BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Jagung merupakan komoditi yang cukup penting baik bagi manusia maupun bagi hewan. Jagung sebagai tanaman pangan terpenting dunia selain gandum dan padi dan merupakan bahan baku utama penyusun pakan ternak di Indonesia. Selain itu jagung juga banyak diolah sebagai bentuk bahan makanan lain, diantaranya tepung maizena, pop corn, sup, bakwan, bahan campuran dalam pembuatan roti dan kue, dan sebagainya (Anonim, 2005). Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin yang cukup tinggi. Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin utama pencemar jagung dan bahan pakan ternak (Widiastuti et al., 1988; Bahri et al., 1995;2005 dalam Widiastuti, 2006). Aflatoksin, terutama adalah racun yang dihasilkan kapang Aspergillus sp. Zat ini berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan karena bersifat toksik terhadap bahan pangan yang terkontaminasi dan merupakan penyebab utama kanker hati. Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah. Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC dan RH ≥ 95%. Mengingat Indonesia adalah negara beriklim tropis yang merupakan lingkungan yang sangat ideal untuk tumbuh kembang berbagai jenis kapang seperti Aspergilus flavus yang adalah penghasil utama aflatoksin B1. Bila tidak dikendalikan, kandungan aflatoksin pada jagung akan semakin meningkat karena aflatoksin dapat dihasilkan jamur sejak dari masa tanam sampai masa penyimpanan dan didukung sifat mikotoksin yang stabil terhadap lingkungan, dan tidak mudah rusak dengan berbagai pengolahan.
1
Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pengujian yang sesuai untuk mengetahui kandungan aflatoksin dalam biji jagung yaitu dengan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi)
atau
dikenal
juga
dengan
HPLC
(High
Performance
Liquid
Chromatography).
1.2 Identifikasi Masalah Penyimpanan biji jagung merupakan faktor penting yang dapat memicu tumbuhnya kapang Aspergillus flavus penghasil utama aflatoksin B1. Kondisi penyimpanan biji jagung seperti waktu penyimpanan serta suhu dan kelembaban pada saat penyimpanan sangat mempengaruhi pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin ini, sehingga menyebabkan kandungan aflatoksin menjadi tidak sesuai dengan SNI 01-4483-1998 untuk jagung sebagai bahan baku pakan. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu: 1) Untuk mengetahui dan membandingkan kadar aflatoksin dalam biji jagung menggunakan metode ELISA dan KCKT. 2) Untuk mengetahui pengaruh penyimpanan biji jagung selama jangka waktu tertentu terhadap kadar air dan kadar aflatoksin dibandingkan dengan SNI 014483-1998.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kadar aflatoksin yang diuji dengan
metode ELISA dan KCKT, serta pengaruh
penyimpanan biji jagung pada waktu tertentu terhadap kadar air dan kandungan total aflatoksin.
1.5 Hipotesis Selama penyimpanan, kadar air dan aflatoksin pada biji jagung dapat bertambah sehingga tidak sesuai dengan SNI 01-4483-1998.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jagung Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn.
Gambar 1 Tanaman Jagung
Jagung mulai berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan abad ke 16 dan pada awal abad ke 17 mulai berkembang menjadi tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Pada pertengahan abad 18, tanaman jagung tumbuh luas di Cina, di selatan Fukien, hunan, dan Szechwan. Populasi jagung berkembang dengan pesat sejak abad 18. Di Cina, jagung dibutuhkan sebagai bahan makanan terutama di bagian utara, dan dari sini jagung mulai menyebar ke Korea dan Jepang. Dan kurang dari 300 tahun sejak 1500 M, tanaman jagung telah tersebar di seluruh dunia dan menjadi salah satu bahan makanan penting bagi penduduk dunia.
3
Tabel 1 Klasifikasi Ilmiah Jagung Kingdom
Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisio
Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis
Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
Graminae (rumput-rumputan)
Familia
Graminaceae
Genus
Zea
Species
Zea mays L.
Sumber : Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi MIG Corp.
Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan. Di beberapa daerah di Indonesia, jagung menjadi makanan pokok, yaitu di Madura dan Nusa Tenggara. Berdasarkan urutan bahan makanan pokok di dunia, jagung menduduki
urutan
ke
3
setelah
gandum
dan
padi.
Akhir-akhir ini tanaman jagung semakin meningkat penggunaannya. Tanaman jagung banyak sekali gunanya, karena hampir seluruh bagian dari tanaman jagung dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai bahan baku
pakan ternak (hijauan
maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung bulir dan tepung tongkolnya).
4
Tabel 2 Kandungan Gizi Jagung (Zea mays L.) Kandungan gizi
Jumlah dalam 100 gram
Kalori
355 kalori
Protein
9.2 gram
Lemak
3.9 gram
Karbohidrat
73.7 gram
Kalsium
10 mg
Fosfor
256 mg
Ferrum
2.4 mg
Vitamin A
510 SI
Vitamin B1
0.38 mg
Air
12 gram
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tanaman jagung berasal dari daerah tropis yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar daerah tersebut. Jagung tidak menuntut persyaratan lingkungan yang terlalu ketat, dapat tumbuh pada berbagai macam tanah bahkan pada kondisi tanah yang agak kering. Tetapi untuk pertumbuhan optimalnya, jagung menghendaki beberapa persyaratan, seperti iklim, media tanam dan ketinggian tempat. Jagung
merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya
diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Di Indonesia, jumlah kebutuhan jagung meningkat dari tahun ke tahun dalam jumlah yang cukup tinggi karena adanya permintaan dari industri pakan ternak (Departemen Pertanian, 2007). Oleh sebab itu, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan produksinya melalui perluasan penanaman tanaman jagung antara lain melalui program Gema Palagung dengan target dalam kurun waktu 2005 – 2015 akan terjadi tambahan areal panen seluas 456.810 ha (Suryana, 2006).
5
Provinsi penghasil jagung di Indonesia : Jawa Timur : 5 jt ton; Jawa Tengah : 3,3 jt ton; Lampung : 2 jt ton; Sulawesi Selatan: 1,3 jt ton; Sumatera Utara : 1,2 jt ton; Jawa Barat : 700 – 800 rb ton, sisa lainnya (NTT, NTB, Jambi dan Gorontalo) dengan rata-rata produksi jagung nasional 16 jt ton per tahun.
2.2 Biji Jagung Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji.
Gambar 2. Jagung Pipilan (biji jagung kering)
Standar mutu yang harus dipenuhi jagung sebagai bahan baku pakan, sangat diperlukan untuk member jaminan bagi petani penghasil, serta jaminan mutu
pakan
ternak
yang
menggunakannya.
Kandungan
zat
anti
nutrisi/racunsampai dengan batas tertentu dalam jagung, tidak membahayakan bagi ternak yang memakannya, maupun bagi manusia yang mengkonsumsi hasil ternak tersebut.Jagung sebagai bahan baku pakan digolongkan dalam satu tingkatan mutu yang tercantum dalam SNI 01-4483-1998. Tabel 3 Syarat Mutu Jagung Untuk Bahan Baku Pakan Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Mutu
Kadar Air
%
Maks. 14
Kadar Aflatoksin
ppb
Maks. 50
Sumber : SNI 01-4483-1998
6
2.3 Penyimpanan Jagung Selama penyimpanan, jagung maupun bahan pangan lainnya sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan
pangan/pakan
dan
mempengaruhi
nilai
ekonomis,
tetapi
juga
membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena adanya kontaminasi oleh kapang yang dapat menghasilkan mikotoksin, maka perlu diperhatikan cara penyimpanan jagung dengan baik. Produk pertanian yang disimpan harus dalam keadaan kering dengan kadar air yang sesuai untuk penyimpanan . Di negara-negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah <13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Maryam, 2006). Namun, untuk Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air yang ideal berkisar antara 7-9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari 3 bulan (Kasno, 2004). Produk disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik . Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara rutin selama periode penyimpanan . Kenaikkan suhu 2 - 3°C dapat menunjukkan adanya infestasi kapang atau serangga. Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan) (Maryam, 2006).
2.4 Mikotoksin Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh berbagai jenis jamur (Aspergillus, Pennicillium, dan Fusarium) (Pirestani et al., 2011) pada bahan pangan serta bersifat sitotoksik (Ahmad, 2009). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X-disease pada tahun 1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin. Lima jenis diantaranya 7
sangat berpotensi menyebabkan penyakit dan sering ditemukan pada biji-bijian yaitu,
aflatoksin, ochratoxin A, zearalenon, trichothecenes (toksin T2) dan
fumonisin. Menurut FAO, sekitar 25% komoditas pangan di dunia telah tercemar oleh kapang dan mikotoksin (Williams, 2004 ; USDA, 2008). Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman mikotoksin karena metabolit sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang lembab (kelembaban optimal di atas 85%) dan suhu antara 4-40°C (optimal 25-32°C) dengan kadar air 18% (Reddy dan Waliyar, 2008). Selain itu, bahan baku dengan kadar air yang terlalu tinggi sangat potensial untuk ditumbuhi jamur. Mikotoksin akan semakin banyak diproduksi oleh jamur jika terjadi perubahan suhu, pH dan kelembaban secara mendadak. Mikotoksin juga memiliki sifat kimiawi yang sangat stabil. Dharmaputra (2004) menyatakan keberadaan mikotoksin pada bahan pangan seperti jagung dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Faktor biologi yaitu biji-bijian yang telah tercemar jamur penghasil toksin 2. Faktor lingkungan, meliputi suhu, kelembaban serta Aw (activity water) dan kerusakan biji oleh serangga 3. Pemanenan, termasuk tingkat kemasakan biji, suhu, kelembaban, pendeteksian dan pemipilan biji 4. Penyimpanan, antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, pendeteksian dan pemisahan biji yang tercemar 5. Pemrosesan seperti pengeringan dan sortasi biji Pada masa tanam, produksi mikotoksin didukung oleh berbagai faktor, antara lain: kondisi iklim (temperatur >30°C, dan kelembaban relatif sekitar 80% 85%), adanya manifestasi serangga, kualitas bibit yang bervariasi dan kepadatan tanaman yang tinggi. Proses panen dapat mempengaruhi jumlah pembentukan mikotoksin, yaitu tingkat kematangan tanaman dan kadar air biji tanaman. Kontaminasi mikotoksin dipengaruhi oleh proses penyimpanan maupun proses pengolahan terhadap jagung tersebut. Saat panen, kadar air dalam jagung masih
8
tinggi (25-30%) sehingga menyebabkan jagung mudah terserang oleh kontaminan kapang Aspergillus flavus yang merupakan penghasil utama mikotoksin jenis aflatoksin (Suarni, 2008). Kemudian, pada saat penyimpanan, produksi mikotoksin dipengaruhi oleh kandungan air biji tanaman yang disimpan, efektifitas pengendalian serangga, dan efektifitas bahan pengawet yang ditambahkan. Distribusi bahan baku makanan juga berpengaruh terhadap pembentukan mikotoksin, seperti kondisi pada saat pengapalan. Mikotoksin disintesis dan dikeluarkan selama proses pertumbuhan jamur tertentu. Dan jika jamur mati, maka produksi mikotoksin akan berhenti, tetapi mikotoksin yang sudah terbentuk tidak akan hilang. Hal tersebut karena mikotoksin memiliki struktur kimiawi yang stabil pada berbagai kondisi lingkungan, sehingga tahan terhadap suhu panas yang ekstrim dan tahan lama pada proses penyimpanan bahan baku serta tahan terhadap berbagai proses pengolahan. Yang menjadikan mikotoksin menjadi ancaman yang merugikan adalah kemampuannya mengganggu dan merusak organ sistem kekebalan tubuh, meskipun mikotoksin tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (nanogram sampai mikrogram per gram bahan makanan). Yang paling mendukung pencemaran mikotoksin adalah mikotoksin dapat ditemukan dan tumbuh secara alami pada bahan baku makanan yang berupa biji-bijian.
2.5 Aflatoksin Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Aflatoksin adalah senyawa beracun yang diproduksi oleh Aspergillus flavus, atau oleh jenis Asprgillus lain misalnya A. Parasiticus (Marwati et al., 2008), dan banyak ditemukan pada jagung, kacang tanah, kedelai, beras, dan komoditas hasil pertanian lainnya mulai saat tanam, panen, penyimpanan di gudang, maupun pada saat pengolahan (Widiastuti et al., 2008). Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling luas penyebarannya dan paling berbahaya. Mikotoksin ini ditemukan paling banyak terdapat pada jagung.
9
Gambar 3 Kapang Aspergillus flavus
Aflatoksin dapat digolongkan menjadi aflaktoksin B (fluorescence biru) dan aflatoksin G (fluorescence hijau) serta turunan-turunannya. Terdapat beberapa jenis aflatoksin yang umum, yaitu aflatoksin B1 (AFB1), AFB2, AFG1, dan AFG2, AFM1, dan AFM2. Aflatoksin B2 dan G2 adalah aflatoksin B1 dan G1 yang telah mengalami dehidrasi, sedangkan aflatoksin M1 dan M2 merupakan derivat dari aflatoksin B1 dan B2. Dari beberapa jenis aflatoksin tersebut, AFB1 merupakan yang paling berbahaya karena memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatotoksik dan mutagenik (Widiastuti, 2006) sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO). Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Syarief dan Nurwitri (2003) mengungkapkan bahwa aflatoksin adalah jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan pada jagung. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi AFB1(Lewis et al., 2005). Handajani dan Setyaningsih (2006) melaporkan, aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang dapat menyebabkan terjadinya kanker pada manusia. Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam. Selain itu, jagung, kacang tanah dan biji kapuk merupakan komoditi yang beresiko tinggi terkontaminasi aflatoksin (Rachmawati et al., 2004).
10
Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah yang utama karena pangan dan pakan banyak dirusak secara fisik dan kimiawi. Kerusakan fisik terjadi oleh peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bau bahan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi akibat adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut (Rachmawati et al., 2004). Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42430C dengan suhu optimum 280-330C (Sudibyo, 2003). Sedangkan kisaran suhu minimal untuk pertumbuhan A. parasiticus adalah 6-8oC, maksimal pada suhu 4446oC, dan optimal pada suhu 25-35oC (Suarni, 2008). Aflatoksin bersifat stabil pada pemanasan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar aflatoksin tidak akan hilang atau berkurang dengan pemasakan atau pemanasan (Midio et al., 2001). Pada suhu pemanasan normal (100ºC) aflatoksin belum terurai. Titik lebur aflatoksin relatif tinggi yaitu diatas 250ºC (Lampiran 2). Oleh karena itu, bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin berbahaya untuk dikonsumsi meskipun sudah diolah dengan pemanasan atau pemasakan.
Gambar 4. Struktur Kimia Aflatoksin
11
2.6 ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) Metode ELISA telah dikenal dan merupakan perangkat imunologi untuk mendeteksi berbagai kelas immunoglobulin dan antibodi spesifik terhadap antigen yang kita miliki. Uji ini dapat dilakukan dalam waktu relatif cepat, dengan sensitifitas serta spesifitasnya yang tinggi, apabila reaksi-reaksi yang non-spesifik dapat ditiadakan. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlman dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibody di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pendeteksi. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibody spesifik ditambahkan pada permukaan tersebut sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir ditambahkan substrat yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Metode ELISA termasuk ke dalam teknik Immunoassays, yaitu teknik yang digunakan untuk melihat keberadaan molekul spesifik dalam suatu specimen. Secara umum teknik ini memanfaatkan prinsip ikatan spesifik antara protein/antigen dengan antibodinya. Memanfaatkan conjugate, yaitu hasil konjugasi antibodi dengan senyawa lain (enzim, radioisotope, atau fluorochrom) untuk membantu visualisasi hasil reaksi. Penggunaan ELISA melibatkan satu antibodi spesifik terhadap antigen tertentu. Sampel dengan jumlah antigen yang tidak diketahui dimobilisasi pada suatu permukaan solid yang biasanya berupa plate mikrotiter polystyrene, baik yang non spesifik (melalui penyerapan pada permukaan) maupun yang spesifik (melalui ikatan dengan antibody lain yang spesifik untuk antigen yang sama). Setelah antigen dimobilisasi, antibody pendeteksi ditambahkan dan membentuk kompleks dengan antigen.
12
Gambar 5 Molekul Antibodi
Metode ELISA sendiri merupakan uji serologis yang relative sering digunakan dalam diagnosa penyakit. Aplikasi uji ELISA ini dapat digunakan untuk pemeriksaan/deteksi antibody maupun protein/antigen. Prinsip uji dalam teknik ELISA memanfaatkan ikatan spesifik antigen-antibodi (antibodi primer). Kemudian antibody sekunder (anti-species Ig) yang dilabel enzim akan berikatan dengan antibody primer tadi. Target enzim (substrat) akan diurai oleh enzim. Hasil urai enzim ini lebih lanjut akan bereaksi dengan chromogen dan terbentuk warna. Pembacaan optical density (OD) dari warna yang terbentuk berupa data numerik. Interpretasi data hasil uji ELISA ini dapat menunjukkan hasil kualitatif ataupun kuantitatif. Untuk memperoleh hasil kualitatif, terlebih dahulu ditentukan nilai “specific cutoff”. Hasil dapat positif atau negative (yaitu di atas atau di bawah nilai cutoff). Namun uji kualitatif ini memungkinkan terjadinya nilai negative palsu maupun positif palsu. Sedangkan untuk penentuan hasil kuantitatif digunakan data dalam bentuk hasil numeric yang dapat menentukan estimasi konsentrasi sampel berdasarkan nilai standar yang digunakan pada saat pengujian. Antibodi pendeteksi dapat berikatan dengan enzim atau dapat dideteksi langsung oleh antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui biokonjugasi. Di antara tiga tahap, plate harus dicuci dengan larutan pencuci untuk membuang kelebihan protein atau antibody yang tidak terikat. Dan setelah tahap pencucian terakhir, ditambahkan substrat enzimatik ke dalam plate untuk
13
menghasilkan sinyal yang visible yang dapat menunjukkan jumlah antigen dalam sampel. Teknik pelabelan antibodi yang digunakan dalam metode Direct Competitive ELISA. Antibodi ditambahkan pada sumur lempeng dan dibiarkan menempel sendiri melalui inkubasi pada suhu tertentu.antibodi yang tidak menempel akan terbuang melalui pencucian. Penambahan known antigen yang dilabel dengan enzim dan unknown atau sampel. Akan terjadi kompetisi antara known dan unknown. Antigen yang tidak menempel pada antibodi akan terbuang melalui pencucian. Penambahan substrat, pada tahap ini terjadi reaksi kimia dimana substrat bereaksi dengan enzim dan menghasilkan warna. Jika sampel mengandung misalnya progesteron maka tidak akan terjadi perubahan warna atau dengan kata lain 100% kompetisi, dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena tidak ada target enzim yang bereaksi dengan substrat.
Gambar 6 Tahapan Uji direct Competitive ELISA
14
Gambar 7 ELISA Reader
2.7 KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) Kromatografi adalah sutau teknik pemisahan dimana senyawa yang akan dipisahkan terdistribusi diantara dua fasa (fasa gerak dan fasa diam) dan selalu ada bagian yang bergerak sepanjang fasa yang diam tersebut sehingga terpisah senyawanya. Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Teknik ini merupakan suatu cara pemisahan dimana fasa diam berupa cairan dan fasa gerak juga berupa cairan. Menurut Snyder & Kirkland (1979) serta Johnson & Stevenson (1978), metode KCKT memiliki kelebihan sebagai berikut: 1) Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran 2) Mudah melaksanakannya 3) Kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi 4) Dapat dihindari terjadinya dekomposisi (kerusakan) bahan yang dianalisis 5) Resolusi yang baik 6) Dapat digunakan bermacam-macam detector 7) Kolom dapat digunakan kembali 8) Mudah melakukan sample recovery
Instrumentasi KCKT pada umumnya terdiri atas wadah fasa gerak, pompa, tempat injeksi sampel, kolom, detector, wadah penampung buangan fasa gerak, dan recorder. 15
Gambar 8 Instrumentasi KCKT
1. Wadah fasa gerak dan fasa gerak Wadah fasa gerak harus bersih dan inert. Fasa gerak biasanya terdiri dari campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut (fasa gerak), fasa diam dan komponenkomponen dalam sampel. 2. Pompa Pompa yang baik digunakan untuk system KCKT sama seperti wadah fasa gerak, yaitu pompa harus inert terhadap fasa gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan samapi 5000 psi dan mengalirkan fasa gerak dengan laju alir 3 mL/menit. Tujuan penggunaan pompa adalah untuk menjamin penghantaran fasa gerak berlangsung secara tepat, reproducible, konstan dan tanpa gangguan. 3. Sistem injeksi (tempat penyuntikan sampel) Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal.
16
4. Kolom Kolom merupakan bagian yang penting dalam system KCKT. Kolom adalah penentu keberhasilan suatu analisis dengan metode KCKT ini, oleh karena perlu diperhatikan pemilihan kolom yang sesuai dan pemeliharaan kolom. Pada kolom inilah terdapat fasa diam dan merupakan tempat terjadinya pemisahan komponen-komponen dalam sampel yang dianalisa. 5. Detektor Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu: detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi, dan elektrokimia. Idealnya suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1) Mempunyai respon terhadap solute yang cepat dan reproducible. 2) Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yaitu mampu mendeteksi solut pada kadar yang rendah. 3) Stabil dalam pengoperasiannya. 4) Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita. 5) Sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solute. 6) Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fasa gerak (Meyer, 2004).
Derivatisasi pada KCKT melibatkan suatu reaksi kimia antara suatu analit dengan suatu reagen untuk mengubah sifat fisika-kimia suatu analit. Tujuan utama penggunaan derivatisasi pada KCKT adalah: 1) Meningkatkan deteksi. 2) Mengubah struktur molekul atau polaritas analit sehingga menghasilkan puncak kromatografi yang lebih baik. 3) Mengubah matriks sehingga diperoleh pemisahan yang lebih baik. 4) Menstabilkan analit yang sensitif (Snyder and Kirkland, 2004).
17
Detektor yang paling banyak digunakan dalam KCKT adalah detector UVVis, sehingga banyak metode yang dikembangkan untuk memasang atau menambahkan gugus kromofor yang akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu. Disamping itu, juga dikembangkan suatu metode untuk menghasilkan fluorofor (senyawa yang mampu berfluoresensi) sehingga dapat dideteksi dengan fluorometri (Cserhati & Forgacs, 1999). Suatu reaksi derivatisasi harus mempunyai syarat-syarat : produk yang dihasilkan mampu menyerap baik sinar UV maupun sinar tampak atau dapat membentuk
senyawa
berfluoresen
sehingga
dapat
dideteksi
dengan
spektrofluorometri, proses derivatisasi harus cepat dan menghasilkan produk yang sebesar mungkin, produk hasil derivatisasi harus stabil selama proses derivatisasi dan deteksi, dan sisa pereaksi derivatisasi harus tidak mengganggu pemisahan kromatografi (Cserhati & Forgacs, 1999).
18
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan dimulai dari Bulan Januari 2013Maret 2013 dan dilakukan di laboratorium Serology TSLS (Technical Support Laboratory Service) Sentul. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jagung pipilan kering, methanol,acetonitrile, aquadest, aquabidest. Alat-alat yang digunakan yaitu Kit ELISA Aflatoxin AgraQuant Romer (AgraQuant® Total Aflatoxin Assay 4/40) yang terdiri dari larutan standar aflatoksin 0-40 ppb, conjugate antiaflatoxin HRP (Horseradish Peroxidase) , substrat TMB (Tetra Metil Benzidine), dan stop solution yang berupa asam kuat seperti HCl (Lampiran 2). Alat-alat lainnya yaitu kertas saring Whatman No. 1, ELISA reader Opsys MR DYNEX Technologies, KCKT seri Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector, Orbital shaker GFL seri 3005, Memmert oven UFP 600, dan neraca Kern seri EWB 6202M. 3.3 Metode Kerja Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu analisis kadar air, analisis kadar afltoksin dengan metode ELISA dan dengan metode KCKT. Sampel yang diuji berasal dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon. Sampel disimpan pada suhu 25o (suhu ruang) dan dilakukan pengujian kadar total aflatoksin dan kadar air pada waktu awal penyimpanan (minggu ke-0), 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, 4 minggu setelah penyimpanan.
19
3.3.1 Analisis Kadar Air Penentuan kadar air dilakukan dengan cara menimbang sampel yang telah dihaluskan dan diayak sebanyak ± 3 gram dalam botol timbang yang sudah diketahui bobot kosongnya. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama ± 2 jam. Didinginkan, dan ditimbang bobotnya. Dikeringkan kembali dalam oven selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dan penimbangan diulangi sampai diperoleh bobot tetap, yaitu selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0.0004 gram. 3.3.2 Analisis Kadar Aflatoksin dengan ELISA Analisis kadar aflatoksin dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode ELISA. Metode ini menggunakan Kit ELISA Romer AgraQuant® Total Aflatoxin Assay 4/40. Sebelum digunakan Kit ELISA dikeluarkan dari kulkas dan didiamkan terlebih dahulu selama kira-kira 1 jam sampai suhu Kit ELISA sama dengan suhu ruang. 3.3.2.1 Preparasi Sampel dan Pembuatan Larutan Methanol 70% Sampel jagung pipilan sebanyak ± 500 gram dihaluskan dengan menggunakan blender, kemudian dari hasil tersebut dilakukan pengayakan dengan ayakan/saringan ukuran 20 mesh. Sampel yang telah diayak ditimbang sebanyak ± 20 gram ke dalam erlenmeyer 250 ml. Setelah itu disiapkan methanol 70% dengan cara mengencerkan methanol absolut dengan aquadest dengan perbandingan 7:3. 3.3.2.2 Pembuatan Ekstrak Larutan Sampel Larutan methanol 70% ditambahkan sebanyak 100 ml ke dalam erlenmeyer yang telah berisi sampel jagung yang telah ditimbang. Dihomogenkan sambil diputar dengan bantuan alat orbital shaker selama 5 menit dengan kecepatan 200 rpm. Setelah dihomogenkan, larutan jernih disaring ke dalam botol schott 100 ml dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 1. Larutan ekstrak siap digunakan untuk pengujian dengan ELISA.
20
3.3.2.3 Pengujian ELISA Aflatoksin Disiapkan microplate untuk pengenceran dan coating plate ELISA. Dimasukkan ke dalam microplate pengenceran, conjugate sebanyak 200 μl + standar/sampel sebanyak 100 μl. Dihomogenkan dan diambil sebanyak 100 μl kemudian dimasukkan ke dalam coating plate. Diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang (25oC). plate dicuci dengan aquadest @ 300 μl per well dan dilakukan 5 kali pencucian. Plate dikeringkan dan diisi dengan larutan substrat sebanyak 100 μl. Diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang. Setelah 5 menit ditambahkan stop solution sebanyak 100 μl, kemudian dibaca nilai densitas optiknya dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. 3.3.3 Analisis Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT Analisis
kadar
aflatoksin
dilakukan
secara
kuantitatif
dengan
menggunakan metode KCKT. Analisa dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu pembuatan larutan fasa gerak, pembuatan ekstrak sampel, derivatisasi sampel, dan pengujian dengan KCKT (penginjeksian sampel ke dalam sistem kromatografi). 3.3.3.1 Pembuatan Fasa Gerak Dicampurkan 100 mL acetonitrile HPLC Grade, 300 mL methanol HPLC Grade, dan 600 mL aquabidest. Campuran larutan ini kemudian disaring dengan menggunakan membran filter 0.45µm. 3.3.3.2. Pembuatan Ekstrak Sampel Ditimbang sebanyak 25 gram sampel jagung pipilan dan ±5 gram serbuk NaCl ke dalam blender, ditambahkan 125 mL methanol 70% kemudian diblender dengan kecepatan tinggi selama 1 menit. Larutan disaring dengan kertas saring. Dipipet 15 mL filtrat dan diencerkan dengan 30 mL aquabidest, dihomogenkan. 15 mL filtrat dilewatkan ke immunoaffinity column dengan kecepatan 1 mL/menit dan dicuci dengan 10 mL aquabidest dengan kecepatan 2 mL/menit. Setelah semua cairan turun, udara dibuang keluar dengan menggunakan syringe, dan dibuang cairan yang ditampung. Dilewatkan methanol ke immunoaffinity column sebanyak 1 mL dan ditampung tetesannya ke dalam vial amber. 21
3.3.3.3 Derivatisasi Sampel 1 mL standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan dengan gas nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 µL TFA (tri fluoro acetic acid) dan dihomogenkan dengan vortex selama 30 detik, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit (dilindungi dari cahaya), ditambahkan 900 µL campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex selama 30 detik. Sampel diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi. 3.3.3.4 Pengujian Aflatoksin dengan KCKT Analisis kadar aflatoksin dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode KCKT. Metode ini menggunakan instrumen kromatografi Agilent Technologies 1120 Compact LC Pump, Agilent Technologies 1200 Series Detector, Fasa Gerak Acetonitrile : Methanol : Aquabidest (1 : 3 : 6) dengan laju alir 1 mL/menit, detektor fluorescence pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi 450 nm. Kolom yang digunakan Rp-18 Lichrospher dengan panjang 250 mm, diameter 4 mm dan ukuran partikel 5µm. 3.3.3.5 Perhitungan
Kadar Aflatok sin
Luas area sampel x fp x slope bobot sampel ( g )
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Aflatoksin merupakan kontaminan yang bersifat toksik, mutagenik dan karsinogenik yang diproduksi oleh kapang A. flavus dan A. parasiticus terutama pada proses penyimpanan Kondisi penyimpanan biji jagung seperti lamanya waktu penyimpanan, suhu penyimpanan maupun kelembaban adalah faktor-faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan kapang Aspergillus flavus yang merupakan penghasil utama aflatoksin B1. Aflatoksin dapat terbentuk selama masa tanam, masa panen (selama proses pemanenan), dan pada saat penyimpanan. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon (Gambar 9).
(a)
(b)
(c)
Gambar 9 Sampel biji jagung asal (a) Tangerang, (b) Cikande, (c) Cirebon Sampel-sampel biji jagung yang diuji, pada umumnya terlihat baik secara penampakan fisik (Gambar 9). Pertumbuhan jamur tidak terlihat secara fisik pada sampel-sampel yang diuji karena sampel yang diperoleh sudah dikemas rapi dalam kemasan. Oleh karena itu untuk mengetahui adanya kontaminasi aflatoksin, perlu dilakukan uji kandungan aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA dan KCKT.
23
4.1 Kadar Air Kadar air adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan aflatoksin. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi. Peningkatan kadar air dapat dipengaruhi oleh kondisi pada saat penyimpanan, seperti, kelembaban, suhu serta curah hujan yang tinggi, terutama di negara yang beriklim tropis seperti Indonesia. Berdasarkan tabel hasil analisis kadar air pada biji jagung bahan baku pakan, selama 4 minggu penyimpanan kadar air meningkat. Kadar air tertinggi adalah kadar air sampel 1 yang berasal dari Tangerang, yaitu 10,64%. Berdasarkan SNI 01-4483-1998, kadar air biji jagung yang baik untuk disimpan maksimal 14%. Tabel 4 Kadar Air Biji Jagung Sampel
Lama Penyimpanan (minggu ke-) 0
1
2
3
4
1
10,60%
10,61%
10,62%
10,62%
10,64%
2
10,13%
10,13%
10,14%
10,15%
10,17%
3
10,22%
10,23%
10,23%
10,24%
10,25%
Keterangan: Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon Kadar air untuk sampel biji jagung dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon ini berada pada kisaran 10%, sehingga masih tergolong aman untuk penyimpanan, dan dapat dikatakan bahwa kondisi penyimpanan sangat baik, karena peningkatan kadar air selama 4 minggu sangat rendah. Contoh perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.2 Kadar Aflatoksin dengan Metode ELISA Kadar Aflatoksin dapat ditentukan dengan metode ELISA. Hasil analisis kadar aflatoksin pada biji jagung meningkat selama penyimpanan 4 minggu. Kandungan aflatoksin tertinggi yaitu sampel 1 dengan kadar 74,06 ppb dan kandungan aflatoksin yang paling rendah adalah sampel 2 dengan kadar 9,33 ppb. Berdasarkan SNI 01-4483-1998, kandungan total aflatoksin untuk jagung bahan baku pakan adalah maks. 50 ppb. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan
24
total aflatoksin pada sampel 2 dan 3 masih sesuai dengan SNI 01-4483-1998, masing-masing yaitu 9,33 ppb dan 28,67 ppb (Tabel 5). Sedangkan sampel 1 melebihi batas yang dianjurkan oleh SNI, yaitu 74,06 ppb. Hasil pembacaan ELISA dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 5 Kadar Aflatoksin dengan Metode ELISA Sampel
Lama Penyimpanan (minggu ke-) 0
1
2
3
4
1
73,94 ppb
73,95 ppb
73,96 ppb
74,00 ppb
74,06 ppb
2
9,21 ppb
9,23 ppb
9,25 ppb
9,30 ppb
9,33 ppb
3
28,57 ppb
28,59 ppb
28,61 ppb
28,65 ppb
28,67 ppb
Keterangan: Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon Kandungan aflatoksin umumnya dipengaruhi oleh kadar air, peningkatan kadar aflatoksin berbanding lurus dengan peningkatan kadar air. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 5), peningkatan kadar aflatoksin tidak banyak selama kadar air biji jagung tidak melebihi batas standar yang dianjurkan oleh SNI 01-44831998, yaitu 14%. Kadar air biji jagung untuk sampel Tangerang, Cikande, dan Cirebon berada pada kisaran 10% (Tabel 4). Kandungan aflatoksin sampel 1 yang berasal dari Tangerang melebihi batas yang diperbolehkan oleh SNI walaupun kadar airnya sesuai dengan SNI, kemungkinan kadar aflatoksin yang terkandung pada sampel 1 tersebut terbentuk selama masa tanam. Kandungan aflatoksin selama penyimpanan tidak akan berkurang, bahkan dapat bertambah ataupun tetap (Munkvold et al., 2002). 4.3 Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT Kadar aflatoksin dapat
juga dianalisa secara kuantitatif dengan
menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kadar aflatoksin yang dianalisis dengan metode KCKT yaitu aflatoksin B 1, B2, G1, dan G2. Sampel yang diuji adalah biji jagung yang berasal dari Tangerang (sampel 1), Cikande (sampel 2), dan Cirebon (sampel 3).
25
Analisis kadar aflatoksin dengan metode KCKT dilakukan pada minggu keempat penyimpanan, karena diduga pada minggu keempat penyimpanan, peningkatan kadar aflatoksin paling banyak terjadi. Kadar aflatoksin diperoleh dengan membandingkan antara waktu retensi standard dan waktu retensi sampel. Dari luas area sampel, dapat dihitung kadar aflatoksin dalam sampel (Lampiran 6). Hasil analisis menunjukkan kadar total aflatoksin tertinggi terdapat pada sampel 1, yaitu 75, 02 ppb dan terendah sampel 2 sebesar 9,83 ppb. Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin sampel 1 yang berasal dari Tangerang melebihi ambang batas standar yang diperbolehkan SNI 01-4483-1998, yaitu maks. 50 ppb, sedangkan sampel 2 (Cikande) dan 3 (Cirebon) masih sesuai dengan SNI. Tabel 6 Kadar Aflatoksin dengan Metode KCKT Sampel
Aflatoksin B1
B2
G1
G2
Total
1
70,48 ppb
4,54 ppb
ttd
ttd
75,02 ppb
2
8,96 ppb
0,88 ppb
ttd
ttd
9,83 ppb
3
25,43 ppb
2,90 ppb
ttd
ttdt
28,43 ppb
Keterangan : ttd = tidak terdeteksi (0 ppb) Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon Aflatoksin B1 merupakan jenis aflatoksin yang dikenal paling toksik diantara ketiga jenis lainnya (aflatoksin B2, G1, dan G2). Aflatoksin B2, G1, dan G2 mempunyai daya toksik yang lebih rendah dibandingkan dengan aflatoksin B1, hanya 1/60 -1/100 kalinya dan tidak terlalu berbahaya (Rachmawati, 2005). Bahan baku pakan ternak maupun pakan ternak yang terkontaminasi oleh aflatoksin
dapat
menyebabkan
gangguan
keracunan
bagi
ternak
yang
mengkonsumsinya serta menurunnya produktivitas hewan ternak. Kadar aflatoksin yang tinggi pada bahan baku pakan maupun pakan ternak dapat meninggalkan residu toksin pada produk ternak daging, telur, hati, susu
26
(Rachmawati, 2005) yang dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsi produk-produk ternak tersebut.
Hasil penelitian terdahulu terhadap hewan
percobaan yang dilakukan oleh International Agency for Research on Cancer menyebutkan bahwa aflatoksin B1 adalah senyawa racun yang bersifat karsinogenik, dan pada tahun 1988 dimasukkan ke dalam urutan senyawa karsinogen bagi manusia (Groopman et al., 1988).
4.4 Pengaruh Kadar Air Terhadap Kandungan Aflatoksin Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Jagung merupakan salah satu komoditi yang mempunyai tingkat resiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin (BPOM, 2011). Hasil analisis kandungan total aflatoksin pada jagung untuk bahan baku pakan meningkat selama 4 minggu penyimpanan dengan bertambahnya kadar air pada jagung. Menurut Rachmawati (2012), produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh kadar air. Dengan kadar air biji 7,79%, kadar aflatoksin B1 sebesar 2,93 ppb dan aflatoksin B2 1,54 ppb. Setelah biji direndam, kadar air naik menjadi 34,27%, kandungan aflatoksin B1 juga naik menjadi 19,30 ppb dan afllatoksin B2 4,12 ppb. Peningkatan kadar aflatoksin berbanding lurus dengan peningkatan kadar air,seperti terlihat pada Gambar 10. Pada sampel 1 yaitu sampel yang berasal dari Tangerang, kadar aflatoksin bertambah seiring penambahan kadar air pada tiap minggu penyimpanan. Demikian juga dengan sampel biji jagung yang berasal dari Cikande dan Cirebon (sampel 2 & 3). Grafik hubungan peningkatan kadar air dan kadar aflatoksin sampel 2 dan sampel 3 dapat dilihat pada Lampiran 4.
27
Kadar Aflatoksin
Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin 74.10 74.05 74.00 73.95
sampel 1
73.90 73.85 10.60
10.61
10.62
10.62
10.64
Kadar Air
Gambar 10 Grafik Hubungan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Tangerang (sampel 1) Kadar air yang tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan Aspergillus flavus dan pembentukan aflatoksin, sehingga penyimpanan jagung sebaiknya dilakukan pada kadar air yang rendah. Di negara-negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah <13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat, kadar air dapat mencapai 14% (Department of Crop Sciences University of Illinois, 1997). Sedangkan untuk negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal berkisar antara 7-9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan (Kasno, 2004). 4.5 Hasil Analisis Aflatoksin dengan Metode ELISA & KCKT Hasil analisis kandungan aflatoksin dilakukan dengan metode ELISA dan KCKT. Kandungan aflatoksin tertinggi dengan metode ELISA yaitu pada sampel 1 yang berasal dari Tangerang, sebesar 74,07 ppb. Sedangkan dengan metode KCKT, pada sampel 1 diperoleh hasil sebesar 75,02 ppb dan melebihi ambang batas standar maks. 50 ppb yang diperbolehkan SNI 01-4483-1998. Kadar air pada sampel 1 sebesar 10,64% masih sesuai dengan SNI 01-4483-1998. Kandungan aflatoksin untuk kedua sampel lainnya yang berasal dari Cikande dan Cirebon memenuhi persyaratan SNI, sedangkan kadar air untuk semua sampel Tangerang, Cikande, dan Cirebon sesuai dengan persyaratan SNI maks.14% (Tabel 7). 28
Tabel 7 Perbandingan Kadar Aflatoksin ELISA dan KCKT Kadar Aflatoksin (ppb) Sampel
ELISA
KCKT
1
74,06
75,02
2
9,33
9,83
3
28,67
28,43
Kadar Air (%)
SNI 014483-1998
Maks. 50 ppb
% air 10,64 10,17
SNI 014483-1998
Maks.14%
10,25
Keterangan: Sampel 1 : Tangerang; Sampel 2 : Cikande; Sampel 3 : Cirebon Pada masing-masing sampel terdapat perbedaan hasil yang diperoleh untuk tiap metode. Perbedaan tersebut diduga karena walaupun jenis sampel yang diuji pada setiap metode ELISA dan KCKT sama, namun waktu pelaksanaan pengujian sampel tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Selain itu, pengambilan sampel untuk setiap ekstraksi berbeda, walaupun berasal dari sampel yang sama Metode ELISA banyak digunakan karena relative mudah dan cepat dalam pengerjaannya, serta hasil yang diperoleh cukup akurat. Hal ini berdasarkan antigen yang dilapiskan pada plate uji adalah antigen yang spesifik dengan parameter sampel yang diuji, sehingga kesalahan positif sangat kecil terjadi. Selain dengan metode ELISA, analisis aflatoksin dapat juga dilakukan secara kromatografi, salah satunya adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
atau
yang
juga
dikenal
sebagai
High
Performance
Liquid
Chromatography (HPLC). Menurut Garcia-Villanova dkk (2004), sejak tahun 2004, metode analisis aflatoksin banyak menggunakan KCKT dengan detector fluorescence, karena dinilai lebih sensitive, dengan kolom yang beresolusi tinggi dan pengerjaan yang otomatis. Sedangkan Barbas dkk (2005), menyatakan analisis KCKT banyak digunakan karena memiliki nilai kuantifikasi lebih baik dan operasional yang mudah. Metode ELISA memiliki beberapa keuntungan yaitu pengerjaan mudah, cepat, sensitif dan relatif murah serta hasil yang diberikan juga cukup akurat. Metode KCKT dapat mendeteksi Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 sekaligus, dengan 29
adanya kalibrasi serta pembacaan standar aflatoksin. Namun demikian, walaupun memiliki keakuratan, metode ini mempunyai kelemahan, selain harga instrumen yang mahal, diperlukan juga pelaksana analisa yang terlatih untuk pengerjaannya. Tahap analisis juga cukup banyak mulai dari ekstraksi, pemurnian, pemisahan, dan memerlukan jenis pereaksi yang cukup banyak sehingga biaya analisis yang dibutuhkan menjadi mahal.
30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pada biji jagung, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada minggu keempat, kadar aflatoksin dengan metode ELISA berturut-turut sampel dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon yaitu 74,06 ppb; 9,33 ppb; 28,67 ppb. Dengan metode KCKT yaitu 75,02 ppb; 9,83 ppb; 28,43 ppb. Sampel dari Tangerang melebihi ambang batas yang diperbolehkan SNI No. 01-4483-1998 yaitu maksimal 50 ppb, sedangkan sampel Cikande dan Cirebon masih sesuai dengan SNI. Hasil analisis dengan kedua metode menunjukkan sedikit perbedaan namun tidak terlalu besar. Metode ELISA dapat mengukur kadar aflatoksin total secara cepat, relative mudah dan murah. Metode KCKT tidak hanya mengukur kadar aflatoksin total, tapi juga dapat mengukur kadar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 sekaligus hanya saja pengerjaannya lebih rumit serta biaya yang dibutuhkan lebih mahal dibandingkan metode ELISA. 2. Kadar air pada sampel biji jagung yang berasal dari Tangerang, Cikande, dan Cirebon meningkat selama 4 minggu penyimpanan namun masih memenuhi persyaratan SNI 01-4483-1998 maksimal 14%. Kadar air tertinggi pada sampel yang berasal dari Tangerang sebesar 10,64%. Peningkatan kadar air turut mempengaruhi peningkatan kadar aflatoksin selama penyimpanan. 5.2 Saran Pada penelitian selanjutnya, sebaiknya penyimpanan biji jagung dicoba dalam rentang waktu yang lebih panjang, sesuai dengan waktu penyimpanan biji jagung di gudang penyimpanan, sehingga dapat terlihat kenaikan kadar air dan kandungan aflatoksin, serta proses pengujian dengan metode ELISA dan KCKT dilakukan pada hari yang sama. Sebaiknya dilakukan pengujian ELISA dan KCKT pada setiap minggunya.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Riza Zainudin. 2009. Cemaran Kapang Pada Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1) : 15-22.
Pakan
dan
Anonim. 2005. Jagung (Zea mays L). Tanpa kota. Barbas, C.,Dams, A., Majors, R.E. 2005. Separation of Aflatoxin by HPLC. Application Agilent Tech. Inc. USA. BPOM. 2011. Mewaspadai Cemaran Aflatoksin Pada Pangan. Info POM 12 (6) : 5-8. Cserhati, T. And Forgacs, E., 1999, Chromatography in Food science and Technology, Technomic Publishing, Lancaster, Basel. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Pusat Data Statistik dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia. Department of Crop Sciences University of Illinois. 1997. Mycotoxins and mycotoxicoses. Report on Plant Dis. Pp. 1-6. Dharmaputra, O. S., 2004. Control of Storage Fungi. Course on Prevention and Control of Mycotoxin in Food ang Feedstuff, Seameo Biotrop. Garcia-Villanova, R.J., Cordon, C., Paramas, A.M.G., Aparicio, P., Rosales, M.E.G. 2004. Simultaneous Immunoaffinity Column Clean Up and HOLC Analysis of Aflatoxin and Ochratoxin A in Spanish Bee Pollen. J. of Agric. & Food Chemist 52 (24) : 7235-7239. Groopman, J .D, L.G. Cain and T.W. Kensler . 1988 . Aflatoxin Exposure in Human Populations Measurement Relationship to Cancer. Crit. Rev. Toxicol 19 (2) : 113-145. Handajani, N.S. dan R. Setyaningsih. 2006. Identifikasi Jamur dan Deteksi Aflatoksin B1 Terhadap Petis Udang Komersial. Biodiversitas 7 (3): 212215. Johnson, E.L. and Stevenson, R. 1978. Basic Liquid Chromatography. Varian, California. Kasno, A. 2004 . Pencegahan Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah . J . Litbang Pertanian 23(3) : 75 - 81 . Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak
32
of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. 113: 1763-7. Marwati, Endang S. Rahayu, Retno Indrati. 2008. Reduksi Aflatoksin B1 (AFB1) Dengan Perebusan Dalam Larutan Kapur Pada Pembuatan Enting-enting. Agritech 28(4):162. Maryam, R. 2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi Mikotoksin. Wartazoa 16 (1) : 21-30. Meyer, F.R., 2004, Practical High-Performance Liquid Chromatography, 4thEd., John Wiley & Sons, New York. Midio, A.F. , R.R. Campos and M. Sabino. 2001. Occurrence of Aflatoxin B1, B2, G1 and G2 In Cooked Food Componentsof Whole Meals Marketed In Fast Food Outlets of The City of Sao Paolo, SP, Brazil. Food Additives And Contaminants 18:445-448. Munkvold, G., et al. 2002. Aflatoxin in Corn. Iowa State University, University Extention. Pirestani, Akbar et al. 2011. Comparison of HPLC and ELISA for Detrmination of Aflatoxin Concentration in the Milk and Feeds of Dairy Cattle. Journal of Research in Agricultural Science 7(1) : 71-78. Racmawati, Sri, A. Lee, T.B. Murdiati, I. Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik Untuk Analisis Aflatoksin B1 Pada Pakan Ternak. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner : 133-148. Rachmawati, Sri. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia: Persyaratan Kadar dan Pengembangan Teknik Deteksinya. Wartazoa 15 (1) : 26-37. Rachmawati, Eka. 2012. Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2) Pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea, L.) Yang Beredar Di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek.. Universitas Pakuan Bogor. Reddy, S.V. and F. Waliyar. 2008. Properties of Aflatoxin and Its Producing Fungi. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp. [30 Januari 2013]. Standar Nasional Indoneia. 1998. SNI 01-4483-1998. Badan Standardisasi Nasional. Snyder, L. R., Kirkland, S.J., and Glajch, J.L., 1997, Practical HPLC Method Development, John Wiley & Son, New York.
33
Suarni. 2008. Teknologi Pascapanen Jagung Untuk Mengatasi Kontaminan Aflatoksin Dihasilkan oleh Aspergillus flavus. 110-124. Sudibyo, A. 2003. Aflatoksin Dalam Produk Pangan dan Cara Mengurangi Kandungan Racunnya. Warta IHP 20:1-2. Suryana, A. 2006. Strategi, Kebijakan, dan Program Penelitian Jagung. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Inovasi Teknologi Jagung. Makassar, 15 September 2006. Balit Serealia, Maros. 3 hlm. Syarief , R., Le Ega, C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Diterbitkan atas kerjasama IPB Press dengan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. United States Department of Agriculture (USDA). 2008. A Focus On Aflatoxin Contamination. http://fsrio.nal.usda.gov/documentfsheet.php?productid=48. [21 Januari 2013]. Widiastuti, R. 2006. Mikotoksin: Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan Residunya Dalam Produk Ternak Serta Pengendaliannya. Wartazoa 16 (3) : 116-127. Widiastuti, R., Indraningsih dan R. Firmansyah. 2008. Analisis Aflatoksin Pada Jagung yang dimurnikan dengan Solid Phase Extraction dan Dideteksi secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008 : 705-710. Williams, J. 2004. Top Ten Toxic Fungi Infested Foods. http://ezinearticles.com/? Top-Ten-Toxic-Fungi-Infested-Foods&id=102859 [30 Januari 2013].
34
Lampiran 1 Bagan Alir Penelitian
Biji Jagung kering
Waktu penyimpanan awal, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu, 4 minggu penyimpanan pada suhu 25oC
Biji jagung diblender/ dihaluskan sebanyak ± 500 gram
Diayak dengan ayakan 20 mesh
Uji Aflatoksin
ELISA
Uji Kadar Air
KCKT
Ditimbang ± 3 gram sampel ke dalam cawan timbang yang sudah diketahui bobot kosongnya
Dikeringkan dalam oven suhu 105oC selama 2 jam
Didinginkan, ditimbang
Pengeringan, penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot tetap kadar airnya.
35
Uji Aflatoksin
ELISA
KCKT
Ditimbang ± 20 g ke dalam Erlenmeyer 250 mL
Ditimbang ±25 g sampel + 5 g NaCl
Ditambahkan 100 mL methanol 70%
Diblender dengan 125 mL methanol 70% selama 1 menit, disaring
Dihomogenkan selama 5 menit dengan orbital shaker
15 mL filtrate + 30 mL aquabidest, divortex
Disaring larutannya dengan kertas saring Whatman No. 1
Disaring dengan microfiber
Dipipet 15 mL ke aflatest immunity(1 mL/menit)
Larutan ekstrak diperiksa kadar total aflatoksin dengan Kit ELISA Romer
Dicuci dengan 10 mL aquabidest Dielusi dengan methanol 1 mL ke dalam vial (dikeringkan dengan N2)
Ditambahkan 100 µL TFA, diinkubasi 15 menit, divortex
Ditambahkan 900 µL asetonitril 10%
Diinjeksikan ke KCKT
36
Lampiran 2 Foto alat-alat dan bahan
Foto 1 Kit ELISA Aflatoxin Romer
Foto 2 Reagent kit ELISA Romer
Foto 3 Orbital Shaker GFL seri 300
37
Lampiran 3 Contoh Perhitungan 1. Contoh perhitungan Kadar Air dalam Biji Jagung Minggu 4, sampel 1 Bobot sampel
= 3,5705 gram
Bobot sampel setelah pengeringan
= 3,1907 gram
Bobot air
= 0,3798 gram
Kadar air
bobot air bobot sampel
x100%
3.5705 gram 3.1907 gram x100% 3.5705 gram
10.64%
2. Contoh Perhitungan Kadar Aflatoksin ELISA Sampel 1 X
= log (conc.) ; conc. = antilog x
Logit B/Bo (y)
= -1,13
Slope (m)
= -1,1917
Intercept (a)
= 1,0975573
Y = m.x + a -1,13 = 1,1917.x 1,0975573 X= =
ya m
1,13 1,0975573 1,1917
= 1,8692 Kadar aflatoksin = antilog x = 73,99 ppb
38
3. Contoh Perhitungan Kadar Aflatoksin KCKT Sampel 1 Luas area (AFB1)
= 7703849
Slope
= 7,70813 x 10-6
Fp
= 25
Bobot sampel
= 21,0626 gram Luas area sampel x fp x slope
Kadar Aflatoksin =
=
Bobot sampel (g )
7703849 x 25 x 7,70813 x 106 21,0626 g
= 70,48 ppb
39
Lampiran 4 Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin
Kadar Aflatoksin
Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin 9.35 9.30 9.25 sampel 2
9.20 9.15 10.13
10.13
10.14
10.15
10.17
Kadar Air
Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Cikande (sampel 2)
Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Kadar Aflatoksin
28.70 28.65 28.60 sampel 3
28.55 28.50 10.22
10.23
10.23
10.24
10.25
Kadar Air
Grafik Hubungan Peningkatan Kadar Air dan Kadar Aflatoksin Sampel Cirebon (sampel 3)
40