BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keracunan merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh bahan organik ataupun bahan anorganik yang masuk ke dalam tubuh sehingga menyebabkan tidak normalnya mekanisme di dalam tubuh. Akibat-akibat dari keracunan dapat menurunkan kesadaran bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan kematian jika cara penanganan yang salah. Keracunan seperti yang diketahui masyarakat luas, hanya menyerang bagian saluran pencernaan saja. Namun sebenarnya keracunan dapat menyerang saluran pernafasan juga. Misalnya keracunan akibat menghirup gas beracun yang dapat menyebabkan kepala pusing, dan mual (Yayasan Essentia 1993). Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf, obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP, obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba, konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung, atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik (Sunaryo 1995).
1.2 TUJUAN Praktikum
ini
bertujuan
penanggulangan keracunan striknin.
untuk
mengetahui
gejala
klinis
dan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Striknin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat utama diantar obat yang bekerja secara sentral. (Sunaryo, 1995). Menurut Utama (1995), Mekanisme kerja striknin yaitu merangsang semua bagian SSP, aksi ini dimulai pada medula spinalis, kemudian dengan meningkatnya konsentrasi striknin dalam otak (melewati batas kritis) maka impuls akan berpencar keseluruh SSP dan menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik. Kejang ini pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis suprakonvulsi, bahan ini menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada neuromusculary junction. Pada kesadaran dimana terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah. Oleh karena rasanya pahit, maka berguna sebagai stomathicum untuk merangsang ujung saraf pengecap untuk menambah nafsu makan, dan secara reflextoir merangsang sekresi HCl lambung. Dan menghilangkan tahanan postsynaps medulla spinalis dengan cara menghambat aksi Ach pada inhibitory cells.(Utama, 1995) Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps.Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP.Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas.Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak.Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat.Sifat khas lainnya darikejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran,penglihatan dan perabaan.Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis.Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung.Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjnya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal (Sunaryo,1995). Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku ototmuka dan leher.Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat.Pada sta dium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih
terkoordinasi,akhirnya terjadi konvulsi tetanik.Episode kejang ini terjadi berulang,frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik.Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat,dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya (Sunaryo,1995)
BAB III METODE KERJA 3.1 BAHAN DAN ALAT
3.2 PROSEDUR PERCOBAAN a) Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisiologis tubuh tikus normal. Pemeriksaan terdiri atas posisi tubuh, reflek, rasa nyeri, tonus otot, frekuensi napas, frekuensi jantung, dan konvulsi. b) Tikus pertama diberikan tannin secara peroral, sedangkan kedua tikus yang lainnya tidak. c) Sekitar 30 menit setelah pemberian tannin tikus kembali diberikan striknin dengan dosis sub letal secara peroral. Kemudian, diamati perubahan fisiologi tubuh yang terjadi setiap 10 menit. d) Pada tikus kedua, setelah pemeriksaan fisiologis tubuh tikus disuntikkan striknin dengan dosis sub letal secara subkutan. Lalu diamati perubahan fisiologi tubuhnya setiap 10 menit. e) Pada tikus ketiga, sama dengan perlakuan pada tikus kedua. Akan tetapi setelah terlihat adanya gejala konvulsi, tikus langsung disuntikkan diazepam/ pentotal secara intraperitoneum. kemudian dicatat waktu tikus mulai konvulsi dan waktu tikus relaksasi kembali.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Pengamatan A. Data Biologi Hewan Sebelum Percobaan Data Biologi Berat badan Frekuensi jantung ( kali/menit) Laju nafas ( kali/menit ) Tonus otot Reflex Kesadaran Rasa nyeri Gejala lain
Jumlah 25 gram 140/ menit 112 / menit +++ +++ +++ +++
Salivasi
-
Urinasi
-
Defekasi
+++
Konvulsi
-
B. Data Biologi Hewan Sesudah Percobaan Data Biologi Berat badan Frekuensi jantung ( kali/menit) Laju nafas ( kali/menit ) Tonus otot Reflex Kesadaran Rasa nyeri Gejala lain
Jumlah 25 gram 120/ menit 132 / menit ++ ++ +++ +++
Salivasi
-
Urinasi
-
Defekasi
+++
Konvulsi
-
4.2. Data Perhitungan
Dosis Berat mencit : 25 gram Dosis Strignin 0.01% (0.75 mg/kg BB)
=
0,00075 x 25 1000
= 1.875 X 10-5 gram
0.01 % =
1.875 X 10−5 x 100 0.01
= 0,1875 ml Dosis Diazepam 10mg/20ml (5mg/kg BB) =
5 x 25 1000
= 0.125 gram
10mg/20ml =
0.125 x 20 10
= 0.25 ml
4.3. PEMBAHASAN Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan saraf. Obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral (Remington 2005). Pada praktikum kali ini dilakukan uji keracunan striknin. Sebelum melakukan percobaan atau pengaplikasian senyawa striknin, dilakukan pemeriksaan fisiologis normal pada mencit sebagai hewan coba pada praktikum ini. Pada pemeriksaan fisiologis didapat hasil frekuensi napas pada setiap tikus masih dalam rentan batas normal yaitu 71-146 kali/menit sedangkan hasil frekuensi jantung didapat hasil yaitu 140 kali/menit. Hal tersebut dapat disebabkan ketidak tepatan praktikan dalam menghitung jumlah deyut jantung atau dapat juga dipengaruhi oleh bobot badan tikus. Pada percobaan pertama yaitu pemberian larutan strignin yang telah dihitung dosis dan didapat sebanyak 0,1875ml, dilakukan berupa intra subkutan atau dibawah kulit, hal ini dikarenakan untuk dapat mencapai efek yang lama
terhadap mencit sehingga dapat diamati terlebih dahulu kondisi biologisnya setelah diberikan larutan strignin berupa subkutan. Namun karena mungkin kesalahan praktikan dalam menyuntikkan strignin melalui subkutan didapat hasil omset kurang dari 1 detik sehingga pada saat mencit mengalami konvulsi langsung diberikan diazepam agar tidak mengalami kejang-kejang dan mengalami kematian pada mencit. Perlakuan berikutnya dengan memberikan diazepam secara intraperitoneal setelah pemberian striknin terlebih dahulu. Striknin yang bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, menyebabkan perangsangan pada bagian SSP. Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas yaitu berupa ekstensif tonik dari badan dan semua anggota gerak. Sifat khas lainnya dari kejang striknin ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal. Tanda konvulsi ditunjukkan dari tikus kelompok 1, 2, 3 dan 7 masingmasing terjadi kejang-kejang dan konvulsi pada detik ke awal dan langsung mengalami kematian dengan badan mencit yang menjadi kaku., dimana terdapat jangka waktu yang cukup singkat dari pemberian striknin hingga terjadi konvulsi. Hal tersebut dapat terjadi karena pemberian striknin secara subkutan yang cara penyuntikannya mungkin salah dan langsung menembus pembuluh darah sehingga efeknya langsung secara cepat yang harus melalui tahapan-tahapan obat yaitu liberasi, adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi.. Setelah muncul tanda-tanda konvulsi segera diberikan antidota berupa diazepam. Diazepam memiliki daya kerja sebagai sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot, yang mengakibatkan munculnya tanda-tanda relaksasi. Mencit kelompok 4, 6 dan 8 tidak menunjukkan tanda-tanda kematian, karena telah diberikan senyawa diazepam sebagai antidota dari keracunan striknin.
BAB V KESIMPULAN
Pemberian striknin pada mencit akan mengakibatkan gejala konvulsi pada mencit dan berakhir pada kematian. Hal tersebut dikarenakan striknin bersifat stimulansia pada susunan saraf pusat yang akan mengakibatkan paralisis batang otak karena hipoksia akibat gangguan napas dan mengakibatkan kontraksi otot yang berlebihan. Penanggulangan keracunan striknin dapat dilakukan dengan pemberian tannin sebagai protektiva sebelum berinteraksi dengan striknin. Senyawa lain yang dapat digunakan sebagai antidota adalah diazepam. Obat ini bersifat sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot sehingga mampu menetralisir efek dari striknin.
DAFTAR PUSTAKA Louisa, M dan Hedi RD . 2007. Perangsang Susuna Saraf Pusat. Farmakologi dan Terapi. Editor: Gunawan, S.G. Edisi ke-5. Jakarta (ID) : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Remington. 2005. Remington : The Science and Practice of Pharmacy. Lippincott Williams & Wilkins: Philadephia Stellman JM. 1998. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety: Guides, indexes, directory. International Labour Organization: United State of America Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat dalam Farmakologi dan Terapi Ed.IV. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.223-224. Syarif A et al. 2007.Farmakologi dan Terapi.Jakarta:Gaya Baru [Yayasan Essentia]. 1993. Perawatan Dini Penderita Keracunan. The Committe on Toxic: American College of Surgeon. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica. Tjay, TH dan Kirana, R. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Utama, Hendra., Vincent HS Gan., (1995). Antikonvulsan, dalam Farmakologi dan Terapi Bab 12. Editor Sulistia G. Ganiswara. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 163165 Wulangi,
S.K.
1993.
Prinsip-prinsipFisiologiHewan.
Bandung. Bandung
Institute
Teknologi