BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang bercirikan kepulauan sehingga setiap
wilayahnya memiliki keunikan masing-masing. Wilayah tersebut tidak dapat diatur secara terpusat atau sentralistik saja karena setiap wilayah memiliki potensi yang berbeda-beda. Perbedaan potensi antar wilayah ini memerlukan perencanaan pengembangan yang tidak hanya berasal dari atas ke bawah saja, namun perlu diimbangi dengan perencanaan dari bawah ke atas. Menurut Gunawan (dalam Nugroho dan Rokhmin, 2004), di era otonomi daerah saat ini, setiap wilayah diberikan wewenang penuh untuk mengatur wilayahnya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa ada usaha untuk mengimbangi perencanaan top down dengan perencanaan bottom up. Menurut Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya masing-masing ternyata memiliki efek samping berupa kesenjangan antar wilayah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Indonesia terdiri atas berbagai wilayah yang unik dengan berbagai macam potensi wilayah yang berbeda-beda. Kondisi ini cenderung memicu kesenjangan antar wilayah karena setiap wilayah memberlakukan kebijakan yang berbeda dalam mengatur rumah tangganya meskipun tetap mengacu pada kebijakan nasional. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang Penataan Ruang untuk dijadikan pedoman dalam melakukan perencanaan pengembangan wilayah yang diharapkan mampu memeratakan pembangunan. Setiap provinsi di Indonesia membutuhkan perencanaan yang matang guna memanfaatkan potensi wilayahnya. Menurut Nugraha (1997), perencanaan merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk mencapai keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang dalam kurun waktu tertentu. Di Indonesia, salah satu perencanaan yang diterapkan adalah perencanaan pembangunan nasional yang didasarkan pada periode waktu yaitu jangka panjang, jangka
menengah, dan jangka pendek. Perencanaan tata ruang wilayah yang bertujuan untuk mengembangkan wilayah secara hirarkis mengacu pada rencana pembangunan yang sudah ada. Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, ruang merupakan kesatuan wilayah tempat makhluk hidup beraktivitas. Keberadaan ruang yang terbatas ini memerlukan perencanaan yang matang agar sesuai dengan potensi yang ada. Hal ini sama saja dengan keberadaan sumberdaya lahan. Menurut Luthfi (2007), sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga perlu dimanfaatkan dengan optimal. Maka, diperlukan perencanaan tata ruang yang mampu mengoptimalkan potensi lahan yang ada. Menurut sejarah, pada tahun 1958 Kota Kupang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten
Kupang
yang
berkedudukan
sebagai
kecamatan.
Perkembangan Kecamatan Kota Kupang pada waktu itu mengakibatkan dinaikkan statusnya menjadi Kota Administratif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1978. Adanya usulan pemerintah Kota Administratif Kupang serta masyarakat, maka pada tahun 1996, Kota Kupang resmi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang dan kemudian berubah menjadi Kota Kupang semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Mekarnya Kota Kupang dari Kabupaten Kupang pada tahun 1996 mengakibatkan pusat pemerintahan Kabupaten Kupang berada di dalam wilayah Kota Kupang. Selama 10 tahun, Kabupaten Kupang menjalankan pelayanan administrasinya di luar wilayahnya. Pusat pelayanan yang berada di luar wilayah administrasi ini mengakibatkan pelayanannya tidak mampu menjangkau wilayah yang jauh sehingga terdapat wilayah yang tidak terlayani dengan baik. Hal ini mengakibatkan Kabupaten Kupang membutuhan pusat pemerintahan baru. Maka dari itu, Pemerintah Pusat mengeluarkan Surat Keputusan yaitu Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 2006 tentang pemindahan ibukota Kabupaten Kupang dari Kota Kupang ke Oelamasi. Dengan adanya keputusan tersebut, pemerintah daerah diminta untuk segera menyiapkan sarana dan prasarana penyelenggaraan pemerintahan secara bertahap. Hal ini tentu saja perlu direncanakan terlebih dahulu agar dapat berjalan dengan lancar.
Menurut Nugraha (1997), proses perencanaan dimulai dari penentuan sasaran, strategi, kebijakan dan rencana detail. Rencana Umum Tata Ruang Ibukota Kabupaten Kupang yang dibuat pada tahun 2006 merupakan rencana tata ruang yang dibuat guna menyiapkan Kawasan Oelamasi sebagai pusat pemerintahan baru. Berdasarkan pada rencana tata ruang ibukota baru tersebut, pemerintah telah melakukan pembangunan kantor-kantor pemerintahan serta sarana dan prasarana pendukung kegiatan pelayanan administrasi di kawasan Oelamasi. Pada tahun 2010, meski pembangunan masih terus berjalan, Ibukota Kabupaten Kupang resmi dipindahkan seluruh kegiatannya di kawasan ibukota baru, Oelamasi. Selang waktu satu tahun dari penyusunan rencana tata ruang ibukota baru, Kabupaten Kupang menyusun produk rencana tata ruang yang lain yaitu Rencana
Pengembangan
Kawasan
Agropolitan
tahun
2007.
Rencana
pengembangan tersebut disusun atas kebijakan pemerintah pusat lewat kementerian pekerjaan umum mengenai pengembangan kawasan agropolitan di seluruh kabupaten atau kota yang ada di Indonesia, guna menjaga ketahanan pangan nasional. Rencana pengembangan kawasan Agropolitan ini mengambil lokasi di kawasan Oesao yang mana lokasinya bertampalan dengan kawasan Oelamasi. Kawasan Oesao sendiri dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kupang telah diarahkan sebagai kawasan khusus agropolitan. Berdasarkan artikel dalam publikasi Dirjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum Edisi 6 tahun 2007, Kawasan Oesao telah ditetapkan sebagai kawasan agropolitan sejak tahun 2005. Hanya saja belum tersedia sarana dan prasarana penunjangnya sehingga perlu diupayakan untuk dikembangkan. Evaluasi merupakan suatu kegiatan menganalisis informasi terkait dengan objek yang dikaji dengan membandingkannya dengan indikator yang ada dan hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan (Wirawan, 2011). Evaluasi merupakan bagian dari perencanaan yang bertujuan untuk memberikan kontrol terhadap jalannya rencana yang sudah dibuat (Nugroho dan Rokhmin, 2004). Kedua produk rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kupang merupakan hasil perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan yang menarik di sini
adalah lokasi perencanaan dari kedua produk tersebut yang saling berhimpitan dan bertampalan. Kedua produk yang memiliki arahan yang berbeda ini tentu saja memiliki kebijakan pengembangan yang berbeda. Di samping itu, secara hirarkis, kedua produk tersebut memiliki kedudukan yang sama karena mengacu rencana tata ruang wilayah pada tingkat kabupaten. Hal ini mampu menimbulkan adanya ketidaksesuaian pemanfaatan ruang pada lokasi-lokasi yang berhimpitan dan bertampalan. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, peninjauan kembali rencana tata ruang yang ada perlu dilakukan setiap periode waktu tertentu misalnya tahunan, tiga tahunan, lima tahunan dan menyesuaikan setiap perencanaan
yang dibuat.
Peninjauan
kembali
ini
dimaksudkan untuk
meengetahui bagaimana pelaksanaan di lapangan dari rencana yang telah dibuat, apakah sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum. Maka dari itu, evaluasi menjadi hal yang perlu dilakukan terhadap kedua produk rencana tata ruang di Kabupaten Kupang agar dapat dijalankan secara tepat. Penelitian ini menarik untuk dilakukan karena berkaitan dengan bentuk arahan pemanfaatan ruang yang seperti apa yang sesuai dengan rencana tata ruang ibukota baru di wilayah yang bertampalan.
1.2.
Perumusan Masalah Keberadaan rencana tata ruang ibukota baru tahun 2006 dengan rencana
pengembangan kawasan agropolitan tahun 2007 yang secara horizontal memiliki kedudukan yang sama ini menjadikan peluang adanya ketidaksesuaian perencanaan menjadi besar. Ketidaksesuaian perencanaan tersebut ditunjukkan dengan adanya wilayah yang bertampalan antara wilayah perencanaan kawasan ibukota baru dengan kawasan agropolitan. Dual fungsi arahan pemanfaatan ruang di lokasi yang sama serta saling bertolak belakang dengan tujuan pengembangan menjadikan hal ini pemicu terjadinya ketidaksesuaian arahan pemanfaatan ruang dengan penggunaan lahan di wilayah yang bertampalan. Kesalahan perencanaan yang sudah berjalan lebih dari delapan tahun lebih ini memiliki imbas pada proses pemanfaatan ruang di wilayah yang
bertampalan. Penggunaan lahan yang sudah terlajur diterapkan demi kepentingankepentingan yang tidak sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang tidaklah mudah untuk dikembalikan seperti semula. Maka dari itu perlu adanya peninjauan kembali mengenai terapan arahan pemanfaatan ruang khususnya di wilayah yang bertampalan. Pertanyaan penelitian yang ingin dikaji mengenai rumusan masalah terebut adalah sebagai berikut : 1.
Seberapa besar terjadinya penampalan pada Rencana Tata Ruang Ibukota Baru dengan Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan?
2.
Bentuk-bentuk penggunaan lahan apa saja yang ada di wilayah yang bertampalan?
3.
Bagaimana distribusi bentuk-bentuk penggunaan lahan di wilayah yang bertampalan?
4.
Arahan pemanfaatan ruang yang bagaimana yang sesuai dengan rencana tata ruang ibukota baru di wilayah yang bertampalan?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi
besaran
penampalan
yang
terjadi
antara
arahan
pengembangan dalam Rencana Tata Ruang Ibukota Baru dengan Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan. 2.
Mengidentifikasi bentuk-bentuk penggunaan lahan di wilayah yang bertampalan.
3.
Mengkaji distribusi bentuk-bentuk penggunaan lahan di wilayah yang bertampalan.
4.
Memberikan alternatif solusi mengenai arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang ibukota baru di wilayah yang bertampalan.
1.4. Kegunaan Penelitian 1.
Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi perkembangan ilmu geografi khususnya yang berkaitan dengan perencanaan
tata ruang wilayah. Selain itu, bagi penulis, penelitian ini berguna untuk meraih gelar sarjana geografi.
2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk meninjau ulang rencana tata ruang yang dibuat agar sesuai dengan kondisi wilayah tersebut.
1.5. Tinjauan Pustaka dan Penelitian Sebelumnya Tinjauan pustaka ini berisi tentang kajian pustaka yang terpilih yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan serta landasan teori yang dibangun berdasarkan pustaka tersebut. 1.5.1.
Evaluasi Evaluasi merupakan suatu kegiatan menganalisis informasi terkait
dengan objek yang dikaji dengan membandingkannya dengan indikator yang ada dan hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan (Wirawan, 2011). Menurut Wirawan, ilmu evaluasi bersifat ideografik atau mendeskripsikan suatu kegiatan tertentu dengan mendasarkan pada ukuran tertentu yang bertujuan untuk memberikan pemecahan masalah dalam jangka waktu tertentu. Dalam bukunya yang membahas mengenai teori dan aplikasi ilmu evaluasi, Wirawan menyampaikan kepada pembaca mengenai berbagai macam definisi evaluasi menurut para ahli. Kumpulan definisi evaluasi tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1. Menilik pada keempat macam definisi evaluasi dalam Tabel 1.1, definisi yang dikemukakan oleh Weiss (1998) lebih tepat diterapkan dalam penelitian ini karena konsep yang dikemukakannya sesuai dengan apa yang diteliti saat ini. Apabila dijabarkan lebih lanjut dan dikaitkan dengan definisi yang lain, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan penilaian yang tersusun secara sistematis berdasarkan pada suatu pedoman mengenai suatu program terkait dengan kelayakan dan manfaat dari program tersebut untuk dijalankan berdasar pada waktu tertentu. Riset atau penelitian evaluasi tidak terbatas pada metode tertentu
saja. Karena evaluasi dapat dilakukan di berbagai bidang ilmu, maka dalam melakukan evaluasi, semua metode penelitian dapat digunakan, termasuk pada evaluasi terhadap suatu proyek perencanaan pengembangan wilayah. Tabel 1.1 Kumpulan Definisi Evaluasi dari para ahli Sumber The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation (1994) USA Office of Health Evaluation (Michael Quinn Patton, 1978)
Alkin (1990)
Weiss (1998)
Definisi Evaluasi Penyelidikan yang sistematis guna mengetahui nilai atau manfaat dari suatu objek.
Riset evaluasi merupakan suatu pengumpulan informasi yang dilakukan secara sistematis tentang jalannya suatu kegiatan hingga hasil yang sebenarnya agar dapat dibuat suatu penilaian mengenai bagaimana kegiatan tersebut berlangsung Istilah Evaluasi mengacu pada aktivitas pengumpulan sistematis, menganalisis dan melaporkan informasi yang dapat digunakan untuk mengubah sikap atau untuk meningkatkan kinerja suatu proyek atau program. Kata sistematis menetapkan bahwa evaluasi harus direncanakan. .. penilaian sistematis terhadap kinerja dan atau hasil dari suatu program atau kebijakan, dengan membandingkannya pada satu set standar yang baku, guna memberikan kontribusi bagi perbaikan program atau kebijakan
Menurut Nugroho dan Rokhmin (2004), evaluasi merupakan bagian dari perencanaan yang bertujuan untuk memberikan kontrol terhadap jalannya rencana yang sudah dibuat. Rencana tata ruang merupakan salah satu produk perencanaan. Sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, rencana tata ruang yang dijalankan perlu dilakukan pengawasan dan evaluasi apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan rencana yang dibuat atau belum. Maka dari itu, evaluasi terhadap hasil perencanaan perlu dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan.
1.5.2.
Rencana dan Perencanaan Menurut Nugraha (1997), perencanaan merupakan suatu proses
pengambilan keputusan untuk mencapai keadaan yang lebih baik di masa yang
akan datang dalam kurun waktu tertentu. Dalam perencanaan, pengambil keputusan harus mampu menjawab apa, kapan, di mana, oleh siapa, kenapa, dan bagaimana untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses perencanaan dimulai dengan menentukan sasaran, strategi, kebijakan dan arahan. Perencanaan memiliki empat elemen utama (Hariyono, 2010) sebagai berikut : a.
Penyelesaiaan masalah dan pengambilan keputusan Perencanaan dibuat dengan tujuan untuk menentukan pilihan atau memberikan alternatif solusi terhadap suatu permasalahan yang ada.
b.
Alokasi sumber daya. Perencanaan memberikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dengan melihat sumber daya yang dimiliki agar termanfaatkan dengan baik sehingga tujuan dapat tercapai.
c.
Menentukan tujuan Perencanaan dibuat dengan tujuan untuk mencapai sasaran tertentu yang sudah ditentukan di masa yang akan datang.
d.
Prediksi Perencanaan dibuat dengan tujuan untuk memberikan prediksi tindakan apa yang sebaiknya dilakukan di masa yang akan datang. Tujuan-tujuan yang telah direncanakan mampu dicapai apabila dalam
proses perencanaannya mengandung unsur (Jayadinata, 1999) sebagai berikut : a)
Analisis yaitu mengolah data yang sudah dikumpulkan hingga saat ini guna memprediksi keadaan di masa yang akan datang
b)
Kebijakan yaitu pemilihan solusi yang tepat untuk melaksanakan rencana
c)
Rancangan atau desain yaitu rumusan rencana yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan. Suatu perencanaan yang dibuat oleh perencana menghasilkan sebuah
produk yaitu rencana. Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa perencanaan mengandung unsur rancangan atau desain. Rancangan atau desain inilah yang merupakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pelaksanaannya. Rumusan rencana yang dituangkan dalam bentuk seperti dokumen perencanaan, digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan
sebelumnya. Salah satu contoh rencana hasil perencanaan adalah rencana tata ruang. Dalam rencana tata ruang mengandung tiga tujuan utama perencanaan seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya yaitu memberikan penyelesaian masalah, memberikan prediksi serta mencapai sasaran di masa yang akan datang.
1.5.3.
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Ibukota dan Agropolitan Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan
ruang, ruang merupakan kesatuan wilayah tempat makhluk hidup beraktivitas. Ruang tersebut terdiri atas ruang udara, ruang laut dan ruang darat. Setiap ruang yang
ada
memiliki
potensi
sumberdaya
yang
berbeda-beda
sehingga
menyebabkan berbagai variasi penggunaan. Namun, keberadaan ruang yang terbatas
menyebabkan
diperlukannya
sebuah
pengaturan
agar
terjadi
keseimbangan dalam pemanfaatannya. Dari situ penataan ruang digunakan untuk melakukan perencanaan serta pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut gambar 1.1 setiap rencana tata ruang disusun dengan mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang suatu wilayah. Di Indonesia, rencana tata ruang wilayah nasional mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang nasional yang mencakup program-program pembangunan nasional. Dalam pelaksanaannya, perencanaan tata ruang menghasilkan dua produk utama yaitu rencana umum tata ruang dan rencana detail tata ruang. Secara hierarkis, rencana detail tata ruang mengacu pada rencana umum tata ruang sesuai dengan tingkatan administratif karena rencana detail sifatnya lebih rinci sehingga apabila rencana umum tata ruang mencakup wilayah yang luas, maka rencana rinci digunakan untuk memperjelas rencana umum. Rencana tata ruang ibukota baru tahun 2006 dan rencana pengembangan kawasan agropolitan tahun 2007 di Kabupaten Kupang merupakan contoh dari rencana detail yang sudah dikemukakan sebelumnya. Kedua rencana tersebut memiliki kedudukan yang sama karena keduanya sama-sama mengacu pada rencana tata ruang wilayah umum wilayah Kabupaten Kupang. Rencana pembangunan jangka panjang Kabupaten Kupang menjadi acuan utama yang
melandasi penyusunan rencana tata ruang umum wilayah kabupaten serta rencana tata ruang ibukota baru dan rencana pengembangan kawasan agropolitan.
Gambar 1.1 Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Secara Hirarkis Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009
Kedua produk perencanaan tata ruang tersebut memiliki tujuan untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya ruang berupa wilayah agar sesuai dengan potensinya guna mencapai sasaran tertentu di masa yang akan datang. Periode waktu capaian sasarannya adalah 20 tahun (jangka panjang) yang mana setiap lima tahun sekali dilakukan peninjauan atau evaluasi guna memantau perkembangan dari jalannya rencana tata ruang tersebut. Setiap rencana tata ruang yang dibuat di dalamnya terdapat pengaturan struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang merupakan pengaturan pusat-pusat permukiman dan jaringan infrastruktur secara hierarkis guna mendukung kegiatan ekonomi. Pola ruang merupakan pengaturan arahan fungsi ruang untuk fungsi lindung dan budidaya. Pengaturan struktur ruang dan pola ruang menggunakan pendekatan ruang yang memperhatikan bentuk-bentuk penggunaan lahan yang
ada, keterkaitan wilayah dengan wilayah yang lain serta bentuk struktur ruang yang direncanakan (Tarigan, 2004).
1.5.3.1.
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Ibukota Menurut Jayadinata (1999), kota merupakan suatu wilayah yang
memiliki kondisi fisik yang dipadati oleh permukiman atau bangunan-bangunan fasilitas pelayanan pendukung kegiatan ekonomi dengan dominasi kegiatan non pertanian. Dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang juga disebutkan bahwa kawasan perkotaan tersusun atas fungsi-fungsi kegiatan non pertanian seperti jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan ekonomi. Dalam hirarki rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang wilayah perkotaan mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten atau kota. Perbedaan antara rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dengan perencanaan tata ruang wilayah perkotaan terletak pada wilayah yang direncanakan. Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota memiliki wilayah perencanaan yang mencakup wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Sedangkan perencanaan tata ruang wilayah perkotaan memiliki wilayah perencanaan yang mencakup wilayah kota itu sendiri sebagai contohnya adalah rencana tata ruang ibukota kabupaten atau kota. Maka dari itu, rencana tata ruang wilayah perkotaan memiliki sifat yang lebih detail daripada rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan pada Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, kawasan perkotaan dibedakan menjadi tiga yaitu : a.
Kawasan perkotaan yang sudah sejak awal berupa kawasan terbangun.
b.
Kawasan perkotaan yang berupa kawasan ibukota kabupaten atau kawasan pengembangan perkotaan baru yang berada dalam wilayah suatu kabupaten.
c.
Kawasan perkotaan yang berupa dua atau lebih daerah otonom (kawasan perkotaan metropolitan) yang menjadi satu kesatuan wilayah. Mengacu pada klasifikasi di atas, kawasan perkotaan yang
dimaksudkan dalam rencana tata ruang ibukota baru tahun 2006 merupakan kawasan bagian dari daerah kabupaten sehingga perencanaan tata ruangnya
merupakan rencana tata ruang wilayah perkotaan yang mengacu pada rencana umum tata ruang wilayah tingkat kabupaten.
1.5.3.2.
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Agropolitan Menurut Departemen pertanian (2002) (dalam Departemen Pekerjaan
Umum (2007)), agropolitan (agro = pertanian; politan = kota) adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis
yang mampu melayani,
mendorong, serta menarik kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Menurut UndangUndang no 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan merupakan kawasan fungsional yang berada di wilayah perdesaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Kedua definisi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Kupang memiliki keterkaitan tujuan yang sama yaitu membangun pusat kegiatan pertanian di perdesaan yang memiliki fasilitas perkotaan. Konsep pengembangan kawasan agropolitan seperti pada Gambar 1.2, menunjukkan bahwa pusat kegiatan ekonomi yang berfungsi sebagai tempat pemasaran hasil pertanian yang dikumpulkan dari berbagai desa (hinterland) berada di pusat kawasan agropolitan. Pusat kegiatan ekonomi di dalam kawasan agropolitan disebut kota agropolis. Dalam kawasan tersebut, pusat kota agropolis perlu didukung oleh jaringan jalan sebagai penghubung hinterland dengan kota agropolis, kemudian jaringan irigasi sebagai pendukung produktivitas pertanian serta fasilitas berupa pasar, balai penyuluhan, lembaga pendidikan agribisnis, sarana pengelolaan pertanian, dan teknologi agribisnis yang mendukung sumberdaya manusianya. Berdasarkan pada Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah (Agropolitan), ciri kawasan agropolitan adalah : a.
Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian yang utuh dan terintegrasi.
b.
Adanya hubungan timbal balik antara desa dengan kota yang mana desa sebagai pusat penyedia hasil pertanian dan kota sebagai penyedia fasilitas yang mendukung pertanian seperti teknologi dan sebagainya.
c.
Memiliki prasarana dan infrastruktur yang tidak jauh berbeda dengan di kota.
Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya (2012)
Gambar 1.2 Skema Tata Ruang Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pendekatan mengembangkan
wilayah
agropolitan perdesaan
merupakan dengan
pendekatan
mewujudkan
untuk
kemandirian
pembangunan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri. Dalam pendekatan ini, kawasan agropolitan dikembangkan tidak mengacu pada wilayah administrasi melainkan pada kesesuaian wilayah tersebut dalam mendukung berkembangnya sentra pertanian. Konsep ini digunakan dalam rencana pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Kupang dikarenakan sebagian
besar wilayahnya masih berupa perdesaan dan belum tersentuh pembangunan perkotaan. Wilayah yang masih berupa perdesaan dengan masih luasnya kawasan pertanian memiliki potensi besar untuk diterapkan konsep agropolitan seperti ini. Secara umum, kawasan agropolitan memiliki persyaratan sebagai berikut : a.
Memiliki sumberdaya lahan yang sesuai untuk mengembangkan komoditas pertanian.
b.
Memiliki prasarana dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha pertanian, seperti misalnya : jalan, sarana irigasi/pengairan, pasar, terminal, jaringan telekomunikasi, fasilitas perbankan, sarana produksi pengolahan hasil pertanian, dan fasilitas umum serta fasilitas sosial lainnya.
c.
Memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan kawasan agropolitan secara mandiri.
d.
Mampu memberikan kontribusi dalam konservasi alam dan kelestarian lingkungan hidup bagi kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun ekosistem secara keseluruhan. Keberadaan kawasan agropolitan dalam suatu wilayah diharapkan
tidak menyalahi rencana tata ruang yang ada. Hal ini tercermin pada salah satu indikator keberhasilan pengelolaan kawasan agropolitan yang tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah. Di situ dikatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan dikatakan berhasil apabila tidak terjadi konversi lahan pertanian yang menyalahi ketentuan rencana tata ruang wilayah serta tidak terjadi benturan dalam pengelolaan kawasan di suatu wilayah. Maka rencana pengembangan kawasan agropolitan perlu dikoordinasikan dengan rencana tata ruang wilayah yang sudah ada agar tidak terjadi ketidaksingkronan perencanaan. Menurut artikel dalam Buletin Cipta Karya edisi bulan Juni 2007 yang diterbitkan oleh Dirjen Pekerjaan Umum, secara teori, hasil dari pengembangan kawasan agropolitan, idealnya dapat dilihat dalam jangka 25 tahun. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dalam jangka kurang dari 25 tahun, wilayah yang
dikembangkan sebagai kawasan agropolitan mampu menunjukkan hasilnya. Maka dari itu, evaluasi dan pemantauan secara berkala perlu dilakukan.
1.5.4.
Evaluasi Pemanfaatan Ruang Penataan ruang menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
merupakan
suatu
proses
perencanaan
ruang,
pemanfaatan
ruang
serta
pengendalian pemanfaatan ruang. Apabila dijabarkan lebih lanjut, kegiatan penataan ruang memiliki siklus yang memutar yaitu penentuan pemanfaatan ruang monitoring (pengawasan) evaluasi pengendalian perencanaan (perbaikan) kembali lagi ke tahapan awal (Rustiadi dan Wafda, (2007) dalam Rustiadi, dkk (2011)). Pada tahap evaluasi dilakukan kegiatan penilaian terhadap pemanfaatan ruang yang sedang atau telah dilaksanakan. Hal ini digunakan sebagai acuan pengendalian apabila terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang yang merupakan produk rencana tata ruang memiliki jangka waktu tertentu untuk proses evaluasinya. Pada umumnya rencana tata ruang merupakan rencana jangka panjang yang kurang lebih 20 tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun tersebut, tentu saja suatu wilayah mengalami dinamika perkembangan meski hanya sedikit. Untuk itu, evaluasi diperlukan guna mengimbangi tren perkembangan yang ada. Evaluasi pemanfaatan ruang biasanya dilakukan setiap lima tahun sekali. Proses evaluasi ini salah satunya berupa pengumpulan data dan informasi terkait dengan pemanfaatan ruang yang sudah berlangsung dibandingkan dengan rencana alokasi pemanfaatan ruang yang sudah ditetapkan. Besarnya simpangan pemanfaatan ruang yang dihasilkan dari proses perbandingan tersebut menjadi salah satu penentuan perlu atau tidaknya peninjauan kembali terhadap rencana tata ruang tersebut. Menurut Rustiadi, dkk (2011), pengaturan pola pemanfaatan ruang dalam perencanaan menggunakan informasi jenis penggunaan lahan aktual sebagai dasarnya dikarenakan informasi penggunaan lahan mampu menggambarkan bagaimana kondisi fisik wilayah yang sebenarnya. Istilah penggunaan lahan sendiri dapat diartikan sebagai bentuk pemanfaatan lahan masa kini (present or current land use) (Ritohardoyo, 2013). Dalam data penggunaa lahan jangka waktu
tertentu dapat tercermin dinamika perubahan pemanfaatan lahan di suatu wilayah. Maka dari itu, informasi tentang penggunaan lahan menjadi penting. Selain itu, pada proses evaluasi pemanfaatan ruang diperlukan data penggunaan lahan sebagai pembanding untuk mengetahui kesesuaian antara arahan dengan pelaksanaan di lapangan.
1.5.5.
Sistem Informasi Geografis Yaakup (1997) (dalam Wikantiyoso, 2005) mengemukakan bahwa
dibutuhkan sebuah sistem yang mampu menyediakan serta mengolah data secara akurat guna untuk menentukan arah pengembangan suatu kawasan. Sistem yang mampu mendukung kebutuhan ini adalah Sistem Informasi Geografi yang berbasis pada data-data keruangan atau spasial. ESRI (1990, dalam Prahasta, (2002)) merupakan sebuah perusahaan swasta yang mengembangkan software di bidang Sistem Informasi Geografi, mendefinisikan sistem tersebut sebagai sebuah kumpulan dari software, hardware, serta brainware yang saling terkoordinasi guna mengolah, menyimpan, memanipulasi, memperbaharui dan menganalisis data-data mengenai kondisi geografis suatu wilayah. Data mengenai kondisi geografis suatu wilayah atau disebut data keruangan (geospasial) dapat berupa peta atau citra penginderaan jauh yang didukung oleh data atributnya (misalnya data statistik). Dengan menggunakan peta, informasi mengenai suatu obyek di muka bumi dapat diketahui baik itu jarak, luasan, hingga pola hubungannya dengan obyek yang lain (Kraak dan Ferjan, 2007). Maka dari itu, peta memiliki peran yang sangat penting dalam proses analisis keruangan yang mendukung proses pengambilan keputusan. Proses analisis geospasial (keruangan) diawali dengan menentukan tujuan dan kondisi dari obyek kajian. Hal ini penting karena akan menentukan metode atau model yang akan dipakai untuk menjelaskan kondisi tersebut. Tahap selanjutnya adalah menyiapkan data yang berkaitan dengan obyek kajian yang diteliti. Dalam tahap ini, data dapat diperoleh dari lapangan (data primer) maupun data dari instansi pemerintah seperti dokumen-dokumen statistik (data sekunder). Apabila data yang diperoleh berupa data digital, misalnya berupa peta dalam
format digital (.shp, .jpeg, .tiff, dan sebagainya) perlu dipastikan kembali apakah data tersebut dapat terintegrasi dengan data lain atau tidak karena terkadang terdapat perbedaan sistem koordinat yang dipakai. Metode pengumpulan data spasial dibagi menjadi beberapa jenis (Kraak dan Ferjan, 2007) yaitu : a.
Survei lapangan : pengambilan data langsung di lapangan dengan cara pengukuran, pengamatan (observasi), dan sebagainya.
b.
Data satelit : pengambilan data menggunakan sensor satelit yang hasilnya dapat berupa citra digital yang mana akurasinya tergantung pada nilai-nilai radiasi dan akurasi geometri.
c.
Data GPS (Global Posisioning System) : perekaman dengan menggunakan GPS mampu memberikan informasi posisi titik di muka bumi dengan basis 24 satelit yang memiliki ketelitian hingga beberapa centimeter. Data yang diperoleh dari GPS dapat berupa titik maupun rute perjalanan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai data survei.
d.
Digitasi peta-peta analog : digitasi merupakan proses transformasi data yang berupa peta analog (hardcopy) menjadi digital. Cara ini digunakan untuk data utama berupa peta yang telah dicetak tanpa ada format digitalnya. Digitasi manual banyak menggunakan mesin digitizer. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terdapat peta-peta format digital yang perlu dilakukan digitasi on screen dengan menggunakan software SIG. Data yang telah diperoleh dari berbagai macam metode kemudian diolah
dalam SIG menggunakan fungsi-fungsi analisis geospasial. Menurut Kraak dan Ferjan (2007), terdapat tiga jenis operasi yang umumnya digunakan dalam analisis geospasial yaitu tumpangsusun (overlay) dan buffer, network dan surface. Namun dalam Prahasta (2002), terdapat tujuh jenis fungsi analisis yaitu : 1.
Klasifikasi (Reclassify) Fungsi ini mengklasifikasikan suatu data spasial maupun atribut dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan sehingga menghasilkan informasi baru. Misalnya data kedalaman efektif tanah yang memiliki nilai yang bermacam-macam, kemudian diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu dalam,
sedang, dangkal, dan sangat dangkal. Hasilnya data-data yang awalnya hanya berupa kumpulan angka, dapat menghasilkan informasi baru yang memudahkan dalam analisis.
2.
Jaringan (Network) Fungsi ini banyak digunakan untuk data-data yang berupa garis seperti jaringan jalan, jaringan pipa drainase, jaringan kabel listrik, dan lain sebagainya. Dalam fungsi ini dapat dihitung jarak antar titik, waktu tempuh, serta model alternatif pemilihan jalur tercepat, sehingga fungsi ini cocok digunakan dalam pemodelan jaringan.
3.
Tumpangsusun (Overlay) Fungsi ini menggabungkan dua atau lebih data spasial yang berbentuk area (polygon) sehingga menghasilkan informasi baru. Misalnya saja, pencarian informasi mengenai kecamatan mana saja yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 45%. Maka data batas administrasi dan data kemiringan lereng ditumpangsusunkan guna untuk memperoleh informasi yang dicari.
4.
Sempadan (Buffering) Fungsi ini mampu menciptakan data spasial baru yang berupa area (polygon) dengan jarak tertentu dari data utama. Misalnya penentuan kawasan sempadan sungai dengan jarak 100 meter dari tepi sungai, maka dengan fungsi ini secara otomatis akan membentuk sebuah area yang mengelilingi sungai tersebut.
5.
Analisis 3D (3D AnalysiS) Fungsi ini mampu menampilkan data spasial ke dalam bentuk tiga dimensi. Biasanya fungsi ini digunakan untuk menampilkan bentuk-bentuk permukaan bumi yaitu relief berdasarkan data-data ketinggian tempat.
6.
Pemrosesan Citra Digital (Digital Image Processing) Fungsi ini mampu mengolah data-data format raster seperti citra digital. Dalam fungsi ini terdapat operasi koreksi radiometrik, geometrik, clustering, dan lain sebagainya.
Penggunaan teknik analisis dalam SIG dapat membantu mengolah petapeta tata ruang yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan fasilitas SIG ini, wilayah yang bertampalan dalam peta rencana tata ruang ibukota baru dengan rencana pengembangan kawasan agropolitan dapat diketahui luasannya dan dimana saja lokasinya. Hasil dari proses pengolahan tersebut dapat disajikan dalam kembali dalam bentuk peta, diagram hingga tabel sehingga memudahkan dalam analisis.
1.6.
Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini sudah banyak dilakukan.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan ini dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk mengetahui posisi penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya. Selain itu, hasil penelitian sebelumnya tersebut dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk mengembangkan analisis penelitian ini. Penelitian berikut merupakan penelitian yang memiliki keterkaitan terhadap penelitian yang penulis lakukan. Yang pertama adalah Yanuargi (2004), melakukan penelitian mengenai penentuan arahan fungsi lahan dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Nganjuk dengan menggunakan aplikasi PJ dan SIG. Tujuannya adalah untuk menentukan arahan fungsi lahan guna mengevaluasi rencana tata ruang wilayah. Metode yang digunakan adalah metode survai dengan proses manipulasi data dengan menggunakan analisis tumpangsusun dalam SIG. Penelitian yang dilakukan oleh Yanuargi ini memiliki kemiripan dengan penelitian penulis yaitu sama-sama melakukan evaluasi terhadap rencana tata ruang wilayah suatu kabupaten. Teknik pengolahan data juga sama-sama menggunakan analisis tumpangsusun dalam SIG. Hanya saja, perbedaannya terdapat ada proses evaluasi rencana tata ruang. Yanuargi membuat arahan fungsi yang didasarkan pada UU
nomor 24 tahun 1992 lalu dibandingkan dengan rencana tata ruang wilayah sedangkan penelitian penulis membandingkan dua rencana tata ruang dengan penggunaan lahan aktual. Yang kedua menurut Wijayanti (2005), meneliti mengenai penyusunan peta
arahan
pemanfaatan
ruang wilayah
pesisir
dengan
menggunakan
penginderaan jauh dan SIG. Analisis yang digunakan adalah analisis kesesuaian lahan untuk permukiman, industri, tambak, mangrove, pariwisata pantai, dan pelabuhan. Hasilnya adalah peta kesesuaian lahan dan peta arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Teluk Kupang. Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian penulis yaitu pada bagian penyusunan arahan pemanfaatan ruang, hanya saja penelitian tersebut lokasinya di pesisir yang daerahnya dekat dengan lokasi penelitian penulis. Selain itu, analisis yang digunakan berbeda dengan analisis yang digunakan penulis. Penelitian tersebut menyusun arahan berdasarkan kesesuaian lahannya sedangkan penelitian penulis melihat kesesuaian penggunaan lahan aktual dengan arahan pemanfaatan ruangnya. Yang ketiga menurut Simatupang (2006), mengkaji mengenai keserasian pemanfaatan ruang aktual dengan rencana umum tata ruang Kota Medan Periode 1995 – 2005 dan faktor penyebabnya. Penelitian ini menggunakan analisis tumpangsusun antara peta penggunaan lahan dengan peta rencana wilayah menggunakan SIG untuk mengetahui persentase keserasian pemanfaatan ruangnya. Selain itu, penelitian ini menggunakan analisis statistik untuk menganalisis hasil kuesioner. Penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu terletak pada analisis yang sama-sama menggunakan
analisis
tumpangsusun
antara
penggunaan
lahan
dengan
pemanfaatan ruang untuk mengetahui persentase kesesuaiannya. Perbedaan dengan penelitian penulis terletak pada rencana tata ruang yang dibandingkan, apabila penelitian oleh Simatupang menggunakan satu rencana tata ruang, penelitian penulis membandingkan dua rencana tata ruang di lokasi yang sama terhadap penggunaan lahan aktualnya. Yang keempat Penelitian oleh Dwi A. (2010) mengkaji mengenai penggunaan citra PJ untuk melakukan analisis keselarasan penggunaan lahan
terhadap arahan fungsi pemanfaatan lahan. Metode yang digunakan adalah metode SIGPJ dengan analisis tumpangsusun dan pengambilan sampel secara random. Penelitian ini melakukan penyusunan arahan pemanfaatan ruang yang berpedoman pada Kepres RI nomor 32 Tahun 1990. Peta arahan pemanfaatan ruang yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan peta penggunaan lahan aktual sehingga menghasilkan persentase keselarasan penggunaan lahan terhadap arahan fungsi pemanfaatan lahan. Penelitian ini memiliki kesamaan yang terletak pada perbandingan penggunaan lahan dengan arahan pemanfaatan ruang. Namun, bedanya dengan penelitian penulis terletak pada penyusunan arahan pemanfatan ruangnya. Penulis tidak melakukan proses penyusunan arahan melainkan menggunaan arahan pemanfaatan ruang yang sudah ditentukan oleh rencana tata ruang ibukota baru. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berkaitan dengan adanya dua rencana tata ruang yaitu rencana tata ruang ibukota baru dengan rencana pengembangan kawasan agropolitan, yang mana kedua produk tersebut lokasinya saling bertampalan. Tujuan penelitiannya adalah membandingkan kedua produk rencana tata ruang tersebut apakah terdapat wilayah yang bertampalan atau tidak, melihat dominasi jenis penggunaan lahan dan distribusinya, serta memberikan rekomendasi arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan tata ruang ibukota baru
pada
wilayah
tersebut.
Metode
penelitian
menggunakan
metode
perbandingan antara peta alokasi rencana pemanfaatan ruang kawasan ibukota kawasan agropolitan yang dianalisis secara keruangan dengan Sistem Informasi Geografis untuk penentuan rekomendasi arahan yang sebenarnya. Hasilnya berupa peta wilayah yang bertampalan serta peta arahan fungsi yang sebenarnya. Untuk mempermudah dalam melihat posisi penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis selanjutnya dapat dilihat dalam Tabel 1.2 yang menampilkan publikasinya.
penelitian-penelitian
tersebut
berdasarkan
urutan
tahun
Tabel 1.2 Hasil Penelitian Sebelumnya yang Relevan dengan Penelitian Ini Nama Peneliti
Agustina Wijayanti, 2004
Bayu Yanuargi, 2004
Ester R.K. Simatupang, 2006
Judul Penelitian Penerapan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Menyusun Arahan Pemanfaatan Ruang Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur
Tujuan Penelitian Menyusun peta arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir pada skala tinjau
Metode Penelitian Analisis Kesesuaian Lahan
Aplikasi PJ dan SIG untuk Penentuan Arahan Fungsi Lahan dalam Rangka Tata Ruang Wilayah Kabupaten Nganjuk
Menentukan arahan fungsi lahan dan kawasan dalam rangka penataan ruang dengan menggunakan SIG, melakukan evaluasi dan rekomendasi terhadap arahan fungsi lahan dan RTRW yang ada
Metode survey, manipulasi dengan SIG overlay, skoring, matching Metode pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling.
Evaluasi Keserasian Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan Periode 1995 – 2005 (Pada Wilayah Pengembangan dan Pembangunan Pusat Kota)
Menganalisis distribusi dan pola keruangan dari pemanfaatan ruang yang serasi, tidak serasi dan belum serasi terhadap RUTRK Medan Mengidentifikasi faktor penyebab pemanfaatan ruang yang serasi, belum serasi, dan tidak serasi terhadap RUTRK Medan, baik di level rumah tangga dan perusahaan, seperti developer dan konsultan
Metode tumpangsusun dengan metode pengambilan sampel menggunaan proporsional stratified random sampling, pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner dan analisis statistik menggunakan SPSS
Hasil Penelitian - Peta kesesuaian lahan untuk permukiman, industryi tambak, mangrove, pariwisata pantai, pelabuhan - Peta arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Teluk Kupang pada skala 1 : 100.000 - Peta karakteristik lahan, peta satuan lahan, peta arahan fungsi kawasan, - Peta evaluasi penggunaan lahan terhadap arahan fungsi lahan, - Peta evaluasi pemanfaatan ruang - Peta rekomendasi alokasi pemanfaatan ruang - Peta keserasian pemanfaatan ruang aktual terhadap RUTRK periode 1995 – 2005 - Tabel keserasian pemanfaatan ruang dan luasannya
Lanjutan Tabel 1.2 … Nama Peneliti
Novianto Dwi Arisandy, 2010
Judul Penelitian Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi untuk Evaluasi Keselarasan Penggunaan Lahan Terhadap Arahan Fungsi Pemanfaatan Lahan (Studi Kasus Wilayah Kecamatan Gumelar dan Kecamatan Lumbir Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah) Evaluasi Dua Produk Rencana Pengembangan Wilayah di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
Advent Nugraheni, 2013
Tujuan Penelitian Mengetahui kemampuan citra PJ dalam menyadap informasi spasial yang digunakan untuk melakukan analisis dengan SIG pada evaluasi keselarasan penggunaan lahan terhadap arahana fungsi pemanfaatan lahan. Mengkaji evaluasi penggunaan lahan terhadap arahan fungsi pemanfaatan lahan Mengidentifikasi besaran penampalan yang terjadi antara arahan pengembangan dalam Rencana Tata Ruang Ibukota Baru dengan Kawasan Agropolitan. Mengidentifikasi bentuk-bentuk penggunaan lahan dan distribusinya di wilayah yang bertampalan. Memberikan rekomendasi arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang ibukota baru di wilayah yang bertampalan.
Metode Penelitian Metode SIGPJ, analisis pendekatan kuantitaif berjenjang dan analisis tumpangsusun, pengambilan sampel secara random
Hasil Penelitian - Peta keselarasan penggunaan lahan terhadap arahan fungsi pemanfaatan lahan Kecamatan gumelar dan Kecamatan lumbir Kabupaten Banyumas Jawa Tengah
Metode komparatif dengan metode pengambilan sampel stratified random sampling, serta analisis data menggunakan analisis tumpangsusun dalam SIG dan tabel silang
- Peta wilayah yang bertampalan - Peta kesesuaian pemanfaatan ruang dengan penggunaan lahannya.
1.7.
Kerangka Pemikiran Rencana tata ruang ibukota baru tahun 2006 dengan rencana
pengembangan kawasan agropolitan tahun 2007 merupakan bagian dari implementasi rencana tata ruang Kabupaten Kupang. Kedua rencana tersebut dipandang sebagai dua konsep yang berbeda karena rencana tata ruang ibukota berkaitan dengan pengembangan kawasan administratif di perkotaan sedangkan rencana pengembangan kawasan agropolitan berkaitan dengan pengembangan kawasan pertanian di perdesaan. Konsep perencanaan ibukota baru dengan pengembangan kawasan agropolitan memiliki perbedaan arahan pemanfaatan lahan. Perbedaan inilah yang perlu dilakukan tindakan evaluasi sesuai dengan tahapan perencanaan. Evaluasi dilakukan secara makro menggunakan peta sebagai media perbandingan. Peta yang digunakan adalah peta rencana alokasi pemanfaatan ruang ibukota baru dengan peta rencana alokasi pemanfaatan ruang kawasan agropolitan. Tujuan penggunaan peta-peta tersebut yaitu, sebagai bahan perbandingan pada evaluasi makro (Gambar 1.3) dikarenakan kedua peta tersebut mampu menunjukkan batasbatas kawasan perencanaan masing-masing produk tata ruang. Selain itu, dari peta rencana alokasi pemanfaatan ruang dapat diketahui rencana arahan pemanfaatan ruang di masing-masing kawasan. Dengan menggunakan analisis tumpangsusun (overlay) dalam SIG maka dapat diketahui ada atau tidak wilayah yang bertampalan (overlapping) serta wilayah mana saja yang memiliki dua arahan pemanfaatan ruang dari kedua rencana tersebut yang saling berbeda satu sama lain. Apabila ditemukan adanya wilayah yang saling bertampalan serta arahan pemanfaatan ruang yang saling berbeda di lokasi yang sama maka perlu dilakukan evaluasi lanjutan yang mengkaji wilayah yang bertampalan tersebut. Evaluasi mikro terfokus pada kajian di wilayah yang bertampalan yang didalamnya terdapat ketidaksesuaian arahan pemanfaatan ruang. Wilayah yang bertampalan tersebut selanjutnya ditumpangsusunkan dengan peta administrasi untuk mengetahui sebarannya serta luasannya menurut kecamatan ataupun tingkat desa.
25
Penilaian pada evaluasi mikro menggunakaan variabel penggunaan lahan aktual karena penggunaan lahan mencerminkan bentuk pemanfaatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Perbandingan antara wilayah yang bertampalan dengan penggunaan lahan dapat menunjukkan bentuk-bentuk penggunaan lahan serta distribusinya di dalam wilayah tersebut sehingga kemudian dapat diketahui bagaimana kelarasan antara penggunaan lahan aktualnya dengan arahan pemanfaatan ruangnya. Dengan perbandingan tersebut, dapat diketahui kecenderungan ke arah mana penggunaan lahan aktual terhadap arahan pemanfaatan ruang kawasan ibukota baru khususnya di wilayah yang memiliki arahan pemanfaatan ruang ganda yang saling tidak sesuai. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kupang
Rencana Tata Ruang Ibukota Baru di Oelamasi
Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan di Oesao
Peta Kawasan Ibukota Baru
EVALUASI MAKRO
Peta Kawasan Agropolitan
Ada atau tidaknya wilayah yang bertampalan
SIG
EVALUASI MIKRO
Variabel penilaian : Penggunaan lahan
Arahan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang ibukota baru
Gambar 1.3 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
1.8.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian di sini merupakan kumpulan pertanyaan yang
bertujuan untuk memperjelas rumusan masalah agar dapat dianalisis. Berikut adalah pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini:
26