BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan Fungsi Kawasan Hutan TNGM. Dan kemudian direvisi lagi dengan SK. Menhut No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan keputusan Menteri kehutanan No.70/Kpts-II/2001. TNGM memiliki ragam potensi keunikan baik dari aspek keanekaragaman hayati, keunikan alam, budaya dan sosial ekonomi. Masing-masing potensi dapat dikembangkan dan ditata sehingga serasi dan selaras terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kawasan TNGM merupakan satu kesatuan ekosistem yang utuh dan saling terkait antar komponen penyusunnya. Pada konteks ini, kawasan TNGM merupakan lingkungan kompleks yang tersusun atas komponen biotik, abiotik dan budaya. Masing-masing
komponen
berinteraksi
secara
kompleks
dan
membangun
keharmonisan fungsi dan sistem tata kehidupan. Terganggunya fungsi salah satu aspek dari komponen lingkungan akan berdampak pada ketidakteraturan keseluruhan fungsi dari keseluruhan komponen lingkungan penyusunnya. Status kawasan TNGM yang relatif baru tahap pengembangan, memunculkan polemik berbagai pihak terhadap kepentingan sumber daya alam Gunung Merapi. Hal ini dipicu oleh keraguan dan kekhawatiran akan tersingkirnya kepentingan akses terhadap pemanfaatan sumber daya alamnya. Salah satu contoh adalah kepentingan terhadap akses sumber pakan ternak oleh masyarakat lokal dalam kawasan yang melimpah. Kepentingan tersebut terus berkembang sehingga menjadi salah satu bentuk persoalan pengelolaan kawasan TNGM.
1
Keberadaan kawasan TNGM telah lama dihadapkan pada persoalan intervensi manusia yang hidup di dalam dan di sekitarnya berupa aktivitas perumputan dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya. Kondisi ini dapat menjadi ancaman ataupun bahkan peluang dalam pengelolaan kawasan TNGM. Sifat ancaman disebabkan oleh tingkat ketergantungan sumber daya alam yang tinggi tanpa diimbangi dengan pola penataan dan regulasi penataan yang optimal dalam upaya peningkatan daya dukung alamnya. Dampaknya adalah eksploitasi secara terus-menerus dan besar dan menjadi pemicu rusaknya hutan baik dari aspek komposisi, struktur dan tingkat keragaman hayatinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan mengancam hilangnya spesies asli dan endemik ataupun jenis kunci/flagship spesies TNGM. Peluang pengelolaan diperoleh jika pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumber daya alam relatif tinggi sehingga terbentuk rasa memiliki dan bertanggungjawab bersama dalam praktek-praktek pelestariannya. Peluang tersebut perlu dicapai sehingga kestabilan kawasan akan lebih terjaga. Kondisi masyarakat sebelum adanya penetapan kawasan TNGM merupakan masyarakat petani subsisten sehingga ketergantungan terhadap sumber daya alam gunung merapi sangat tinggi. Masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan pertanian lahan kering dan perumputan sebagai sumber mata pencaharian. Ternak memiliki peran sangat penting dalam menunjang kemantapan ekonomi masyarakat pada kondisi darurat karena mudah untuk dicairkan dalam pemenuhan kebutuhan yang mendesak. Dampaknya adalah kegiatan perumputan terjadi secara intensif dan masif. Perumputan intensif dilakukan masyarakat terkait dengan frekuensi aktivitas yang dilakukan secara berulang, sedangkan masif terjadi karena dilakukan secara menyeluruh oleh masyarakat sekitar kawasan TNGM. Pengambilan rumput masyarakat dilakukan atas dasar keberadaan pakan dalam kawasan tanpa adanya pertimbangan aspek-aspek biofisik yang ada. Hal ini tentunya berimplikasi terhadap proses terbentuknya kondisi hutan yang stabil (klimaks). Pemangkasan rumput yang tidak terkendali berdampak pada terputusnya mekanisme regenerasi tumbuhan khususnya penyusun tegakan hutan. Regenerasi 2
terputus pada hilangnya anakan. Dengan demikian terbentuklah dinamika vegetasi yang timpang (tidak seimbang). Perumputan secara fisik berdampak terhadap struktur dan komposisi penyusun
tegakan
hutan
dikarenakan
pola
perumputan
berupa
pemangkasan/pemotongan dan pengambilan jenis tertentu saja. Implikasinya adalah ketimpangan komposisi jenis antara yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap kelestarian jenis-jenis penyusun hutan pada Taman Nasional Gunung Merapi. Pengambilan rumput yang secara terus-menerus bahkan permanen juga berimplikasi terhadap kemunduran proses suksesi. Jenis-jenis anakan yang tumbuh tidak sengaja terpotong sehingga tidak terbentuk sapling, tiang dan pohon. Implikasi lainnya adalah terbentuknya dominasi jenis invasif ataupun jenis tertentu yang menjadi prioritas perlindungan. Dominasi jenis invasif secara perlahan akan menggeser keberadaan jenis asli terkait dengan “kekalahan” kompetisi. Jenis invasif memiliki karakteristik cepat tumbuh, persebaran biji banyak, dan beberapa diantaranya memiliki daun yang bersifat alelopati (menghambat pertumbuhan jenis lain). Dalam jangka panjang, dampak spesifik perumputan adalah penurunan keragaman hayati jenis asli dalam kawasan TNGM. Kondisi ini perlu disikapi secara serius oleh pengelola dalam penataan kawasan. Aktivitas perumputan terjadi hampir merata pada desa-desa penyangga kawasan TNGM. Perumputan dapat dimaknai dalam dimensi kepentingan masyarakat lokal berupa akses terhadap sumber daya alam berupa rumput dan hijauan pakan ternak dari dalam kawasan TNGM. Sifat kepentingan ini berbeda dengan tujuan pengelolaan TNGM dalam pengawetan, pelestarian dan perlindungan sumber daya alam kawasan TNGM. Meskipun dalam pengelolaan TNGM, diijinkan pemanfaatan secara terbatas dengan pertimbangan kelestarian. Mengingat, perumputan memutus proses regenerasi dan dinamika pertumbuhan spesies dalam kawasan TNGM. Keberadaan masyarakat di dalam dan di sekitar Taman Nasional telah disikapi oleh pengelola dengan penerapan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 3
56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sistem zonasi tersebut secara spesifik mengatur adanya bagian kawasan hutan yang tidak boleh diganggu oleh aktivitas masyarakat untuk memastikan jaminan kelestarian fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan pelestarian alam. Mengacu pada Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (RPTNGM, 2004) bahwa untuk mengakomodir kepentingan masyarakat di sekitar Taman Nasional akan kebutuhan rumput sebagai hijauan makanan ternak (HMT) telah dibentuk pengaturan zonasi yaitu zona tradisional. Perumputan dilatarbelakangi oleh ragam faktor internal-ekternal yang berkembang dalam dinamika sosial masyarakat. Faktor internal berasal kondisi sosial ekonomi masyarakat yang muncul dari dalam komunitas sosial masyarakat. Faktor eksternal muncul dari pengaruh luar komunitas ke dalam komunitas, baik berupa pemahaman, kapital, pandangan/ideologi dan lain-lain. Faktor-faktor internaleksternal memiliki implikasi terbentuknya pola-pola perumputan dalam kawasan TNGM. Pola-pola tersebut merupakan karakteristik aktivitas perumputan yang dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang berlaku. Pola-pola perumputan perlu diarahkan dan diatur sesuai dengan kaidah penataan kawasan yang dilakukan oleh pengelola. Pengelola menilai bahwa perumputan yang terjadi, tidak tertata secara sistemik sehingga menimbulkan gangguan pada dinamika vegetasi penyusun habitat TNGM khususnya pada tingkat pancang dan tukulan. Besaran kondisi vegetasi secara ekologis, saat ini belum sepenuhnya diambil sebagai bagian dari pertimbangan pengambilan keputusan pengelolaan. Konteks ini padahal penting sebagai wujud pengaturan pemanfaatan yang dapat ditetapkan dalam zona tradisional perumputan di TNGM.
1.2. Perumusan Masalah Perumputan di kawasan TNGM telah terjadi sejak sebelum ditetapkannya kawasan konservasi tersebut. Aktivitas perumputan merupakan bagian dari kehidupan 4
tradisional masyarakat yang sangat tergantung pada keberadaan sumber daya alam. Aktivitas ini telah berlangsung secara turun temurun hingga saat ini. Masyarakat menyadari bahwa selama ini mereka menempati dan atau menggunakan lahan milik Negara, namun demikian akses terhadap sumber daya perumputan selama ini tidak dibatasi. Persoalan muncul ketika terjadi perubahan status kawasan yang membatasi akses sumber daya alam dalam perumputan tersebut karena secara otomatis berdampak pada sumber-sumber penghidupan mereka. Pengelola tidak serta merta membatasi akses perumputan tersebut, akan tetapi persoalan menjadi tambah pelik terkait banyaknya jumlah warga masyarakat yang harus diakomodasi kepentingannya di dalam kawasan Taman Nasional. Disamping itu, pengelola juga memiliki kepentingan dalam pengembangan Taman Nasional sebagai bagian dari upaya untuk menjaga keberadaan keaslian ekosistem di dalamnya. Situasi yang demikian juga dihadapi dalam upaya menyusun kebijakan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi. Perumputan yang tidak tertata dalam kawasan TNGM memberikan dampak ekologi dan sosial yang kompleks. Dampak secara ekologis ditunjukkan oleh penurunan kondisi habitat baik pada aspek struktur, komposisi dan keragaman jenis khususnya pada tingkat pancang dan tukulan. Dampak tersebut dapat terjadi secara temporal ataupun permanen. Dampak temporal berupa kerusakan-kerusakan anakan sedangkan dampak permanen adalah terhambatnya mekanisme regenerasi dan suksesi dalam kawasan TNGM. Perumputan secara langsung berimplikasi terhadap keberadaan anakan di alam baik jenis maupun jumlahnya. Jenis-jenis anakan yang menjadi hijauan ternak cenderung tetap dipelihara sehingga jumlahnya dalam kawasan menjadi melimpah. Sedangkan jenis-jenis lain cenderung diabaikan. Dengan demikian, kerusakan anakan menjadi tidak terhindarkan. Tingkat kerusakan anakan menjadi patokan seberapa jauh gangguan perumputan terhadap keseimbangan habitat dan mekanisme regenerasi tegakan yang ada. Kerusakan tersebut perlu diidentifikasi dari aspek jenis-jenis anakan yang biasa 5
diamanfaatkan dan jenis-jenis anakan lain yang tidak sengaja dipangkas dalam perumputan. Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan pengelolaan lapangan selanjutnya. Aktivitas perumputan secara tidak langsung telah membangun pola-pola pemanfaatan, baik dari aspek lokasi, waktu, jenis dimanfaatkan dan sebagainya. Polapola ini disebabkan oleh faktor-faktor ekologis dan sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Pola-pola perumputan tersebut perlu diidentifikasi sehingga dapat ditempuh suatu kebijakan penataan yang implementatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola-pola perumputan perlu diidentifikasi, baik dari aspek ekologis maupun sosial. Faktor ekologis dipengaruhi oleh kondisi biofisik persebaran sumber hijauan ternak sedangkan faktor sosial dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat, baik dari unsur penghasilan, mata pencaharian, keterbatasan lahan, dan sebagainya. Masing-masing faktor perlu dianalisa dan dirumuskan dalam tata kelola TNGM sebagai solusi yang dapat diimplementasikan oleh para pihak. Berdasarkan
permasalahan-permasalahan
tersebut,
maka
untuk
pengembangan managemen pengelolaan TNGM diperlukan penelitian untuk mengetahui kondisi dan pemanfaatan rumput oleh masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi.
1.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini meliputi :
Faktor sosial dan biofisik apa yang melatarbelakangi perumputan?
Pola perumputan seperti apa yang terbentuk dalam masyarakat?
Seberapa jauh dampak perumputan terhadap keragaman hayatinya?
6
Faktor pendukung dan penghambat apa yang bisa dipakai sebagai bahan penyusun solusi dalam penanganan perumputan?
1.4. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kondisi dan pemanfaatan rumput oleh masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi belum pernah dilakukan oleh orang lain khususnya di lokasi rencana penelitian yaitu desa penyangga TNGM di Desa Ngablak yang masuk ke dalam wilayah pengelolaan Resort Srumbung.
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Mengetahui kondisi vegetasi pada tingkat pancang dan tukulan dari aspek struktur, komposisi dan keragaman jenis serta kerusakan anakan akibat terjadinya perumputan. 2) Identifikasi pola perumputan masyarakat di Desa Ngablak di Wilayah Resort Srumbung TNGM. 3) Menyusun solusi penanganan perumputan di kawasan TNGM.
1.6. Manfaat Penelitian 1) Alternatif pendekatan pengelolaan terhadap tekanan kawasan TNGM berupa perumputan untuk mencapai kelestarian sumber daya alam dan lingkungan TNGM 2) Dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan kebijakan dalam pengembangan manajemen pengelolaan TNGM yang berkelanjutan dan prospektif diwaktu yang akan datang.
7