BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan dikenal sebagai negara maritim tropis, memiliki banyak sekali keunikan. Dalam hal cuaca misalnya, awan konvektif yang jangka waktu pembentukannya sangat pendek, dimana awan individu pertama yang terbentuk dapat berakhir untuk waktu kurang dari 5 menit (Bayong, 2004), menyebabkan hujan di Indonesia sangat sulit untuk diprediksi. Ataupun jika diprediksi, maka akan muncul kesalahan pada hasil prediksinya. Oleh karena itu, prediksi hujan di Indonesia sangat menarik untuk dibahas. Hujan di Indonesia sering menyebabkan bencana, dari mulai banjir sampai tanah longsor. Contoh kasus, hujan deras yang dimulai sejak 1 Februari 2007 menimbulkan dampak yang sangat besar. Jakarta lumpuh, 80% wilayah Jakarta terendam banjir dengan ketinggian mencapai 3 meter. Selama 7 hari banjir merendam Jakarta, 70 ribu satuan sambungan telepon putus, sebanyak 2.261 gardu distribusi listrik di wilayah Jakarta padam dan 70% pelanggan air bersih tidak mendapatkan pasokan. Banjir juga menciptakan kerugian jiwa yang sangat besar. Sebanyak 48 penduduk Jakarta tewas yang rata-rata diakibatkan oleh terbawa arus, tersengat listrik dan juga terkena penyakit. Karena banjir pun, 397.304 jiwa harus mengungsi dimana 93.912 jiwa dari jumlah itu terkena penyakit mulai dari diare, flu, batuk, radang sendi, ISPA, gatal-gatal, demam berdarah dan leptospirosis. (Urban Poor Consortium, 2007). Oleh karena itu, informasi mengenai kondisi cuaca pada keesokan hari ataupun jangka waktu ke depan yang lebih lama menjadi kebutuhan yang sangat besar bagi berbagai kalangan. Namun informasi yang diberikan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), selaku lembaga yang menangani masalah cuaca di Indonesia, dalam hal prediksi curah hujan masih terbatas.
I-1
BMKG hanya memberikan informasi prediksi untuk 1 hari ke depan saja (lihat website www.bmg.go.id). Andaikan saja masyarakat mendapatkan informasi prediksi untuk jangka waktu ke depan yang lebih lama, maka kerugian akibat bencana banjir, misalnya, mungkin dapat diminimalisasi. Sebetulnya NCEP (National Centers for Environmental Prediction) mengeluarkan informasi mengenai prediksi cuaca untuk seminggu ke depan, bahkan sampai 3 minggu ke depan (lihat website www.ncep.noaa.gov). Namun jika informasi tersebut langsung diterapkan di Indonesia, maka nilai kesalahannya akan tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena masalah resolusi model yang digunakan, mengingat NCEP menggunakan resolusi 10 x 10 pada model prediksi cuaca numeriknya. Perlu teknik downscaling agar resolusi yang didapatkan dapat lebih tinggi pada domain yang dikaji. Dengan model skala meso MM5, teknik downscaling ini dapat dilakukan untuk prediksi cuaca di Indonesia (Junnaedhi, 2006). Mesipun demikian, karena model MM5 memerlukan nilai awal (initial condition) dan nilai batas (boundary condition), diperlukan cukup banyak data keluaran GFS (Global Forecast System) yang harus diunduh dari situs NCEP. Beberapa tahun terakhir Puslitbang BMKG,
bekerjasama dengan CSIRO
(Commenwealth Scientific and Industrial Research Organisation) Australia, telah melakukan ujicoba prediksi cuaca dengan CCAM (Conformal-Cubic Atmospheric Model) yang merupakan model prediksi cuaca global dengan grid stretching sehingga sekaligus dapat digunakan untuk melakukan downscaling (Ratag, 2007). Sebagai
model global,
CCAM mempunyai kelebihan karena untuk
menjalankannya hanya memerlukan data initial condition sehingga waktu running pun relatif lebih cepat (BMKG, 2008) dan prediksi dapat dilakukan sampai dengan waktu yang lebih jauh ke depan. Dengan demikian, CCAM cukup potensial untuk digunakan dalam prediksi curah hujan sampai satu minggu ke depan.
I-2
Prediksi Cuaca Numerik (PCN) atau Numerical Weather Prediction (NWP) secara inheren akan menghasilkan kesalahan. Lorenz (1969;1982) mendapatkan dapatkan bahwa nilai kesalahan awal dapat berkembang dengan cepat menjadi skala yang berbeda-beda, seberapapun kecilnya nilai kesalahan awalnya. Hal ini menghasilkan ketidakpastian dalam hasil prediksi yang dilakukan dengan suatu sistem NWP (Zhu, 2005). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk mendapatkan informasi kuantitatif mengenai ketidakpastian tersebut, apalagi untuk parameter curah hujan, yang memiliki peluang kejadian yang sulit diprediksi hanya dengan prediksi tunggal (single forecast) (Goo, 2007). Dalam hal ini, prediksi ensemble merupakan teknik paling mutakhir yang dikembangkan oleh para ahli untuk mengkuantifikasi ketidakpastian prediksi (Zhu, 2005) Penelitian dimaksudkan untuk mengembangkan suatu teknik prediksi ensemble dengan memanfaatkan CCAM dan data keluaran GFS dari NCEP sebagai IC (initial condition) yang tersedia 4 kali (setiap enam jam) dalam sehari, sehingga didapatkan prediksi untuk seminggu ke depan. Selanjutnya, dikaji pula teknik pengolahan data (post-processing) hasil prediksi ensemble tersebut sehingga menghasilkan prakiraan kejadian hujan yang mengandung informasi peluang kebenaran secara kuantitatif.
Penelitian semacam ini masih jarang, bahkan
mungkin belum pernah, dilakukan di Indonesia. Penelitian ini mengambil studi kasus untuk Pulau Jawa, mengingat bahwa Pulau Jawa merupakan pulau dengan populasi terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara (Jacob Rais, 2008). Pulau Jawa juga merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat diterapkan sehingga dapat memberikan manfaat untuk masyarakat umum di Indonesia, baik untuk peringatan dini terhadap bencana banjir maupun keperluan perencanaan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.
I-3
1.2 Tujuan Penelitan Tujuan penelitian tugas akhir ini adalah: 1. Penggunaan model prediksi CCAM untuk prediksi peluang kejadian hujan seminggu ke depan. 2. Mengembangkan metode prediksi ensemble menggunakan data GFS sebagai initial condition. 3. Evaluasi kemanfaatan prediksi ensemble untuk prakiraan peluang kejadian hujan. 1.3 Batasan Masalah Agar penelitian ini tepat sasaran dan tidak melebar pembahasannya, maka diperlukan beberapa batasan masalah serta asumsi seperti berikut: 1. Data GFS dianggap cukup merepresentasikan keadaan cuaca di Pulau Jawa. 2. Data pengamatan satelit GMS diasumsikan baik dalam menggambarkan kondisi sebaran awan di atas Pulau Jawa. 3. CCAM ter-validasi dengan baik, sehingga dapat langsung dipergunakan untuk melakukan kajian prediksi. 4. Kajian prediksi hanya untuk parameter curah hujan harian untuk bulan Februari 2009 dan Juli 2009. 5. Data pengamatan curah hujan untuk bulan Februari 2009 dan Juli 2009 dianggap cukup merepresentasikan klimatologi data curah hujan untuk bulan basah dan kering. 6. Batasan fisik ruang kajian adalah wilayah Jawa dan sekitarnya, dengan letak geografis 100 LS – 40 LS dan 1020 BT – 1160 BT.
I-4
1.4 Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan dalam tugas akhir ini adalah sebagai berikut: Bab I membahas latar belakang, tujuan penelitian, batasan masalah, dan terakhir adalah sistematika pembahasan tugas akhir ini. Bab II merupakan uraian yang akan menjadi acuan dalam pengolahan serta analisis hasil studi. Uraian tersebut meliputi pembahasan mengenai prediksi cuaca numerik, kemudian penjelasan model CCAM, pembahasan mengenai prediksi ensemble, dan terakhir adalah teori mengenai prediksi peluang kejadian hujan. Bab III berisi penjelasan tentang data dan prosedur yang digunakan dalam pengerjaan tugas akhir ini. Bab IV merupakan hasil dan analisis. Gambar yang lebih lengkap akan diletakkan pada bagian lampiran. Bab V berisi kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tugas akhir ini.
I-5