BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul jika terjadi kerusakan jaringan, hal ini menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus nyeri tersebut. Kerusakan jaringan yang terjadi dapat disebabkan karena tusukan, terbakar, sobekan atau tekanan (Guyton & Hall, 2007). Nyeri terjadi bersama dengan berbagai proses penyakit atau bersamaan dengan pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2004). Nyeri dapat disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi, termal dan listrik yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, seperti histamin, bradikinin, leukotrien dan prostaglandin (Mutschler, 1991). Nyeri dapat dihambat oleh zat-zat yang dapat mengurangi atau menekan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran atau obat penghalang nyeri (Mutschler, 1991). Oleh karena itu, tingkatan nyeri dapat dikaji dengan mengobservasi reaksi yang muncul akibat nyeri tersebut (Wall & Jones, 1991). Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum (Tjay dan Rahardja 2007). Obat yang bersifat analgesik (penahan rasa sakit/nyeri) dan antipiretik (penurun panas/demam) adalah obat yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, karena obat ini dapat berkhasiat menyembuhkan demam, sakit kepala dan rasa nyeri. Umumnya obat yang bersifat analgesik dan antipiretik ini mengandung zat aktif yang lebih dikenal dengan parasetamol (Rachdiati dkk, 2008). Salah satu obat analgetik-antipiretik yang sering digunakan adalah parasetamol. Hal ini disebabkan parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat leukosit yang melepaskan peroksid sehingga anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol
1
2
berguna untuk nyeri ringan sampai nyeri sedang, seperti sakit kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain. (Katzung BG, 2011). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono, 2002). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono, 1993). Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID. Golongan Opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan golongan NSAID bekerja di reseptor saraf perier dan sistem saraf pusat (Katzung BG, 2002). Analgesik antipiretika dan obat anti radang bukan steroid atau Non Steroidal Antiinflamatory Drugs (NSAIDs) merupakan obat analgesik non narkotik. Analgesik antipiretik digunakan untuk pengobatan simptomatik yaitu hanya meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Obat anti radang bukan steroid (NSAIDs) mempunyai aktivitas menghambat biosintesis dan pengeluaran prostaglandin dengan cara memblok secara terpulihkan enzim siklooksigenase sehingga dapat menurunkan gejala keradangan. Obat-obat NSAIDs secara kimiawi dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu NSAIDs turunan karboksilat dan turunan asam enolat. Turunan karboksilat meliputi turunan asam asetat (diklofenak, indometasin), turunan asam salisilat (aspirin, benorilat), turunan asam propionat (ibuprofen, ketoprofen) dan turunan asam fenamat (asam mefenamat) sedangkan turunan asam enolat meliputi turunan prednizolon (fenilbutazon) dan turunan oksikam (piroksikam) (Wilmana, 2007). Untuk meningkatkan efek farmakologis dari parasetamol dan mengurangi efek samping, maka dibutuhkan modifikasi struktur dari parasetamol. Modifikasi molekul merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan obat baru dengan aktifitas yang dikehendaki, antara lain yaitu meningkatkan aktifitas obat, menurunkan efek samping atau toksisitas, meningkatkan selektifitas obat,
3
memperpanjang masa kerja obat, meningkatkan kenyamanan penggunaan obat dan meningkatkan aspek ekonomis obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Pada senyawa penuntun ini dapat dilakukan sintesis, yaitu dengan cara penggabungan molekul, memasukkan gugus gugus tertentu yang dapat merubah sifat fisika kimia sehingga akan berpengaruh pada suatu aktivitas obat, pengubahan gugus fungsi atau penutupan gugus yang bersifat toksigenik senyawa penuntun yang telah diketahui khasiat atau aktivitas biologisnya (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Salah satu senyawa penuntun yang mempunyai aktivitas analgetika adalah p-aminofenol. Modifikasi struktur parasetamol dilakukan untuk mendapatkan senyawa bioaktif yang baru dengan aktivitas analgesik yang optimal dan toksisitas yang minimal. Pada awalnya pengembangan obat baru bersifat coba-coba (trial and error) sehingga memerlukan biaya yang sangat mahal. Untuk mengurangi resiko tersebut, dilakukanlah rancangan obat (Siswando dan Soekardjo, 2000). Parasetamol merupakan turunan para aminofenol dan secara luas telah digunakan di industri farmasi dan masyarakat sebagai obat analgesik-antipiretik. Parasetamol diabsorpsi cepat oleh saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 30-60 menit dan dinonaktifkan pada hepar. Parasetamol tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang dan dalam dosis besar (dosis toksik), karena obat ini memiliki efek samping yang cukup berbahaya berupa hepatotoksik dan methemoglobinemia. Efek hepatotoksik yang berbahaya terjadi karena metabolisme parasetamol dalam tubuh menghasilkan metabolit reaktif yang disebut N-asetil midokuinon yang dapat mengikat jaringan hati secara ireversibel sehingga menyebabkan terjadinya nekrosis (Wilmana, 2007). Parasetamol seperti terlihat pada gambar 1.1. merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas diberbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Darsono, 2002).
Gambar 1.1 Struktur Parasetamol
4
Parasetamol berupa serbuk hablur putih, tidak berbau dan rasa sedikit pahit dengan titik lebur 169-170.5◦C. Parasetamol mudah larut dalam air mendidih, sangat mudah larut dalam chloroform, larut dalam etanol, metanol, dimetil formamida, aseton dan etil asetat, praktis tidak larut dalam benzen (Dirjen POM, 1995). Penemuan obat baru tersebut bertujuan untuk pengobatan suatu jenis penyakit tertentu, meningkatkan aktivitas obat, menurunkan efek samping yang merugikan, memperpanjang masa kerja, memperbesar tingkat kenyamanan dan meningkatkan selektivitas obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Senyawa baru yang diinginkan adalah senyawa yang mempunyai aktivitas analgesik yang lebih baik dengan meningkatkan sifat lipofiliknya agar dapat dengan mudah menembus membran sehingga konsentrasi senyawa yang berinteraksi dengan reseptor lebih banyak dan aktivitasnya meningkat (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Metode pengembangan obat dapat melalui modifikasi molekul dengan optimasi senyawa penuntun (lead compound) dan rancangan obat yang rasional (Siswandono dan Soekardjo, 2009). Sintesis merupakan bagian yang terpenting dalam pencarian senyawa obat baru yang mempunyai khasiat lebih baik dan harga yang lebih ekonomis. Sintesis dilakukan dengan penggabungan molekul, pengubahan gugus fungsi atau penutupan gugus yang bersifat toksigenik senyawa penuntun yang telah diketahui khasiat atau aktivitas biologinya. Senyawa penuntun bisa berasal dari tumbuhan, hewan, mikroba atau hasil sintesis. Salah satu
senyawa
penuntun
yang
mempunyai
aktivitas
analgetika
adalah
p-aminofenol. Senyawa p-aminofenol merupakan suatu senyawa analgetika kuat dan antiinflamasi lemah yang sangat toksik. Hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi toksisitas dan menambah aktivitasnya dilakukan modifikasi molekul yaitu pengubahan atau penambahan gugus fungsi yang terdapat pada p-aminofenol. Pengubahan dapat dilakukan pada gugus amino, pada gugus hidroksi fenolik atau pada kedua gugus amino dan hidroksi fenolik (Willette, 1982). Modifikasi molekul p-aminofenol sudah banyak dilakukan diantaranya ialah pengubahan gugus amina misalnya parasetamol, pengubahan gugus OH
5
fenolik misalnya anisidin dan fenaldin. Pengubahan pada gugus amina dan OH misalnya fenasetin dan laktilfenetidin (Susilowati dan Chasani, 2003). Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan modifikasi struktur golongan obat analgetik yaitu p-aminofenol menjadi senyawa
4-hidroksifenil-4-
metilbenzamida, yang bertujuan untuk mendapatkan senyawa analgesik turunan p-aminofenol yang memiliki aktifitas analgesik lebih tinggi dibanding parasetamol. Senyawa tersebut dilakukan dengan mereaksikan p-aminofenol dengan p-toluolbenzoil klorida. Hal ini berdasarkan teoritis ChemBioDraw Ultra versi 13.02, sedangkan parasetamol sendiri mempunyai Log P (Log koefisien partisi) parasetamol adalah 0,28 dan log P dua senyawa turunannya adalah 2,94. Nilai MR (Molar Refractivity) parasetamol adalah 40,25 cm3/ mol dan nilai MR dua senyawa turunan adalah 66,28 cm3/mol (Budiarti, 2014). Peningkatan harga log P yang merupakan parameter lipofilik pada senyawa turunan menunjukkan peningkatan penembusan senyawa kedalam
membarane biologis. Harga MR
merupakan parameter sifat sterik yang dapat mempengaruhi keserasian obatreseptor (Siswandono dan Susilowati, 2000). Pada penelitian kali ini
untuk mendapatkan N-(4-hidroksifenil)-4-
metilpentanamida dilakukan modifikasi struktur senyawa p-aminofenol dengan isovaleril klorida dengan melakukan reaksi asilasi dengan menempelkan gugus amina menggunakan reaksi Schotten-Baumaan yang dimodifikasi. Sebagai pelarut yang digunakan aseton yang merupakan pelarut semi polar yang mampu melarutkan senyawa organik dan juga berbagai garam. Pelarut semi polar juga lebih mendorong arah reaksi ke substitusi nukleofilik 2 karena tidak membantu terjadinya ionisasi dibandingkan pelarut polar (air) yang mendorong reaksi substitusi nukleofilik 1 karena terjadinya ionisasi ion (Fessenden & Fessenden, 1999). Senyawa hasil sintesis kemudian dilakukan analisis dengan uji titik lebur, kromatografi lapis tipis (KLT), spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer inframerah dan spektroskopi magnet inti ('H-NMR). Uji aktivitas analgesik dilakukan dengan memberikan senyawa penginduksi nyeri pada mencit secara intraperitoneal dimana metode ini dikenal dengan uji geliat (writhing test). Respon nyeri yang berupa konstriksi abdominal (geliat) diamati setelah pemberian
6
induksi nyeri selama 30 menit. Aktivitas analgesik dihitung dari frekuensi geliat berdasarkan persentase hambatan nyeri. Substitusi p-aminofenol dengan isovaleril klorida menghasilkan senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida yang didapat dengan melakukan subtitusi gugus nukleofil pada atom dapat dilihat pada :
p-aminofenol
isovaleril klorida
N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida
Gambar 1.2 Sintesis dari N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida
Senyawa hasil sintesis dilakukan uji organoleptis, uji kemurnian senyawa dengan uji titik leleh dan kromatografi lapis tipis. Uji identifikasi struktur hasil sintesis menggunakan spektrofotometer UV, spektrofotometer inframerah (IR), dan spektrometer resonansi magnetik inti (1H-NMR). Sedangkan untuk pengujian aktivitas analgesik, digunakan beberapa metode yaitu metode kimia (hewan coba diberi bahan penginduksi nyeri seperti asam asetat, fenilkuinon, bradikinin), metode panas (dengan cara pemanasan di hot plate), metode elektrik dengan stimulasi listrik, metode mekanik (Vogel, 2002). Pada penelitian ini, untuk menguji N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida akan dilakukan pengujian aktivitas analgesik yang digunakan adalah metode stimulasi kimiawi pada hewan coba. Metode ini dipilih karena senyawa kimia yang akan diuji diasumsikan memiliki efek analgesik, yang mana nyeri terjadi akibat induksi kimiawi berhubungan dengan faktor inflamasi. Respon nyeri yang tampak akibat rangsangan kimia ini adalah menggeliatnya mencit setelah pemberian senyawa penginduksi nyeri (asam asetat), metode ini disebut writhing test (Vogel, 2002). Aktivitas analgesik senyawa uji ditentukan berdasakan
7
kemampuan menurunkan frekuensi respon nyeri yang dihitung sebagai % hambatan nyeri pada suatu dosis tertentu. Potensi analgesik senyawa uji dinyatakan dalam ED50.asala h 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida dapat dihasilkan melalui sintesis struktur p-aminofenol dengan isovaleril klorida? 2. Apakah senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida mempunyai aktivitas analgesik yang lebih besar dibandingkan parasetamol?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida melalui sintesis struktur antara p-aminofenol dengan isovaleril klorida. 2. Mengetahui
aktivitas
analgesik
senyawaN-(4-hidroksifenil)-4-
metilpentanamida pada mencit (Mus musculus) dan membandingkan aktivitas analgesiknya dengan parasetamol?
1.4 Hipotesis 1. Senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida dapats dihasilkan melalui sintesis struktur antara p-aminofenol dengan isovaleril klorida. 2. Senyawa N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida memiliki aktivitas analgesik pada mencit (Mus musculus) dan aktivitas analgesiknya lebih besar dibandingkan dengan parasetamol.
1.5
Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan mendapatkan senyawa baru yaitu
N-(4-hidroksifenil)-4-metilpentanamida yang merupakan golongan analgesik dalam bidang farmasi, sehingga sintesis molekul obat akan meningkatkan usaha dalam mendapatkan calon obat baru dengan aktivitas analgesik yang lebih besar dari parasetamol sehingga dapat sebagai calon obat analgesik setelah melalui uji praklinik