BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis. Ini sebagai akibat proses eksploitasi batubara dari dalam bumi dilakukan dengan membongkar vegetasi, tanah dan batuan penutup sehingga menyebabkan perubahan bentang lahan, perubahan dan hilangnya struktur tegakan, peningkatan gas rumah kaca, penurunan produktivitas tanah karena berubahnya sifat dan kondisi karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah seperti penurunan pH tanah dan peningkatan kelarutan logam berat di tanah (Uchijima, 1991 dalam Kobayashi, 2004; Widyati, 2009; Ussiri et al., 2014). Kerusakan lingkungan akan menjadi lebih parah apabila lahan paska tambang dibiarkan terbuka tanpa dilakukan upaya restorasi dan rehabilitasi. Indonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam bahan tambang yang berperan cukup penting dalam menyumbang penerimaan negara sebesar 11,78 % terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) melalui sektor pertambangan (Anonim, 2013). Salah satu bahan tambang yang sekarang berada pada posisi strategis adalah batubara dengan total cadangan sebesar 21,131 miliar ton dari total sumberdaya sebesar 105,187 miliar ton (Badan Geologi KESDM, 2011 dalam Anonim, 2012). Konsumsi batubara di Indonesia meningkat secara signifikan dari 13,2 juta ton tahun 1997 menjadi 45,3 juta ton tahun 2007 karena untuk memenuhi kebutuhan sumber energi bagi PLTU, industri dan rumah tangga. Selanjutnya kapasitas produksi penambangan batubara ditingkatkan dari 77 juta ton pada tahun 2000 menjadi 466,307 juta ton pada tahun 2012 untuk suplai konsumsi domestik dan ekspor (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, 2011 dalam Anonim, 2012; Iswanto, 2013). Badan Pusat Statistik mencatat adanya pertumbuhan cukup
1
signifikan dari produksi batubara Indonesia selama 2010-2012 yaitu sebesar 14,45 % /tahun (Iswanto, 2013). Eksploitasi batubara dapat dilakukan melalui tambang permukaan dan tambang bawah tanah, tergantung dengan letak geologi deposit batubara yang ada (Ussiri et al, 2014). Di Indonesia, letak geologi deposit batubara pada umumnya berada di dekat permukaan tanah oleh karenanya eksploitasinya menggunakan cara penambangan permukaan. Ekploitasi batubara permukaan menggunakan teknik penambangan terbuka (open pit minning) dan penimbunan kembali (back filling), ini dianggap sebagai suatu cara yang aman dan ekonomis (Widyati, 2009). Teknik penambangan terbuka adalah suatu upaya penambangan yang dilakukan dengan cara membuka areal bervegetasi, mengupas lapisan tanah penutup serta membongkar dan memindahkan material tanah sehingga deposit bahan tambang dapat diekploitasi. Teknik penimbunan kembali adalah suatu upaya penutupan bekas lubang tambang yang telah selesai dieksploitasi dengan cara menimbun kembali menggunakan material tanah. Teknik penambangan terbuka menyebabkan banyak pembukaan lahan bervegetasi (deforestasi) seiring dengan peningkatan produksi tambang batubara (Widyati, 2009). Deforestasi akan mengakibatkan banyak terjadinya lahan terdegradasi dengan kondisi: bentuk lahan tidak stabil, tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi, sangat terbatasnya kandungan air dan unsur hara, serta tidak ada lagi atau sedikit sekali lapisan horison A dan horison B (Puspaningsih et al, 2010). Tercatat sebesar 1,3 juta ha lahan terdegradasi akibat penambangan batubara secara terbuka (Widyati, 2008) yang tersebar di berbagai titik penghasil batubara di beberapa pulau di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi Selain degradasi lahan, adanya deforestasi untuk pertambangan juga menimbulkan dampak negatif berupa emisi karbon dioksida sebagai salah satu gas rumah kaca. Hal ini terkait dengan isu pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) maka aktivitas pembukaan dan konversi lahan hutan untuk pertambangan tentunya akan menjadi sorotan
2
dunia. Ini sangat dipahami bahwa kegiatan antropogenik tersebut akan menyebabkan perubahan keseimbangan daur karbon alamiah karena adanya percepatan pembongkaran simpanan karbon dari tampungan bahan bakar fosil dan biosfer daratan/teristris yang berada pada senyawa organik dalam biomassa vegetasi, sisa bahan organik di atas tanah dan tanah menuju atmosfer (Rustad et al., 2000; Raich dan Tufekcioglu, 2000). Sundquist (1993); Kvenvolden (1993) dalam Rustad et al.(2000) menjelaskan bahwa estimasi jumlah CO2 pada atmosfer lebih rendah daripada jumlah CO2 pada pool lainnya, yaitu sebesar 750 Pg di atmosfer, 560 Pg di biosfer terestrial, 1.600 Pg di tanah dan 4.000 Pg di bahan bakar fosil. Sehingga adanya perubahan penggunaan lahan berakibat terjadi penambahan konsentrasi karbon di atmosfer sebagai akibat pembongkaran karbon pools teristris pada biomasa (vegetasi) dan lapisan permukaan tanah menuju atmosfer. Hasil estimasi emisi karbon dari aktivitas perubahan penggunaan lahan (sebesar 1,6 Pg C per tahun) sesungguhnya memang lebih rendah daripada emisi karbon dari penggunaan bahan bakar fosil (sebesar 5,4 Pg C per tahun) (Rustad et al., 2000). Demikian juga hasil perhitungan emisi CO2 global net dari perubahan lahan dengan metode Houghton et al. (2012) menunjukkan kecenderungan penurunan nilai estimasi berturut-turut sebesar 1,4 Pg C per tahun (1980-1989), 1,5 Pg C per tahun (1990-1999) dan 1,1 Pg C per tahun (2000-2009) (Ciais et al., 2013). Namun hal ini tetap perlu mendapat perhatian agar emisi karbon dioksida ke atmosfer dari aktivitas perubahan lahan pada dekade akan datang tidak meningkat, terutama terkait dengan pembukaan lahan untuk ekploitasi pertambangan batubara yang diprediksi akan terjadi peningkatan produksi. Perhatian yang serius terhadap masalah ini dikarenakan telah terjadinya peningkatan konsentrasi karbon dioksida atmosfer secara terus-menerus dari tahun ke tahun. Hasil pengamatan CO2 yang dilaporkan oleh Scripps CO2 Programme di Mauna Loa Observatory-Hawai, bahwa selama 55 tahun pengamatan ternyata konsentrasi CO2 tahunan meningkat sebesar 80,54 ppm
3
dari semula 315,98 ppm pada tahun 1958 menjadi 396,52 ppm pada tahun 2013. Bahkan saat pengukuran harian pada tanggal 15 Mei 2013, konsentrasi CO2 di atmosfer tercatat hampir menyentuh kisaran level 400 ppm (CO2 Now.org, 2014). Penanganan pertambangan batubara terkait isu perubahan iklim dan pemanasan gobal adalah bagaimana mengupayakan reklamasi/pemulihan lingkungan pasca tambang melalui kegiatan rehabilitasi dan revegetasi yang dapat memperbesar cadangan karbon dan menurunkan emisi karbon ekosistem daratan sebagai imbal balik adanya emisi karbon dari aktivitas pertambangan. Sementara itu, informasi terkait dengan perilaku emisi dan serapan karbon pada kegiatan pasca tambang belum diketahui secara baik. Oleh karenanya diperlukan penelitian mengenai siklus karbon dan faktorfaktor pengendali emisi pada berbagai pola rehabilitasi pasca tambang. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan arahan bagi kegiatan reklamasi, rehabilitasi dan revegetasi lahan pasca tambang yang selaras dalam kegiatan penurunan emisi CO2.
1.2. Perumusan Masalah Teknik penambangan batubara secara terbuka menyebabkan hilangnya penutupan vegetasi, tanah dan batuan penutup sehingga berakibat pada perubahan ekosistem hutan. Perubahan itu akan mempengaruhi daur karbon yang terkait dengan penyerapan, penyimpanan dan pelepasan karbon dalam suatu ekosistem. Penyerapan dan penyimpanan karbon pada suatu ekosistem teristris dapat didekati dengan menghitung simpanan biomasa yang terdapat dalam tegakan, tumbuhan bawah, seresah dan tanah hutan. Pelepasan karbon dari ekosistem teristris bersumber dari proses heterotrofik (mineralisasi karbon) dan autotrofik (proses fisiologi tanaman). Proses autotrofik berupa respirasi tanaman dan respirasi tanah yang merupakan gabungan proses heterotrofik dan autotropik menjadi faktor penting dalam proses pelepasan karbon teristris
4
ke atmosfer. Respirasi tanah digunakan sebagai salah satu faktor kajian terhadap pelepasan CO2 ke atmosfer karena perubahan suatu ekosistem. Melalui
pendekatan
ini
nantinya
dapat
diketahui
perilaku
penyerapan/penyimpanan dan pelepasan karbon. Sejauh mana biomasa karbon yang telah diserap oleh tanaman lewat proses fotosintesis akan tersimpan di dalam vegetasi dan tanah dalam jangka waktu yang lebih panjang. Dengan demikian, perilaku emisi ataupun serapan karbon dalam skala yang luas dan dalam jangka panjang pada aktivitas pertambangan batubara (pembukaan dan rehabilitasi-revegetasi) akan dapat diketahui.
1.3. Tujuan Penelitian 1. Membandingkan simpanan karbon dari berbagai ekosistem lahan di areal pertambangan batubara melalui penghitungan biomasa bagian atas, biomasa tumbuhan bawah, biomasa seresah dan karbon organik tanah. 2. Membandingkan emisi karbon tanah dari berbagai ekosistem lahan di areal pertambangan batubara. 3. Menghitung neraca karbon dari berbagai ekosistem lahan di areal pertambangan batubara.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi serapan, penyimpanan dan emisi karbon pada lahan tambang dalam rangka penanganan aktivitas pertambangan dan pasca tambang sehingga dapat memberikan kontribusi dalam upaya penanganan pengurangan emisi dan peningkatan serapan/penyimpanan karbon dalam suatu ekosistem teristris.
5