BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemerintahan pada masa sekarang memiliki fungsi diantaranya
memberikan pelayanan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan memberikan pelayanan publik yang baik dan optimal (Rieseneder, 2008). Optimasi proses dan pelayanan (service and process optimization) merupakan salah satu komponen untuk mewujudkan pemerintah yang baik (good government) (Michigan Lean Consortium, 2013). Pelayanan publik yang optimal menjadi salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelayanan bagi masyarakat. Seringkali pelayanan yang optimal kepada masyarakat tidak dapat dipenuhi dikarenakan beberapa hal, salah satunya ialah kondisi dan lokasi pusat pemerintahan yang tidak kondusif akibat adanya tekanan perkotaan terhadap lokasi asal dan letak kantor-kantor pemerintahan yang tidak berada pada satu kawasan yang terpadu akibat minimnya lahan di lokasi awal. Untuk mengatasi hal tersebut munculah sebuah kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ke wilayah lain yang dirasakan lebih kondusif. Pemindahan pusat pemerintahan dalam konteks ini bukan diartikan sebagai pemindahan Ibukota, namun diartikan sebagai pemindahan salah satu fungsi ibukota yang sangat kompleks, yang salah satunya ialah fungsi pemerintahan. Pusat pemerintahan sendiri diartikan sebagai fungsi wilayah yang didalamnya mencakup perkantoran pemerintahan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan pusat pemerintahan, tidak hanya memindahkan pusat perkantoran, namun juga memindahkan serangkaian fasilitas dan utilitas penunjang kegiatan pemerintah, memindahkan sistem, dan memindahkan aktivitas, serta mobilitas pemerintahan. Meskipun pada awalnya pemindahan ini sering ditandai dengan pemindahan pusat perkantoran pemerintahan.
1
Kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dari satu wilayah ke wilayah yang lain menjadi sebuah keputusan yang besar, karena membutuhkan kesiapan institusi, masyarakat, dan dana yang cukup banyak. Memindahkan fungsi pemerintahan ke lokasi yang baru merupakan sebuah upaya pemerintah untuk membantu mengurangi tekanan di kota utama akibat berbagai permasalahan perkotaan dan memberikan ruang lebih seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan perkantoran (Siong, 2006). Dengan adanya pusat pemerintahan yang baru akan memungkinkan pemerintah membangun pusat perkotaan yang terencana dengan baik yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan teknologi penunjang untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas pemerintah (Siong, 2006). Pemindahan pusat pemerintahan saat ini menjadi salah satu fenomena baru dalam perencanaan perkotaan dunia, meskipun di berbagai negara tema ini bukan lagi menjadi fenomena yang baru. Tahun 2005 pemerintah Myanmar mengumumkan keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Yangon ke Naypyitaw, sebuah kota yang berjarak 240 mil utara Kota Yangon (Myoe, 2006). Alasan pemindahan ini dikarenakan beberapa faktor, yakni faktor strategi militer, informasi keamanan negara, Naypyitaw merupakan daerah yang lebih mudah dikontrol, faktor dekolonisasi, upaya untuk mengisolasikan pusat pemerintahan dari jumlah penduduk yang besar, dan untuk mengikuti kepercayaan trandisional Myanmar (Myoe, 2006). Malaysia juga menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke wilayah yang dikenal dengan nama Putrajaya yang terletak 25 km dari Kuala Lumpur. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi tekanan perkotaan di Kuala Lumpur dan seiring dengan kebutuhan ruang perkantoran pemerintahan yang meningkat (Siong, 2006). Kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur menuju Putrajaya telah dimulai sejak 1993 dan mulai dibangun pada tahun 1996, serta pada tahun 2012 sebagian besar kantor-kantor pemerintahan Malaysia telah menempati Putrajaya (Putrajaya Corporation, 2012). Kebijakan ini juga diikuti oleh pemerintah Korea Selatan yang pada tahun 2005
2
mengumumkan kebijakan untuk memindahkan kantor-kantor pemerintahan dari Seoul menuju Yeongi Gongju, sebagai upaya untuk menyeimbangkan desentralisasi dan pembangunan nasional, dan pada tahun 2012 sebanyak 20 kantor pemerintah dan 16 pusat riset Korea Selatan telah resmi berada di Sejong (United Nation of Experts on Geographical Names, 2014). Kemunculan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia tak lepas dari Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang pertama
kali
pemerintah
mengemukakan
daerah
adanya
mendapatkan
kebijakan
wewenang
desentralisasi,
dalam
mengatur
dimana urusan
kepemerintahannya. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen menjadi Undang-undang No 32 Tahun 2004 dan Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahannya,
pemerintah
daerah
berkewajiban
dalam
memberikan
palayanan yang optimal. Optimalisasi pelayanan pemerintah inilah yang menjadi dasar banyak pemerintah daerah di Indonesia membuat kebijakan untuk memisahkan fungsi pemerintahan dari kompleksitas fungsi ibukota, dengan harapan agar pelayanan dan sistem pemerintahan dapat berjalan lebih optimal. Alternatif
pemindahan
pusat
pemerintahan
tidak
hanya
dapat
menciptakan optimalisasi pelayanan dan kinerja pemerintah, namun kebijakan ini dapat menjadi strategi dan awal kemunculan kota baru (new town) di daerah tujuan. Permasalahan perkotaan seperti ukuran kota yang tidak seimbang dengan pertumbuhan populasinya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengatur populasi dan perkembangan kota yang menyebabkan kemacetan, polusi, kriminalitas, serta banyaknya migrasi dari kota menuju pinggiran kota nyatanya memicu untuk membuat alternatif pengembangan kota baru (Golany, 1976). Salah satu yang dapat memicu perkembangan kota baru ialah dengan membuat pusat-pusat pertumbuhan baru, salah satunya dengan melakukan pemindahan pusat pemerintahan. Pemindahan pusat pemerintahan juga terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan. Ibukota provinsi secara yuridis tetap berada di Kota Banjarmasin, namun salah satu fungsinya, fungsi pemerintahan berpindah ke Kota Banjarbaru,
3
yakni sebuah Kota yang berjarak ± 35 Km2 dari Kota Banjarmasin. Hal ini dikarenakan meningkatnya kebutuhan ruang perkantoran yang tidak diiringi oleh lahan perkantoran yang cukup di Kota Banjarmasin, upaya mewujudkan kantor pemerintahan yang berada pada satu kawasan yang terpadu, upaya untuk menyediakan berbagai fasilitas kepemerintahan yang belum dapat disediakan pada kota awal, serta upaya untuk peningkatan pelayanan pemerintah. Hasil analisis yang dilakukan oleh Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan dan Unlam (2006) menyatakan bahwa indeks kepuasan masyarakat terhadap pelayanan di kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 66,563. Angka tersebut termasuk pada kategori baik, namun dilihat dari intervalnya, hampir mendekati posisi kurang baik, sehingga perlu dilakukan berbagai alternatif untuk
meningkatkan mutu pelayanan Pemerintahan Provinsi
Kalimantan Selatan. Pemindahan pusat pemerintahan ini telah melalui proses yang panjang dan mempertimbangkan banyak faktor. Kebijakan ini telah direncanakan sejak tahun 2006 dan pada tahun 2012 pemindahan fungsi pemerintahan ini diawali dengan memindahkan kantor-kantor pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan yang telah resmi dipindahkan ke Kota Banjarbaru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa alasan yang menentukan kebijakan pemindahan ibukota maupun pusat pemeritahan satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda. Ada yang dikarenakan oleh faktor meningkatnya kebutuhan lahan kantor pemerintahan, ada yang disebabkan oleh faktor untuk menyeimbangkan pembangunan nasional, dan ada pula yang dikarenakan faktor politik, keamanan dan stabilitas nasional. Faktor pemilihan lokasi nya pun beragam, ada yang mempertimbangkan aksesibilitas, letak geografis, kondisi fisik, maupun sosial dan ekonomi. Proses implementasi kebijakan pemindahan pusat pemerintahan yang terjadi pun beragam, ada yang melalui intervensi politik dan konflik internal, namun ada pula yang dapat dilakukan dengan baikmelalui pertisipasi publik dan tinjauan lainnya. Untuk itulah penelitian ini perlu untuk dilakukan agar diketahui bagaimana proses kebijakan ini diambil dan diimplementasikan serta faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan pusat pemeritahan di Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.
4
1.2
Rumusan Masalah Fenomena kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di berbagai negara
di dunia telah terjadi sejak lama. Pemindahan ibukota maupun pusat pemerintahan di berbagai daerah melalui proses yang panjang dan seringkali dalam proses pemindahan tersebut terjadi ketidak sepemahaman yang dapat menjadi kendala implementasi kebijakan. Salah hal yang penting dalam pemindahan pusat pemerintahan ialah alasan pemilihan lokasi yang ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor yang menjadi alasan pemindahan itupun beragam dan berbeda satu sama lain, mulai alasan untuk mengurangi beban kota utama, untuk
memenuhi
peningkatan
kebutuhan
ruang
perkantoran,
untuk
menyeimbangkan pembangunan nasional, dan lain lain. Alasan pemilihan lokasi yang akan direncanakan pun memiliki alasan tertentu, mulai dari faktor fisik, lokasi geografis, aksesibilitas, fasilitas, historis dan politik. Pemindahan ini ada yang berjalan sukses, namun ada juga yang masih terkendala. Setiap fenomena pemindahan di sebuh tempat memiliki karakteristik yang berbeda, untuk itulah muncul beberapa rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yakni :
1.
Mengapa pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dipindah ke Kota Banjarbaru ?
2.
Bagaimana proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru ?
1.3 1.
Tujuan Penelitian Menganalisis faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.
2.
Menganalisis proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.
5
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini merupakan syarat akademik untuk menyelesaikan program
strata-2 di program sudi S2 Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kebijakan publik dari sudut pandang ilmu geografi, khususnya dalam pembangunan wilayah. Karena pengkajian kebijakankebijakan publik selama ini masih didominasi oleh pengkajian ilmu sosial dan ekonomi, sehingga kemunculan sudut pandang ilmu lain perlu dilakukan sebagai bentuk variasi penilaian dari sebuah kebijakan publik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang, maupun daerah-daerah lain yang berencana akan memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya sebagai sebuah upaya yang dilakukan untuk mengembangkan daerah.
1.5
Keaslian Penelitian Penelitian- penelitian yang berkaitan dengan pemindahan pusat pemerintahan,
pemindahan ibukota, dan pengembangan kota baru (new town) telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di dunia, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.1. Penelitian mengenai tema ini di beberapa negara telah sejak lama dilakukan. Beberapa penelitian yang merujuk pada Tabel 1.1 menunjukan adanya perbedaan antara penelitian satu dengan penelitian lainnya, baik dari segi spasial dan temporal atau dari metode dan teknik analisis data yang disesuaikan dengan tujuan. Evaluasi lokasi dan faktor-faktor yang menentukan menjadi salah satu tujuan penelitian yang banyak dilakukan.Hal ini menunjukan bahwa saat ini banyak ditemukan fenomena yang merujuk pada pengembangan kota baru, pemindahan pusat pemerintahan maupun ibukota sebagai salah satu kebijakan perkotaan. Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena setiap daerah memiliki ciri dan karakteristik perkotaan yang berbeda, sehingga akan menghasilkan fenomena yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
6
Tabel 1.1 Perbandingan Keaslian Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti Ho Chin Siong
Jenis Penelitian Judul dan Tahun Jurnal Putrajaya(2006) Administrative center of Malaysia: Planning, Concept, and Implementation
Maung Aung Myoe
Jurnal (2006)
Anne Prentice
Jurnal (1966)
Deborah Potts
Jurnal (1985)
The Road to Naypyitaw: Making Sense of The Myanmar Government’s Decision to Move It’s CapitalGovernment Islamabad : A New Capital City
Capital Relocation in Africa: The Case of Lilongwe in Malawi
Tujuan
Metode
Analisis
Hasil
1. Menjelaskan perencanaan, Studi konsep, dan implementasi Literatur putrajaya. 2. Menjelaskan faktor yang mempengaruhi putrajaya dipilih sebagai lokasi pusat pemerintahan yang baru.
Analisis deskriptif
Faktor-faktor yang menentukan putrajaya dipilih sebagai pusat pemerintahan yang baru ialah harga lahan, biaya pembangunan infrastruktur, Lokasi strategis, transportasi dan aksesibilitas, bentuk lahan,vegetasi, lokasi yang potensial, dan minimalisasi terhadap konflik komunitas lokal.
1. Menjelaskan faktor yang Studi menjadi penentu keputusan Literatur pemerintan Myanmar untuk memindahkan Pusat pemerintahan.
Analisis deskriptif
Faktor-faktor yang penyebab Naypyitaw menjadi pusat pemerintahan ialah Informasi keamanan negara, faktor strategi militer, lebih mudah diawasi, faktor dekolonisasi, faktor isolasi pusat pemerintahan, dan faktor kepercayaan tradisional.
1. Menjelaskan alasan pemidahan ibukota Pakistan 2. Menjelaskan perencaan Islamabad sebagai ibukota baru Pakistan 1. Menjelaskan isu strategis dalam pemindahan ibukota Malawi dari Zomba ke Lilongwe 2. Menjelaskankeadaan Lilongwe
Studi Literatur
Analisis Deskriptif
Metode kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif
Karachi memliki permasalahan yang kompleks, dan Islamabad dipilih sebagai ibukota baru Pakistan dikarenakan faktor fisik dan lokasi yang strategis. Zomba memiliki berbagai permasalahan yang sangat kompleks, sehingga ibukota Malawi harus dipindahkan. Namun, pemindahan ini justru menimbulkan 7
Venni Meitaria Detiawati
Tesis (2008)
Penetapan Pulau Dompak sebagai lokasi pusat perkantoran pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
1.
2.
3.
sebagai ibukota baru Malawi Mengetahui kelayakan Pulau Dompak dan faktor-faktor yang menjadi alasan pemilihan Pulau Dompak sebagai lokasi pusat perkantoran di Provinsi Kepulauan Riau Mengetahui kelayakan perbandingan lokasi yang dipilih berdasarkan studi kelayakan dengan lokasi yang telah ditetapkan di Pulau Dompak Mengetahui persepsi stakeholder terhadap Pulau Dompak sebagai lokasi pusat perkantoran pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau Mengevaluasi apakah situasi dan kondisi Kota Weda sudah memenuhi syarat dipilih sebagai lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah.
Metode kualitatif
Deskriptif kualitatif
Metode deduktif kualitatif
Deskriptif deduktif kualitatif
Moh. Fitra U.Ali
Tesis (2010)
Evaluasi lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah
1.
A. Malik Ibrahim
Tesis (2001)
Evaluasi Penetapan Lokasi Ibukota Provinsi Maluku Utara
1. Mengkaji kebijakan penetapan Kualitatif Sofifi sebagai ibukota untuk rasionalistik memperoleh pertimbangan akademis bagi penetapan ibukota provinsi. 2. Mengkaji tingkat kesesuaian
Analisis deskriptif kualitatif
banyak permasalahan di Lilongwe. Faktor utama penetapan Pulau Dompak sebagai pusat perkantoran ialah faktor geografis, pemanfaatan lahan, dan ketersediaan lahan kosong. Lokasi perkantoraan saat ini sangat strategis dan mudah dijangkau. Stakeholder menilai hal ini akan membuka keterisolasian kawasan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kota Weda sebagai pusat pemerintahan ialah faktor geografis, pemanfaatan lahan, ketersediaan sumber air, dan aksesibilitas. Namun Kota Weda rentan terhadap bencana banjir dan ekonomi masyarakat yang masih didominasi sektor pertanian. Berdasarkan hasil komparasi merekomendasikan Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara, namun diperlukan strategi pemantapan untuk fungsi pusat pemerintahan.
8
Muslihin
Tesis (2008)
Arry Ronny Danny Deda
Tesis (2002)
Syafruddin
Tesis (2001)
lokasi terpilih dalam rangka mencari alternatif lokasi lain untuk memenuhi kriteria sebuah lokasi untuk pengembangan kota berkelanjutan Pemindahan Ibukota 1. Mengetahui faktor-faktor yang Kualitatif Definitif Provinsi menjadi keterlambatan eksploratif Maluku Utara : Studi pemindahan ibukota Maluku tentang masalahUtara masalah yang muncul dalam proses pemindahan ibukota dari Ternate ke Sofifi. Evaluasi Penetapan 1. Melakukan evaluasi penetapan Kualitatif Lokasi Ibukota lokasi ibukota Kabupaten rasionalistik Kabupaten Jayapura Jayapura dan menemukenali di wilayah Sentani konsep dan norma perencanaan yang dipakai sehingga Kecamatan Sentani ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Jayapura Evaluasi Konsep Rencana Lokasi Ibukota Kabupaten: Rencana Pemindahan Ibukota Kabupaten Button.
1. Mengetahui apakah pemilihan Kualitatif lokasi ibukota Kabupaten Buton pada kawasan La Ompo dan sekitarnya di Kecamatan Batauga sudah sesuai dengan teori, konsep, dan norma-norma perencanaan ibukota kabupaten.
Analisis deskriptif eksploratif
Faktor yang mempengaruhi keterlambatan pemindahan karena dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat dan beberapa faktor lain seperti ekonomi, sosio kultural dan historis, serta faktor politik.
Analisis deskriptif kualitatif
Ada kesamaan kriteria secara teoritik dan normatif dalam penetapan lokasi ibukota Kabupaten Jayapura, namun ada perbedaan kriteria teoritik dalam penetapan lokasi yang ada dengan konsep pemerintah, serta ada perbedaan normatif dalam penetapan lokasi ibukota Kabupaten Jayapura dengan pemerintah daerah. Secara konsep, tidak ada perbedaan yang kontradiktif antara konsep yang diterapkan oleh pemerintah dengan konsep perencanaan ibukota kabupaten, namun ada beberapa kekurangan pada lokasi ini yang perlu diperhatikan pemerintah.
Analisis deskriptif kualitatif
9
Yuke Nori Aurumbita
Tesis (2014)
Pemindahan Pusat Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru
1. Menganalisis faktor-faktoryang menjadi alasan pemindahan pusat pemerintahan Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru. 2. Menganalisis proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru
10
Pada Tabel 1.1 berbagai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan baik didalam maupun luar negeri yang menunjukan berbagai temuan yang berbeda. Ho Chin Siong pada jurnalnya tahun 2006 meneliti mengenai perencanaan, konsep, dan implementasi lokasi Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi tersebut. Berdasarkan penelitiannya, diketahui bahwa keputusan untuk merelokasi pusat pemerintahan Malaysia telah diambil sejak tahun 1993, dan pembangunan dimulai pada tahun 1996, sedangkan pada tahun 2012 pusat pemerintahan Malaysia resmi dipindahkan ke Putrajaya. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kemacetan di Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan Malaysia yang semakin hari semakin bertambah. Putrajaya dirancang dengan konsep garden city dan intelligent city dengan dilengkapi infrastruktur modern dan smart yang memudahkan bagi para penghuninya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja pemerintahan. Putrajaya terletak 25 km dari Kuala lumpur. Faktor-faktor Putrajaya dipilih sebagai pusat pemerintahan yang baru ialah karena harga lahan yang masih minim dan kalkulasi biaya pembangunan infrastruktur yang tidak besar, lokasi Putrajaya sangat strategis karena berada pada wilayah pertumbuhan, Putrajaya sudah memiliki transportasi dan aksesibilitas yang baik, bentuk lahan dan jenis vegetasi yang memungkinkan dalam pembangunan, Putrajaya merupakan lokasi potensial untuk pengembangan wilayah sekitar, serta lokasi yang paling memiliki dampak konflik komunitas lokal yang paling minim. Tak berbeda jauh dengan Ho Chin Siong, Maung Aung Myoe memaparkan hasil penelitiannya pada jurnal tahun 2006 mengenai faktor-faktor yang menjadi penentu pemerintah Myanmar memindahkan pusat pemerintahan dari Yangon menuju Naypyitaw yang berjarak 240 mill utara Yangon. Keputusan pemindahan pusat pemerintahan ini telah diumumkan sejak tahun 2005. Alasan pemindahan ini dikarenakan 6 faktor, yakni faktor untuk melindungi informasi kemanan negara Myanmar, faktor strategi militer yang lebih menguntungkan apabila pusat pemerintahan berada di Naypyitaw, lokasi Naypyitaw yang lebih
11
mudah diawasi, faktor dekoloniasi, untuk mengisolasi pusat pemerintahan dari lokasi yang memiliki populasi yang banyak sehingga kinerja pemerintah dapat optimal dan mengurangi konflik sosial, serta untuk mengikuti kepercayaan trandisional Myanmar bahwa lokasi yang tenang dan lebih tinggi akan membuat kondisi pemerintahan lebih baik. Pemindahan ibukota juga terjadi di Pakistan sejak lama. Anne Prentice dalam jurnalnya pada tahun 1966 mengungkapkan bahwa ibukota Pakistan semula berada di Karachi. Namun, Karachi memiliki berbagai permasalahan yang kompleks, seperti minimnya fasilitas dan bangunan yang memadai, pertumbuhan penduduk yang tinggi akibat banyaknya pengungsi dari India, kepadatan penduduk, serta permasalahan sulitnya komunikasi yang terjalin. Hal ini lah yang membuat ibukota Pakistan kemudian dipindahkan ke lokasi lain. Islamabad dipilih sebagai lokasi ibukota yang baru dikarenakan kondisi fisiknya yang terletak di dataran tinggi, dan berada pada lokasi strategis yang terletak dengan beberapa kota penting di Pakistan. Dalam perencanaan nya, Islamabad dirancang sebagai kota yang modern dan terintegrasi dengan pusat-pusat kota di Pakistan. Pemindahan ibukota juga terjadi di Malawi. Deborah Potts dalam jurnalnya pada tahun 1985 mengungkapkan bahwa pemerintah Malawi memindahkan ibukota Malawi dari Zomba menuju Linglowe pada tahun 1965. Pemindahan ini disebabkan karena berbagai permasalahan yang ada di Zomba, seperti kemacetan, permukiman yang tidak layak, dan banyaknya bangunan yang hancur pada masa kolonial. Alasan pemindahan ke lokasi yang lebih kondusif ini terkait pula dengan beberapa elemen yang ingin dicapai pemerintahan Malawi baik dari sisi regional maupun politik. Namun, pemindahan ibukota di Lilongwe justru
menimbulkan
berbagai
permasalahan
di
kota
Lilongwe,
seperti
permasalahan keuangan, pertumbuhan penduduk, pelayanan dan penyediaan permukiman, dan pengangguran. Banyaknya permasalahan di lokasi ibukota yang baru dikarenakan lemahnya komitmen pemerintah dalam membangun kebijakan yang dapat mendukung Lilongwe sebagai ibukota pemerintahan yang baru.
12
Beberapa
kasus
mengenai
pemindahan
ibukota
maupun
pusat
pemerintahan juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Venni Meitaria Detiawati dalam penelitian tesis tahun 2008 mengemukakan faktor-faktor yang menjadikan pulau Dompak sebagai pusat perkantoran pemerintahan baru di Provinsi Kepulauan Riau, serta persepsi stakeholder terhadap pemindahan tersebut. Faktor-faktor yang menentukan Pulau Dompak dipilih ialah karena letak geografis yang tidak berhimpitan dengan kota yang telah tumbuh dan berkembang, pemanfaatan lahan, dan ketersediaan lahan kosong yang masih luas, sehingga mempermudah proses pembangunan. Para stakeholder menilai bahwa lokasi pusat perkantoran yang baru sangat strategis dan mudah dijangkau dari kabupaten/kota sekitar. Selain itu stakeholder juga menilai bahwa pusat perkantoran
ini
akan
membuka
keterisolasian
dan
menjadi
stimulus
perkembangan kawasan dan pemerataan pembangunan. Moh.Fitra U. Ali pada penelitian tesis pada tahun 2010 melakukan studi mengenai evalusai lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah di Kota Weda. Berdasarkan penelitiannya diketahui bahwa faktor-faktor yang menentukan Kota Weda dipilih sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah ialah karena latak geografis yang tidak berhimpit dengan kota lain yang telah berkembang, pemanfaatan lahan, ketersediaan sumber air, dan aksesibilitas jaringan jalan yang baik. Namun, indikator yang membuat Kota Weda masih belum layak untuk dijadikan pusat pemerintahan ialah kerentanan terhadap bencana banjir dan perekonomian masyarakat yang masih didominasi oleh sektor pertanian. Penelitian mengenai evaluasi lokasi juga dilakukan A.Malik Ibrahim pada penelitian tesis tahun 2001 yang melakukan evaluasi terhadap lokasi ibukota Provinsi Kabupaten Maluku Utara, yakni Sofifi. Dalam penelitiannya, Malik membandingkan tiga wilayah untuk mengentahui kelayakannya, yakni Kabupaten Sofifi, KotaTernate, dan Kabupaten Sidangdoli. Berdasarkan komparasi ketiga wilayah itu, maka Malik merekomendasikan Kabupaten Sofifi sebagai ibukota Kabupaten Maluku Utara, seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
13
dikarenakan Kabupaten Sofifi memiliki lahan kosong yang masih luas, kabupaten ini terhindar dari jalur bencana gempa bumi,terletak pada lokasi yang strategis karena berada pada posisi yang sentral secara regional. Namun diperlukan strategi pemantapan fungsi dan peran kota sebagai pusat pemerintahan yang baru. Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Muslihin pada tahun 2008 diketahui bahwa implementasi pemindahan ibukota Provinsi Maluku Utara mengalami keterlambatan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yakno sosiokultural dan historis yakni tidak dilibatkannya kelompok masyarakat yang bepengaruh dan perebuatan daerah kekuasaan dua kesultanan, serta fenomena konflik sosial yang terjadi di Maluku Utara. Faktor ekonomi yang meliputi minimnya pembangunan fasilitas yang menunjang pemindahan, serta faktor politik yang meliputi konflik-konflik politik akibat ketidak setujuan sebagian perangkat pemerintahan terhadap pemindahan ibukota. Arry Ronny Dnny Deda pada tahun 2001 juga melakukan evaluasi penetapan lokasi ibukota Kabupaten Jayapura di wilayah Sentani untuk melihat konsep dan norma yang digunakan dalam penetapan lokasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antar teori dan norma yang digunakan dalam menentukan kriteria lokasi ibukota kabupaten, yakni kriteria ketersediaan lahan yang mencukupi dan aksesibilitas intra maupun inter regional. Namun, ada perbedaan yang kontradiktif antara kriteria penetapan lokasi ibukota yang ada dalam penelitian dengan yang dilakukan oleh pemerintah, yakni berkaitan dengan kesesuain kondisi fisik dan ketersediaan lahan datar pada lokasi terpilih, serta adanya perbedaan kontradiktif antara norma dan konsep pemerintah kabupaten dalam penetapan lokasi ibukota, yakni berkaitan dengan aspek fisik, lokasi strategis, keadaan ekonomi, dan aspek pembiayaan. Evaluasi lokasi juga dilakukan oleh Syafruddin pada tahun 2001, yang melakukan evaluasi lokasi terhadap rencana pemindahan ibukota Kabupaten Buton. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lokasi ibukota Kabupaten Buton sudah sesuai dengan teori, konsep, dan norma-norma perencaan ibukota yang
14
tertera dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa kriteria yang dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam menentukan lokasi ibukota meliputi luas lahan, daya dukung, jarak lokasi dengan sumber air minum, penggunaan lahan eksisting, luas lahan kosong, laju pertumbuhan wilayah, jarak terhadap kawasan lindung,dan aksesibilitas dari ibukota kecamatan sekitar. Kriteria-kriteria ini secama umum tidak memiliki perbedaan yang kontradiktif dengan konsep yang digunakan dalam penelitian, yang meliputi kondisi fisik, keberadaan sumber air, kerentanan bencana, penggunaan lahan perkotaan, aglomerasi penduduk, keadaan ekonomi, ketersediaan fasilitas pelayanan, dan aksesibilitas wilayah. Namun, rencana lokasi ibukota Kabupaten buton yang berada di La Ompo memiliki beebrapa kekurangan, yakni salah satunya minimnya fasilitas pelayanan yang ada di lokasi tersebut, sehingga pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.
15
1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1. Definisi dan Konsep Kebijakan Perkotaan Kebijakan merupakan sebuah konsep yang dapat mewadahi beberapa dimensi yang berbeda (Torjman, 2005). Lebih lanjut Torjman (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik perkotaan merupakan sebuah keputusan yang diambil secara sengaja sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Sebagai sebuah hal yang dapat mewadahi berbagai dimensi, kebijakan diharapkan dapat dapat diterima oleh seluruh penduduk perkotaan. Winarno (2002) mencoba menjelaskan berbagai definisi kebijakan publik dari beberapa ilmuan, yakni diantaranya ialah Dye (1975) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah semua semua yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, Friederich yang mengatakan kebijakan sebagai suatu tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, ataupun pemerintah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Selain itu, Winarno (2002) juga menjelaskan bahwa definisi kebijakan juga muncul dari Anderson yang mendefinisikan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang mempunyai maksud tertentu yang ditentukan oleh seorang atau sejumlah aktor untuk mengatasi suatu masalah tertentu. Nagel (1984) mencoba mendefinisikan kebijakan publik sebagai keputusan pemerintah yang didesain dari berbagai macam hal untuk melindungi lingkungan, kriminalitas, pengangguran, dan mengatasi berbagai permasalahan sosial lainnya. Santoso (1993 dalam Winarno 2002) menjelaskan bahwa terdapat dikotomi pemahaman terhadap kebijakan, pernyataan yang pertama menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah sebuah instruksi dari para pembuat keputusan yang memuat tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kebijakan publik juga mengandung serangkaian keputusan dan tindakan. Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungakapkan, diketahui bahwa kebijakan dirumuskan dalam rangka penyelesaian permasalahan.
16
Secara umum, dibentuknya sebuah kebijakan perkotaan ialah untuk membuat kota berjalan lebih efektif dan efisien, serta membuat keadaan yang lebih baik bagi masyarakat perkotaan (Linn, 1983). Tujuan lain dibuatnya kebijakan perkotaan ialah untuk mencegah agar kekayaan kota tidak hilang dan meningkatkan kualitas hidup kota, serta sebagai usaha untuk merancang, mengawasi,
menata,
mengatur
pembangunan
dan
pengembangan
kota
(Heryanto,2011). Kebijakan perkotaan umumnya dibuat berdasarkan diagnosis permasalahan perkotaan yang terjadi (Linn, 1983). Pembuatan kebijakan sebagai sebuah solusi dari permasalahan ialah mencari alternatif yang terbaik atau solusi yang paling efektif dari berbagai pilihan yang ada (Simeon, 1976). Kebijakan perkotaan dibuat dan diimplementasikan oleh pemimpin yang memiliki kekuasaan, kemampuan, dan pengaruh yang besar terhadap kelompok masyarakat (Northam, 1979). Dalam hal ini, pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan sebuah kebijakan perkotaan. Kebijakan yang dibuat akan diimplementasikan pada satu wilayah atau satu lokasi yang memiliki permasalahan yang sama (Northam,1979). Adanya konsep penerapan/adaptasi tersebut, negara-negara berkembang cenderung melihat dari pengalaman negaranegara yang lebih maju dan sukses menerapkan kebijakan perkotaan sebelumnya. Namun tidak semua kebijakan di negara maju dapat diaplikasikan di negara berkembang, sehingga dalam pemilihan kebijakan harus melihat latar belakang, karakteristik, potensi, dan permasalahan wilayah. Secara konseptual, domain dari suatu kebijakan sangatlah luas, dan meliputi berbagai proses tahapan didalamnya, diantaranya yang dikemukakan oleh Dunn (1998 dalam Winarno 2002) yang membagi tahapan-tahapan kebijakan yang meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adobsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Lebih lanjut Winarno (2002) jug menjelaskan bahwa dalam kebijakan publik terdapat tiga pokok yang perlu untuk diperhatikan, yakni penjelasan kebijakan itu sendiri, sebab dan konsekuensi dari kebijakan
yang diketahui bersarakan
metodologi ilmiah, serta analisis
pengembangan teori kebijakan, sehingga dapat diaplikasikan pada lingkungan yang berbeda.
17
Salah satu kajian penting dalam melihat kebijakan perkotaan saat ini ialah melihat unsur politik yang ada didalamnya. Geografi politik menjadi salah satu usur politik yang kerkait terhadap pembuatan kebijakan perkotaan. Menurut Barlow (1981) mengatakan bahwa kota menjadi ekspresi spasial dalam sistem geografi politik, yang didalamnya sangat berasosiasi terhadap pola-pola keruangan bentukan politik dan dengan area pemerintahan serta batas-batasnya. Pada tahun 1960an, Issard (dalam Barlow 1981) memperluas teori lokasi klasik dengan memasukan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, dan menjadi bagian yang penting didalamnya. Murphy (1966 dalam Barlow 1981) juga menekankan bahwa ada elemen politik yang signifikan terhadap pembentukan struktur ruang perkotaan setelah dirinya melakukan sikusi dan melihat proses dalam administrasi politik. Lebih lanjut Barlow (1981) menjelaskan bahwa pada akhir tahun 1960 an politik menjadi bagian yang penting dalam pengambilan keputusan. Salah satunya terjadi di Kota Chicago yang menetapkan lokasi fasilitas publik berdasarkan unsur politik.
1.6.2. Teori dan Konsep Implementasi Kebijakan Proses kebijakan publik terdiri dari tiga tahapan penting, yakni Proses formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan, dan proses evaluasi kebijakan (Nakamura dan Smallwood,1980). Konsep implementasi sudah banyak dikaji oleh para ilmuan di dunia. Diantaranya ialah Rein dan Rabinovitz (1978 dalam Nakamura dan Smallwood 1980) yang menyatakan bahwa implementasi merupakan deklarasi dari berbagai pilihan pemerintah, dilakukan oleh beberapa aktor yang berperan, membuat proses sirkular yang dicirikan oleh negosiasi dan hubungan kekuatan kekuasaan. Pressman dan Wildavsky (1973 dalam Nakamura dan Smallwood 1980) yang mengungkapkan bahwa implementasi digunakan untuk menjelaskan fenomena kegagalan, dan memiliki empat kata kunci utama, yakni untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk menghasilkan output (to produce), untuk memenuhi janji-janji (to fulfill), dan untuk memenuhi misi yang
18
yang diwujudkan dalam sebuah kebijakan (to complete). Lester dan Steward (2000 dalam Winarno 2002) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerjasama untuk mecapai tujuan tertentu. Secara sederhana, implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah cara agar kebijakan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan, sedangkan Adamolekun (1983 dalam Makinde 2005) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan pada sebuah kebijakan yang telah ditentukan. Implementasi kebijakan ini hanya merupakan salah satu proses tahapan kebijakan publik yang menjadi salah satu variabel dalam keberhasilan memecahkan permasalahan publik (Winarno,2002). Proses Implementasi sebuah kebijakan dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai faktor penentu. Beberapa ilmuan mengemukakan berbagai faktor penentu implementasi kebijakan, seperti McLaughling (1975 dalam Nakamura dan Smallwood 1980) yang menyebutkan bahwa hubungan interpersonal antara pembuat kebijakan dan pelaku implementasi kebijakan sebagi faktor kunci sukses tidaknya sebuah proses implementasi selain faktor lain seperti ketertarikan terhadap kebijakan, komitmen, serta dukungan masyarakat dan aktor-aktor penting yang berpengaruh dalam kebijakan tersebut. Selain McLaughling, Edward dan George (1980 dalam Makinde 2005) menjelaskan ada empat aspek yang dapat menentukan proses implementasi kebijakan, yakni (1) komunikasi (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Komunikasi menjadi bagian yang penting untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara efisien. Melalui komunikasi yang baik, maka informasi dari kebijakan dapat ditransmisikan secara benar kepada sasaran kebijakan. Komunikasi yang tidak baik akan menghambat penyampaian informasi yang pada akhirnya akan membuat ketidaksepahaman antara pelaksana dengan sasaran kebijakan. Ketika informasi dapat tersampaikan kepada sasaran kebijakan, ketersediaan sumberdaya (manusia, material, dan finansial) menjadi salah satu aspek yang mendukung dalam implementasi kebijakan. Disposisi atau perilaku pembuat kebijakan menjadi faktor kunci yang
19
mempengaruhi implementasi kebijakan. Pelaksana kebijakan akan membuat kebijaksanaan dalam mengimplementasikan kebijakan. Tingkat keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari bagaimana pelaksana melihat kebijakan mempengaruhi kepentingan pribadi dan organisasi. Pelaksana yang memiliki komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan kebijakan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi. Komunikasi, sumberdaya, dan disposisi yang dimiliki tidak akan berjalan baik tanpa struktur birokrasi yang efisien. Tanpa adanya struktur birokrasi yang efisien, maka permasalahan dalam implementasi selalu akan muncul. Perpecahan dalam organisasi akan menghambat koordinasi antar pelaksana kebijakan. Hal ini akan membuat kelangkaan sumberdaya, kebingungan, tujuan yang berbeda, dan pada akhirnya hasil akhir yang ingin dicapai akan terabaikan. Grindle (dalam Herman, dkk 2014) menjelaskan bahwa ada dua variabel besar yang mempengaruhi berjalannya implementasi kebijakan, yakni isi dari kebijakan dan cakupan kebijakan. Sedangkan Meter dan Horn (1975 dalam Nakamura dan Smallwood 1980) menjelaskan bahwa proses implementasi didasari atas enam variabel, yakni: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2) sumberdaya yang dimiliki, (3) hubungan dan komunikasi antar organisasi, (4) karakteristik pelaksana implementasi, (5) kondisi lingkungan ekonomi, sosial, dan politik, serta (6) disposisi pelaksana implementasi terhadap elemen-elemen kebijakan. Bhuyan (2010 dalam Mthethwa 2012) menjelaskan tujuh dimensi yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni (1) kebijakan, formula, dan diseminasi, (2) cakupan sosial, politik, dan ekonomi, (3) kepemimpinan untuk implementasi kebijakan, (4) stakeholder yang terkait dengan kebijakan, (5) perencanaan implementasi dan mobilisasi sumberdaya, (6) pelaksanaan dan pelayanan, (7) feedback dan hasil implementasi. Beberapa faktor ini akan sangat menentukan keberhasilan suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
20
1.6.3. Kebijakan Perkotaan Sebagai Solusi Permasalahan Perkotaan Kebijakan perkotaan muncul umumnya didasarkan atas permasalahan sebuah kota. Namun, tidak semua permasalahan mendapatkan tanggapan oleh pembuatan kebijakan, malainkan hanya permasalahan tertentu saja yang mendapat tanggapan. Menurut Jones (1984 dalam Winarno 2002) permasalahan yang biasanya menarik perhatian pembuat kebijakan ialah permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara individu maupun kelompok, sehinnga menjadi permasalahan publik, dan permasalahan yang menarik perhatian kelompok dan warga kota yang terorganisasi untuk melakukan tidakan tertentu. Pada dasarnya, permasalahan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yakni permasalahan prosedural yang berkaitan dengan kegiatan kepemerintahan dan substansif yang berakibat dari kegiatan manusia, serta permasalahan yang datang dari dalam negri seperti pendidikan, kriminal, perpajakan, transportasi dan kejahatan dari luar negri yang meliputi perjanjian ekstradisi (Winarno, 2002). Setiap negara di dunia memiliki pengalaman dan tantangan yang berbeda dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan untuk menanggulangi permasalahan wilayahnya, salah satu contohnya yang terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Salah satu permasalahan Amerika Serikat yang terjadi hampir disetiap kota ialah keberadaan masyarakat kulit hitam yang miskin dan terbelakang (urban black poor). Komunitas masyarakat ini sering diidentikan dengan tindak kriminal dan kemiskinan. Menurut Howard (1978) munculnya urban black poor terjadi atas sejarah yang panjang mengenai permasalahan rasis di Amerika Serikat antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam, dimana masyarakat kulit hitam dianggap memiliki struktur yang rendah dalam kelompok sosial, dan hal ini membuat masyarakat kulit hitam memiliki kesempatan yang minim dalam mengakses materi dan status sosial. Untuk mengatasi permasalahan ini perlu diketahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat tersebut, seperti meningkatkan kualitas kehidupan, pendidikan, transportasi publik, perumahan, kesehatan, dan kesempatan kerja, serta komitmen
21
dalam membangun kemudahan masyarakat dalam mendapatkan servis sosial dalam sebuah negara. Howard (1978) menyatakan bahwa permasalahan urban black poor yang dianggap menjadi permasalahan disetiap kota-kota di Amerika membuat pemerintah Amerika Serikat merumuskan empat kebijakan strategis perkotaan untuk menanggulangi permasalahan ini, yakni kebijakan mengenai fiskal/keuangan, kebijakan sosial, kebijakan dalam kesempatan kerja yang diciptakan oleh pemerintah, serta kebijakan mengenai diskriminasi rasis di Amerika Serikat. Selain kebijakan mengenai urban black poor, salah satu kebijakan perkotaan Amerika Serikat yang masih dilakukan hingga saat ini ialah kebijakan perkotaan yang komprehensif dan memiliki konsep partnership, yang pertama kali dikemukakan oleh Jimmy Carter tahun 1978. Konsep kebijakan partnership dinilai lebih kooperatif dan dapat meningkatkan hubungan kerja antara pemerintah dan swasta dalam sebuah program atau proyek, serta dapat meningkatkan keinginan masyarakat dalam membantu program yang ditujukan untuk mereka (Hartshorn, 1980). Lebih lanjut Hartshorn (1980) menjelaskan bahwa kebijakan yang dikemukakan oleh Carters ini disebuat juga dengan program kemandirian lingkungan dalam hal permukiman, sosial, kesehatan, transportasi, kriminal, taman, dan rekreasi. Untuk mejalankan kebijakan partnership ini, pemerintah Amerika Serikat membuat sembilan program yang akan dilaksakan secara bersama, yakni : 1) meningkatkan perencanaan lokal dan menejemen kapasitas, 2) meningkatkan kapasitas negara sebagai partner kota-kota di Amerika, 3) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan organisasi secara suka rela, 4) menyediakan layanan keringanan permasalahan keuangan kepada masyarakat kelas bawah, 5) mendorong investasi swasta dalam pembangunan masyarakat, 6) menyediakan kesempatan kerja kepada pengangguran dan masyarakat kelas bawah, 7) meningkatkan akses untuk memberi kesempatan kepada masyarakat korban diskriminasi sosial, 8) meningkatkan pelayanan sosial dan kesehatan, serta 9) meningkatkan kondisi lingkungan perkotaan, budaya, keindahan kehidupan perkotaan dan mengurangi urban sprawl (Hartshorn, 1980).
22
Lain halnya dengan Amerika Serikat, Jepang mengalami tantangn perkotaan dalam hal urbanisasi. Jepang dapat mengatasi permasalahan urbanisasi lebih sukses dibandingkan negara lainnya yang memiliki permasalahan yang sama. Permasalahan perkotaan di Jepang dapat diatasi dengan adanya inisiatif dari berbagai stakeholder yang berpartisipasi dalam proses pembangunan perkotaan dan perumusan kebijakan perkotaan (Zetter, 1986). Zetter (1986) terdapat beberapa tantangan kebijakan perkotaan di Jepang, yakni kebijakan mengenai perumahan, kebijakan dalam penyedian infrastruktur, kebijakan mengenai kerentanan terhadap bencana, kebijakan mengenai harga lahan, kebijakan mengenai urban sprawl, kebijakan renovasi permukiman, partisipasi publik, dan urban decline.
1.6.4. Pemindahan Ibukota dan Pusat Pemerintahan sebagai Kebijakan Perkotaan Seringkali masyarakat banyak mengartikan bahwa ibukota dan pusat pemerintahan adalah dua hal yang sama. Hingga saat ini, masih banyak perdebatan diantara keduanya. Banyak ilmuan mencoba untuk mendefinisikan pengertian ibukota. Claval (2000) menyatakan bahwa ibukota dapat diartikan sebagai refleksi dari sifat dan organisasi sebuah wilayah yang mana fungsi kehidupan nya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain disekitarnya dengan sistem terpusat yang dalam penentuannya menggunakan hukum kontinental dan berada pada pengawasan sistem kekuasaan. Fungsi-fungsi yang berada dalam sebuah ibukota mencakup fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi pemerintahan. Claval (2000) mengungkapkan pula bahwa kajian mengenai ibukota juga banyak dikaji oleh geograf, dimana pada ilmu geografi ibukota difokuskan pada pengertian sebuah tempat yang memiliki jumlah individu yang tinggi, tradisi yang kuat, wilayah dengan peninggalan historis dan monumen yang mencolok, serta wilayah tersebut terkadang memiliki nilai yang tinggi.
23
Sejalan dengan pengertian yang diutarakan oleh Claval, Wusten (2000) juga mengungkapkan bahwa ibukota diartikan sebagai pusat administrasi dan politik yang menjadi simbol kekuasaan yang didalamnya terdapat banyak fungsi dan hierarki yang berbeda, seperti fungsi pelayanan, fungsi agama, fungsi pemerintahan, dan fungsi militer. Dalam hal ini Wusten (2000) juga menambahkan bahwa ibukota adalah sebuah simbol sebuah pusat wilayah. Qi (2008) juga mendefinisikan bahwa pada mulanya ibukota dibangun sebagai sebuah simbol dari lahirnya atau berdirinya sebuah wilayah dan juga sebagai sebuah simbol peradaban. Berbeda dengan Claval dan Wusten, Dashcer (2000) mengungkapkan bahwa ibukota biasa diinterpretasikan sebagai seperangkat pemerintahan yang keberadaannya adalah hasil dari aktivitas politik. Dalam hal ini Dashcer (2000) juga mengungkapkan ada dua tipe ibukota di dunia yakni ibukota yang terletak pada kota terbesar utama, dan ibukota yang terletak tidak di kota terbesar utama. Sejalan dengan Dasher, Traugott (1995) juga mendefinisikan ibukota sebagai seperangkat sistem kepemerintahan yang mengontrol wilayah secara langsung yang memiliki aturan tertentu. Spate (1942) juga mendefinisikan ibukota sebagai tempat dimana kekuasaan politik terkonsentrasi. Sedangkan Dijkink (2000) mendefinisikan ibukota adalah sebuah pusat dari berdirinya wilayah yang akan menjadi pusat kehidupan individu dalam mendefinisikan ruang perkotaan dan memiliki fungsi pemerintahan, sosial, dan dianggap pula sebagai sebuah simbol lingkungan wilayah utama. Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat diketahui bahwa keberadaan ibukota dipandang berbeda, yakni sebagai ibukota dipandang sebagai pusat kekuasaan pemerintah, ibukota dipandang sebagai sebuah wilayah yang memiliki fungsi yang kompleks dan syarat akan historis, serta ibukota dipandang sebagai sebuah simbol pusat wilayah, historis dan lingkungan wilayah. Di Indonesia sendiri ibukota lahir seiring dengan lahirnya sebuah daerah secara administratif yang dilegalkan oleh perundangan dan bersifat tetap. Dalam hal ini, secara yuridis Ibukota memiliki teritorial dan fungsional wilayah sebagai pusat wilayah. Dengan
24
penetapan secara perundangan juga, Ibukota dipandnag sebagai sebuah simbol dari berdirinya sebuah daerah administratif. Namun, hingga saat ini definisi dan fungsi ibukota secara umum belum dirincikan secara jelas dalam perundangan. Berdasarkan berbagai definisi diatas terdapat definisi yang dirasa sesuai dengan fenomena daerah kajian, yakni ibukota didefinisikan sebagai simbol berupa pusat kegiatan wilayah dengan hierarki yang lebih tinggi, dan memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan sosial, pusat kegiatan lingkungan, dan juga pusat kegiatan politik dan kepemerintahan yang mendapatkan legalitas hukum secara perundangan dan bersifat tetap. Pusat pemerintahan didefinisikan sebagai tempat yang menjadi kedudukan utama pemerintahan (KBBI, 1994). Pusat pemerintahan juga didefinisikan sebagai satu fungsi wilayah yang digunakan untuk kegiatan pelayanan kepemerintahan yang didalamnya terdapat kantor-kantor pemerintah dan berbagai fasilitas yang menunjang untuk menjalankan fungsi dan tugas pemerintah yang memiliki posisi sangat central (PSPPR, 2002). Tidak seperti ibukota, penetapan pusat pemerintahan tidak lahir seiring dnegan lahirnya daerah secara administratif, dan tidak dilegalkan secara perundangan Nasional, namun istilah pusat pemerintahan ini lahir seiring dengan lahirnya Undang-undang otonomi daerah dan pemerintah daerah sebagai acuan banyak daerah untuk memindahkan salah satu fungsi, yakni fungsi kepemerintahan pada wilayah lain. Dalam fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pusat pemerintahan ialah salah satu fungsi wilayah yang terdapat pada sebuah ibukota. Secara sederhana, pusat pemerintahan didefinisikan sebagai wilayah sebagai sebuah fungsi, bukan sebuah teritorial yang bersifat tetap secara yuridis. Sayangnya, pemisahan pengertian pusat pemerintahan dan ibukota memang tidak diatur
secara
jelas
pada
perundangan
di
Indonesia,
sehingga
cukup
membingungkan dalam melakukan pembatasan pengertian. Mengesampingkan perbedaan definisi dan pengertian ibukota maupun pusat pemerintahan, fenomena pemindahan ibukota maupun pemindahan pusat pemerintahan telah banyak terjadi didunia. Fawcett dan Litt (1918) menyatakan
25
bahwa pemindahan ibukota dipengaruhi oleh beberapa hal, dan politik merupakan salah satu faktor yang mendominasinya. Wusten (2000) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa pembentukan sebuah ibukota berkaitan dengan kekuasaan politik dan kekuasaan sistem peemrintahan. Dibeberapa kasus seperti di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, pemindahan ibukota ke lokasi baru dikarenakan untuk meletakkan ibukota pada lokasi strategis yang dapat diakses secara mudah oleh semua daerah federasi, dan untuk menghindari memberikan keuntungan yang lebih kepada salah satu daerah federasi terhadap posisi ibukota yang lama (Fawcett dan Litt 1918). Sedangkan Spate (1942) mengungkapkan di beberapa kasus di dunia faktor-faktor yang membentuk ibukota lebih dikarenakan oleh faktor pertimbangan politik dibandingkan oleh faktor pertimbangan ekonomi dan lokasi yang strategis, sehingga seiring dengan perkembangan wilayah kota, kompleksitas fungsi dalam ibukota mendesak pemerintah untuk memindahkan ibukota pada lokasi lainnya. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Dijkink (2000) bahwa dalam sejarah pembentukan ibukota di Benua Eropa merupakan bentuk intervensi dan bentuk batas politik. Pemindahan ibukota dan pembentukan ibukota baru memang syarat dengan faktor politik, demikian pun di Indonesia. Lokasi ibukota ditetapkan oleh peraturan kepala daerah dan peraturan DPRD, namun dalam Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 mengatur pembentukan ibukota harus memperhatikan berbagai faktor, yakni tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, politik, dan budaya. Seiring dengan pemekaran wilayah, baik penggabungan wilayah maupaun pemisahan wilayah, oembentukan ibukota baru menjadi hal yang penting sebagai pelengkap administrasi dalam legalitas kebijakan pemekaran wilayah. Untuk itulah pemerintah membuat aturan dalam kajian pembentukan ibukota. Seiring dengan undang-undang otonomi daerah No 22 Tahun 1999, undang-undang pemerintah daerah No 32 Tahun 2004 dan undang-undang No 23 Tahun 2014 dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri membuat pemerintah daerah kemudian memisahkan satu
26
fungsi dari ibukota, yakni fungsi pemerintahan untuk dapat berdiri sendiri. Hal ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan kawasan pusat pemerintahan baru di Indonesia. Munculnya pemindahan ibukota maupun pusat pemerintahan baru sebagai sebuah kebijakan perkotaan menjadi salah satu cikal bakal pembentukan kota baru (new town). Sebagai sebuah kebijakan perkotaan, pemindahan pusat pemerintahan daerah menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan di daerah asal maupun daerah tujuan. Secara teoritik, manusia akan mengatasi permasalahan keruangan dengan dengan menerapkan efisiensi keruangan, seperti memaksimalkan fungsi dan produktivitas wilayah melalui hal yang minimal, memaksimalkan interaksi keruangan dengan usaha dan biaya yang minimum, serta mendekatan berbagai kegiatan ekonomi sejenis yang tidak saling bersaing (Morril 1974 dalam Rijanta 2006). Salah satu solusi penerapan efisiensi keruangan yang dilakukan oleh manusia ialah dengan memindahkan pusat pelayanan pada ruang yang optimal agar dapat berfungsi secara optimal pula. Dalam konteks pemekaran wilayah, terdapat sebuah fenomena zero sum game dimana sekelopok orang akan beruntung karena lebih dekat dan lebih murah dalam mengakses pelayanan, namun sebagian lainnya harus berjalan lebih jauh dan lebih mahal dari semula dalam mengakses pelayanan (Rijanta, 2006). Hal inilah yang juga terjadi pada kebijakan pemindahan ibukota, maupun pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi baru, dimana sebagian masyarakat akan merasa beruntung dengan pemindahan ini karena tidak perlu menempuh jarak yang jauh, namun sebagian lainnya merasa merugi dengan adanya kebijakan ini karena pertambahan jarak dari lokasi asal. Beberapa negara di dunia telah menerapkan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ini, seperti Malaysia, Myanmar, Korea Selatan, dan beberapa daerah di Indonesia, seperti Kepulauan Riau, Halmahera Tengah, dan Kalimantan Selatan.
27
1.6.5. Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ibukota dan Pusat Pemerintahan Untuk menentukan lokasi pembangunan kota baru, ibukota baru maupun pusat pemerintahan yang baru, diperlukan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Kriteria penentuan sebuah lokasi akan menentukan sukses tidaknya pembangunan kotabaru, sehingga semua kriteria harus diidentifikasi secara jelas untuk keberlanjutan pembangunan kota baru dimasa yang akan datang (Golany, 1976). Beberapa literatur telah banyak menjelaskan faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan. Secara yuridis, tertuang pada pasal 12 Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah menyebutkan bahwa lokasi pemilihan ibukota baru harus ditentukan sesuai dengan keputusan gubernur dan DPRD provinsi untuk ibukota baru dalam lingkup provinsi, dan keputusan bupati serta DPRD kabupaten untuk ibukota baru kabupaten. Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa dalam pemilihan lokasi ibukota harus memperhatikan beberapa faktor, yakni faktor tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Budiharjo dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) mengatakan bahwa jenis kota baru yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan sebaiknya dikembangkan pada lahan yang masih perawan (belum termanfaatkan) dan dikembangkan pada kota kecil yang telah ada sebelumnya. Menurut Budiharjo dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) bahwa kota baru yang memiliki fungsi pemerintahan harus diletakan dengan jarak > 60 km dari kota besar utama, agar perencanaan
dan
perkembangannya
dapat
disesuaikan
dengan
fungsi
pemerintahan. Golany (1976) menyatakan ada lima kriteria dalam menentukan lokasi sebuah kota baru, yakni (1) kriteria fisik, (2) kriteria sosial dan ekonomi, (3) kriteria potensi sumberdaya lokal, (4) kriteria lingkungan, dan (5) kriteria politik. Perencanaan harus memperhatikan kriteria fisik seperti topografi, tanah, penggunaan lahan, serta kerentanan bencana. Topografi sebuah wilayah dapat
28
menentukan pola penggunaan lahan, bentuk kota, dan intensitas pembangunan. Jenis tanah dapat berpengaruh terhadap penggunaan lahan dan kerentanan bencana, seperti kepekaan terhadap erosi, ketahanan terhadap konstruksi, dan manajemen jalan. Penggunaan lahan suatu wilayah dapat mempengaruhi luasan lahan yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kota baru. Kriteria sosial ekonomi berkaitan dengan fasilitas-fasilitas penting yang ada disekitar lokasi perencaan, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas olahraga, fasilitas ekonomi, serta jarak terhadap fasilitas tersebut. Kedekatan terhadap fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat menjadi nilai lebih. Lokasi yang memiliki sumberdaya lokal yang melimpah, dapat menjadi lokasi kotabaru yang potensial dan dapat meminimalisir ketergantungan terhadap wilayah sekitar. Perencanaan kota baru harus mempertimbangkan lingkungan lokasi dan kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Lingkungan yang masih alami dan kaya akan keanekaragaman hayati, serta merupakan kawasan lindung tidak tepat dipilih sebagai lokasi kota baru. Hal ini dikarenakan pembangunan kota baru justru akan merusak sistem lingkungan yang ada. Isu politik dalam sebuah wilayah menjadi konsentrasi yang penting bagi para perencana. Perencana harus menginvestigasi kekuatan politik di lokasi dan disekitar lokasi. Perencana juga harus menginvestigasi struktur politik yang ada di lokasi yang direncanakan, hal ini akan berkaitan dengan kemampuan wilayah untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Siong (2006), Putra jaya dipilih sebagai lokasi pusat pemerintahan Malaysia yang baru dikarenakan beberapa faktor, yakni: (1) ketersediaan lahan yang masih cukup dan kalkulasi biaya infrastruktur yang lebih rasional, (2) lokasi strategis yang berada pada koridor pertumbuhan, (3) aksesibilitas yang baik dan jaringan transportasi, (4) jenis dan kerapatan vegetasi yang dapat mendukung kebijakan, (5) bentuk lahan, dan (6) dampak minimum terhadap masyarakat lokal. Syarief (2013) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi dan perkembangan sebuah kota, yakni faktor geografis, jenis tanah, ketersediaan air, spekulasi tanah,
29
keberadaan fasilitas, aksesibilitas, jumlah dan kepadatan penduduk, kebijakan perkotaan, pendapatan penduduk, dan keberadaan industri. PSPPR (2002) menentukan kriteria lokasi pusat pemerintahan Kepulauan Riau yang tepat, yakni: (1) lokasi tersebut merupakan lokasi strategis, (2) memiliki nilai ekonomi yang berada pada titik simpul interaksi kegiatan regional, (3) memiliki alokasi ruang yang cukup, (4) memiliki sumberdaya alam yang cukup dan stabil (tanah, air, listrik), (5) lokasi harus memiliki kemananan dan kenyamanan, (6) kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan, (7) memiliki ciri budaya, dapat melayani wilayah belakang, dan dapat menjadi kebanggan masyarakat. Beberapa faktor prasyarat dalam pembentukan daerah baru sesuai dengan Peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2007 diantaranya ialah kemampuan ekonomi, potensi daerah, keadaan sosial budaya, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat (PSPPR, 2010). Ricks (1970) menjelaskan bahwa dalam memilih lokasi kota baru diperlukan beberapa pertimbangan, yakni harga lahan, aksesibilitas, dan tenaga kerja yang dimiliki. Ali (2010) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) letak geografis yang strategis dan berada pada dataran rendah (< 3%), (2) ketersediaan lahan yang cukup, (3) penggunaan lahan yang bukan lahan pertanian, (4) status lahan, (5) bukan daerah rawan bencana, (6) ketersediaan sumberdaya air yang memadai, (7) aksesibilitas yang baik, (8) jumlah penduduk, (9) kepadatan penduduk, (10) heterogenitas masyarakat (ekonomi, agama, etnis), dan (11) ketersediaan fasilitas ekonomi dan sosial (rumah sakit, air bersih, jaringan telepon, jaringan listrik). Sujarto (2004 dalam Detiawati 2008) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) faktor geografis yang mudah dijangkau dari kota-kota sekitar, (2) faktor topografi (< 20 %), (3) pertanahan (harga tanah dan status tanah), (4) aksesibilitas (harga tanah dan status tanah), (5) sistem telekomunikasi, (6) fasilitas sosial dan ekonomi, (7) ketersediaan air, dan (8) ketenagakerjaan (komposisi pertanian dan non pertanian). Selain itu, Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum
30
(Tidak ada tahun) juga menyebutkan syarat-syarat lokasi yang dapat dipilih sebagi sebuah ibukota baru, yakni : (1) aspek ruang yang didalamnya mencakup secara fisik tidak berdekatan dengan ibukota lain, mempunyai sumberdaya air yang baik, memiliki luas wilayah yang memadai, mampu memberikan wilayah seluruh masyarakat, (2) luas daerah yang mencakup luas keseluruhan dan luas wilayah yang dapat dimanfaatkan, (3) jumlah penduduk yang mencakup jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat pertumbuhan penduduk, dan ketenagakerjaan, (4) potensi daerah mencakup sarana dan prasarana transportasi, perumahan, sarana dan prasarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, olahraga, peribadatan, jaringan komunikasi, penerangan,limbah, persampahan, (5) sosial budaya yang mencakup organisasi kemasyarakatan, kemananan, dan kenyamanan.
1.6.6. Pembentukan wilayah baru, pemindahan ibukota, maupun pusat pemerintahan baru di Indonesia : Proses dan Konflik. Pembentukan wilayah baru (pemekaran wilayah), pemindahan ibukota, maupun pemindahan pusat pemerintahan bukan menjadi fenomena perkotaan yang baru di Indonesia. Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang direvisi pada Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang kemudian direvisi lagi menjadi Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah membuat daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat secara mandiri. Adanya perundangan ini menjadi dasar bagi beberapa daerah di Indonesia untuk memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya ke daerah lain yang lebih dengan alasan untuk efektifitas dan efisiensi kinerja pemerintah. Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah juga menguatkan fenomena pembentukan kota baru di Indonesia.
31
Rijanta (2006) menyebutkan bahwa sebagain besar justifikasi dalam pembentukan wilayah baru ialah percepatan pembangunan di daerah dengan menyediakan pelayanan yang lebih baik, meskipun diantara justifikasi tersebut terdapat kekecawaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Ketidakpuasan tersebut terkait dengan seringnya keputusan ditumpangi dengan ambisi sesorang atau sekelompok, ditambah isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan), bahkan permasalahan pembentukan wilayah baru di Indonesia setelah tahun 1998 juga semakin rumit seiring dengan semangat demokratisasi dan kebebasan berpendapat setiap masyarakat (Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan wilayah baru sering kali muncul konflik antar pemerintah dan masyarakat atau antar masyarakat yang diwarnai kekerasan maupun tidak yang disebabkan oleh kompleksitas permasalahan dan juga ketidaksepahaman birokrasi dan normatif perencanaan diantara keduanya. Beberapa kasus dalam pembentukan daerah baru, pemindahan ibukota maupun pusat pemerintahan di Indonesia juga melalui proses yang berbeda, dengan konflik maupun tanpa konflik, dan melalui intervensi politik maupun kajian akademis. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gottman (1969 dalam Barlow 1981) yang menyebutkan bahwa ekspansi perkotaan merupakan sebuah proses politik, sedangkan Eyre (1969 dalam Barlow 1981) menjelaskan bahwa dalam setiap proses politik yang terjadi, akan terdapat konflik batasan antar elemen di pemerintahan. Rein dan Rabinovits (1978 dalam Nakamura dan Smalwoods 1980) mengatakan bahwa dalam sebuah proses implementasi tidak hanya memiliki satu dimensi saja, melainkan proses transisi pada berbagai level yang membentuk sebuah sistem sirkular tertentu, yang didalamnya saling mengintervensi bagian satu sama lain. Intervensi ini seringkali menimbulkan konflik dalam proses implementasi kebijakan. Beberapa kasus pembentukan wilayah baru di Indonesia diantaranya Kabupaten Kutai dan Kabupaten Kolaka Timur. Pembentukan wilayah baru pada Kabupaten Kutai disebabkan oleh bebrapa hal, diantaranya ukuran luas wilayah
32
dan kendala alamiah, kesenjangan antar masyarakat dan antar wilayah, rendahnya partisipasi
masyarakat,
pemanfaatan
sumberdaya
yang
kurang
optimal,
terbatasnnya rentang kendali pemerintah yang disebabkan oleh luasan wilayah, dan menyebabkan sebagian masyarakat merasakan pelayanan yang mahal (Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan bahwa pemekaran Kabupaten Kutai berjalan dua tahun lebih cepat dari yang direncanakan,karena pada tahun 1998 pemerintah memberika kemudahan dalam pemekaran wilayah, sehingga pada tahun 2000 Kabupaten Kutai terbagi menjadi Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang. Secara umum, pemekaran wilayah ini tidak menimbulkan konflik, karena didukung situasi pemerinatahan orde baru yang tidak banyak memberikan ruang kebebasan berpendapat kepada masyarakat, terlebih dipengaruhi oleh homogenitas penduduk yang memudahkan dalam proses komunikasi dan implementasinya. Dalam proses pemekaran ini diketahui bahwa pertimbangan batas-batas wilayah dilakukan melalui kajian akademik, dan disetujui oleh masyarakat serta perangkat pemerintahan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dan dapat diterima oleh masyarakat, meskipun dalam proses nya dibantu oleh intervensi politik pemerintah. Kasus pemekaran wilayah di Indonesia lainnya ialah pembentukan Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara. Darmawan (2014) dalam penelitian tesisnya menyebutkan bahwa pembentukan Kabupaten Kolaka Timur ditengarai banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal dan pusat yang memiliki tujuan tertentu, meskipun juga didorong oleh keinginan dari masyarakat untuk menjadi kabupaten mandiri. Kepentingan politik ini memiliki peran yang besar dalam pembentukan kabupaten, dimana para elit politik menjadi katalisator melalui hubungan relasi yang dimiliki dan bantuan dana yang diberikan. Namun, intervensi politik yang cukup besar dalam pembentukan kabupaten baru ini menimbulkan berbagai permasalahan di Kabupaten Kolaka Timur, salah satunya ialah permasalahan ekonomi wilayah, dimana pendapatan asli daerah masih rendah dan tidak berimbang dengan dana yang dikeluarkan.
33
Sebenarnya, Kabupaten Kolaka Timur telah memenuhi beberapa aspek prasyarat dalam pemekaran wilayah, seperti faktor kependudukan, lokasi geografis, luas daerah, sosial budaya, sosial politik, dan potemsi daerah. Namun, dalam sektor kemampuan keuangan wilayah masih cukup rendah. Salah satu kasus pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia ialah pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Pariaman, Provinsi Sumatra Barat. Revid (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan otonomi daerah di Indonesia berdampak pada pemisahan Kota Pariaman menjadi sebuah kota administratif sendiri. Lepasnya Kota Pariaman dari Kabupaten Pariaman membawa dampak bagi Kabupaten Pariaman untuk merelokasi ibukota kabupaten yang semula berada di Kota Pariaman. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Revid (2010) menjelaskan bahwa proses pemindahan ibukota ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada dan melibatkan peran akademis dalam menentukan lokasi yang tepat sebagai ibukota baru. Berdasarkan kajian akademis terhadap studi kelayakan lokasi-lokasi yang memungkinkan, maka Nagari Palit Malintang dipilih sebagai lokasi ibukota Kabupaten Pariaman yang baru. Kajian ini menjadi pertimbangan bagi pemerintah, yang kemudian resmi memindahkan pusat pemerintahannya ke Nagari Palit Malintang. Proses pemindahan ibukota ini tidak diwarnai oleh konflik dan berbagai permasalahan, bahkan mendapat dukungan oleh masyarakat sekitar lokasi pemindahan. Contoh lain dalam relokasi ibukota ialah pemindahan ibukota administrasi Maluku Utara dari Kota Ternate ke Sofifi yang telah tercantum pada Undangundang No 46 Tahun 1999. Namun sayangnya pemindahan ibukota tersebut mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Muslihin (2008) menjelaskan bahwa keterlambatan pemindahan ibukota Provinsi Maluku Utara disebabkan oleh berbagai faktor penghambat, yakni faktor sosio kulural dan historis, ekonomi, dan faktor politik yang menimbulkan berbagai permasalahan dalam proses implementasinya.
34
Dilihat dari segi sosio kultural dan historis, pada proses penetapan Sofifi sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara tidak melibatkan masyarakat dan komunitas lokal serta berkaitan dengan sejarah perkembangan berdirinya empat kasultanan yang masing-masing memiliki batas teritorial kekuasaan tertentu, sehingga menimbulkan perebutan wilayah kekuasaan antara kasultanan Tidore dan Ternate. Konflik sosial yang terjadi yang melibatkan suku dan agama menglihkan perhatian pemerintah terhadap fokus pemindahan ibukota. Secara ekonomi, keterlambatan ini ketidaksiapan infrastruktur penunjang di Sofifi,seperti transportasi, jaringan listrik, komunikasi, air, dan berbagai fasilitas penunjang lainnya.
Sedangkan
faktor
politik
yang
mempengaruhi
keterlambatan
implementasi pemindahan ini ialah intervensi yang cukup besar bagi para elit politik, sehingga mengesankan pemindahan ibukota ke Sofifi dipengaruhi oleh faktor politik saja, sehingga tidak dapat memuaskan semua pihak. Kondisi ini diperparah dengan adanya konflik politik internal beberapa aparat birokrasi yang tidak menginginkan pemindahan ibukota ini, demi mempertahanka status quo. Berdasarkan berbagai kasus diatas, intervensi politik masih menjadi kendali yang besar dalam perumusan dan proses implementasi kebijakan sebuah kota. Para elit politik masih memaksakan kehendak masing-masing demi mencapai tujuan tertentu dengan mengatas namakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Meskipun demikian beberapa daerah juga telah mempertimbangkan aspek-aspek akademis dan mengikutsertakan akademisi dalam perumusan dan implementasi kebijakan wilayah.
1.7 Landasan Penelitian Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai landasan penelitian yang digunakan dalam penlitian ini, hal yang penting untuk dipahami bersama ialah batasan definisi dan pemahaman mengenai pusat pemerintahan. Hal ini penting untuk dilakukan agar tidak terjadi kesalahpaham mengenai konteks pembahasan dalam penelitian. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, definisi Ibukota
35
belum
terdefinisi
secara
jelas
dan
masih
banyak
perbedaan
dalam
pendefinisiannya. Begitupula dengan definisi pusat pemerintahan yang masih sangat minim dalam pendefinisiannya, seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Secara umum, pusat pemerintahan dalam kajian ini didefinisikan sebagai salah satu fungsi yang dimiliki oleh Ibukota. Secara umum, pusat pemerintahan lebih melihat wilayah secara fungsional, bukan teritorial. Jadi, pemindahan pusat pemerintahan dapat didefinisikan sebagai pemindahan salah satu fungsi Ibukota, dan bukan pemindahan secara teritorial. Tabel 1.2 Definisi Ibukota, Pusat Pemerintahan, dan Adopsi Pengertian dalam Daerah Penelitian Ibukota
1.
2.
3.
4. 5.
6.
7.
Pusat Pemerintahan
Pusat Pemerintahan dalam Daerah Penelitian Ibukota didefinisikan sebagai 1. Pusat Pemerintahan ialah Pusat pemerintahan dalam seperangkat pemerintahan yang tempat kedudukan utama konteks daerah penelitian merupakan hasil dari aktivitas pemerintah (KBBI, didefinisikan sebagai salah politik (Dascher, 2000). 1994) satu fungsi yang dimiliki Ibukota sebagai sistem 2. Pusat pemerintahan ialah oleh ibukota, yakni fungsi kepemerintahan yang mengontrol fungsi wilayah yang pemerintahan, yang wilayah (Traugott, 1995). digunakan untuk didalamnya memuat pusat Ibukota adalah pusat wilayah dan pelayanan pemerintah, kantor-kantor pemerintah pusat individu dalam yang memuat pusat yang dibangun secara mendefinisikan ruang perkotaan perkantoran pemerintah terpadu, berbagai fasilitas yang memiliki fungsi untuk menjalankan dan utilitas penunjang, dan pemerintahan, sosial, dan simbol fungsi dan tugas juga sistem, kegiatan, serta lingkungan. pemerintah yang mobilitas yang berkaitan Ibukota adalah simbol pusat sebuah memiliki posisi central dengan aktivitas wilayah (Wusten,2000) (PSPPRD, 2002) kepemerintahan. Ibukota adalah simbol berdirinya sebuah wilayah dan peradaban (Qi,2008) Ibukota adalah pusat administrasi yang memiliki banyak fungsi, fungsi pelayanan, agama, pemerintahan, dan militer (Wusten, 2000). Ibukota adalah wilayah yang memiliki fungsi yang lebih tinggi, yakni fungsi ekonomi, sosial, dan pemerintahan yang penentuannya menggunakan hukum kontinental
36
(Calaval, 2000). 8. Di Indonesia ibukota ditetakan seiring dengan pembentukan daerah otonom dan ditetapkan secara yuridis. Berdasarkan kajian-kajian terhadap penetuan pemilihan lokasi kota baru (new town)/ibukota baru/ pusat pemerintahan baru yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat sebuah dasar hukum yang telah ditetapkan di Indonesia yang menyinggung mengenai lokasi ibukota baru.Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah pasal 12 ayat 3, disebutkan bahwa Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya. Berdasarkan dasar hukum tersebut, dan hasil kajian terhadap beberapa penelitian dan literatur yang berkaitan dengan fakor penentuan lokasi, dapat ditentukan faktor apa yang dapat diadaptasi dalam penelitian ini. Beberapa faktor yang menentukan terhadap pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan yang diadaptasi dalam penelitian ini ialah faktor letak geografis, faktor kondisi fisik, faktor aksesibilitas, faktor kependudukan, faktor ketersediaan fasilitas, dan faktor kebijakan pemerintah, faktor politik, dan faktor historis, seperti pada Tabel 1.2 berikut.
Tabel 1.3. Faktor-faktor penentuan lokasi pusat pemerintahan/ ibukota baru yang diadaptasi dalam penelitian Faktor Letak geografis
Keterangan Jarak terhadap pusat pemerintahan lama Jarak terhadap kota sekitar Kemiringan lereng
Kondisi Fisik
Penggunaan lahan Status lahan
37
Luas lahan Ketersediaan air Kerentanan bencana Aksesibilitas
Sarana dan prasarana transportasi Jaringan jalan Jumlah penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk
Kependudukan
Angkatan kerja Mata pencaharian penduduk Heterogenitas suku, agama, dan etnis Fasilitas kesehatan
Ketersediaan fasilitas
Fasilitas ekonomi Fasilitas sosial Jaringan utilitas RPJMD dan RPJPD
Kebijakan
Zonasi tata ruang Praktek perizinan
Politik Historis
Visi misi kepala daerah Sejarah pembentukan kota Sejarah karisidenan/kasultanan/kerajaan
Sumber : Berbagai kajian literatur. Faktor letak geografis dapat menggambarkan jarak lokasi pusat pemerintahan yang baru dengan pusat pemerintahan yang lama, serta jarak dengan kota-kota yang ada disekitar. Hal ini nantinya akan sangat menentukan interaksi wilayah. Lokasi pusat pemerintahan yang baru sebaiknya tidak berhimpit dengan lokasi pusat pemerintahan yang lama, karena dengan jarak yang dekat hanya akan mempersulit pengembangan pembangunan di lokasi baru. Kondisi fisik merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pemilihan sebuah lokasi. Dalam menentukan sebuah lokasi harus memperhatikan kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan, luasan lahan yang tersedia, status lahan yang akan
38
dibangun, ketersediaan air, dan kerentanan lokasi terhadap bencana. Lokasi ideal sebaiknya berada di lereng yang landai ataupun datar, tidak berada pada kawasan lindung maupun kawasan lahan pertanian, memiliki akses terhadap air yang baik, memiliki status lahan yang jelas, memiliki luasan yang cukup untuk dapat dikembangkan, serta tidak berada pada kawasan rawan bencana. Aksesibilitas merupakan faktor yang menentukan lokasi, semakin baik aksesibilitas yang tersedia pada lokasi baru yang akan direncanakan, maka akan menunjang interkasi wilayah, baik intra maupun inter-regional. Hal ini juga dapat mengehemat biaya pembangunan infrastruktur transportasi. Aksesibilitas memuat ketersediaan transportasi, baik darat, udara, maupun laut dan jaringan jalan yang menghubungkan antar wilayah. Kondisi kependudukan suatu lokasi juga menjadi penentu, yakni yang mencakup jumlah penduduk yang ada di lokasi baru dan kota-kota sekitar untuk mengetahui potensi interaksi yang akan terjadi, mata pencaharian penduduk di lokasi baru, heterogenitas penduduk dari segi suku. agama, dan etnis, tingkat pertumbuhan penduduk, dan angkatan kerja yang mencakup jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran yang ada di lokasi baru. Ketersediaan fasilitas menjadi salah satu penentu pemilihan sebuah lokasi baru. lokasi yang telah memiliki berbagai fasilitas akan lebih efisien dipilih sebagai sebuah lokasi pusat pemerintahan, karena tidak perlu membangun berbagai fasilitas yang akan meningkatkan anggaran pemerintah. Ketersedian fasilitas yang dimaksud mencakup fasilitas kesehatan, ekonomi, sosial, dan jaringan utilitas. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penentu pemilihan lokasi, hal ini berkaitan dengan prakter perizinan yang lebih mudah, RPJP, RPJM, dan zonasi tata ruang yang mendukung memungkinkannya kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di lokasi tersebut. Apabila kebijakan pemerintah disebuah kota mendukung adanya kebijakan pemindahan pusat pemerintahan, maka implementasinya akan lebih mudah. Faktor politik dan faktor historis merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan pemilihan sebuah lokasi. Kadang kala, dua faktor ini menjadi faktor yang paling utama dalam pemilihan lokasi. Beberapa kasus contoh di Indonesia
39
menyiratkan bahwa kontribusi elit politik dalam mencapai visi misi tertentu, kepentingan politik suatu golongan, dan wilayah yang memiliki historis kerjaan dapat menjadi penyebab utama pemilihan lokasi tersebut. Proses implementasi atau dalam kajian kebijakan disebut dengan state implementation menjadi salah satu bagian dalam penelitian. Proses implementasi secara general dapat diimplementasikan secara langsung maupun bertahap, melalui proses yang panjang maupun tidak. Goggin,dkk (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa model dalam proses implementasi, yakni dapat dilaksanakan secara defiance, delay, strategic delay, dan compliance. Model implementasi secara defiance diartikan sebagai proses yang dilakukan secara bertahap dan didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru menyulitkan pemerintah dalam mencapai tujuan. Model delay diartikan sebagai implementasi yang dilakukan bertahap yang sesuai dengan kebijakan awal yang ditetapkan. Model strategic delay merupakan model implementasi secara bertahap yang didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru membantu pemerintah dalam mencapai tujuan. Sedangkan model compliance merupakan model implementasi secara serentak dan cepat dengan atau tidak ada modifikasi kebijakan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuan. Goggin,dkk (1990) juga menjelaskan bahwa proses implementasi dapat dibedakan menjadi dua, yakni proses secara spasial, maupun proses secara temporal. Proses secara spasial dimaknai bahwa sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan pada suatu wilayah tidak dilakukan secara langsung pada seluruh bagian dalam wilayah itu, namun secara bertahap. Sedangkan proses secara temporal dimaknai sebagai sebuah dimenasi waktu dari proses implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini, nantinya akan membatasi proses penelitian pada proses implementasi secara temporal. Goggin,dkk (1990) menyebutkan bahwa dalam proses implementasi terdapat tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam proses implementasi, yakni meliputi komunikasi antar aktor dan lembaga terkait meliputi kebijakan yang akan diimplementasikan, persiapan sumberdaya yang meliputi dana dan aktor yang akan berperan dalam implementasi, sosialisasi dan komunikasi terhadap sasaran
40
kebijakan, desain/model implementasi yang digunakan apakah bertahap maupun secara langsung, serta aktifitas final implementasi kebijakan. Model dalam proses implementasi tidak serta merta terjadi begitu saja, namun sangat ditentukan oleh beberapa variabel. George C Edwards III (dalam winarno, 2002) menyatakan bahwa dalam sebuah implementasi sangat ditentukan oleh komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Komunikasi menyangkut penyampaian informasi antar pembuatan kebijakan dengan masyarakat, sasaran kebijakan, maupun pihak lainnya yang terkait agar informasi dapat ditransmisikan dengan baik dan tidak terdapat distorsi informasi. Sumberdaya mencakup sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial yang dapat mendukung kebijakan yang akan diimplementasikan. Disposisi memiliki arti tindakan yang dilakukan atasan untuk mensukseskan implementasi kebijakan yang dibuat, yang mencakup komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis yang dimiliki pemimpin. Struktur birokrasi diartikan sebagai prosedur atau standar dalam melakukan setiap tindakan dalam implementasi kebijakan, yang dalam hal ini menyangkut prosedur pemindahan pusat pemerintahan. Pada penelitian ini, akan membahas proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan secara umum melalui model state implementation, apakah dilakukan secara cepat dan serentak, atau dilakukan dengan bertahap dan modifikasi-modifikasi didalamnya. Proses implementasi yang dilakukan akan dilihat secara temporal dari disahkannya kebijakan menjadi dasar hukum hingga akktifitas final pemindahan pusat pemerintahan kalimantan selatan di Kota Banjarbaru, yang didalamnya memuat berbagai tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk melihat proses ini, maka penelitian ini akan menggunakan variabel-variabel implementasi yang dikemukakan oleh George C Edwards III. Pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru tentunya menjadi sebuah isu yang akan menimbulkan banyak pertanyaan, diantaranya latar belakang kebijakan, faktor yang menjadi alasan pemilihan lokasi dan proses implementasi kebijakannya. Hubungan antara latar belakang, permasalahan, tujuan, serta pencapaian akhir dari penelitian ini dapat tercermin dalam Gambar 1.3.
41
1.8 Kerangka Penelitian Latar Belakang Good government: Performance management
Service/ process optimization
Optimalisasi Pelayanan Pemerintah
Service optimization
Minimnya lahan perkantoran
Employee engagement Change management
Usulan pemindahan lokasi pemerintahan yang lebih optimal
Issue
Tujuan 1
Tujuan 2 Pemindahan LokasiPusat Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru
Komunikasi
Faktor Lokasi Geografis Faktor Fisik
Faktor Aksesibilitas
Sumberdaya Proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru
Faktor-faktor utama yang menjadi alasanpemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru
Disposisi
Faktor Kebijakan Faktor Kependudukan Faktor Fasilitas
Struktur birokrasi
Rekomendasi pengembangan kota baru untuk layanan pemerintahan
Faktor Politik
Faktor Historis
Gambar 1.1. Kerangka Penelitian 42
1.9 Batasan Oprasional Penelitian ini membatasi konsep pada faktor-faktor yang menjadi alasan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dan proses implementasi kebijakannya dalm konteks terhadap kebijakan publik. Batasan-batasan yang penting dipahami dalam penelitian ini mencakup : 1. Kebijakan perkotaan ialah keputusan yang diambil secara sengaja sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan (Torjman, 2005) yang bertujuan agar kota dapat berjalan efektif dan efisien, serta membuat keadaan yang lebih baik bagi masyarakat perkotaan (Linn,1983). 2. Pusat pemerintahan ialah fungsi wilayah yang digunakan untuk kegiatan pelayanan pemerintahan yang didalamnya memuat pusat perkantoran pemerintah, berbagai fasilitas, dan utilitas
untuk
menjalankan fungsi dan tugas kepemerintahan. 3. Proses implementasi merupakan bagian dari konsep implementasi kebijakan, yang ditentukan setelah kebijakan ditetapkan kedalam sebuah peraturan dan dan yang dibutuhkan tersedia, didalamnya memuat serangkaian aksi yang dilakukan untuk mewujudkan output dari kebijakan yang telah ditetapkan (Nakamura dan Smallwood 1980).
43