BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Udang merupakan salah satu hasil laut komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan 10 komoditas unggulan budidaya, salah satunya adalah udang. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis udang yang tinggi. Udang windu (Penaeus monodon) adalah salah satu jenis udang konsumsi yang menjadi komoditas andalan dari berbagai daerah di Pulau Jawa seperti Banyuwangi, Karawang, Lebak, dan Garut. KKP memasang target menjadikan Indonesia produsen utama udang di dunia dan kembali menduduki posisi teratas sebagai produsen udang, seperti yang pernah dirasakan pada dekade 1980-1990, yakni sebagai produsen udang terbesar di dunia (Ditjen PB 2013). Produksi udang nasional sejak tahun 2010 ditargetkan terus meningkat sebesar 74,75% hingga tahun 2014, yaitu 400.300 ton menjadi 699.000 ton (KKP 2013). Menurut Ketut dalam berita Indo Pos tahun 2011, kunci sukses budidaya udang terletak pada manajemen tambak, seleksi benur atau perbaikan genetik dan kontrol penyakit. Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dari budidaya udang windu, penyediaan dan pemeliharaan benih menjadi langkah awal dalam kegiatan budidaya tersebut. Penyakit pada budidaya udang windu masih menjadi kendala bagi para pembudidaya. Penyakit utama yang sering menyerang udang windu disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang umum dijumpai adalah Vibrio harveyi. Bakteri tersebut menyebabkan penyakit yang biasa disebut dengan penyakit kunang-kunang atau luminescent vibriosis (LavillaPitogo et al 1991). Vibrio harveyi menyerang udang windu pada stadia zoea hingga awal pasca-larva (Lavilla-Pitogo et al. 1990). Serangan bakteri tersebut dapat menyebabkan tingkat mortalitas yang cukup tinggi bagi larva udang windu yang mengakibatkan kerugian bagi para pembudidaya. Pengendalian penyakit tersebut dilakukan dengan cara pemberian antibiotik sintetik karena harganya murah dan
1
2
cepat membunuh bakteri. Namun penggunaan antibiotik secara terus menerus mengakibatkan efek negatif bagi lingkungan dan manusia (Baticados dan Paclibare, 1992). Bakteri patogen menjadi resisten terhadap senyawa antibiotik akibatnya terjadi peningkatan dosis antibiotik secara terus menerus. Selain itu, pengunaan antibiotik menyebabkan masalah pada pengembangan ekspor udang pada tahun 2002 karena adanya standarisasi dari pasar Amerika dan Eropa pada tahun 2002 bahwa produk udang impor harus bebas dari penggunaan antibiotik seperti Chloramphenicol dan Nitrofurant (Rakhmawan 2009). Pemakaian antibiotik dapat ditekan apabila adanya sumber alternatif lain untuk mengendalikan penyakit vibriosis tersebut. Salah satu sumber alternatif tersebut adalah bahan bioaktif alami yang bersifat antibakteri. Produk bahan alami dinilai lebih aman karena mudah terurai (Maryani 2003). Biota laut mengandung banyak senyawa bioaktif yang saat ini sedang gencar dieksplorasi. Lebih dari 10.000 senyawa bioaktif telah berhasil diisolasi dan sekitar 300 paten dari senyawa-senyawa tersebut sudah dipublikasikan dalam kurun waktu 30 tahun yaitu pada tahun 1969 hingga tahun 1999 (Yan 2004). Salah satu biota laut yang mengandung banyak senyawa bioaktif adalah Ascidian. Ascidian termasuk ke dalam filum Chordata. Ascidian diketahui banyak menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi. Senyawa bioaktif yang diketahui dapat berpotensi sebagai antibakteri pada Ascidian adalah alkaloid (Tadesse et al. 2011). Ascidian berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan obat karena ekstrak Ascidian memiliki aktivitas antibakteri terhadap beberapa bakteri patogen seperti Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa (Ananthan et al. 2011). Kajian mengenai pemanfaatan Ascidian khususnya di Indonesia masih perlu dikembangkan. Kebutuhan, akan senyawa aktif dari produk bahan alami laut terus
meningkat.
Untuk itu,
penerapan bioteknologi diharapkan dapat
mengembangkan potensi dan memanfaatkan biota Ascidian khususnya Didemnum molle sebagai antibakteri dalam mengobati penyakit pada udang windu yang disebabkan oleh bakteri Vibrio harveyi.
3
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sejauh mana efektivitas dari senyawa aktif antibakteri yang terkandung dalam Ascidian Didemnum molle dalam mengobati udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi efektif senyawa antibakteri dari Ascidian Didemnum molle sebagai pengobatan infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang windu (Penaeus monodon).
1.4. Kegunaan Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai potensi senyawa antibakteri dari Ascidian Didemnum molle sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pengobatan penyakit vibriosis pada udang windu. Selain itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat khususnya pembudidaya udang windu.
1.5. Kerangka Pemikiran Kementrian Kelautan dan Perikanan mendorong produksi udang sebagai andalan utama ekspor perikanan pada tahun 2013. Tahun 2014, produksi udang nasional ditargetkan naik menjadi 608.000 ton dan target produksi udang windu sendiri sebesar 199.000 ribu ton (KKP 2013). Berita Kompas, 2013, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengemukakan, ekspor udang sangat potensial karena produksi udang di luar negeri semakin menurun akibat penyakit udang dan pengaruh perubahan iklim. Beberapa negara saat ini menghadapi penyakit udang, seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia yang udangnya mengalami kematian dini pada umur 7-10 hari. Untuk itu, perlu diantisipasi agar penyakit tersebut tidak mewabah di Indonesia karena menurut Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club
4
Indonesia dalam Kompas tahun 2013, persoalan utama dalam budidaya udang adalah masalah penyakit yang menyerang benih udang. Penyakit akibat bakteri merupakan salah satu kendala dalam budidaya udang windu. Bakteri patogen utama yang menyebabkan penyakit pada udang windu adalah Vibrio harveyi (Lavilla-Pitogo et al. 1990). Penanggulangan penyakit tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan antibiotik sintetik. Chloramphenicol dan Nitrofurant merupakan dua jenis antibiotik yang umum digunakan dalam pengendalian penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus pada budidaya udang windu. Upaya pengendalian penyakit sebenarnya tidak disarankan menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten (Johnny 2002). Kloramfenikol dapat menimbulkan penyakit anemia plastik bagi manusia, sehingga sejak tahun 1994 di Amerika dan Eropa penggunaan kloramfenikol tidak diijinkan untuk pengobatan hewan ternak (Martaleni 2007). Seiring berkembangnya pengetahuan di bidang bioteknologi, telah ditemukan berbagai bahan alam yang dapat digunakan untuk menangani kasus penyakit vibriosis pada udang diantaranya berasal dari buah mangrove, makroalga sargassum dan beberapa jenis bakteri laut (Agung 2007). Prajitno pada tahun 2007 mengemukakan bahwa kandungan flavonoid dalam rumput laut Eucheuma cottonii bersifat bakteriosidal dengan konsentrasi sebesar 3%. Sementara itu, Maryani pada tahun 2003 mengemukakan bahwa kandungan metabolit sekunder dalam tumbuhan mangrove yaitu terpenoid, steroid, alkaloid dan saponin bersifat sebagai antibakteri sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang windu. Ascidian merupakan biota laut yang berpotensi sebagai penghasil bahan bioaktif yang yang berpotensi sebagai antibakteri. McClintock dan Baker (2001) mengemukakan bahwa ascidian merupakan biota bentik yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan metabolit sekunder sebagai pertahanan diri. Senyawa bioaktif yang dikeluarkan oleh ascidian dapat berfungsi sebagai antifouling yaitu zat yang dapat menghambat pertumbuhan organisme penempel (fouling), antikanker, antitumor, antibakteri dan antivirus. Ascidian mampu
5
menyerap logam berat seperti vanadium, racun vanadium yang ada dalam tubuh Ascidian digunakan untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh biota tersebut (Stoecker 1980). Salah satu spesies Ascidian yaitu Synoicum pulmonaria berpotensi
sebagai
antibakteri
karena
mengandung
senyawa
bioaktif
Synoxazolidinones A and B (novel bioactive alkaloid) (Tadesse et al. 2010). Ekstrak kasar Ascidia sydneiensis sangat sensitif dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan menunjukkan aktivitas antibakteri berspektrum luas (Meenakshi et al. 2012). Konsentrasi daya hambat minimum sebesar 1 μg/ml – 10 μg/ml dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen pada manusia. Aulia pada tahun 2011 memaparkan hasil uji fitokimia dari ascidian Didemnum molle dari 7 senyawa uji yang dilakukan, diketahui 3 senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid dan steroid yang terdeteksi. Arlyza pada tahun 2008 memaparkan ascidian Didemnum molle mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid dan terpenoid yang diekstraksi dengan pelarut organik. Senyawa metabolit tersebut bersifat antibakteri terhadap bakteri gram negatif Pesudomonas aeruginosa. Senyawa antibakteri yang terkandung dalam ascidian Didemnum molle mampu menghambat pertumbuhan bakteri namun tidak sampai membunuh bakteri. Mekanisme kerja dari antibakteri yang terkandung dalam senyawa metabolit
sekunder
ascidian Didemnum molle
bersifat
bakteriostatik. Hasil penelitian pendahuluan uji in vitro ekstrak ascidian Didemnum molle pada konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1.000 ppm, dan 10.000 ppm berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Vibrio harveyi, dengan diameter zona daya hambat berkisar antara 8 – 11,1 mm. Konsentrasi 100 ppm menghasilkan zona daya hambat sebesar 8,5 mm. Hasil analisis EPA probit pada uji LC50 ekstrak ascidian Didemnum molle terhadap larva udang windu, menunjukan bahwa konsentrasi 387 ppm dapat menyebabkan kematian larva udang windu sebanyak 50% dalam waktu 48 jam. Berdasarkan hasil uji in vitro dan uji LC50, konsentrasi ekstrak ascidian Didemnum molle di atas 100 ppm dan di bawah 387 ppm berpotensi untuk pengobatan larva udang windu yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.
6
1.6. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka ditarik hipotesis bahwa ekstrak ascidian Didemnum molle dengan konsentrasi 193,5 ppm (50% dari hasil LC50) efektif untuk pengobatan udang windu (Penaeus monodon) yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi.