BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai lembaga mediasi keuangan, bank memiliki peranan penting bagi
perekonomian. Selain menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit, bank juga memberikan jasa-jasa lainnya dalam mempermudah
transaksi keuangan. Semua aktifitas bank dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatan operasionalnya, bank menganut sistem bunga yang sangat erat kaitannya dengan kebijakan dan kondisi makro maupun mikro negara yang bersangkutan. Maka tak heran saat terjadinya liberalisasi ekonomi, tiga komponen sistem keuangan yaitu tingkat bunga, nilai tukar uang asing dan indeks harga saham gabungan yang terjadi di negara berkembang turut memberikan dampak secara langsung terhadap perekonomian negara berkembang seperti di Indonesia. Walalupun ketiga komponen tersebut saling mempengaruhi, namun tingkat bunga yang sering dipergunakan dalam kebijakan ekonomi (Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, 2007). Saat Indonesia dilanda krisis ekonomi akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kebijakan moneter yang pertama diterapkan adalah menaikan tingkat bunga dengan melelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sampai saat ini masih bisa dirasakan akibat dari tingginya tingkat suku bunga terhadap perekonomian masyarakat. Akibatnya, kesenjangan ekonomi terlihat semakin luas dan melebar. Kejadian luar biasa ini telah memberikan kesan tentang rapuhnya fundamental ekonomi Indonesia yang memiliki sistem keuangan dengan perangkat bunga. Krisis yang terjadi telah memberikan hikmah agar terus dilakukan pengkajian secara terus menerus tentang sistem keuangan, sehingga
1
2
memunculkan beberapa pertanyaan tentang perangkat alternatif sistem keuangan yang dapat membangun sektor perbankan yang tangguh.
Di Indonesia, sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang perbankan, telah terbukti bahwa sistem bagi hasil merupakan sistem yang
lebih tangguh bagi sektor perekonomian. Menurut Muliaman (2011), ekonomi konvensional dianggap tidak mampu menyelesaikan krisis, bahkan yang menjadi penyebab krisis itu sendiri. Saat bank-bank konvensional mulai rapuh, Bank
Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia yang menerapkan bagi hasil dan satu-satunya pada saat itu serta 25 dari 77 Bank Pembiayaan sistem
Rakyat Syariah (BPRS) berada dalam kondisi sehat. Hal tersebut memberikan pandangan yang baik kepada Bank Indonesia (BI) sehingga BI memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia dengan dilahirkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undangundang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai upaya mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, mengembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Dengan adanya landasan hukum yang lebih baik, perkembangan perbankan syariah terus menampakan jati dirinya. Pertumbuhan rata-rata bank syariah mencapai 40% pertahunnya dan total asetnya kini mencapai 100 trilyun rupiah. Selain itu masyarakat mulai tertarik kepada sistem perbankan syariah yang dipandang sebagai sistem alternatif untuk memberikan keadilan kepada seluruh lapisan masyarakat. Berikut ini adalah grafik perkembangan aset dan dana pihak ketiga pada Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah periode 2003 hingga 2010 di Indonesia.
3
Grafik 1.1 Perkembangan Aset dan DPK Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah Periode 2003-2010 140%
120%
100%
80%
Aset
60%
DPK
40% 20%
0% 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Outlook Perbankan Syariah 2011, data diolah kembali.
Perkembangan aset bank syariah cukup pesat pada setiap tahunnya. Hingga akhir 2010, total aset di Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) rata-rata mencapai 130%. Hal yang sama terjadi pada jumlah DPK yang dapat dihimpun BUS dan UUS. Jumlah DPK mengalami peningkatan 39,16% dibanding periode tahun sebelumnya yaitu 35,19%. Dengan angka pertumbuhan yang baik, diharapkan perbankan syariah mampu menerapkan sistemnya dengan sebaik-baiknya. Perkembangan perbankan syariah tak lepas dari sistemnya yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional dalam menerapkan bunga pada kegiatan operasionalnya. Perbankan syariah beroperasi dengan prinsip bagi hasil, sehingga memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan antara masyarakat dan bank serta menonjolkan aspek-aspek keadilan dalam bertransaksi dan berinvestasi. Selain itu perbankan syariah mengedepankan prinsip ketauhidan dalam berproduktifitas dan menghindari transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif karena mengandung unsur-unsur yang diharamkan dalam Al-Qur’an seperti riba, maysir, dan gharar. Untuk menghindari unsur-unsur tersebut, bank syariah memilki produk dan instrumen keuangan syariah yang dapat mendukung terciptanya keeratan sektor
4
keuangan dan sektor riil. Dengan mengembangkan produk dan instrumen keuangan tersebut, diharapkan bank syariah dapat mendorong kegiatan keuangan
dan bisnis agar menciptakan stabilitas sistem keuangan dan kestabilan harga. Produk yang menjadi ciri khas dari perbankan syariah adalah pembiayaan yang
berlandaskan prinsip bagi hasil. Menurut Choudhury (2005), pembiayaan bagi hasil dikembangkan agar banyak masyarakat yang terlibat dan saling bekerjasama, sehingga masyarakat
terlepas dari kemiskinan dan keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan Umer Chapra (2001) menjelaskan bahwa ekonomi Islam sebagai
cabang ilmu pengetahuan menekankan aktifitas ekonomi pada keadilan distributif sesuai al–‘iqtisad al–syariah. Maka ekonomi Islam tidak memperbolehkan harta kekayaan hanya berputar pada segelintir orang saja namun harus terbagi secara merata. Dalam mewujudkan hal ini diperlukan sebuah upaya dalam bentuk produktifitas dalam mengelola kehidupannya. Akad mudharabah dan musyarakah sangat mendukung pemikiran tersebut karena prinsip keadilan dan semangat bekerja keras merupakan ciri dari akad pembiayaan tersebut. Namun dalam perkembangannya, produk yang khas dalam sistem perbankan syariah yaitu pembiayaan mudharabah dan musyarakah masih memiliki porsi yang lebih sedikit dibandingkan pembiayaan murabahah (jual beli) dan produk lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data komposisi produk perbankan syariah di Indonesia sebagai berikut. Grafik 1.2 Komposisi Produk Perbankan Syariah
Komposisi Produk (Miliar Rupiah) Akad Murabahah Akad Musyarakah Akad Mudharabah
774,677 265,569 158,369
Sumber : Statistik Perbankan Syariah 2011, data diolah kembali.
5
Komposisi pembiayaan mudharabah rata-rata berkisar 158,37 triliun rupiah sedangkan pembiayaan musyarakah 265,57 triliun rupiah. Bila dibandingkan
dengan porsi
pembiayaan murabahah yang mencapai 774,67 triliun rupiah,
pembiayaan bagi hasil terbilang cukup kecil sehingga belum sepenuhnya mampu
menggerakan sektor riil secara signifikan. Hal yang sama terjadi pada dua bank syariah terkemuka di Indonesia yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kedua bank
syariah tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda jika dilihat dari pertumbuhannya, terutama dalam segi pembiayaanya. Oleh karena itu penulis
mencoba untuk mengungkapkan fenomena pembiayaan terutama pembiayaan bagi hasil yang dilakukan oleh kedua bank tersebut. Bank Syariah Mandiri merupakan bank syariah pemilik aset terbesar di Indonesia. Walaupun pertumbuhan aset dan jumlah dana pihak ketiga di BSM cukup pesat, namun hal tersebut tidak sejalan dengan besarnya pembiayaan bagi hasil yang disalurkan. Porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang merupakan pembiayaan bagi hasil di BSM masih rendah dan belum mampu menguasai pangsa pasar pembiayaan. Bank syariah yang memilki pangsa pasar terbesar di Indonesia ini mendapatkan sebagian profitnya dari pembiayaan murabahah dan pembiayaan sindikasi lainnya dalam pembelian aktiva. Berikut adalah grafik pertumbuhan aset dan DPK Bank Syariah Mandiri periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Grafik 1.3 Pertumbuhan Aset dan DPK Bank Syariah Mandiri Periode 2005-2010 Pertumbuhan Aset dan DPK (Jutaan Rupiah) 40
30 20 10 0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Aset
8.27
9.56
12.86
17.07
22.04
32.48
DPK
7.04
8.22
11.11
14.9
19.34
29
Sumber : Laporan Tahunan 2010 Bank Syariah Mandiri, data diolah kembali
6
Pertumbuhan BSM tersebut sangat mendukung terciptanya porsi pembiayaan bagi hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank syariah lainnya.
Pertumbuhan aset BSM mencapai rata-rata 32,46 triliun rupiah dari total aset perbankan syariah yang mencapai 97,52 triliun rupiah pada akhir tahun 2010 dan
pertumbuhan dana pihak ketiga BSM mencapai 29 triliun rupiah. Namun dalam kenyataannya, pembiayaan bagi hasil mudharabah hanya berkisar 17,69% yaitu sebesar 4,24 triliun rupiah dan pembiayaan bagi hasil musyarakah berkisar
19,15% yaitu sebesar 4,59 triliun dari total pembiayaan sebesar 23,97 triliun seperti yang tercermin dalam grafik di bawah ini. rupiah
Grafik 1.4 Skim Pembiayaan Bank Syariah Mandiri Periode 2005-2010
14000 12000 10000 Murabahah
8000
Mudharabah 6000
Musyarakah
4000
Lainnya
2000
(Milyar)
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Laporan Tahunan Bank Syariah Mandiri 2009-2010, data diolah kembali.
Kenyataan tersebut juga terjadi pada Bank Muamalat Indonesia (BMI) dimana porsi masing-masing pembiayaan bagi hasilnya lebih kecil dibandingkan pembiayaan dengan akad jual beli. Walaupun BMI telah lebih dahulu berdiri sebagai pioneer bank syariah di Indonesia, namun ternyata tantangan untuk mengembangkan pembiayaan bagi hasil ini cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik komposisi pembiayaan BMI periode 2007-2010 dibawah ini
7
Grafik 1.5. Skim Pembiayaan Bank Muamalat Indonesia Periode 2007-2010
Lainnya; 2.165.458.842
Musyarakah; 15.305.108.111
Murabahah; 19.849.974.355
Mudharabah; 6.966.646.454
Sumber : Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 2007-2010, data diolah kembali.
Dari data diatas dapat terlihat bahwa komposisi pembiayaan bagi hasil yaitu mudharabah dan musyarakah masih terbilang belum dapat menandingi pembiayaan murabahah berprinsip jual beli yang berkisar 19,84 triliun rupiah. Pembiayaan bagi hasil mudharabah berkisar 6,96 triliun rupiah sedangkan pembiayaan bagi hasil musyarakah berkisar sebesar 15,30 triliun rupiah. Dari data-data yang telah ditampilkan tersebut dapat terlihat bahwa porsi pembiayaan bagi hasil adalah porsi pembiayaan terkecil diantara pembiayaan lainnya pada kedua bank yang akan diteliti, padahal secara teoritis pembiayaan bagi hasil adalah pembiayaan dengan sistem dan skema yang ideal serta menunjang kebutuhan masyarakat di Indonesia terutama bagi usaha yang di jalankan oleh kalangan masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, penulis akan mencoba mengkaji perbedaan pembiayaan bagi hasil pada masing-masing bank syariah yang diteliti agar dapat mengungkap apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada pembiayaan bagi hasil antara Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Berdasarkan data dari laporan keuangan, secara umum pertumbuhan kedua perusahaan ini cukup baik dalam industri perbankan syariah dari tahun ke tahun, sehingga pertumbuhannya berjalan beriringan. Bisnis Indonesia (2011) menyebutkan bahwa Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat
8
Indonesia mendominasi market share industri perbankan syariah di Indonesia. Selain itu disebutkan pula bahwa kedua bank memiliki strategi yang sama dalam
meningkatkan pembiayaannya dengan meningkatkan portofolio pembiayaan retail (non-korporasi) dan pembiayaan bagi hasil. Namun Evi Tifani (2010) dalam hasil
penelitiannya tentang perbandingan kinerja keuangan Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia menyebutkan bahwa setiap bank syariah mempunyai karakteristik berbeda termasuk dalam segi penyaluran pembiayaannya, karena
setiap bank memiliki pola yang tidak sama dalam mempertahankan tumbuh kembang perusahaannya. Dari pemaparan tersebut, maka penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut tentang pembiayaan bagi hasil pada masing-masing bank syariah dalam penelitian ini. Fenoma tentang rendahnya porsi pembiayaan bagi hasil memang masih menjadi kajian yang terus diteliti di berbagai kalangan karena melihat prospek dari pembiayaan bagi hasil ini sangat besar bagi keberlangsungan perekonomian dalam rangka menciptakan kesejahteraan umat. Melihat fenomena tersebut, maka perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pembiayaan bagi hasil tersebut agar dapat menjadi acuan bagi pengembangan pembiayaan bagi hasil di masa yang akan datang. Banyak penelitian yang mengurai hal-hal berkaitan dengan rendahnya pembiayaan bagi hasil. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Yumanita (2005) dalam Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia dengan menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dan indepth interview menyebutkan bahwa rendahnya pembiayaan bagi hasil salah satunya disebabkan oleh iklim usaha yang kurang menentu sehingga bank syariah tidak dapat memprediksi keuntungan ataupun kerugian. Hal senada juga diungkapkan oleh Halim (2008) bahwa rendahnya pembiayaan bagi hasil disebabkan oleh kurang kondusifnya iklim usaha. Penelitian tersebut menunjukan bahwa beberapa hal yang menyebabkan rendahnya pembiayaan bagi hasil ini selain dikarenakan faktor internal bank syariah, faktor eksternal seperti iklim usaha pun ikut mempengaruhi. Penulis melihat faktor iklim usaha adalah salah satu indikator rendahnya pembiayaan bagi hasil di bank syariah.
9
Menurut Edy Priyono (2003), iklim usaha yang kurang kondusif dapat terlihat dari kenaikan tingkat biaya dalam transaksi. Kenaikan biaya di pasar tersebut
saling berkaitan erat dengan adanya laju inflasi. Menurut ilmu ekonomi modern, satu penyebab inflasi adalah adanya desakan biaya yang pada akhirnya dapat salah
merugikan produsen, sehingga produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan
bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil). Kebangkrutan produsen yang menjadi mudharib bank syariah secara tidak langsung akan menyebabkan
pembiayaan macet dan kerugian bagi bank syariah. Oleh karena itu, laju inflasi diduga menjadi salah satu faktor penentu kebijakan bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil. Hal ini sesuai dengan beberapa paradigma yang masih melekat pada bank syariah bahwa keuntungan masih menjadi nomor satu dan bank tidak mau mengambil risiko dalam hal tersebut. Apabila kondisi iklim usaha yang tercermin dari laju inflasi kurang kondusif atau sektor riil dirasakan lesu, maka bank syariah lebih tertarik untuk menyalurkan aktiva produktif ke dalam investasi bentuk lain dibanding menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan bagi hasil. Selain itu, Rudi Harahap (2010) menyebutkan bahwa pada saat tingkat inflasi tinggi yang ditandai dengan tingginya permintaan, otoritas moneter akan mengambil kebijakan kontraksi moneter dengan memainkan instrumen moneter seperti menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia. Akibatnya bank konvensional juga akan menaikkan tingkat suku bunganya sehingga deposan yang memiliki mind-set rational akan menarik dananya dari Bank syariah dan memindahkannya ke bank konvensional. Bank konvensional lebih memiliki fleksibilitas dalam menyesuaikan returnnya (suku bunganya) dibandingkan dengan bank syariah. Dampak dari hal tersebut akan langsung dirasakan oleh bank syariah ketika berkurangnya penghimpunan dana yang akan disalurkan dalam bentuk
pembiayaan.
Adapun
perkembangan
inflasi
di
Indonesia
dan
perkembangan pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia adalah sebagai berikut.
10
Tabel 1.1 Tingkat Inflasi dan Pembiayaan Bagi Hasil di Bank Syariah
Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia Periode 2007-2010
Tahun
Tingkat Inflasi/
Pembiayaan Bagi Hasil
Pembiayaan Bagi Hasil
IHK (%)
Bank Syariah Mandiri
Bank Muamalat Indonesia
(milyar)
(milyar)
2007
6,40
4,338
4,091
2008
10,31
5,578
4,952
2009
4,39
6,596
5,884
2010
5,13
8,830
7,343
Sumber : Bank Indonesia, Laporan Tahunan Bank Syariah Mandiri, dan Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia, data diolah kembali.
Tingkat inflasi di Indonesia dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007, tingkat inflasi dapat ditekan namun seiring terjadinya krisis pada tahun 2008, tingkat inflasi di Indonesia juga meningkat hingga 10,31%. Sedangkan pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri (BSM) mengalami peningkatan pertumbuhan dari tahun ke tahun. Hal yang sama terjadi pada Bank Muamalat Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan pada pembiayaan bagi hasilnya. Hal ini menunjukan eksistensi bank syariah yang mulai terlihat pada tahun-tahun tersebut. Data yang ditampilkan tersebut cenderung menunjukan hubungan terbalik antara tingkat inflasi dan pembiayaan bagi hasil, maka dari itu penulis akan mencoba mengkaji variabel inflasi sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil sesuai teori dan fakta yang telah disampaikan sebelumnya. Selain faktor iklim usaha yang merupakan risiko dari eksternal bank, Noor Ahmed Memon (2007) menyebutkan bahwa ada beberapa paradigma yang menyebabkan rendahnya porsi pembiayaan berprinsip bagi hasil salah satunya menyoal tentang kecenderungan bank dalam menghindari risiko likuiditas dalam penyaluran dana. Kecenderungan bank untuk menghindari risiko likuiditas (risk aversion) juga diungkapkan oleh Bank Indonesia dalam Jurnal Peran Stabilitas
11
Sistem
Keuangan
Dalam
Mendukung
Kegiatan
Ekonomi.
Bank
lebih
memperhatikan prinsip kehatian-hatian dalam menyalurkan pembiayaan karena
kekhawatiran tentang rasio pembiayaan macet (Non Performing Financing) yang meningkat sewaktu-waktu. dapat
Penulis melihat paradigma mengenai risiko likuditas yang cenderung
dihindari oleh bank syariah berkaitan juga dengan aspek permodalan. Berkaitan dengan aspek permodalan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan kewajiban
dalam penyediaan modal minimum bagi bank syariah sebesar 8% berdasarkan standar Islamic Financial Services Board (IFSB). Tujuan utama pengaturan
kecukupan modal adalah untuk menjaga tingkat likuiditas bank, yang artinya berusaha memperkecil tingkat risiko yang ditanggung bank. Risiko yang ditanggung bank diantaranya risiko kerugian bank ketika membiayai usaha, karena selain menggunakan sumber dana dari masyarakat, bank juga menggunakan modalnya untuk aktivitas pembiayaan. Permodalan bank syariah yang tercermin dalam rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) menjadi salah satu tolak ukur bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan, khususnya pembiayaan bagi hasil yang mengandung risiko kemacetan yang tinggi. Kuat atau tidaknya permodalan bank syariah yang tercermin dalam CAR menunjukan fungsi permodalan tersebut dalam menampung risiko kerugian yang dapat dialami oleh bank. Semakin tinggi CAR, maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menghadapi risiko, baik dari pembiayaan atau aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi, maka bank mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang baik bagi pembiayaan terutama bagi pembiayaan bagi hasil yang memerlukan modal penyaluran dana lebih besar dari bank syariah. Namun pada fakta yang tercermin dalam data laporan tahunan BSM dan BMI, perkembangan CAR tak sejalan dengan pertumbuhan pembiayaan. Adapun perkembangan CAR dan pembiayaan bagi hasil di BSM dan BMI adalah sebagai berikut.
12
Tabel 1.2 Perkembangan CAR, Total Pembiayaan, dan Pembiayaan Bagi Hasil Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia Thn
Periode 2007-2010 Perkembangan
Total
Pembiayaan
Perkembangan
Total
Pembiayaan
CAR BSM
Pembiayaan
Bagi Hasil
CAR BMI
Pembiayaan
Bagi Hasil
(%)
BSM
BSM
(%)
BMI
BMI
(milyar)
(milyar)
(milyar)
(milyar)
12,43
10,325
4,338
10,69
8,434
4,091
2008
12,66
13,278
5,578
10,83
10,131
4,952
2009
12,39
16,063
6,596
11,12
10,740
5,884
2010
10,60
23,968
8,830
12,07
16,250
7,343
2007
Sumber : Laporan Tahunan Bank Syariah Mandiri Periode 2010 dan Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia Periode 2007-2010, data diolah kembali.
Ekspansi bisnis yang signifikan pada tahun 2010 menekan rasio kecukupan modal (CAR) BSM pada level 10,60% menurun dibandingkan pada tahun 2009 sebesar 12,39%. Ekspansi pembiayaan yang signifikan selama tahun 2010 dengan pertumbuhan mencapai 49,21% atau Rp7,91 trilyun merupakan penyumbang penurunan rasio kecukupan modal. Hal ini mencerminkan modal yang dimiliki bank cenderung menurun, sedangkan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) semakin tinggi. Walaupun ekspansi pembiayaan di BSM semakin tinggi, namun porsi pembiayaan bagi hasil masih terbilang kecil dibandingkan total keseluruhan pembiayaan. Selain itu, pertumbuhan CAR pada BMI cenderung lebih stabil dan terus meningkat seiring pembiayaannya yaitu sekitar 25,4% setiap tahunnya. Namun BMI terlihat lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan berdasarkan tingkat penyalurannya yang lebih kecil dibandingkan dengn BSM. Hal tersebut bisa jadi karena BMI lebih fokus pada penguatan aspek permodalan dan mencegah pembiayaan macet yang terlalu tinggi. Melihat data dan teori yang telah disampaikan tersebut, maka penulis tertarik untuk menjadikan CAR sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil, karena variabel ini dianggap sebagai salah satu faktor yang
13
mempengaruhi likuiditas bank dalam menjaga tingkat kesehatan maupun kebijakannya dalam menyalurkan pembiayaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil menjadi kurang
menarik juga dikemukakan oleh Prof. Muhammad Abu Zahrah (1999) dalam
Ahmad Sumiyanto (2005). Faktor-faktor tersebut salah satunya adalah sumber dana bank syariah yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Sumber dana yang
dapat dihimpun bank syariah lalu disalurkan dalam bentuk pembiayaan atau aktivitas produktif lainnya berasal dari simpanan nasabah dalam bentuk giro,
deposito dan tabungan, serta berasal dari investasi lainnya. Hal yang sama disampaikan oleh Rudi Harahap (2010) dalam Manajemen Likuiditas Perbankan Syariah, bahwa sumber dana bank sebagian besar berjangka pendek sehingga lebih sering digunakan dalam aktivitas pembiayaan jangka pendek juga. Menurut Veithzal Rivai (2007), pada sebagian besar atau setiap bank, dana masyarakat ini umumnya merupakan dana terbesar yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan fungsi bank sebagai penghimpun dana masyarakat. Berikut ini adalah perkembangan dana pihak ketiga beserta perkembangan pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri pada tahun 2005 sampai dengan 2010. Tabel 1.3 Perkembangan DPK, Total Pembiayaan, dan Pembiayaan Bagi Hasil Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesi Periode 2007-2010 Thn
Dana Pihak
Total
Pembiayaan
Dana Pihak
Total
Pembiayaan
Ketiga BSM
Pembiayaan
Bagi Hasil
Ketiga BMI
Pembiayaan
Bagi Hasil
(milyar)
BSM
BSM
(milyar)
BMI
BMI
(milyar)
(milyar)
(milyar)
(milyar)
2007
11,106
10,325
4,338
8,691
8,434
4,091
2008
14,898
13,278
5,578
10,073
10,131
4,952
2009
19,338
16,063
6,596
13,316
10,740
5,884
2010
28,998
23,968
8,830
18,574
16,250
7,343
Sumber : Laporan Tahunan Bank Syariah Mandiri 2010 dan Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia 2007-2010, data diolah kembali.
14
Dari data tersebut dapat dilihat kenaikan DPK dari tahun ke tahun. Kenaikan DPK BSM berkisar hingga 161% dari tahun 2007 hingga tahun 2010, sedangkan
DPK BMI kenaikannya berkisar 113% . Hal tersebut sejalan dengan kenaikan pembiayaan bagi hasil dari tahun ke tahun walaupun porsinya masih rendah
dibandingkan total pembiayaan yang terdapat di Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh sebagian besar sumber dana yang dihimpun bank syariah adalah sumber dana yang berjangka pendek
seperti yang dikemukakan oleh Prof. Muhammad Abu Zahrah (1999), sehingga sumber dana tersebut lebih sering digunakan untuk membiayai pembiayaan yang
berjangka pendek seperti jenis pembiayaan murabahah, salam dan istishna. Hal tersebut dilakukan bank untuk menghidari risiko kerugian, karena kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang dapat menimbulkan risiko terjadinya kerugian bagi bank syariah. Berdasarkan fakta yang tercermin dalam data tersebut, penulis tertarik untuk meneliti pengaruh variabel DPK ini terhadap pembiayaan bagi hasil yang cenderung berjangka panjang. Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan terlebih dahulu menguji perbedaan tingkat pembiayaan bagi hasil pada masing-masing bank yang akan diteliti agar dapat mengungkap karakteristik pembiayaan bagi hasil pada masing-masing bank syariah tersebut. Lalu penulis akan memilih tiga variabel yang diduga mempengaruhi porsi pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Tiga variabel tersebut adalah tingkat inflasi, rasio kecukupan modal (CAR) dan jumlah dana pihak ketiga (DPK). Penelitian terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil ini layak untuk diteliti sehingga dapat mengungkap fakta yang ada dilapangan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan pembelajaran bagi berbagai pihak agar dapat terus meningkatkan porsi pembiayaan bagi hasil yang memiliki potensi dan prospek yang baik bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera.
15
Dalam rangka inilah, penulis menjadikan penelitian ini sebagai tugas akhir. Penelitian tugas akhir ini diberi judul “Pengaruh Inflasi, Rasio Kecukupan
Modal (CAR), dan Dana Pihak Ketiga (DPK) terhadap Pembiayaan Bagi Hasil PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. pada
Periode 2008 -2011”.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Dari uraian latar latar belakang penelitian tersebut, maka masalah utama yang
hendak dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah tingkat inflasi mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya? 2. Apakah rasio kecukupan modal (CAR) mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya? 3. Apakah jumlah dana pihak ketiga (DPK) yang dapat dihimpun mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya? 4. Apakah tingkat inflasi, rasio kecukupan modal (CAR) dan jumlah dana pihak ketiga (DPK) secara bersama-sama mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya? 5. Adakah perbedaan yang signifikan antara tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Muamalat Indonesia? 1.2.2
Batasan Masalah
Agar penjelasan dan hasil penelitian tidak keluar dari rumusan yang ditetapkan, maka diperlukan batasan masalah dalam melakukan penelitian ini. Adapun penelitian ini dibatasi dengan hanya membahas inflasi, rasio kecukupan
16
modal (CAR), dan jumlah dana pihak ketiga (DPK) sebagai variabel bebas dan pembiayaan bagi hasil sebagai variabel terikat. Selain itu, penelitian ini hanya
dilakukan pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk periode 2008 hingga 2011.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Menguji apakah inflasi mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank
Syariah mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya. 2. Menguji
apakah
rasio
kecukupan
modal
(CAR)
mempengaruhi
pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya. 3. Menguji apakah jumlah dana pihak ketiga (DPK) mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, seberapa besar pengaruhnya. 4. Menguji apakah inflasi, rasio kecukupan modal (CAR) dan jumlah dana pihak ketiga (DPK) secara bersama-sama mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia, serta seberapa besar pengaruhnya. 5. Menguji adakah perbedaan yang signifikan antara tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Muamalat Indonesia. 1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat penelitian bagi penulis, untuk menambah ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia sehingga
17
menjadi langkah awal bagi penulis untuk melakukan penelitian lainnya
tentang keuangan khususnya bidang keuangan syariah.
2. Manfaat penelitian bagi kalangan akademis, untuk mengembangkan dan
dapat menambah variabel-variabel lain yang dianggap relevan berdasarkan
melakukan penelitian lebih lanjut tentang pembiayaan bagi hasil, serta kondisi dan perkembangan perekonomian.
3. Manfaat bagi praktisi, untuk dapat mengembangkan porsi pembiayaan
bagi hasil khususnya pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat
Indonesia yang dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini, sehingga mampu menggerakan sektor riil dengan lebih baik di masa yang akan datang.
4. Manfaat bagi masyarakat, untuk mengembangkan potensi masyarakat dalam mengembangkan usahanya dengan akad pembiayaan bagi hasil di Indonesia agar mampu mandiri menjalankan roda perekonomian kehidupannya.