah pentingnya adalah untuk memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Maka UU ini menggunakan pendekatan “desa membangun” dan “membangun desa”. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pemerintah memfasilitasinya, salah satunya dalam bentuk anggaran yang disebut dengan Dana Desa. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
penyelenggaraan
Kabupaten/Kota pemerintahan,
dan
digunakan
pelaksanaan
untuk
membiayai
pembangunan,
pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. Alokasi APBN untuk Dana Desa mempertimbangkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan
tingkat kesulitan geografis. Dana Desa
11
diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah
Desa
dan
sesuai
dengan
prioritas
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah. Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Dana Desa di Kabupaten/Kota yang dialokasikan dihitung dari perkalian jumlah desa di suatu Kabupaten/Kota dengan rata-rata Dana Desa di setiap provinsi. Komposisi pertimbangan penentuan alokasi Dana Desa adalah 30% jumlah penduduk, 20% luas wilayah, dan 50% angka kemiskinan suatu kabupaten/kota. Sedangkan tingkat kesulitan geografis dihitung berdasarkan indeks kemahalan konstruksi. Penyaluran Dana Desa dikucurkan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan yaitu tahap 1 pada bulan April sebesar 40%, tahap II pada bulan Agustus 40% dan tahap III pada bulan November sebesar 20%. Penyaluran setiap tahapan paling lambat pada minggu kedua. Perencanaan mengacu pada dokumen perencanaan Kabupaten/Kota yang disusun berjenjang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka 6 tahun, dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) untuk jangka 1 tahun. RKPDes disusun bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus)
dan
Musyawarah
Perencanaan
Pembanguann
Desa
(Musrenbangdes). RPJMDes dan RKPDes ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) untuk menjadi pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Pembangunan Kawasan Pedesaan meliputi pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi pedesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015, prioritas Dana Desa untuk tahun 2015 untuk belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Adapun prinsip Dana Desa yang bersumber dari APBN digunakan untuk mendanai
12
pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa yang diatur dan diurus oleh Desa. Prioritas penggunaan Dana Desa untuk pembangunan Desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: pemenuhan kebutuhan dasar; pembangunan sarana dan prasarana Desa; pengembangan potensi ekonomi lokal; dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
2.2. Implementasi Dana Desa di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Desa di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang menerima alokasi Dana Desa yang ditransfer ke dari rekening Pemkab Sleman ke rekening Desa yaitu Caturtunggal, Condongatur, dan Maguwoharjo. Sebagai kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak se-Kabupaten Sleman, 3 Desa yang ada menerima plafon anggaran Dana Desa yang cukup besar bila dibandingkan dengan kecamatan lain. Masing-masing mendapat jatah Dana Desa berbeda-beda, yakni Rp 363.285.000,- untuk Desa Caturtunggal, Rp 339.042.000,- untuk Desa Condongcatur dan Rp 338.210.000,- untuk Desa Maguwoharjo1. Proses pencairan Dana Desa untuk tahun 2015 dilakukan secara bertahap sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2014, yakni pada bulan April, Agustus, dan November. Adapun pemanfaatannya untuk kegiatan pembangunan infrastruktur seperti pembuatan saluran drainase dan talut. Prioritas tersebut mengikuti Permen Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Tujuannya adalah agar terlihat langsung dampaknya karena pembangunan fisik bisa langsung dilihat hasilnya. Sementara kalau pemberdayaan masyarakat memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bisa melihat dampaknya. Tahapan pencarian Dana Desa di setiap tahap, Pemerintah Desa harus mencapaikan Surat Pertanggungjawaban dan Laporan Realisasi untuk bisa 1
Hasil wawancara dengan Ibu Diah Retnoningsih, S.I.P., MPA, Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Depok
13
mencairkan Dana Desa pada tahap berikutnya. Pada tahap awal, Pemerintah membuat kebijakan bahwa Pemerintah Desa harus memiliki dokumen siklus tahunan desa tahun berjalan, dokumen RPJMDes, RKPDes, APBDes dan Perdes tentang Pungutan Desa untuk bisa mencairkan Dana Desa tahap I. Namun, pada tahun 2015 ini sejak mulai berlakunya UU tentang Desa ini, masih banyak desa yang belum memiliki kelengkapan dokumen-dokumen tersebut. Akhirnya Menteri Desa mengeluarkan kebijakan cukup dengan menyusun proposal yang diajukan kepada Pemkab sesuai dengan prioritas pembangunan desa agar tetap segera terealisasi. Setelah tahap I terealisasi, maka SPJ harus masuk untuk bisa mencairkan Dana Desa tahap II. Fakta di lapangan, implementasi Dana Desa di Kabupaten Sleman baru dimulai bulan Juli 2015 untuk tahap 1. Hal ini karena sosialisasi UU tentang Desa baru dilaksanakan triwulan pertama tahun 2015 yakni pada bulan Maret. Selain itu, peraturan turunannya baik PP dan Permen yang memuat pedoman umum, prioritas penggunaan Dana Desa serta petunjuk teknis juga turunnya belum lama. Belum lagi Peraturan Bupati yang mengatur masalah tersebut juga belum ada mengingat
masa
jabatan
Bupati
Sleman
yang kosong/habis.
Sehingga
pelaksanaanya mundur dari yang seharusnya.
Perencanaan Jika pemerintah daerah dan Kecamatan Depok menyusun RPJM, RKPD, APBD dan Perda untuk menetapkan APBD untuk tahun berikutnya pada tahun sebelumnya atau semester akhir tahun sebelumnya, Pemerintah Desa (Pemdes) biasanya baru menyusun dokumen RKPDes, APBDes dan Perdes pada tahun berjalan. Hal inilah yang menghambat pencarian Dana Desa pada tahap I karena banyak desa yang belum menyusun dokumen-dokumen tersebut. Meskipun pada tahap I ada solusi, namun Pemdes belum terbiasa melakukan penyusunan dokumen perencanaan seperti yang dilaksanakan oleh Pemkab atau kecamatan.
14
Implementasi Tahap I pencairan yang baru dimulai pada bulan Juli 2015 sebagai wujud implementasi Dana Desa membuat sebagian besar Perangkat Desa tidak siap. Pihak Pemdes belum atau tidak pernah menyusun dokumen perencanaan, dokumen
keuangan,
pelaporan
dll
sesuai
dengan
sistem
perencanaan
pembangunan dan sistem keuangan negara dan daerah. Pemerintah memang melaksanakan kegiatan sosialisasi dan bimbingan teknis untuk mengurangi permasalahan ketidaksiapan Pemdes. Namun, hal tersebut dirasa masih sulit karena harus belajar benar-benar dari nol. Sebenarnya Pemerintah mengirim tim pendamping untuk mendampingi Pemdes dalam mengimplementasikan Dana
Desa tersebut.
Mulai
dari
perencanaan, implementasi dan pelaporan pertangungjawaban. Namun, tim pendamping baru ada pada bulan Oktober 2015. Akhirnya pihak Kecamatan Depok melalui Seksi Pemerintahan-lah yang mendampingi ketiga Desa mulai dari perencanaan hingga pelaporan. Dana Desa adalah hal yang baru sehingga pihak kecamatan juga secara tidak langsung harus terlibat. Meskipun kewenangan camat hanya sebagai tempat konsultasi dalam hal penyusunan dokumen perencanaan. Namun karena tim pendampingan desa belum juga ada, maka beban kecamatan menjadi bertambah dan sebenarnya hal tersebut bukan menjadi kewenangan kecamatan untuk hal-hal teknis implementasi.
Pelaporan dan SPJ Menteri Desa menggembor-gemborkan pelaporan Dana Desa cukup dua lembar saja yaitu lembar pengantar dan ringkasan realisasi Dana Desa yang memuat nominal umum dan program pembangunan fisik apa yang sudah dilaksanakan. Laporan tersebut disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Namun, untuk kehati-hatian terkait nanti pemeriksaan oleh Inpektorat, BPK bahkan KPK, maka pelaporan kegiatan di setiap Desa yang ada di wilayah Kecamatan Depok harus lengkap, detail, disertai dengan nota dan foto kegiatan pembangunan mulai dari 0%, 40% 80% dan 100%. Hanya saja laporan lengkap
15
tersebut hanya disimpan di tingkat Desa. Sedangkan yang dilaporkan ke Bupati memang hanya dua atau beberapa lembar saja tanpa rincian pengeluaran, nota dan foto kegiatan hasil pembangunan. Seperti yang kita ketahui bahwa selama ini pelaporan keuangan di Pemerintah Desa tidak mengikuti Sistem Keuangan Negara dan Daerah. Perencanaan keuangan tidak memuat kode rekening, tidak ada pembiayaan pajak, item belanja yang dipisah seperti belanja modal barang dan jasa, honor, dsb. Namun sejak implementasi Dana Desa ini, Pemdes harus mengikuti sistem keuangan yang diterapkan di pemerintah. Kecamatan Depok sudah menerapkan sistem keuangan tersebut sehingga Desa selalu “belajar” kepada pihak kecamatan.
Pemantauan, Pengawasan dan Evaluasi Peran
pemantauan,
pengawasan
dan
evaluasi
dilaksanakan
oleh
Kecamatan melalui Seksi Pemerintahan, Pemerintah Kabupaten melalui Bagian Pemerintahan Desa, dan Inspektorat serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pihak kecamatan lebih kepada pemantauan dan pendampingan perencanaan. Namun, perannya ternyata juga merambah ke hal-hal teknis lainnya. Pemkab Sleman juga melaksaakan perannya sebagai pemantau, pembina, pengawasan, dan evaluasi meskipun beberapa perannya diwakilkan kepada kecamatan. Sementara itu, pihak inspektorat mengevaluasi pelaporan keuangan. Di sini pula terbangun jalur Komunikasi antara Pemerintah Desa, Kecamatan Depok dan Pemerintah Kabupaten.
Stakeholder dan Lembaga terkait Dalam implementasi UU tentang Desa ini, pihak yang terlibat yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kecamatan dan tim pendamping. Pendamping Desa melaksanakan tugas mendampingi Desa, meliputi mendampingi Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
16
Hambatan 1. Regulasi yang tidak jelas, terlambat, dan bias UU No. 6 Tahun 2014 baru diundangkan 15 Januari 2014, kemudian peraturan pelaksanaannya dalam PP Nomor 60 Tahun 2014 diatur pada 21 Juli 2014. Dalam PP tersebut diatur bahwa pedoman penggunaan Dana Desa paling lambat 2 bulan sejak Permen prioritas penggunaan Dana Desa. Namun pedoman yang tertuang dalam Permen baru keluar 31 Desember 2014. Sedangkan Permen prioritas penggunaan Dana Desa untuk tahun 2015 baru keluar pada bulan Februari 2015. Implementasi sudah jalan, namun petunjuk teknis belum ada. Akhirnya pihak Pemdes masih meraba-raba bagaimana implementasinya. 2. Ketidaksiapan Perangkat Desa Perangkat Desa pada tahap awal implementasi belum siap menjalankan amanah UU tersebut. Selain karena petunjuk teknis yang terlambat, perubahan sistem yang ada baik dalam sistem perencanaan, keuangan dan pelaporan cukup membuat bingung pihak implementor yaitu Desa. 3. Perbedaan persepsi pihak evaluator dalam keuangan dengan implementor Dalam
penyusunan
dokumen
perencanaan
keuangan
maupun
pelaporannya, terdapat perbedaan yang jauh sekali antara sebelum UU ini lahir dengan setelah UU ini lahir dan pada implementasinya. Misalnya rincian belanja modal barang dan jasa. Ada item belanja yang kena pajak, ada yang tidak. Seringkali pihak Pemdes yang sudah berkonsultasi dengan kecamatan menyusun dengan benar bahwa ini tidak terkena pajak. Namun, pihak inspektorat mengatakan bahwa belanja item ini terkena pajak. Setelah dikonsutasikan ke Bagian Pemdes Pemkab Sleman, ternyata beda lagi jawabannya. Karena untuk kehati-hatian, maka akhirnya pihak Pemdes mengikuti arahan inspektorat. Uang pembiayaan pajak seringkali diambilkan dari Kas Desa. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran pihak Pemdes selaku pelaksana kebijakan. Bayang-bayang terjerat hukum dan berhadapan dengan inspektorat ataupun BPK bahkan KPK menyelimuti pikiran Pemdes. Karena
17
penyelewengan memang rawan terjadi. Penyelewengan tersebut bisa karena disengaja atau bisa saja karena ketidaktahuan Pemdes. Belanja Barang dan Jasa meliputi pembelian material, honor nara sumber, pemeliharaan, makan minum rapat, transport dsb. Namun untuk masalah honor, pihak kecamatan mewantiwanti agar sumber dana diambilkan dari sumber lain, bukan dari dana desa. Misalnya kas desa, dana bagi hasil, PAD atau ADD. Sehingga Dana Desa benar-benar terealisasi untuk kepentingan masyarakat. 4. Tim Pendamping tidak menjalankan tugasnya dengan baik Sesuai dengan ketentuan UU ini, seharusnya ada tim pendamping secara berjenjang di tingkat provinsi, kabupaten dan desa. Namun faktanya tim pendamping baru ada pada bulan Oktober 2015 sedangkan implementasi kebijakan sudah berjalan sejak bulan Juli. Sehingga peran pendamping teknis yang mendampingi Desa kurang optimal. 5. Pelaporan pertanggungjawaban terlambat Implementasi awal atau tahap I yang terlambat maka penyampaian SPJ juga terlambat. Sehingga tahap II juga terlambat. Pencairan tahap II baru terealisasi bulan Oktober dan hingga bulan Desember ini masih ada desa yang belum menyampaikan SPJ tahap II. Padahal tahap III cair pada bulan November. Ada kekhawatiran dana desa tahap III yang seharusnya cair November namun karena terlambatnya SPJ tahap II maka tidak bisa cair. Artinya 20% dana desa tidak terserap dan tidak terealisasi.
2.3 Dampak Implementasi Dana Desa 1) Sistem perencanaan di Pemdes menjadi lebih tertata dan tertib 2) Sisem pelaporan keuangan dan kegiatan serta administrasi Pemdes menjadi lebih baik. 3) Pembelajaran baru bagi Desa tentang pengelolaan Desa dengan menyesuaiakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Wujud implementasi asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
18
5) Desa mendapat tambahan pendapatan dari APBN sehingga pembangunan di Desa menjadi lebih baik, maju dan terasa dampaknya mengingat untuk tahun 2015 ini Dana Desa diprioritaskan untuk pembangunan fisik.
2.4 Analisis Implementasi Dana Desa di Kecamatan Depok 1) Sumber Daya Staf. Perangkat Desa selaku implementor kurang memahami sistem-sistem yang berlaku selama ini di bidang penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga perlu ada bimtek untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan perangkat desa. Kepala Bagian atau Kaur Keuangan di Desa didominasi oleh orang-orang yang sudah tua. Sehingga berpengaruh pula pada kemampuan, keterampilan dan penguasaan TIK dalam menjalankan kebijakan Dana Desa. Informasi. Perangkat Desa pada awalnya tidak tahu, bingung, dan tidak jelas tentang apa yang harus dilaksanakan dengan dana tersebut. Sosialisasi yang lambat tentang regulasi menyebabkan arus informasi yang sampai ke perangkat desa juga terlambat. Tahap awal mungkin pelaksana akan mentaati peraturan perundang-undangan. Namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi penyelewengan. Selain itu kurangnya informasi menyebabkan kendala dalam pelaksanaan kebijakan ini. Wewenang. Terdapat tumpang tindih kewenangan dalam pendampingan desa. Tim Pendamping tidak memainkan perannya secara optimal. Sehingga pihak kecamatanlah
yang menjalankan wewenang
tim
pendamping desa agar kebijakan dana desa tetap berjalan dan tujuan tercapai. 2) Komunikasi Transmisi. Tahap awal implementasi memang menimbulkan kebingungan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana caranya, dsb. Seringkali timbul kesalahpahaman terhadap regulasi yang ada seperti dalam sistem keuangan tentang belanja barang dan jasa yang mana yang kena pajak.
19
Sehingga timbul pertentangan antara inspektorat dan Bagian Pemdes atau kecamatan. Kejelasan. Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis pelaksanaan UU ini belum jelas pada awal-awal pelaksanaan. Pihak Pemdes, Kecamatan dan Pemkab masih meraba-raba. Pasalnya UU lahir pada awal tahun 2014, PP baru lahir akhir tahun 2014, sedangkan pedoman dan petunjuk teknis juga baru ada tahun 2015. Selain itu Perbup juga turun terlambat. Konsistensi. Perintah-perintah pelaksanaan yang belum konsisten dan belum jelas menyebabkan ketidakefektifan implementasi kebijakan ini. Hal ini akan menimbulkan kelonggaran dan penafsiran yang berbeda-beda tentang ketentuan yang ada. 3) Struktur Birokrasi Secara umum, pihak Pemdes belum memiliki SOP dalam hal pembangunan masyarakat desa. Sehingga timbul ketidakseragaman implementasi di setiap Desa. Namun, pihak kecamatan mengambil langkah untuk menyeragamkan sistem pelaporan agar ketika pemeriksaan dokumen
lengkap
dan
meminamilisir
temuan.
Di
tingkat
atas
menggembor-gemborkan bahwa laporan cukup dua lembar, sehingga baik pihak kecamatan maupun kabupaten tidak berani menyusun ketentuan secara tertulis tentang sistematika pelaporan. Hanya saja disiasati laporan lengkap tetap menyesuaikan yang berlaku selama ini namun disimpan di tingkat Desa. Selain itu mindset Pemdes yang selama ini memiliki kewenangan “bebas” dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus mulai mengubah pola pikirnya sehingga birokrasi lebih tertata. Koordinasi antar lembaga cukup berjalan dengan baik dan lancar baik BPD, kecamatan maupun masyarakat. 4) Disposisi/Kecenderungan-kecenderungan Pengangkatan Birokrat. Meskipun pejabat Kepala Bagian/Kepala Urusan adalah sudah berumur dengan keterbatasan kemampuan, namun staf diisi oleh mayoritas usia produktif dan relatif muda. Sehingga permasalahan tersebut bisa sedikit diatasi. Begitu juga dengan personil BPD yang sangat
20
kooperatif sehingga dokumen-dokumen yang disusun oleh Kepala Desa bersama BPD bisa lebih tersusun sesuai ketentuan. Intensif. Untuk menunjukkan komitmen terhadap pembangunan desa yang diprioritaskan
untuk
pembangunan
infrastruktur,
pihak
Pemdes
memberikan insentif atau honor. Tetapi sumber dana tersebut diambilkan dari ADD, kas desa atau dana pengambalian.
21
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Untuk mencapai keberhasilan dalam implementasi kebijakan diperlukan suatu kesatuan misi dari pemerintah dengan masyarakatnya. Birokrasi sebagai pelaksana kebijakan memiliki peranan penting dalam upaya mensosialisasikan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah. Dana Desa akan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan desa apabila program-program dari kebijakan yang telah ditetapkan dapat terlaksana dengan baik. Dana Desa pada tahun 2015 ini diprioritaskan untuk pembangunan fisik agar terlihat nyata hasilnya dan masyarakat merasakan manfaatnya. Implementasi Dana Desa baru saja dimulai dan tahap III belum terealiasi karena beberapa kendala seperti yang sudah diuraikan pada bab pembahasan sebelumnya. Masih dijumpai kendala di lapangan mengingat Dana Desa adalah kebijakan baru yang baru juga dilaksanakan. Dampak dari adanya Dana Desa ini adalah terjadi perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Pemerintah Desa. Hal tersebut nampak pada penyusunan dokumen perencanaan seperti RPJMDes, RKPDes, penetapan APBDes dan Perdes. Selain itu juga dalam sistem keuangannya yang kini mulai menyesuaikan sistem keuangan negara dan daerah. Terdapat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan Pemdes dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan administratif. Selain itu, pembangunan masyarakat desa bisa berjalan lebih baik dengan dukungan infrakstruktur yang lebih memadai.
3.2. Saran Kapasitas Aparatur Desa sebagai pelaksana kebijakan Dana Desa menjadi faktor penunjang keberhasilan pelaksanaan program-program yang dibiayai Dana Desa yang bersumber dari APBN. Kemampuan dan keterampilan Aparatur Desa sebagai pelaksana kebijakan merupakan dasar dari pelaksanaan Pemerintahan khususnya dalam mengelola Dana Desa. Sehingga perlu pelatihan, dan bimbingan teknis terkait hal-hal baru yang selama ini belum ada di Desa.
22
Masih adanya bias dalam hal regulasi dan sistem evaluasi keuangan seharusnya
bisa
segera
diatasi
dengan
koordinasi
antar
pemangku
kepentingan/stakeholder, sehingga tercipta tata kelola hubungan antar lembaga yang lebih baik. Pelaksanaan kewenangan di setiap stakeholder seharusnya juga dilaksanakaan sesuai tanggung jawabnya sehingga tidak tumpang tindih. Ke depan perlu pengawasan, pendampingan, dan pembinaan lebih intensif mengingat tahun 2015 ini Dana Desa belum sepenuhnya cair. Apabila sudah cair 100% maka dana yang diterima Desa jauh lebih besar lagi. Agar tidak terjadi penyalahgunaan, maka perlu adanya mekanisme pengawasan yang lebih baik lagi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Winarno, Budi. 2002. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Desa Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015 http://digilib.unila.ac.id/3643/14/BAB%20I.pdf http://ratuagung78.blogspot.co.id/2010/09/teori-implementasi-kebijakan.html
24