BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Dewasa ini, persoalan humanisme menjadi persolan yang “seksi” untuk
diperdebatkan. Dalam khazanah keilmuan, “humanisme” sebagai istilah sering diperbincangkan diberbagai bidang ilmu, seperti misalnya filsafat, pendidikan, dan juga sastra. Itu juga yang membuat “humanisme” memiliki pengertian yang beragam-ragam, tergantung pada konteks pembicaraan. Oleh karena itu, agar pembicaraan ini tidak meluas ke luar batas, pembicaraan tentang humanisme ini saya batasi untuk konteks filsafat dan sastra. Bartens (1987: 29) menyebutkan bahwa humanisme mengandung konsep-konsep
tentang
nilai-nilai
humanum
(manusiawi),
martabat
manusia,
kemanusiaan juga hak azazi manusia. Mas’ud (2002: 135) memaknai humanisme sebagai kekuatan atau potensi individu manusia dalam mengukur dan mencapai ranah ketuhanan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial. Sedangkan Al Fandi (2011: 71) menyebutkan bahwa humanisme berarti martabat dan nilai diri manusia dalam meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya, baik fisik ataupun mental, secara penuh. Yahya (2002: 26) memaknai humanisme sebagai sistem pemikiran yang berdasarkan atas berbagai nilai, karakter dan tindakan yang dianggap terbaik bagi manusia bukan pada otoritas supranatural apapun. Sedangkan Abidin (2000: 25) berpandangan bahwa humanisme dapat dipahami apabila ditinjau dari dua sisi, yakni sisi historis dan sisi filsafat. Dari sisi historis, humanisme dipahami sebagai sebuah pemikiran yang berkembang di Italia, yang diistilahkan sebagai penggerak kebudayaan modern, sementara dari sisi filsafat, humanisme diartikan sebagai faham yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sehingga manusia ditempatkan pada posisi yang sentral dan penting dalam praktik hidup sehari-hari. Singkatnya, humanisme memandang manusia bebas dan memiliki potensi sendiri untuk menjalankan kehidupannya secara mandiri. Hardiman (2009) menjelaskan bahwa 1
gagasan humanisme telah muncul jauh sebelum gerakan-gerakan humanisme zaman renaisan berkembang di Eropa. Di zaman Yunani kuno, pemikiran humanisme diwujudkan dalam paidea, yakni semacam sistem pendidikan yang mengolah bakatbakat kodrati manusia, seperti menulis dan berfikir. Lalu di zaman Romawi kuno berkembang pemikiran animal rasionale yang dianggap sebagai dasar pemikiran humanisme universal. Lalu gagasan humanisme yang lebih kritis baru muncul pada masa ranaisans sekitar abad ke-14 hingga ke-16 kemudian memuncak di pertengahan abad ke-18.1 Adapun faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan-gerakan humanisme di Eropa adalah kekuasaan pemimpin agama yang sangat tinggi, sehingga membuat jarak antara masyarakat biasa dengan pemimpin agama. Pada masa itu, para pemimpin agama dianggap sebagai golongan yang memiliki otoritas penuh dalam menginterpretasikan wahyu-wahyu agama. Hasil interpretasi tersebut kemudian diterjemahkan untuk diaplikasikan ke dalam seperangkat aturan di berbagai bidang kehidupan di Eropa, sedangkan masyarakat biasa tidak memiliki kebebasan dalam berfikir dan beraktifitas, akibatnya terjadi kemunduran dalam peradaban di berbagai bidang. Humanisme mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu. Selain itu, di kehidupannya, para tokoh agama menunjukkan perilaku yang tidak terpuji, mereka hidup bersenangsenang dan memuja dunia, sementara masyarakat yang setiap hari didoktrin untuk taat dan menjaga prinsip-prinsip etika dan moral hidupnya sangat memprihatinkan. Sehingga muncul kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelompok pendeta dan rakyat biasa di Eropa. Gerakan humanisme di masa renaisans melihat manusia dari dua sisi. Pertama dari sisi naturalis, manusia dilihat berdasarkan kodratnya, yang berbeda dengan kodrat mahluk lainnya semisal hewan. Secara kodrat, manusia memiliki akal budi dan berkehendak bebas, berbeda dengan kodrat hewan yang hanya memiliki naluri. Kedua dari sisi individualistis, manusia dipandang sebagai suatu individu yang bebas dan berdiri sendiri, lengkap dengan diri dan kemampuannya sendiri, oleh karena itu manusia sempurna. Dengan kesempurnaan ini, manusia dianggap mampu menguasai
1
Lihat Hardiman, F. Budi. 2009. Makalah Kuliah Umum “Memikirkan Ulang Humanisme” Salihara, 13 Juni 2009.
2
lingkungannya untuk kepentingannya.2 Erasmus (w.1466-1536) merupakan salah satu tokoh yang menyusun pondasi humanisme tersebut. Ia menentang segala bentuk ekslusivitas yang dimiliki oleh pihak gereja yang pada masa itu dianggap sebagai sarana penguhubung umat manusia dengan Tuhan.3 Dari gerakan-gerakan akodrati ini, mungkin, banyak pihak beranggapan bahwa gerakan-gerakan kaum humanis tersebut lebih cenderung kepada gerakan anti agama, namun tidak sedikit pula para sarjana yang menganggap bahwa gerakan itu sebagai cara untuk mengembalikan esensi dari kodrat manusia dan kemanusiaan. Sehingga, banyak pihak yang menyebut bahwa gerakan humanis di periode-periode awal tersebut bercirikan pada materialis dan atheis. Namun demikian, kita tidak bisa mengelak bahwa humanisme membawa perubahan yang mendasar di bidang pendidikan, kaum humanis sangat menonjolkan sisi-sisi empiris (pengalaman pribadi, observasi dan logika) sebagai cara belajar karena mereka yakin bahwa pengetahuan datang dari indera.4 Para humanis telah memberikan penafsiran-penafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran agama yang sebelumnya dimonopoli oleh golongan tertentu. Berbagai sumbangan pemikiran kaum humanis dianggap menjadi dasar dari perkembangan filsafat seperti humanisme sekuler, liberalisme, humanisme religius serta paradigma yang dianggap melampaui paradigma humanisme, yaitu strukturalisme. Juga, humanisme yang lebih menonjolkan sisi rasionalitas, menjadi pondasi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang sains dan pengetahuan alam. Sebut saja misalnya para sarjana yang menolak pasrah terhadap hukum alam, seperti Isaac Newton (1643-1727), dengan ilmu fisikanya, memberikan keyakinan bahwa alam bergerak secara mekanistis dan dapat diketahui dengan akal budi manusia, jadi bukan bergerak secara ajaib seperti yang diyakini sebelumnya. Juga ada Charles Darwin dengan teori evolusinya, walau sangat kontroversial, namun banyak yang menganggap bahwa pemikiran Darwin sebenarnya mengandung pesan bahwa manusia sebenarnya berasal dari dunia-sini, bukan dari dunia-roh yang entah berantah, yang sebelumnya diyakini oleh banyak orang. Humanisme juga mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui 2
Lihat Brinton, Crane. et.al. 1971. “The Ranaissaince”, a History of Civilization. T. Hobby Trans. Modernized. 3 Lihat Lamont, Corliss. 1997: 21. 4 Ibid.
3
negara, ras, agama, kelas sosial, dst. Gagasan tentang toleransi agama adalah prestasi lain yang disumbangkan oleh humanisme “Pencerahan Eropa” abad ke-18 kepada peradaban modern. Pengaruh pemikiran kaum humanis tersebut yang pada akhirnya diadaptasikan ke seluruh pelosok dunia, dan menjadi dasar penting bagi perkembangan peradaban manusia di dunia, termasuk di Indonesia. Akan tetapi, oleh sebagian kelompok terutama dari kalangan religius, gagasangagasan
humanisme
yang
sangat
menonjolkan
sisi
rasio
manusia
dan
mengenyampingkan kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan malah membuat gagasan humanisme tersebut menjadi tidak rasional. Suseno (2007: 208) menyebutkan bahwa humanisme sekuler tersebut merupakan pandangan yang buruk karena tidak mengakui keterikatan manusia dengan Tuhan. Sedangkan humanisme religius adalah pandangan yang baik karena menyadari bahwa pada hakekatnya manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan. Jong (2001: 28) menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penyempurnaan nilai-nilai humanisme, karena manusia adalah mahluk Tuhan yang harus dibela martabatnya, dihargai hak azazinya dan diakui eksistensinya. Agama adalah sumber penting dalam memahami kodrat manusia, baik itu kodratnya sebagai mahluk sosial maupun kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Dalam hal kodrat manusia sebagai mahluk sosial, agama mengajarkan norma-norma dan etika sosial, ajaran-ajaran itu bertujuan agar manusia dapat memahami tidak saja hak individunya, melainkan juga memahami hak-hak individu manusia lainnya, sehingga terjalin sebuah hubungan yang harmonis, saling pengertian dan solider antar sesama umat manusia. Di dalam makalahnya, Assyukanie (2009) menyebutkan bahwa jauh sebelum gerakan humanisme rainasans muncul, beberapa pemikir muslim telah menerbitkan karya-karya fenomenal yang menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Masa-masa abad kesembilan dan kesepuluh adalah era formasi pemikiran Islam dan sekaligus merupakan masa yang paling produktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dispilin keislaman. Era kreasi dan inovasi itu kemudian dilanjutkan lagi, paling tidak selama tiga abad berikutnya. Pada masa inilah muncul ratusan—jika bukan ribuan—ilmuwan, sarjana, sastrawan, arsitek, musisi, dan penyair, yang karyanya memberikan pengaruh buat peradaban manusia setelahnya. Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w. 820) merampungkan Al-Risalah, sebuah traktat tentang metodologi 4
pengambilan hukum (ushul al-fiqh). Selanjutnya, Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 850) menerbitkan Fi Hisab Al-Jabr wa al-Muqabalah, sebuah buku tentang aljabar dan matematika. Beberapa tahun setelah itu, Amr bin Bahr Al-Jahiz (w. 869), menulis Kitab Al-Hayawan, yakni sebuah karya ensiklopedi tentang kisah-kisah anekdotal seputar dunia hewan. Ahmad bin Yahya Al-Baladhuri (w. 892) mendaftar nama-nama negara dan mengkompilasinya dalam sebuah buku yang diberi judul Futuh Al-Buldan. Memasuki abad kesepuluh, Muhammad bin Jarir al-Tabari (w. 923) menerbitkan Tarikh Al-Rusul wa Al-Muluk, sebuah buku sejarah paling lengkap yang pernah ditulis orang. Kurang lebih pada tahun yang sama, Muhammad bin Zakariya Al-Razi (w. 925) menyelesaikan ensiklopedi kedokteran dalam 9 jilid yang diberi judul Al-Hawi. Beberapa tahun setelah itu, Muhammad bin Muhammad Al-Farabi (w. 950), seorang filsuf besar Islam, menerbitkan Kitab Al-Musiqa, sebuah buku yang mengulas berbagai aspek tentang musik. Abad kesepuluh ditutup dengan munculnya beberapa karya tentang karya atau biasa disebut dengan ‘buku indeks’ atau ‘buku katalog.’ Salah satu penulis paling penting dalam genre ini adalah Muhammad bin Ishaq Al-Nadim (w. 998) yang karyanya, Al-Fihrist, menjadi rujukan para sarjana hingga hari ini. Al-Fihrist mendaftar dan mengulas ratusan buku yang pernah ditulis dan diterbitkan kaum Muslim pada masa itu.5 Gerakan-gerakan kaum intelektual muslim itulah menurut Boisard (1988), Makdisi (1990) dan Goodman (2003) sebagai awal mula gerakan humanisme Islam. Namun demikian menurut Hadi (2009a: 1) istilah humanisme Islam baru muncul pada saat penulis-penulis seperti Al-Farabi (abad ke-9M), Ibn Sina (abad ke-10M), Imam Al-Ghazali (abad ke-11/12M), Ibn Rusyid dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13M) mempublikasikan karya-karyanya. Mereka mendasarkan pemikirannya pada sumber-sumber kitab suci al-Qur’an, diperkuat dengan ide-ide dari falsafah Yunani dan Persia yang berkembang sebelumnya. Istilah humanisme teosentris sendiri merupakan istilah yang muncul untuk membedakan gagasan religius Islam dengan gagasan religius agama lainnya, seperti kristen dan yahudi. Cuthberlta Tteys, J (1954) dalam artikelnya yang berjudul Theocentric and Christocenctric menyebutkan bahwa terdapat perbedaan dalam aspek-
5
Lihat Assyaukanie, Luthfie. 2009. Membaca Kembali Humanisme Islam (makalah). Kuliah Umum “Memikirkan Ulang Humanisme” Jakarta: Komunitas Salihara, Sabtu 27 Juni 2009.
5
aspek teologi Islam dan Kriten. Perbedaan tersebut terletak pada konsep tauhid atau keyakinan terhadap Tuhan YME. Sebagai sebuah istilah, humanisme teosentris merupakan sebuah gagasan kemanusiaan yang berpedoman kepada ajaran-ajaran agama. Dalam terminologi humanisme teosentris, terdapat istilah teosentris yang membedakan gagasan ini dengan gagasan humanisme universal. Teosentris dalam etimologinya berasal dari bahasa Yunani, yakni Theo (Tuhan) dan centris (pusat). Sehingga teosentris dapat dimaknai sebagai sebuah pandangan yang menilai bahwa Tuhan adalah pusat atau sumber tertinggi dari semua ajaran moral dan etika. Mustofa dalam tulisan Nilai-Nilai Humanisme Islam: Implikasinya Dalam Konsep Tujuan Pendidikan menyebutkan konsep humanisme teosentris muncul sebagai upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Merujuk pada pemikiran Boisard dalam L’Humanisme de l’Islam, Mustofa menerangkan ajaran agama (keyakinan tentang Tuhan) mempengaruhi watak dan persepsi manusia yang selanjutnya menentukan kedudukan dirinya, prioritas kebutuhan dan pembentukan kaidah hubungan dengan manusia lainnya. Agama bukan hanya sistem kepercayaan yang tidak berubah tapi juga nilai yang berorientasi kemanusiaan. Oleh karena setiap manusia terlahir dalam fitrah, kesucian menurut ar-Ruum[30]: 30, maka, semua agama memiliki misi menjaga nilai kefitrahan yang dimilikinya dan menuju kebahagiaan abadi. Dengan kata lain, humanisme agama adalah keyakinan dalam aksi, pengakuan bahwa Tuhan adalah pusat orientasi sejak awal kehidupan manusia, seperti yang terkandung di dalam al-A‘raaf [7]: 172. Orientasi ketuhanan itulah, menurut syari’at, harus hidup dalam jiwa dan kehidupan manusia, seperti di dalam tradisi, adat-istiadat dan tata krama masyarakat untuk diaplikasikan ke dalam ideologi materialisme, sosialisme, dan ekonomisme. Inilah yang membedakan konsep humanisme teosentris atau humanisme religius dengan humanisme sekuler.6 Achmadi (2005: 20) menyebutkan bahwa humanisme teosentris memandang bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dikembalikan kepada Tuhan, inilah esensi dari azaz-azaz tauhid yang diajarkan di dalam Islam. Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa gagasan humanisme teosentris berbeda dengan gagasan humanisme klasik. Walaupun
6
Lihat Mustofa. Nilai-nilai Humanisme Islam dan Implikasinya dalam Konsep Tujuan Pendidikan. DIDAKTIKA ISLAMIKA, Vol. XI. No. 2. Desember 2011
6
kedua pandangan itu tersebut sama-sama meletakkan manusia sebagai unsur “teratas” dalam rantai kehidupan di dunia tetapi penambahan “teosentris” memberikan sifat lain di dalam kerangka humanisme, yaitu keyakinan yang lebih mendalam terhadap Tuhan dan manusia sebagai mahluk Tuhan. Secara umum, ada tiga pokok pengetahuan yang diajarkan di dalam agama Islam yakni pertama aqidah, kedua syariah dan ketiga akhlak. Pertama aqidah yaitu ikatan, sangkutan, keyakinan atau iman. Dari pengertian ini aqidah diposisikan sebagai inti atau pondasi keimanan manusia untuk memahami ajaran-ajaran Islam lebih mendalam. Kedua syariah, berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum muslim. Peraturan-peraturan agama itu terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 131). Ketiga akhlak, berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya’qub, 1988: 11).7Agshar (1990: 46-47) menyebutkan bahwa Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap jujur dan melarang mereka melakukan tindakan-tindakan yang merugikan manusia lainnya. Manusia tidak bisa mengelak dari kodratnya, yakni sebagai mahluk Tuhan, sehingga berdasarkan kodrat manusia tersebut, setiap manusia diposisikan setara antara satu dengan lainnya di hadapan Tuhan. Gagasan humanisme dalam Islam secara garis besar menempatkan sisi manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Secara kodrati, ada tiga hal yang menjadi pokok pemikiran di dalam humanisme Islam, yakni 1). Manusia sebagai hamba Tuhan, hal ini akan berkaitan dengan tanggung jawab manusia di dunia, peran dan fungsinya dalam menciptakan harmonisasi kehidupan di dunia. 2). Manusia sebagai mahluk yang berfikir dan berilmu; dan 3). Manusia sebagai mahluk yang beradab, yang menjunjung nilai-nilai etika dan moral (akhlak). Berdasarkan penjelasan di atas, muncul beberapa pertanyaan terutama mengenai bagaimana bentuk gagasan humanisme teosentris tersebut di dalam karya sastra? Terutama karya-karya sastra tradisional di Indonesia. Hal ini sangat menarik mengingat berdasarkan pertimbangan sosio-historis tradisi masyarakat budaya di Indonesia dominannya dipengaruhi oleh Islam, tetapi tidak sedikit pula masyarakat budaya di
7
Lihat juga Marzuki, M.Ag., Dr. 2009. Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta: Debut Wahana Press.
7
Indonesia tersebut juga memiliki gagasan humanisme yang kuat seperti contohnya masyarakat budaya Minangkabau. 1.2. Islam dan Sastra Tradisi Di Minangkabau Dalam pengertian yang lebih umum, karya sastra dimaknai sebagai cermin sosial yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, gagasan-gagasan humanitas serta gambaran dari persoalan-persoalan kehidupan, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu dan lain sebagainya. Junus (1990:59) menyebutkan karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat atau cermin suatu zaman. Dikatakan sebagai refleksi karena pada hakekatnya karya sastra adalah produk imajinatif yang bersifat fiktif atau rekaan, sehingga fakta-fakta yang ada di dalamnya tidak diungkap secara jelas. Sebuah karya sastra juga dipahami sebagai adalah media ungkapan perasaan masyarakat (Atmazaki. 2005:59). Dalam hal ini bukan tidak mungkin dalam sebuah karya terkandung unsur-unsur faktual dalam realita kehidupan yang dibungkus rapi dalam tanda dan simbol kata. Dari sebuah karya sastra, pengarang menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung serta menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup (Esten. 1987: 8). Sama halnya dengan karya sastra modern, sastra tradisional, juga dapat dipahami sebagai produk budaya yang merefraksikan ide-ide juga harapan-harapan sebagai identitas komunal (budaya dan sosial) suatu kelompok. Sebuah kesusastraan rakyat memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi atau alat menyampaikan ide-ide atau harapanharapan kelompok, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan sistem kelembagaan adat, sebagai alat dalam mengawasi perilaku sosial agar tidak menyimpang dari normanorma adat dan juga sebagai alat pendidikan dalam membina mental generasi muda. Sastra tradisional memiliki ciri yang sedikit lebih absurd dibandingkan dengan karya sastra modern. Absurditas tersebut terletak pada sifatnya yang anonim (tidak adanya informasi kepengarangan), bentuknya yang tidak standar dan memiliki varian-varian yang tersebar di berbagai wilayah. Selain itu, budaya atau ideologi asing yang berkembang di dalam suatu masyarakat juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sifat dan bentuk suatu sastra tradisional, misalkan ideologi Islam yang mulai berkembang di Nusantara semenjak abad ke-7 M. Akulturasi Islam di Nusantara telah menciptakan satu bentuk tradisi dan kebudayaan baru di tengah-tengah masyarakat lokal di Nusantara. Edy Setyawati 8
(2000) menjelaskan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia hingga sekarang dominannya merupakan hasil dari akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam yang diistilahkannya sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia. Semenjak periode itu, lahir sastra tradisional yang bernuansa Islami (sastra Islam) di berbagai wilayah di Nusantara, salah satunya adalah wilayah Sumatera Barat (Minangkabau). Pada periode Islam tersebut, sastra-sastra tradisional mengalami perubahan isi. Fenomena yang menarik yang dijumpai di setiap bagian sastra tradisi, seperti juga dalam sastra tradisional di Minangkabau, adalah hadirnya tokoh-tokoh besar dunia Islam dalam cerita, seperti tokoh Iskandar Zulkarnain dalam teks Tambo Minangkabau. Fenomena ini menurut Fang (1975: 132) tidak terlepas dari usaha pengagungan agama Islam, sehingga pendengar atau pembaca menjadi tertarik untuk masuk Islam dan memperdalam keimanan mereka. Boleh jadi kehadiran tokoh Iskandar Zulkarnain di dalam teks Tambo Minangkabau tersebut dapat diasumsikan juga sebagai usaha pengagungan,
baik
itu
pengangungan
Islam
maupun
pengagungan
budaya
Minangkabau itu sendiri. Fang juga telah mengklasifikasikan jenis cerita atau mitos Islam tersebut ke dalam lima golongan besar, yakni pertama cerita tentang Nabi Muhammad. Kedua, cerita tentang para sahabat Nabi Muhammad. Ketiga, cerita Nabi seperti dalam kitab Hikayat Yusuf, dan lain-lain. Keempat, cerita para penyebar dan pahlawan Islam, seperti Iskandar Zulkarnain, Amir Hamzah, dan Saif Dzul-Yazan. Kelima, cerita khayalan yang timbul di Nusantara. Mitos-mitos itu berkembang hampir tidak mengenal batas wilayah budaya. Bahkan mitos-mitos itu seakan-akan difungsikan sebagai media komunikasi para sufi dalam aktifitasnya mengembangkan ajaran agama Islam di suatu daerah, termasuk di Minangkabau. Selain mempengaruhi isi, di periode Islam ini juga banyak bermunculan genregenre sastra yang bernuansa Islami, seperti syair-syair Islam yang juga dikenal dengan istilah nazam. Suryadi (2002) menyebutkan bahwa nazam memiliki berbagai ejaan, seperti: nadzam, ajam, nizam, nazham dan nazzam. Dalam kesusastraan Minangkabau, ia disebut nalam. Baik nazam atau nalam, puisi tradisional Melayu itu sering dirujuk sebagai yang berbentuk syair. Di beberapa sumber lainnya, seperti Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melayoe Riau (Jakarta. 1935), kata nazam tertulis sebagai “nalam’ (banalam) yaitu bertjerita dengan lagu teroetama tentang agama atau jang 9
berisi pengadjaran. Pengertian yang hampir sama juga terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan Balai Pustaka 1988, kata nalam atau nazam memiliki makna gubahan sajak (syair, karangan); sementara bernalam, bermaksud membaca puisi atau bercerita dengan lagu; bersajak (bersyair). Di Minangkabau, nazam erat kaitannya dengan tradisi banazam. Tradisi banazam merupakan sebuah tradisi mendendangkan cerita-cerita islami di tengah-tengah khalayak atau majelis, dilaksanakan di hari-hari tertentu atau hari-hari besar keagamaan. Disebut banazam karena pada pelaksanaannya teks-teks yang didendangkan merupakan teks-teks nazam. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, banyak nazam-nazam itu yang mengalami proses penyalinan ke dalam bentuk tulisan tangan sehingga dapat dibaca berulang-ulang dan disimpan sebagai koleksi pribadi. Proses penyalinan nazam-nazam tersebut, juga cerita-cerita sastra tradisional lainnya, juga dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Minangkabau. Berdasarkan golongan cerita, golongan cerita Nabi Muhammad adalah salah satu golongan cerita yang memiliki banyak variasi, dan di salin ke dalam banyak bahasa daerah, seperti Melayu, Sunda, Arab, Jawa dan Bugis. Aktivitas intelektual ini (penyalinan dan penulisan naskah) berkembang ke arah percetakan atau penerbitan naskah yang dimulai di pertengahan abad ke-19. Bangsa eropa yang datang ke tanah Melayu, mulai memperkenalkan teknologi percetakan (litografi) ke masyarakat Melayu, sehingga banyak karya-karya tulis tangan yang di cetak dan didistribusikan untuk kepentingan ekonomi atau bisnis. Seperti beberapa nazam yang dipilih sebagai objek material penelitian ini juga telah berbentuk cetakan, yakni Nazam Neraca Kebenaran (NNK), Nazam Kanak-kanak: Inilah Nazam Dua Sejalan Pertama Kanak-kanak – Kedua Nazam Bahaya Dunia Akhirat (NKK &NBDA) [cet. Ke-18], dan Nazam Itsad al-gafirin artinya Pencerdikan Orang nan Lalai (NPOL), merupakan karya-karya yang sangat populer di kalangan masyarakat Minangkabau, bahkan hingga saat ini nazam-nazam cetakan ini masih menjadi koleksi bacaan bagi sebagian besar masyarakat tradisional Minangkabau. Adapun alasan kenapa kultur Minangkabau dipilih sebagai wilayah kajian yaitu, pertama berdasarkan konteks sosio kultural, Masyarakat Minangkabau merupakan kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Jika humanisme diartikan seperti pengertian di atas, maka yang dapat diwujudkan dari pandangan itu yakni sikap toleransi, saling pengertian dan saling memahami. Sikap-sikap tersebut di 10
dalam perspektif adat Minangkabau, direfleksikan dalam berbagai hal, seperti misalnya di dalam sistem pemerintahan adat, sistem sosial maupun di dalam pandangan hidup masyarakatnya. Pandangan hidup alam takambang jadi guru menjadi dasar terciptanya satu kelompok masyarakat yang memiliki toleransi terhadap keberagaman dan perbedaan. “Alam” merupakan simbol semesta dan alam yang luas ini menjadi menjadi ilmu bagi kelangsungan hidup insan manusia Minangkabau. Sehingga, dengan kata lain, manusia yang memahami betapa luasnya dunia, tidak akan mungkin dapat menolak perbedaan yang ada dalam setiap insan manusia. Toleransi itu tergambar di dalam prinsip duduak samo randah-tagak samo tinggi artinya, manusia, apapun situasi dan kondisinya, pada dasarnya sederajat, tidak ada manusia yang lebih mulia atau lebih tinggi derajatnya dari manusia lainnya. Dari prinsip-prinsip hidup inilah masyarakat Minangkabau terkenal sebagai masyarakat budaya yang paling heterogen dan dapat beradaptasi dengan sangat cepat terhadap perubahan zaman (bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam di bab selanjutnya). Faktor kedua yakni faktor agama. Islam memiliki pengaruh yang sangat kuat di dalam tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau. Hal tersebut tercermin di dalam filosofi adat Minangkabau, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (seperti yang telah diuraikan sebelumnya). Bagi masyarakat Minangkabau, Islam merupakan pedoman, norma dan hukum mutlak dalam adat dan tatanan sosial di Minangkabau, sehingga orang yang secara garis kultural keturunan Minangkabau namun tidak mengetahui atau bahkan tidak beragama Islam maka secara adat orang tersebut dianggap sebagai bukan orang Minangkabau. Kuatnya pengaruh Islam di dalam tatanan masyarakat yang humanis seperti masyarakat Minangkabau menjadi suatu contoh yang sangat baik untuk menjelaskan bagaimana peran agama dalam menjaga keharmonisan di dalam kehidupan umat manusia sehingga setiap insan manusia dapat menjalankan kehidupannya tanpa merasa terintimidasi dengan insan manusia lainnya. Sedangkan faktor ketiga yakni faktor kesusasteraan. Untuk konteks sastra, sastra-sastra Islam Minangkabau selain memiliki kedekatan terhadap tema kajian, bahan-bahan material ini juga belum banyak mendapat perhatian para penelitian sastra Minangkabau. Jikapun ada, kajian-kajian yang menggunakan karya sastra Islami sebagai bahan kajian maka kajian tersebut hanya sebatas deskripsi tentang isi dan bentuk karya sastra dan tidak mendalam. 11
1.3. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat diambil beberapa hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, apa teks yang terdapat dalam naskah-naskah nazam cetakan yang menjadi objek penelitian ini. Kedua, bagaimana latar sosio-historis masyarakat Minangakabu? Dan, Ketiga, bagaimana gagasan humanisme teosentris yang terkandung di dalam syair dan mitos-mitos Islami nazam-nazam cetakan tersebut? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah, Pertama, menghadirkan suatu bentuk teks nazam yang bersih dari kesalahan, courupt dan disertai dengan EYD seingga bisa dibaca oleh khalayak. Kedua, menjelaskan latar sosio-historis masyarakat Minangkabau secara lebih mendalam dan komprehensif. Dan, Ketiga, menjelaskan gagasan humanisme teosentris yang terkandung di dalam syair dan mitos Islami nazam-nazam cetakan Minangkabau tersebut. 1.5. Tinjauan Kepustakaan Hingga penelitian ini selesai dilaksanakan, penelitian yang dilakukan oleh Yulizal Yunus (2001) yang berjudul Protes Sastra: Terhadap Paham Keagamaan merupakan satu-satunya hasil penelitian yang ditemukan yang mengangkat objek material nazam cetakan yakni nazam Si Kanak-Kanak sebagai bahan kajiannya. Hanya saja penelitian ini hanya mengangkat satu nazam dan tidak melakukan penafsiran yang mendalam. Di dalam penelitian tersebut Yulizal Yunus melakukan kajian tentang interpretasi orang Minangkabau terhadap ajaran yang terkandung di dalam nazam Si Kanak-kanak. Menurutnya bahwa nazam Si Kanak-kanak adalah sebuah bentuk nazam yang mengandung protes sosial terhadap persepsi masyarakat tentang kematian seorang anak. Lebih jauh, Yunus menghubungkannya kebiasaan orang Minangkabau meratapi kematian anak atau juga kerabatnya. Ia menganggap bahwa meratapi suatu kematian malah akan menyiksa orang yang telah mati di dalam kuburnya. Penelitian yang dilakukan oleh Yulizal Yunus ini adalah sebuah referensi yang sangat penting bagi 12
penulis dalam memahami filosofi dan ajaran adat Minangkabau yang terkandung di dalam mitos Si Kanak-kanak, terutama hubungannya dengan ajaran Islam. Penelitian-penelitian lain tentang sastra tradisional (baik itu nazam, mitos legenda dan cerita rakyat) Minangkabau sebagian besar hanya menghasilkan suatu gambaran deskriptif dan tidak disertai kajian yang mendalam, terutama pada aspek makna kebahasaan. Seperti buku yang ditulis oleh NN (1963) Tjerita Rakjat 1. Buku tersebut merupakan buku yang mendokumentasikan cerita-cerita rakyat yang terdapat di Indonesia. Cerita-cerita rakyat yang terdokumentasikan di dalamnya seperti cerita asal mula padi, Tiga Piatu, Si Tanduk Pandjang, dan cerita Pandji Kelaras. Cerita-cerita tersebut berasal dari berbagai daerah, dan dari buku itu dapat dilihat bahwa sebuah cerita tidak mengenal batas geografis wilayah, suatu cerita yang sama bisa saja diperoleh di daerah lain. Artinya, cerita rakyat bersifat universal, tidak ada satu orang, atau sekelompok orang yang berhak mengklaim cerita tersebut miliknya atau milik kelomponya, atau cerita itu lebih asli dibandingkan cerita serupa yang ditemukan di tempat lain. Penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti cerita rakyat Sumatera Barat (Cerita Rakyat: Mite dan Legenda, Daerah Sumatera Barat. Dalam Bahasa Daerah Minangkabau: 1979) merupakan sebuah dokumentasi terhadap dua puluh cerita lisan yang berkembang di Sumatera Barat. Sayangnya, apabila dinilai dari sisi akademis, usaha penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini masih terdapat banyak kekurangan. Seperti cerita-cerita ditranskripsi ke dalam bahasa Minangkabau tanpa terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini tentu akan menyulitkan pembaca nonMinang untuk memahami cerita-cerita yang disajikan. Selain itu, tidak tercantumnya keterangan mengenai wilayah penelitian, informan dan metode penelitian yang dipergunakan. Kekurangan-kekurangan ini menyebabkan objektifitas penelitian yang dilakukan tersebut sangat disangsikan. Namun demikian, usaha pendokumentasian ini, patut diberi apresiasi karena usaha ini telah turut melestarikan cerita-cerita rakyat yang ada dalam masyarakat Indonesia (umumnya) atau masyarakat Minangkabau (khususnya). Penelitian ini merupakan koleksi dari Badan Perpustakaan Sumatera Barat, nomor 398.209. 598-13 Cer 1. Usaha pendokumentasian juga dilakukan oleh Zuriati (1995) dalam penelitian yang berjudul Asal-usul Nama-nama Tempat (Daerah) di Minangkabau. Di penelitian 13
itu, Zuriati mendokumentasikan cerita-cerita yang terkandung dalam nama-nama daerah di Minangkabau. Banyak orang, bahkan orang Minang sekalipun yang tidak menyadari bahwa nama-nama daerah di Sumatera Barat ternyata mengandung suatu cerita tentang peristiwa atau asal usul sesuatu. Yasnur Asri dan Ngusman Abdul Manaf (1999) dengan judul penelitian Cerita Anak-anak Minangkabau Daerah Darek: Deskripsi Fungsi Cerita dan Analisis Struktur Intrinsik. Di penelitian ini Asri mendokumentasikan dua belas cerita anak-anak yang berkembang di kawasan darek dalam wilayah budaya Minangkabau, kemudian ke dua belas cerita tersebut di analisis dengan menggunakan model analisis struktur intrinsik. Hasilnya diketahuilah tema dan amanat yang terkandung dalam masing-masing cerita anak tersebut. Usaha kajian yang sedikit lebih mendalam terhadap sastra tradisional Minangkabau dilakukan oleh Udin (1995) dalam penelitiannya yang berjudul Rasionalisasi Mitos di Dalam Karya Wisran Hadi. Di Penelitian tersebut Udin mencoba merasionalisasikan mitos Anggun nan Tongga dengan cerita drama karya Wisran Hadi dengan judul yang sama dengan menggunakan kajian struktural. Hasilnya, Udin memaparkan bahwa proses kreatif seorang Wisran Hadi tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang melatarbelakanginya, yakni Minangkabau. Menurut Udin, pengaruh budaya Minangkabau sangat kental di dalam karya-karya Wisran Hadi, hal ini dapat dicermati dalam karya-karyanya baik yang secara implisit menonjolkan kultur Minangkabau seperti drama-drama yakni Anggun Nan Tongga, Puti Bungsu, Malin Kundang, Cinduo Mato dan Rajo Nan Panjang,
atau
pun
juga
novel-novel
yang
secara
tersirat
memiliki
tema
keminangkabauan. Penelitian yang bentuknya hanya berupa pendokumentasian sastra tradisional juga pernah dilakukan oleh Edwar Djamaris (Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau: 2002). Dalam buku tersebut Djamaris melakukan pemetaan terhadap jenis-jenis kesusastraan Minangkabau yang terdapat dalam cerita lisan, tradisi lisan, naskah (manuskrip) dan juga cetakan (buku, yang pernah dikumpulkan oleh peneliti sebelumnya). Djamaris memulai pembicaraan mengenai puisi tradisional Minangkabau. Dari jenis-jenis puisi tradisional, mantra diyakini sebagai bentuk puisi tertua yang fungsinya untuk memperoleh kekuatan gaib dan sakti (2002:10). Selain puisi tradisional, Djamaris juga mendokumentasikan karya-karya prosa klasik Minangkabau, seperti kaba dan tambo Minangkabau yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan, baik itu yang berbentuk manuskrip maupun yang berbentuk cetakan. 14
Walaupun dalam buku tersebut, Djamaris tidak serta merta menyebutkan bahwa karyakarya yang didokumentasikan itu sebagai mitos, namun, dari jenis karya-karya tersebut, dapat dipahami bahwa karya-karya itu memiliki kandungan mitos yang berkembang di Minangkabau. Kajian yang sangat mendalam tentang sastra tradisional Melayu, termasuk Minangkabau pernah dilakukan oleh DR. Liaw Yock Fang (1975) menulis buku yang berjudul Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Buku ini adalah salah satu referensi penting usaha pengkajian kesusastraan Melayu klasik. Di dalam buku tersebut terdokumentasikan cerita-cerita Melayu klasik, baik itu lisan maupun tertulis hingga yang telah dicetak yang tersimpan di berbagai lembaha kepustakaan. Dari judulnya, dapat dipahami bahwa buku ini mencoba merunut perkembangan kesusastraan yang ada di Melayu (sebagai sebuah kesatuan budaya), dari tradisi lisan, hingga tulisan dan cetak. Bahwa dalam perkembangannya, kesusastraan Melayu dipengaruhi oleh beberapa budaya, pengaruh yang paling kuat tentunya Hindu dan Islam. Dan untuk wilayah foklor dan cerita rakyat, Danandjaja (1991) dalam bukunya Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain menjelaskan tentang perkembangan studi foklor dan juga mitos yang ada di Indonesia khususnya. Dalam buku tersebut Danandjaja juga menghadirkan cerita-cerita, legenda, dan juga mitos yang berkembang dalam masyarakat. Menurutnya, lambanya perkembangan kajian foklore dan juga mitos di Indonesia adalah karena kebanyakan peneliti lebih mementingkan aspek folk dibandingkan aspek lore-nya, padahal menurutnya kedua unsur dalam foklore itu sama pentingnya dan tidak ada unsur yang pantas diutamakan. Terhadap aspek sosial kultural budaya Minangkabau, beberapa kajian yang pernah dilakukan antara lain, pertama, Murad, DP (1966) Selajang Pandang tentang Perkembangan Kampung Halaman Sungai Puar, Kabupaten Agam-Sumatera Barat. Sungai Puar: Jajasan Sungai Puar. Seperti judulnya, penelitian ini membahas secara panjang lebar mengenai latar sosio historis dan kultural masyarakat Sungai Puar. Termasuk di dalamnya informasi tentang Nagari Sungai Puar yang menjadi pusat industri kerajinan tangan yang sudah terkenal sejak dulu di Minangkabau. Kedua, Mr. M. Nasroen (1971), Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Dalam buku ini M. Nasroen membahas filosofi adat dan norma-norma adat Minangkabau. Hal yang utama dalam pembahasan tentang filosofi adat Minangkabau itu yakni tentang perilaku dan pandangan hidup orang Minang dalam menjalin hubungan sosial baik itu dalam 15
keluarga maupun di dalam masyarakat luas. Ketiga, A.A. Navis (1985), Alam Terkembang Jadi Guru. Dalam buku ini Navis menjelaskan panjang lebar tentang seluk beluk budaya Minangkabau. Menurut Navis, bahwa pandangan hidup orang Minangkabau tersebut tercermin dalam filosofi adat alam takambang jadi guru. Bagi orang Minangkabau, alam bukan berarti hanya tempat hidup atau tempat mati tetapi alam mempunyai makna yang dalam menyangkut kehidupan. “Beraja ka alam” dalam artian orang Minangkabau senantiasa menjadikan pengalaman hidupnya sebagai guru bagi dirinya untuk menjalani kehidupannya. Keempat, M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe (1985) Minangkabau: Sejarah Ringkas dan Adatnya. Sesuai dengan judulnya, maka buku M. Rasjid ini mengupas persoalan tentang sejarah adat Minangkabau yang didasarkan kepada pemahamannya terhadap Tambo Minangkabau. Buku ini bukanlah buku ilmiah yang melakukan kajian terhadap Tambo Minangkabau dengan menggunakan suatu teori tertentu, tetapi buku ini adalah hasil pemahaman dari M. Rasjid terhadap makna-makna simbolis yang terdapat dalam Tambo Minangkabau. Kelima, Yulizal Yunus (1999) Sastra Islam: Kajian Syair Apologetik Pembela Tareqat Naqsyabandi Syekh Bayang. Buku ini merupakan salah satu kajian Yulizal Yunus terhadap syair-syair bernuansa Islami. Buku ini memberikan sebuah gambaran bagaimana memahami makna-makna yang terkandung di dalam syair-syair Islam tersebut. Selain itu, buku ini menginformasikan tentang karakter dan keyakinan masyarakat muslim di Minangkabau, terutama yang bersangkutan dengan tareqat. Keenam, Sebuah artikel yang berjudul Dualisme Minangkabau: Dalam Kajian Strukturalisme Levi-Strauss yang ditulis oleh Zainal Arifin dan dipublikasikan di dalam Jurnal Antropologi VI/9 tahun 2005 membahas tentang dualisme organisisi yang ada dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa dalam struktur budaya Minangkabau terdapat dua kelarasan yakni Bodi Chaniago dan Koto Piliang yang memiliki faham yang berbeda, Bodi Chaniago yang dikembangkan oleh Datuk Parpatih Nan Sabatang lebih bersifat demokratis dibandingkan
kelarasan
Koto
Piliang
yang
dikembangkan
oleh
Datuk
Ketamanggungan. Namun demikian, kedua laras ini mampu menciptakan kondisi yang harmonis dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, sehingga dalam pandangan strukturalisme sebenarnya hal itu terjadi karena adanya satu kelarasan semu di tengah-
16
tengah dua kelarasan yang berbeda tersebut. Kelarasan semu itu berfungsi sebagai penetralisir pertentangan yang ada di kedua laras itu. Terhadap konteks dinamika keislaman di Minangkabau, beberapa sumber dipergunakan sebagai acuan ilmiah untuk menjelaskan kedinamikaan masyarakat Muslim yang ada di wilayah kultur Minangkabau, sumber-sumber tersebut seperti, antara lain, Christine Dobbin (2008). Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi: Minangkabau 1784-1847 (Judul asli buku ini sebelum diterjemahkan ke dalam BI yaitu Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847). Pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lalu ketika lembaga tersebut berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Buku itu diterbitkan ke dalam edisi bahasa Indonesia oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, dengan judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Baru, di tahun 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini tetapi dengan judul yang berbeda, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Di dalam buku itu, Dobbin menjelaskan secara detil tentang latar belakang meletusnya Perang Paderi. Menurut Dobbin gerakan radikal yang diusung oleh Paderi lebih bertujuan ekonomis dari pada religius. Baginya gerakan Paderi bukanlah suatu gerakan untuk meruntuhkan hegemoni bangsa kolonial yang dicap kafir yakni Belanda, melainkan suatu gerakan yang untuk menguasai sektor perdagangan. Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281. Dinamika keislaman masyarakat Minangkabau juga menjadi perhatian Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”. Di dalam buku itu, Azyumardi menjelaskan perjalanan panjang fahamfaham Islam yang awalnya berkembang di negeri-negeri Timur Tengah hingga akhirnya sampai di Nusantara, termasuk Indonesia. Dari penjelasan ini diperoleh sebuah gambaran mengenai karakter dan keyakinan keislaman dari masing-masing aliran yang ada di Indonesia yang turut juga mempengaruhi kedinamikaan sosial 17
masyarakat lokal di Indonesia. Penelitian lainnya yang mengangkat tema keislaman di Minangkabau, di lakukan oleh Fathurrahman (2003) dalam disertasinya yang berjudul Tarekat Syatariyah Di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian Atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatera Barat. Di penelitian itu Fathurrahman melakukan kajian filologis terhadap manuskrip-manuskrip yang tersimpan di surau-surau di Minangkabau yang saat ini sebagian besarnya merupakan wilayah Propinsi Sumatera Barat. Penelitian tersebut fokus terhadap persoalan sejarah perkembangan Islam, dan gerakan-gerakan Islam yang pernah terjadi di Minangkabau. Beberapa penelitian yang menggunakan metode hermeneutika pun tidak lepas dari pengamatan peneliti. Sejauh data yang diperoleh, kajian-kajian hermeneutika yang pernah dilakukan berupa penafsiran terhadap ajaran-ajaran keagaman, baik itu bersumber dari kitab suci maupun wahyu dan hadits. Kajian-kajian hermeneutika tersebut antara lain, pertama sebuah buku yang berjudul Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam Indonesia. Buku ini awalnya adalah sebuah disertasi yang ditulis oleh Bahtiar Effendy pada Departement Politic Science, Ohio State University, Amerika Serikat. penulis terilham dengan fenomena yang terjadi di negara–negara Muslim pasca kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, seperti Turky, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia.dan Al-jazair mereka kesulitan dalam mengembangkan sintesis yang memungkinkan praktek dan politik Islam dengan negara di daerahnya masing-masing. Persoalan yang terjadi di negaranegara muslim tersebut, hubungan politik Islam dan negara ditandai oleh keteganganketegangan yang sangat mencolok, bahkan sampai pada permusuhan. Sedangkan penduduk di wilayah tersebut sangat dominan oleh orang-orang Islam, dikarenakan sebagian besar agama yang dianut adalah Islam. Yang jadi pertanyaan, apakah sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana gagasan negara-bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya. Untul kasus di Indonesia, dalam hubungan Islam politik dengan negara sudah lama terjadi sampai kepada titik kebuntuan. Baik masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto yang memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Dalam buku ini, Bahtiar Effendy mencoba mengali faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perdebatan yang akut dalam proses berdirinya bangsa Kesatuan Indonesia, sampai menemukan titik kebuntuan, bahkan 18
permusuhan. Bahtiar Effendy juga melihat dari berbagai unsur Islam politik secara holistik (simbiosis mutualis) tidak monolitik (Syariah), interior dan eksterior Islam dalam perspektif sejarah Islam politik versus negara, maupun Islam politik dalam delektika praktis kekinian. Sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Pembebasan AlQur’an: Perspektif Farid Esack yang ditulis oleh Baidhawi, Zakiyuddin (2003) merupakan sumber penting dalam mencermati metode tafsir terhadap ajaran agama diaplikasikan. Di dalam buku tersebut dijelaskan pemikiran Esack terhadap penafsiran Arkoun
tentang
ajaran
Islam,
yang
menurutnya
kurang
mengapresiasi
kekompleksitasan pandangan Islam.Bagi Esack Arkoun telah mengabaikan hakekat istimewa manusia yakni pengetahuan. Pengetahuan bagi Esack memiliki fungsi sebagai alat kognisi dan alat sosial manusia. Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan Hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas muslim memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal: untuk memaparkan cara interpretasi tradisonal dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk meligitimasi tatanan yang tidak adil, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan. Sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (2014) karangan Prof. Dr. Abdul Hadi W.M., memaparkan secara detil tentang perkembangan kajian hermeneutika di Barat dan Timur. Dalam buku ini, kupasan tentang kajian hermeneutika dan sastra, meliputi relasi dan sejarahnya, hingga bagaimana keduanya difungsikan di Timur maupun di Barat, baik oleh filsuf maupun mistikus, dilakukan sangat detil dan mendalam, sehingga pembaca dapat membandingkan bagaimana pola hermeneutika dipergunakan di masing-masing bagian dunia. Dari penelusuran di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang menggunakan kajian hermeneutika terhadap empat naskah cetak yakni NNK, NKK-NBDA, dan NPOL belum pernah dilakukan, sehingga penulis merasa penelitian ini akan memperkaya khazanah kajian sastra terutama kajian hermeneutika terhadap sastrasastra kitab di Indonesia.
19
1.6.
Landasan Teori Perlu ditekankan di sini, bahwa penelitian ini bukanlah peneletian filologi,
karena langkah-langkah dan metode filologis tidak bisa dipergunakan terhadap objek berupa naskah cetakan yang tidak memiliki varian ataupun juga variasi. Namun demikian, mengingat objek formal yang dipergunakan adalah teks beraksara Arab Melayu, maka teknik transliterasi tetap dilakukan dipenelitian ini, guna menghadirkan suatu teks yang dapat dibaca oleh khalayak banyak. Penelitian ini
sejatinya menggunakan hermeneutika sebagai
teorinya.
Hermeneutika umumnya dapat dipahami sebagai “usaha peralihan dari suatu yang relatif gelap ke suatu yang relatif terang”. Dalam pengertian lainnya, hermeneutik adalah alat untuk mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Dapat juga diartikan sebagai sebuah kiat untuk memahami, yaitu metode dan prinsip untuk memahami teks. Itulah kenapa hermeneutik juga dipahami sebagai kajian yang berkaitan dengan analisis linguistik-gramatikal (kebahasaan). Walaupun bahasa adalah unsur utama dalam setiap kajian hermeneutik, namun, cara hermeneutika memecahkan suatu masalah dinilai cukup variatif dan metodis. Seorang penafsir tidak akan dapat menafsirkan sesuatu dengan tepat apabila ia tidak memahami konteks yang mempengaruhi objek yang ditafsirkannya. Oleh karena itu seorang penafsir dituntut harus juga memiliki atau menguasai pengetahuan yang luas terutama pengetahuan terhadap hal yang hendak ditafsirkannya. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Noeng Muhadjir (1998: 85) bahwa Hermeneutik merupakan sebuah usaha dalam mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, konteks budaya, tafsir transendensi dan lain-lain. Konsep teorinya berangkat dari linguistik, dan menangkap seluruh teks bacaan. Noeng juga memandang kebermaknaan sesuatu dapat dilandaskan pada narasi bahasa, historis, hukum, etika atau lainnya. Gambaran umum dari pengertian "henneneutika" diungkapkan juga oleh Zygmunt Bauman, yakni "sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar ataupembaca" (Faiz. 2003:22). Secara epistemologi, istilah "hermeneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti "menafsirkan", dan kata bendanya hermeneia yang berarti "penafsiran" atau "interpretasi", dan kata hermeneutes yang berarti interpreter 20
(penafsir). Istilah Yunani berkenaan dengan kata "hermenuetik" ini dihubungkan dengan nama dewa Hennes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesanpesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hennes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Di sini, Hermes memiliki peran dan fungsi yang sangat vital sebab apabila terjadi kesesatan dalam memahami dan menginterpretasikan pesan dewa maka akan berakibat buruk bagi umat manusia. Oleh karena itupula, Hernes merupakan simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan (Sumaryono, 1999:23-24). Kata "hermeneutika" dipilih karena kata ini dalam bahasa Inggris merupakan bentuk singular, hermeneutics ("s"), yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hermeneutika (“a”). Palmer (2003: vii) mengatakan bahwa diperoleh dua keuntungan apabila memilih hermeneutika, antara lain: pertama dapat menunjuk kepada bidang hermeneutika secara umum; dan membedakan spesifikasi, misalnya hermeneutik Hans-Georg Gadamer; di samping itu, membedakannya dengan bentuk adjektif
"hermeneutik"
(hermeneutic
tanpa
huruf
"s")
atau
"hermeneutis"
(hermeneutical). Oleh sebab itu, "hermeneutik" cenderung terdengar sebagai adjektif, kecuali disertai "the ".8 Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami fase-fase dialektis dan kritis. Dialektika dalam kajian hermeneutika ini, merupakan bagian dari usaha penyempurnaan pandangan sebuah model penafsiran. Periodesasi kajian hermeneutika dimulai pada masa Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Dalam berbagai tulisannya, Schleiermacher menjelaskan bahwa hermeneutik terdapat dua dimensi penafsiran, yakni pertama disebut grammatical interpretation dan kedua psychological interpretation. Grammatical interpretation yakni dimensi ini terkait dengan pemahaman
terhadap
aspek
kebahasaan.
Sedangkan
dimensi
psychological
interpretation yaitu suatu dimensi yang menggali aspek-aspek orisinalitas dan idieologi individual yang masih absurd dari pengarang (author). Dimensi kedua ini memungkinkan bagi seorang untuk memahami atau mengetahui mengenai segala macam hal tentang pribadi pengarang yang pada akhirnya pengetahuan tersebut akan membantu seorang peneliti menemukan juga memahami makna teks lebih mendalam. 8
Lihat Abdul Wachid B.S. Imaji. Vol. 4. No. 2. Agustus 2006
21
“Schleiermacher stressed both grammatical, and technical or psychological, interpretation. The latter required identification with the mind-set of outhor, a radical principle since his main application of hermeneutics was to scripture. Beyond scripture, however, his techniques applied to any individual work cast in language and, beyond language, to all human manifestations, including conversations and work of art.9 Melalui dua proses penafsiran ini, menurut Schleiermacher seseorang akan dapat menjelaskan berbagai macam hal yang sesuai dengan orisinalitas ekspresi yang diproduksi pengarang. Dalam pandangannya, Schleiermacher berasumsi bahwa “makna tidak selalu berada di dalam teks”. Di sini, ia menyangsikan adanya makna tunggal di dalam sebuah teks, atau bisa saja pengarang tidak menyadari tentang apa yang telah ia tuangkan di dalam suatu teks. Oleh karena itulah pendekatan psikologi sangat penting guna
membantu
menjelaskan
gejala-gejala
tekstual.
Inilah
inti
pemikiran
Schleiermacher yang meyakini bahwa seorang penafsir akan bisa memahami pengarang secara baik, bahkan lebih baik dari pada pengarang dalam memahami dirinya sendiri. Konsep penafsiran yang ditawarkan oleh Schleiermacher ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep psikoanalisa Sigmund Freud (1856-1939) yang dikenal dengan model analisa manifest content dan latent content.10 Memahami secara mendetil tentang seluk beluk dan kepribadian pengarang merupakan suatu cara untuk mengelak dari makna tunggal sebuah teks. Pemikiran-pemikiran Friedrich Schleiermacher tersebut tertuang di berbagai karyanya seperti On Religion: Speeches to Its Cultured Despisers (1799); On Revelation and Mythology (1799); Soliloquies (1800); Outline of a Critique of Previous Ethical Theory (1803); Brief Outline of the Study of Teology (1811); Dialectics (1814/15) with introduction to Dialectics (1833); in Collected Work, III, 1835-64; The Christian Faith 1821-22; Hermeneutics (1974) serta karya lainnya yang berbentuk catatan dan makalah.11 Periode selanjutnya diwakilkan oleh pemikiran Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosuf asal Jerman. Wilhelm Dilthey lahir di Biebrich pada tanggal 19 November 1833 dan meninggal 30 September 1911 di Berlin. Karir intelektualnya 9
Lihat E. Sumaryono (1999.) h. 35 s.d. 41 Manifest content makna yang dimunculkan oleh teks, sedangkan latent content merupakan makna yang tersembunyi di alam bawah sadar pengarang. Lihat John B. Thompson. 1986. Filsafat Bahasa dan Hermeneutika Untuk Penelitian Sosial. Surabaya: Visi Humanika. 11 Lihat E. Sumaryono (1999). Op.cit. 10
22
dimulai ketika ia mulai menuntut ilmu di Universitas Heidelberg dan Berlin. Lalu, mengajar di Universitas Basel, Kiel dan Breslau. Semenjak tahun 1882 ia diangkat menjadi Guru Besar dalam bidang Sejarah Filsafat di Universitas Berlin. Walaupun ia merupakan guru besar di bidang filsafat, tetapi Dilthey juga sangat memperhatikan bidang ilmu lainnya seperti sejarah, bahkan bisa dikatakan bidang ini yang paling ia perhatikan. Selain sejarah, Dilthey juga menaruh perhatian pada bidang ilmu lainnya seperti psikologi dan ilmu sosial pada umumnya. Sedangkan pemikiran filsafatnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Emanuel Kant. Minat dan perhatian Dilthey terhadap ilmu sejarah yang sangat tinggi tersebut mempengaruhi cara berfikir di bidang hermeneutika. Bagi Dilthey suatu teks tidak bisa dipisahkan dari sejarah yang membentuknya. Oleh karenanya, di dalam hermeneutika Dilthey berpandangan bahwa menafsirkan suatu teks akan lebih maksimal apabila dilakukan dengan dua cara, yakni pertama interpretasi data dan kedua riset sejarah. Model interpretasi “ala” Dilthey ini secara tidak langsung telah menambal kekurangan yang terdapat dalam analisis sejarah, yang mana dianggap dapat menghasilkan sebuah penafsiran sejarah yang lebih valid dibandingkan sebelum model ini dikembangkan. Selain dua tokoh di atas, terdapat beberapa tokoh lainnya yang penting di dalam perkembangan keilmuan hermeneutika, seperti Martin Heidegger (1844-1976), HansGeorg Gadamer (1900), Jurgen Habermas (1929), Paul Ricoeur (1913), Jacques Derrida (1930), dan Mohammed Arkoun (1913). Dari sekian banyak nama yang disebut di atas, pemikiran dan model analisis Georg Gadamer dinilai sangat cocok diterapkan di dalam penelitian ini karena model ini akan mendukung tercapainya tujuan akhir yang diinginkan di penelitian ini. 1.6.1. Hermenutika Georg Gadamer (1900) Hans Georg Gadamer adalah seorang filosuf berkebangsaan Jerman. Ia lahir tahun 1900 di kota Marburg an der lahn. Latar belakang pendidikan yang dimilikinya adalah pada keilmuan bahasa dan kebudayaan serta filsafat. Di usianya yang ke 29 tahun, ia telah memperoleh gelar Doktor di bidang filsafat di Merburg. Tahun-tahun berikutnya ia diangkat menjadi pengajar di Leipzig (1939) dan di Frankfurt pada tahun
23
1947. Kemudian, ia pun akhirnya diangkat menjadi guru besar di akhir-akhir karirnya.12 Popularitas Gadamer sebagai seorang filosuf semakin menanjak seiring terbinya karya Wahrheit und Methode: Grundzuge Einer Philosophischen Hermeneutiki di tahun 1960. Bisa dikatakan itulah karya monumental seorang Hans Georg Gadamer. Kehadiran buku ini membuka cakrawala baru dalam dunia filsafat. Karya ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh John Cuming di tahun 1975 dan diberi judul Truth and Method.13 Lalu di tahun 1976, terbit karya Gadamer yang lain yakni Kleine Schriften yang oleh David E. Linge diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Philosophical Hermeneutics. Di dalam karya-karyanya, Gadamer sering kali membahas pandangan-pandangan sebelumnya, seperti Plato, Herder, Goethe dan Hegel. Secara filosofis Gadamer menerangkan bahwa hermeneutika bukanlah sekedar metode untuk memahami makna teks tetapi juga sebuah usaha untuk membuat teks tersebut menjadi lebih bermakna. Hermeneutika hendaknya dapat membuka ruang bagi pemahaman lain bukan malah mempersempit pemaknaan sehingga menutup ruang bagi lahirnya makna lainnya, inilah yang dia maksudkan sebagai interpretasi reproduktif dan interpretasi produktif, “that is why understanding is not merely a reproductive, but always productive attitude as well.”14 Gadamer beralasan bahwa pembaca tidak akan mungkin dapat mengabaikan situasi historis yang melekat pada teks namun pendekatan secara historis tidak akan pernah berhenti pada satu titik karena teks sifatnya sangat terbuka, tidak terbatas pada masa lalu, melainkan juga memiliki keterbukaan terhadap masa kini dan mendatang, seiring perkembangan suatu generasi. Bahasa merupakan isu sentral di dalam hermeneutika, sehingga bagi Gadamer tugas utama hermeneutika adalah being yang dapat diartikan sebagai bahasa. Pemahaman yang dimaksud Gadamer dalam interlasinya dengan tema hermeneutika adalah being is language yang lebih mengarah kepada dialektika searah antara tiga dunia, yaitu the world of text, the world of author, the world of reader. Pemahaman berlangsung melalui suatu proses yang melingkar yaitu bertolak dari pra pemahaman tentang realitas yang hendak difahami. Tanpa pra pemahaman ini tidak mungkin dapat 12
Lihat The Cambridge Encyclopedia (1990: hlm. 477) Lihat Wasito Puspoprojo. (1985), hlm. 92 s.d. 94 14 Lihat Gadamer (1975) hlm. 264. 13
24
diperoleh pemahaman yang sungguh tentang teks tersebut. Proses inilah yang disebut Gadamer sebagai lingkaran hermeneutik.15 E. Sumaryono (1999) menambahkan bahwa dalam berdasarkan pandangan Gadamer terdapat empat faktor yang ada dalam sebuah interpretasi, keempat faktor tersebut yakni, bildung, sensuss communis, pertimbangan dan selera. Bildung merupakan bentuk jalan pikiran. Hal ini menggambarkan cara manusia dalam mengembangkan bakat-bakatnya. Sensus communis yaitu pertimbangan praktis yang baik. Istilah ini memiliki aspek-aspek sosial yaitu rasa komunitas. Sensus communis mengandung aspek moral, budi pekerti, kearifan dan kebijaksanaan. Pertimbanga, dalam hal ini Gadamer menganalogikannya dengan membandingkan perilaku orang bodoh dengan orang pintar. Bahwa orang bodoh kurang dalam pertimbangan, atau bisa juga memeliki keterbatasan pemikiran juga pengetahuan sehingga ia tidak dapat melakukannya dengan benar, berbeda dengan orang pandai. Teste atau selera merupakan bentuk keseimbangan antara insting panca indera dengan kebebasan intelektual. Selera dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.16 Model hermeneutik Gadamer ini adalah keterbukaan terhadap hal lain, apapun bentuknya, notasi, teks atau lukisan sekalipun karena hermeneutik bagi Gadamer adalah sebuah bentuk seni yang sesungguhnya. Bagi Gadamer, ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan interpretasi, ketiga unsur tersebut yakni understanding, interpretation, application. Pemahaman merupakan hasil dari penafsiran sedangkan penafsiran merupakan penerapan. Gadamer melogikakan ke tiga unsur ini dalam sebuah penafsiran undangundang. Bagi Gadamer suatu undang-undang baru dapat dimengerti apabila diterapkan terlebih dahulu pada kasus-kasus konkrit, tidak bisa sebaliknya, seorang hakim lebih dahulu mengerti ketetapan undang-undang lalu menerapkannya pada kasus konkrit. Dari pemikiran itu, Gadamer merumuskan konsep yang dikenal dengan istilah fusion of horizon. Gadamer menilai bahwa hermeneutika merupakan proses produksi bukan reproduksi makna teks. fusion of horizon membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang pengarang, juga latar belakang dan kondisi sosial pada saat teks tersebut muncul. Karena itu pula, konsep ini tidak sepenuhnya dapat dipergunakan
15 16
Lihat Faisal Attamimi (2012). Jurnal Studi Islamika vol. 9. No. 2. Desember. E. Sumaryono. 1999. Hlm. 71 s.d. 77
25
untuk menganalisa teks klasik Minangkabau, termasuk teks nazam. Mengingat sebagian besar karya-karya sastra kuno Minangkabau, terutama yang tertulis merupakan karya-karya sastra lisan yang di salin atau dituliskan oleh seseorang, bukan karya hasil karangan seseorang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka ada tiga langkah yang harus dilakukan dalam penafsiran berdasarkan paradigma Gadamer. Langkah pertama yakni pendalaman historis; pada bagian ini akan dilakukan pembahasan mengenai perkembangan perkembangan dan eksistensi Islam di Minangkabau. Kedua yakni pendalaman filosofis; langkah ini berkaitan pada pemahaman tentang gagasan humanisme (tentang kemandirian dan kemuliaan manusia) dan teosentrisme. teosentrisme menekankan pada nilai-nilai yang mengatur ruang dan gerak setiap insan manusia, yang berfungsi sebagai instrumen juga alat untuk menjaga agar hubungan antara manusia dengan manusia, ataupun juga manusia dengan sang pencipta dapat harmonis. Sedangkan langkah ketiga adalah pendalaman sosial-budaya; yang akan menafsirkan dan menselaraskan gagasan humanisme dan teosentrisme ke dalam satu pandangan ideal yang tumbuh di dalam pandangan hidup masyarakat budaya di Indonesia. Salah satu kebudayaan yang mencerminkan hal tersebut adalah Minangkabau, yang mana secara filosofis, di dalam pandangan budaya Minangkabau terkandung berbagai gagasan tentang humanisme yang juga pengaruhi oleh gagasan teosentrisme dalam hal ini adalah Islam sebagai sebuah bentuk ajaran religius. Di samping itu, ketiga nazam yang menjadi bahan material penelitian ini merupakan nazam-nazam yang beredar luas dan sangat laris di kalangan masyarakat di Sumatera Barat (Minangkabau). 1.6.2. Konsep Dasar Gagasan Humanisme Teosentris Dalam ajaran agama Islam, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di dunia. Namun demikian, konsep khalifah ini tidak memutuskan ikatan manusia dengan sang pencipta. Oleh karena itupula, di dalam gagasan humanisme teosentris, nilai-nilai ketakwaan menjadi dasar pengajaran. Hal ini ditujukan untuk membentuk watak dan kepribadian insan muslimin agar kembali kepada fitrahnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, caranya adalah dengan mengajarkan dan menanamkan nilainilai ketaqwaan dan keimanan kepada segenap kaum muslimin. Achamdi (2013) menjelaskan bahwa masyarakat religius terutama muslim mengakui adanya nilai-nilai 26
kebenaran mutlak dan transendental, yakni nilai universal yang berasal dari Tuhan (wahyu). Dalam Islam semua nilai-nilai yang diajarkan bersumber dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Karena Islam agama fitrah, maka nilai-nilai tersebut diyakini sesuai dengan kebutuhan manusia untuk memelihara harkat dan martabat manusia yang fitrahnya adalah sebagai makhluk yang paling mulia. Nilai-nilai tersebut selanjutnya disebut akhlaq al-Islami yang dikelompokkan menjadi: (1) Akhlak kepada Allah; (2) Akhlak kepada diri sendiri; (3) Akhlak kepada sesama manusia; 1.6.2.1.
Akhlak Terhadap Allah: Nilai-Nilai Tauhid Dalam Islam
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab yakni “khulq” yang berarti tabiat, watak, moral dan budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI. 1988: 17), akhlak dapat diartikan budi pekerti, kelakuan. WJS. Poerwadarminta (1995: 25) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia akhlak adalah budi pekerti, watak dan tabi’at. Berangkat dari pengertian ini maka akhlak dapat dipahami sebagai perangai, sifat atau perilaku yang dimiliki oleh manusia yang dapat melahirkan perbuatanperbuatan tertentu secara spontan dan konstan. Dalam satu hadits, Rasulullah Muhammad SAW bersabda bahwa “sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia” (H.R. Ahmad)17 dari hadits ini maka, jelaslah bahwa Islam diturunkan sebagai usaha terakhir untuk mengatasi degradasi akhlak manusia yang terjadi akibat kebutaan manusia akan ilmu dan ajaran-ajaran agama di masa itu. Itulah kenapa sebagian besar ajaran di dalam Al-Qur’an mengandung ajaran tentang pembenahan akhlak manusia. Segala sesuatu kewajiban ibadah selalu dikaitkan dengan akhlak, seperti ibadah sholat mengandung ajaran bahwa manusia harus senantiasa tunduk kepada perintah dan ke-Esaan Allah S.W.T., puasa mengandung ajaran untuk selalu bersikap sabar dan ridho, zakat mengajarkan manusia untuk bersikap dermawan dan mengasihi sesama manusia dan lain sebagainya. Sebagai mahluk yang mendapatkan karunia berupa akal dan fikiran, maka sudah seharusnya manusia menunjukkan rasa syukurnya kepada zat pemberi dan pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama Islam, mewajibkan kepada setiap insan manusia (muslimin) untuk tunduk dan patuh terhadap semua perintah dan larangan Tuhan Yang Maha Esa. Wujud dari nilai-nilai kepatuhan itu adalah yakin dan
17
Lihat Abdul Ghony Syukur. Kumpulan hadits-hadits Pilihan Bukhori Muslim. Bandung: Husaini.
27
percaya akan kekuasaan Allah SWT, beribadah sesuai dengan perintah dan petunjuk Allah SWT, serta menjauhi segala larangan-Nya. Salah satu pantangan bagi Islam yang harus dijauhi oleh insan muslim adalah menyekutukan Allah, SWT, karena perbuatan syirik tidak hanya membuktikan bahwa manusia telah menyangsikan kekuasaan dan ke-Esaan Allah, namun juga perbuatan itu berarti manusia telah menghianati Tuhan Sang Pencipta. Agar manusia dapat menjalankan semua kewajibannya maka dibutuhkan pengetahuan, oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan mengenai tauhid dan syirik yang dianggap sebagai dasar pengetahuan di dalam gagasan humanisme teosentris. Dalam bahasa, Terminologi tauhid dengan aqidah pada prinsipnya memiliki kesamaan dalam makna, kedua kosa kata itu sama-sama merujuk kepada makna keyakinan terhadap Keesaan Tuhan. Sederhananya tauhid dipahami sebagai suatu keyakinan manusia terhadap ke-Esaan Allah sedangkan aqidah adalah iman. Aqidah berasal dari kata al-'aqdu yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang berarti mengikat dengan kuat. Aqidah berdasarkan terminologinya berarti iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya (Amin Ra’is. 2004). Dari pengertian ini, maka aqidah dapat dimaknai sebagai bentuk keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitabkitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih. Sederhananya aqidah dipahami sebagai enam rukun iman yang terdapat di dalam Islam, yakni Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman Kepada Nabi dan Rasul Allah, Iman kepada Kitab-kitab Allah, Iman kepada hari akhir dan terakhir Iman kepada qadar baik dan qadar buruk. Dalam bahasa sederhana, tauhid berarti keyakinan atau meyakinkan dengan menunggalkan Allah sebagai Rabb (Pencipta dan Pengatur), Malik (Penguasa) dan 28
mengakui ke-Esa-an-Nya. Formulasi paling pendek dari tauhid itu ialah kalimat la ilaha illa Allah, yang berarti tiada Tuhan selain Allah. Kalimat ini disebut juga dikenal sebagai kalimat thayyibah yang bermakna membebaskan manusia dari keharusan menyembah manusia lain atau zat lain selain Allah SWT. Dengan kata lain, tauhid telah memberikan kebebasan kepada manusia dari keterikatannya terhadap manusia lain dan sadar bahwa kedudukan antar manusia di dunia adalah sama. Tauhid dapat diartikan juga sebagai komitmen manusia kepada Allah sebagai bentuk rasa syukur, takluk dan hormat manusia atas semua yang telah dikaruniakan kepadanya. Semua kehendak Allah menjadi tujuan dasar dari pencapaian manusia-tauhid, manusia tidak akan mau menerima petunjuk dan arahan kecuali petunjuk dan arahan dari Allah. Keyakinan manusia-tauhid kepada Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan (kepada Tuhan), serta kemauan keras untuk menjalankan kehendak-kehendak-Nya oleh karena itu, bagi manusia-tauhid hubungan manusia dengan Allah tak setara dibandingkan hubungannya dengan sesama makhluk. Salah satu komitmen dari manusia tauhid adalah menjaga hubungan baik yang sesuai dengan norma-norma agama, yakni norma-norma yang dikehendaki Allah SWT. Dari kehendak Allah ini, bagi manuasia-tauhid, akan melahirkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera, dapat memaklumi segala perbedaan yang muncul dari diri manusia serta tidak memaksakan kehendak individu atau kelompok. Inilah visi manusia-tauhid atau manusia-Muslim. Dari visi inilah, seorang insani yang di dalam dirinya tertanam nilai-nilai tauhid akan melahirkan serangkaian tindakan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Misi untuk mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan memberantas kerusakan di muka bumi (fasad fil ardh), bukanlah sekadar suatu derivative, melainkan merupakan bagian integral dari janji manusia-tauhid kepada Allah. Dengan menegakkan kebenaran dan keadilan (amar ma'ruf) dan memberantas kejahatan (nahi munkar) sebagai dua ciri utamanya, umat-tauhid menujukan sasaran dari gerakannya bukan pada bangsa atau kelompok masyarakat tertentu, melainkan pada seluruh manusia, disebutkan di dalam Al-Qur’an “Engkau sekalian adalah umat terbaik yang telah dilahirkan untuk seluruh manusia; engkau melakukan amar ma'ruf nahi munkar, dan engkau beriman kepada Allah." (Q.S. Ali Imran [3]: 110).
29
Nilai-nilai tauhid yang tertanam dalam diri setiap insan muslim itu pada akan membentuk tiga karaktek muslim sejati, yakni pertama aqidah yang kuat, kedua akhlak yang mulia dan ketiga adalah amaliah yang bermanfaat, yakni segala perilaku yang ada di dalam dirinya ditujukan hanya untuk kepentingan umat. Nilai-nilai tauhid ini pula akan membentuk sikap mental seorang muslim seperti halnya sikap yang dimiliki oleh orang beriman, seperti misalnya sikap syukur dan sabar. Menurut terminologinya, syukur merupakan suatu pengakuan tulus umat manusia atas nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan oleh sang pencipta, pengakuan itu dapat berbentuk ucapan (selalu mengucapkan alhamdulillah seusai mendapatkan limpahan rezeki atau kenikmatan), dapat juga berbentuk sikap (tawadhu’ dan tawakal), serta perbuatan (menjalankan semua kewajiban yang diperintahkan Allah kepada manusia). Sedangkan pengertian sabar adalah tabah dan tawakal dalam menghadapi segala lika-liku yang dihadapi di dalam kehidupan. Sebagai umat muslim yang beriman, seorang insan manusia meyakini bahwa kehidupan manusia di dunia pada hakekatnya adalah sementara, kehidupan duniawi merupakan ujian bagi seorang manusia dalam mencapai kebahagiaan di akhirat. Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia pasti akan mengalami berbagai persoalan dan musibah yang datang silih berganti, oleh karena itu agama mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya menghadapi semua masalah yang muncul di dalam kehidupannya, salah satu cara terbaik adalah bersikap sabar dan ridho untuk menghindar dari hal-hal yang lebih buruk dan lebih tercela yang malah dapat menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan. Dalam Al-Baqarah[2]: 155-157 Allah berfirman bahwa sesungguhnya setiap cobaan yang diberikan-Nya pada manusia hendaklah dihadapi dengan kesabaran, karena dibalik kesabaran ada keberkatan yang dijanjikan Allah SWT karena sesungguhnya Allah sangat menyayangi umatnya yang sabar. Sikap sabar dan segala kebaikan di dalamnya dicontohkan di dalam surat Yusuf[12]: 87 sekaligus membuktikan bahwa Allah tidak akan meninggalkan umatnya yang sabar. 1.6.2.2.
Akhlak Kepada Diri Sendiri
Islam berpandangan bahwa akhlak kepada diri sendiri merupakan suatu cara untuk menumbuhkan sikap percaya diri seorang insan manusia. Hal ini penting, mengingat rasa percaya diri yang tinggi akan membebaskan manusia dari berbagai ikatan, baik fisik maupun batin yang dapat merusak nilai keimanan seorang insan 30
manusia. Tidak mudah bagi seorang insan manusia menumbuhkan rasa percaya dirinya, rasa itu akan tumbuh seiring tingginya penguasaan terhadap pengetahuan oleh setiap insan manusia tersebut. Itulah kenapa kepercayaan diri ini tidak bisa lepas dari faktor ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan adalah dari ilmu, maka Islam menganjurkan kepada setiap insan muslim untuk selalu memperkaya pengetahuannya dengan terus mempelajari ilmu-ilmu yang tersedia di dunia, demikian ini adalah termasuk ciri-ciri manusia yang alim, yakni manusia yang pandai, manusia yang berilmu pengetahuan dan manusia yang sholeh. Dengan memupuk rasa percaya diri, manusia akan terhindar manusia dari perasaan terjajah, intimidasi yang akan menjuruskannya ke dalam rasa tidak percaya diri bahkan akhirnya mencari kebenaran atau kekuatan kepada hal-hal lain selain Allah S.W.T., seperti syirik. Oleh karena itulah dalam Islam, sikap percaya diri termasuk suatu sikap yang positif yang harus ditanamkan dalam diri manusia. Manusia yang dibekali akal diharapkan mampu memahami setiap ilmu pengtehauan yang diberikan sehingga ia memiliki keterampilan yang bermanfaat, tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Dari rasa percaya diri ini pula lahir sikap gigih dalam berusaha, sehingga manusia mampu secara mandiri mensejahterakan dirinya dan dapat menjalankan ibadah dengan nyaman. 1.6.2.3. Akhlak
Akhlak Terhadap Sesama Manusia kepada sesama manusia berarti selalu berfikiran positif dan
berprasangkan baik terhadap orang lain. Berprasangka baik terhadap sesama manusia dapat menjaga jalinan hubungan antar sosial menjadi harmonis dan toleran juga menciptakan sikap tenggang rasa, menjaga tutur kata agar tidak menyakiti perasaan orang lain, serta berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain. Dari wujudnya, akhlak ini dapat diwujudkan dalam dua kelompok sosial, yakni pertama kelompok sosial yang lebih kecil, yakni keluarga, dan kelompok sosial yang lebih besar yakni lingkungan masyarakat. Akhlak di dalam lingkup keluarga akan menciptakan suatu tata hubungan yang menumbuhkan rasa kasih sayang antara suami dengan istri dan juga antara anak dengan orang tua, sehingga masing-masing dari elemen yang ada di dalam keluarga dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan semestinya. Rasa kasih sayang yang dipupuk dari sikap saling percaya akan menghindari manusia dari sifat curiga dan 31
emosi yang berlebihan yang dapat merusak iman dan psikologi manusia, serta keretakan dan perpecahan di dalam rumah tangga. Di dalam lingkungan masyarakat, seperti antara sesama saudara, antara tetangga maupun antara sesama umat muslim lainnya. Dari sikap ini, akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang harmonis dan saling menghargai di dalam lingkungan sosial. Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh H.R. Muslim disebutkan, “Barangsiapa yang beriman
kepada
Allah
dan
hari
akhir,
maka
hendaknya menghormati tetangganya.”18 Melalui hadist ini, jelaslah jika sikap saling menghormati, saling menghargai merupakan cerminan dari sikap orang-orang yang beriman. Selain itu, akhlak ini pula akan melahirkan sikap ta’awum dalam diri manusia. Secara etimologi, ta’awum berasal dari kata ta’awam yang berati tolong menolong, gotong royong, saling membantu antar sesama manusia. Sebagai mana yang diajarkan di dalam Al-Qur’an ”... dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...” (Q.S. Al Maa’idah[5]:2). Ada dua hal yang dianjurkan pada ayat di atas, pertama adalah anjuran untuk saling tolong menolong dan kedua adalah anjuran untuk tidak memberikan bantuan atas perbuatan yang mengandung dosa dan permusuhan. Manusia pada hakekatnya bukanlah mahluk individual, melainkan mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, seperti yang telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan bersuku, oleh karena itu, dalam Islam juga ditanamkan sikap perilaku tolong menolong untuk menumbuhkan rasa peduli, empati manusia sebagai usaha menyikapi dan meringankan beban serta persoalan-persoalan kehidupan yang menimpa saudara atau sesama manusia lainnya. Dari perilaku ini pula akan melahirkan sifat kedermawanan serta ikhlas dalam diri manusia serta menjauhkan manusia dari sifat sombong, angkuh, kikir dan antipati terhadap manusia lainnya. 1.6. Metode Penelitian Secara umum, Metode kualitatif merupakan metode yang menekankan suatu masalah secara mendalam. Dalam memahami suatu objek, kualitatif menggunakan sistem analisa yang disebut in-depth analysis, yaitu sistem yang mengkaji masalah
18
Lihat Abdul Ghony Syukur. Kumpulan hadits-hadits Pilihan Bukhori Muslim. Bandung: Husaini.
32
secara kasus-perkasus. Metode kualitatif juga lazim disebut dengan naturalistic inquiry (inkuiri alamiah) karena metode ini bertujuan untuk memahami karakter, sifat dan dinamika sosial yang berkembang pada suatu masa, melihat dunia dari apa adanya, bukan dunia yang seharusnya. Hal ini senada dengan pandangan Creswell (dalam Herdiansyah, 2010: 8) yang memahami bahwa “Qualitaive research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analizes words, report detailed views of information, and conducts the study in a natural setting”. Masih dalam Herdansyah (2010:9), Meleong mendefinisikan kualitatif sebagai sebuah metode yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti. Sugiyono (2011:15) menjelaskan bahwa metode penelitian kulitatif digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya eksperimen) yang dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Penelitian kualitaif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,
menemukan,
menggambarkan,
dan
menjelaskan
kualitas
atau
keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitaif (Saryono, 2010: 1). Apapun macam, cara atau corak analisis data kualitatif suatu penelitian, hal yang paling pertama dilakukan adalah membaca fenomena. Setiap data kualitatif mempunyai ciri dan karakteristik sendiri-sendiri. Data kualitatif berada secara tersirat di dalam sumber datanya. Sumber data kualitatif adalah catatan hasil observasi, transkrip interviu mendalam (depth interview), dan dokumen-dokumen terkait berupa tulisan ataupun gambar. Atas dasar pemikiran di atas, maka pada penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif sebagai sistem operasional untuk menjawab semua persoalan yang muncul dalam penelitian. Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan di penelitian ini, yakni Pertama, menentukan objek kajian yang dapat merepresentasikan adat Minangkabau dan Islam, yaitu empat nazam cetakan yang bernuansa Islami tetapi memiliki karakteristik keminangkabauan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keempat nazam cetakan tersebut merupakan objek kajian yang sempurna untuk 33
mengungkap fenomena masyarakat Islami di Minangkabau, terutama gagasan humanisme teosentris yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Kedua adalah transliterasi naskah. Langkah ini sangat penting mengingat ketiga nazam yang dipergunakan sebagai objek material penelitan merupakan nazam-nazam yang dicetak dengan huruf Arab Melayu, sehingga menghadirkan suatu bacaan yang bersih dan dapat dibaca oleh khalayak ramai merupakan tujuan penting dalam penelitian. Transilerasi adalah penggantian tulisan dari tulisan naskah ke tulisan yang berlaku saat ini. Untuk kepentingan penelitian ini, usaha pentransliterasian dilakukan terhadap teksteks yang masih ditulis dengan aksara Jawi/Arab Melayu ke tulisan latin. Sedangkan untuk ejaannya dipergunakan ejaan standar sesuai dengan ejaan yang berlaku saat ini (EYD). Standarisasi ejaan pada teknik transliterasi ini adalah sesuai dengan tujuan penelitian yaitu agar teks dapat dipahami oleh masyarakat yang lebih luas. Penafsiran suatu teks dalam usaha mentranliterasi sangat diperlukan, karena hal ini juga akan sangat membantu bagi kalangan yang lebih luas dapat lebih mengerti dan memahami isi teks tersebut (Baried, 185:63). Unsur interpretasi tersebut misalnya menguraikan dua huruf yang sulit dimengerti, maka diusahakan untuk membuat keputusan. Selain itu, juga dipergunakan huruf kapital untuk nama orang atau tempat juga merupakan unsur interpretasi. Dalam melakukan transliterasi, perlu diikuti pedoman yang berhubungan dengan pemisahan kata, ejaan dan pungtuasi. Kecenderungan teks-teks lama ditulis tanpa memperhatikan unsur-unsur tata tulis yang merupakan kelengkapan wajib untuk memahami teks. Penulisan kata-kata yang tidak mengindahkan pemisahan serta penempatan tanda baca yang tidak tepat dapat menimbulkan arti yang berbeda. Lubis (2001:8) menyebutkan bahwa setiap usaha transliterasi hendaknya seorang editor berpedoman kepada pedoman umum yang ada, agar tidak terjebak pada gramatika yang berbeda. Oleh karena itu, dalam usaha transliterasi ini, peneliti berpedoman kepada pedoman umum ketatabahasaan Keputusan Mendikbud RI No. 0543a Th. 1987 Tentang Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan Keputusan Menteri Agama dan Menteri P&K RI. No. 158/1987 dan No. 543b/U/1987. Ketiga yakni melakukan studi literatur. Pada tahap ini, studi literatur berfungsi sebagai cara untuk memahami secara seksama fenomena-fenomena sosial yang berkembang di masyarakat Minangkabau. Studi ini dilakukan terhadap berbagai bahan 34
kajian, seperti dokumen dan laporan penelitian serta artikel-artikel lainnya yang mengandung informasi mengenai perkembangan agama Islam di Sumatera Barat, serta fenomena sosial yang ada di masyarakat Minangkabau. Selain itu, studi ini juga akan menelusuri informasi tentang konsep dan pandangan filosofis orang Minangkabau tentang eksistensi manusia, termasuk di dalamnya tentang pola hubungan manusia. Hal ini bertujuan agar peneliti lebih dapat memahami konsep, pandangan hidup serta kedinamikaan sosial yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyakrat Minangkabau. Langkah keempat dari metode ini adalah dilakukannya analisis data. Pada langkah ini, data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan teknik hermeneutika. Sumaryano (1999: 30) menjelaskan bahwa pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek dan subjek lah yang memberikan makna pada objek tersebut, sebuah bintang dilangit hanyalah sebuah objek yang tak bermakna tetapi akhirnya memberikan makna setelah subjek memaknainya. Memaknai objek adalah tugas utama seorang interpretatik yakni menjelaskan suatu fenomena dengan sejernihnya. Kegiatan interpretasi adalah kegiatan yang bersifat triadik, yakni tiga sisi yang saling berhubungan. Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dengan pikiran penafsiran sendiri. Ada dua hal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dalam menginterpretasikan makna suatu teks, pertama peneliti harus memahami pesan teks atau kecondongan sebuah teks, sedangkan kedua lalu ia harus dapat meresapi isi teks sehingga teks yang awalnya merupakan “yang lain” kini menjadi “aku” yakni penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat dipahami bahwa mengerti dengan sungguh-sungguh akan berhasil apabila dibekali dengan pengetahuan yang benar. Begitu juga dalam memahami teks-teks Islami keempat nazam yang menjadi objek penelitian ini. Langkah awal yang dilakukan adalah membaca masing-masing teks nazam cetakan tersebut secara mendalam dan berulang-ulang agar pesan yang terkandung di dalam teks dapat dipahami dengan jelas. Selanjutnya adalah mengklasifikasikan teks-teks tersebut berdasarkan tema yang diusung di masing-masingnya, seperti misalnya tema kemanusiaan, kasih sayang, ketuhanan, kepemimpinan, serta manusia berdasarkan kodrat ilahiahnya. Langkah terakhir adalah menganalisa teks dengan berusaha memaknai teks berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika.
1.7.
Sistematika Penelitian Penelitian ini disusun dalam sebuah bentuk laporan yang komprehensif yang terdiri dari
beberapa bab, antara lain;
35
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah dan tujuan penelitan serta teori dan model pendekatan yang akan dilakukan. Bab kedua adalah bab Adat dan Islam: Studi Sosial-Budaya Minangkabau. Di dalam bab ini dibahas masalah sosial budaya Minangkabau. Pembicaraan dimulai dari sejarah awal terbentuknya adat Minangkabau, baik itu yang bersumber dari mitos-mitos yang berkembang di Minangkabau, maupun juga sumber lainnya. Selanjutnya di bab ini juga membahas akulturasi budaya dan Islam di Minangkabau, yang merupakan suatu kejadian luar biasa, karena semenjak Islam masuk dan berkembang di Minangkabau, terjadi perubahan besar dalam segala aspek kebudayaan, seperti pandangan hidup masyakrat, tatanan adat termasuk juga di kesenian, kesusastraan dllsbg. Oleh karena itu uraian tentang fenomena ini akan sangat berguna bagi dalam melakukan kajian selanjutnya. Bab Ketiga adalah bab Tinjauan Teks dan Transliterasi. Dalam bab ini akan mengupas fenomena kebahasaan, seperti bahasa dan ejaan yang dipergunakan dalam nazam-nazam Minangkabau. Selain itu, di bab ini juga akan menyajikan sebuah hasil transliterasi keempat teks mitos yang menjadi objek penelitian. Hasil transliterasi tersebut telah bersih dari kesalahan-kesalahan dan telah dilengkapi dengan ejaan yang berlaku saat ini. Bab Keempat adalah bab Humanisme Teosentris Dalam Nazam-Nazam Minangkabau. Bab ini berisi hasil analisa terhadap keempat jenis nazam cetakan yang menjadi objek material di penelitian ini. Hasil analisa tersebut dapat menjelaskan bagaimana aspek humanisme teosentris yang terkandung di dalam nazam-nazam itu. Aspek-aspek humanisme teosentris tersebut meliputi, hakekat manusia berdasarkan perspektif Islam dan termasuk juga pandangan masyarakat Minangkabau dalam memamahi kebegaraman umat manusia. Bab kelima adalah bab penutup yang di dalamnya terdapat dua subbab yakni simpulan dan saran. Subbab Simpulan bertujuan merumuskan hal-hal penting yang terdapat dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya. Sedangkan subbab saran bertujuan untuk menyaring ide, pemikiran dan pendapat dari pembaca untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada di penelitian ini. ***
36