BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pada umumnya kota berperan sebagai pusat pelayanan dan kegiatan manusia yang sangat dinamis sehingga perkembangan kota yang meliputi aspek fisik dan sosial kependudukan akan selalu menunjukkan peningkatan dan membentuk dinamika kota yang kompleks. Perkembangan kota – kota di Indonesia pada umumnya ditunjang oleh pergerakan penduduk secara terus – menerus baik pada jarak pendek maupun jarak jauh. Perilaku pergerakan penduduk berhubungan secara signifikan dengan lokasi pekerjaan yang dimiliki. Fenomena tersebut disebabkan tempat kerja mereka terpisah dari tempat tinggal sehingga kebijakan perkotaan dapat diarahkan untuk merelokasi tempat kerja atau sebaliknya (Sohn, 2005 dalam Rachmawati, 2014). Namun, karena relokasi tempat pekerjaan tidak mudah dilakukan dikarenakan bersifat komunal dan meliputi berbagai bidang serta biasanya menempati tempat strategis di perkotaan, hal tersebut menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk dan permukiman yang ada pada lokasi – lokasi strategis tersebut. Perkembangan jumlah penduduk yang menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk akan sebanding dengan meningkatnya jumlah permukiman perkotaan setiap tahun. Hal tersebut akan mengakibatkan konversi lahan menjadi lahan bermukim hingga pada meningkatnya harga lahan pada kawasan–kawasan strategis perkotaan. Kebutuhan lahan bermukim yang meningkat, namun ketersediaan lahan yang semakin berkurang menimbulkan perkembangan– perkembangan kawasan permukiman baru pada seluruh aspek ruang dalam kota
utamanya pada lokasi – lokasi yang dimanfaatkan sebagai jalan masuk para pendatang. Kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia mempunyai peningkatan jumlah penduduk dari tahun 2000 hingga 2010, sebanyak 0,6 % dari 2.588.816 menjadi 2.765.908 dengan kepadatan penduduk rata-rata adalah 8.463 jiwa per km2 (BPS dan Dispendukcapil Kota Surabaya, 2011). Kepadatan penduduk yang cukup tinggi, belum tentu tersebar merata pada seluruh sisi kota dikarenakan dukungan dan akses terhadap fasilitas pelayanan dan lokasi pekerjaan akan berbeda – beda. Keadaan yang demikian akan menimbulkan kosentrasi permukiman padat di beberapa kawasan tertentu. Berdasarkan data dasar RP4D Kota Surabaya tahun 2008 – 2014, sebaran lokasi permukiman kumuh tersebar merata di Kota Surabaya. Permukiman kumuh di Kota Surabaya ditinjau berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi permukiman kumuh di sekitar pantai dan tambak, di pinggiran sungai dan drainase kota, pinggiran rel kererta api, dan tengah kampung. Berdasarkan tingkat kekumuhannya permukiman kumuh dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu kumuh berat, sedang dan ringan. Lokasi permukiman yang padat perlu diidentifikasi agar mendapat perhatian khusus dari pemerintah kota sehingga dapat mengembalikan nilai estetika kota, fungsi lahan, dan ekosistem yang ada. Surabaya Selatan menjadi pintu masuk utama warga pendatang dari arah Mojokerto, Sidoarjo, Malang, dan kota – kota di sekitarnya. Hal tersebut akan mendorong perkembangan kawasan kumuh di wilayah ini juga akan lebih intensif jika dibandingkan dengan wilayah lain. Kecamatan Wonokromo merupakan salah satu kecamatan di Surabaya Selatan yang berada di pusat bangkitan utama di selatan yaitu Stasiun Wonokromo, Terminal Bus dan Angkutan Joyoboyo, jalan arteri Ahmad Yani, koridor CBD Ahmad Yani, dan perdagangan dan jasa (Perda No. 12/2014 tentang RTRW Kota Surabaya 2014 – 2034). Keberadaan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo pada tahun 2008 terdapat pada Kelurahan Ngagel Rejo, dan Kelurahan Jagir dengan luas sebesar 8% dari wilayah kecamatan Wonokromo (±0,5 km2) (Data Permukiman BLH Kota Surabaya, 2008). Identifikasi kawasan kumuh jika dilakukan secara terestrial secara keseluruhan pada tiap parameternya akan membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya
yang cukup besar. Kehadiran teknologi pemrosesan citra yang diintegrasikan dengan penginderaan jauh mampu meningkatkan potensi pemanfaatan citra satelit tak lagi hanya berdasarkan aspek spektralnya, melainkan telah mengalami perkembangan dari perpiksel menjadi perobjek sehingga dapat memudahkan analisis kajian perkotaan (Danoedoro, 2012). Sistem satelit dengan berbagai macam sensor dan resolusi telah memberikan banyak alternatif dalam mengkaji lingkungan permukiman. Kehadiran satelit Worldview-3 yang diluncurkan pada Agustus 2014 dengan resolusi spasial yang sangat baik yaitu 0,31 meter (31 cm) dapat digunakan dalam identifikasi permukiman kumuh, dengan ketelitian yang saat ini terkategorikan sebagai ketelitian tertinggi di dunia, harapannya dapat membantu dalam deteksi permukiman kumuh dengan lebih baik dibanding dengan menggunakan citra dengan resolusi spasial dibawahnya. Penelitian permukiman kumuh menggunakan citra satelit dengan resolusi tinggi dalam perkembangannya telah banyak dilakukan dalam dekade terakhir (Patino dan Duque, 2013). Penggunaan citra resolusi tinggi yang paling sering digunakan dalam banyak penelitian permukiman kumuh yakni IKONOS, dan Quickbird. Resolusi satelit Quickbird (0,46m) yang mendekati resolusi Worldview-3 lebih banyak digunakan dalam penelitian permukiman kumuh terbaru, misalnya dalam penelitian Weeks (2007), Niebergall (2008), Kit (2012 dan 2013), dan Kohli (2012). Hal tersebut dikarenakan semakin detail kenampakan pada suatu citra akan semakin mampu membedakan kawasan kumuh dengan permukiman disekitarnya. Aspek spasial yang baik juga akan membantu dalam identifikasi parameter – parameter identifikasi permukiman kumuh dalam kaitannya mengenai aspek fisik permukiman. Pemilihan penggunaan citra Worldview-3 dalam penelitian yang akan dilakukan dikategorikan tergolong satelit baru yang belum secara optimal digunakan dalam identifikasi kawasan permukiman kumuh khususnya di Indonesia. Digunakannya citra Worldview-3 dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat akurasi yang dihasilkan dalam identifikasi kawasan permukiman kumuh yang ada pada lokasi kajian.
Penentuan permukiman kumuh dengan menggunakan penginderaan jauh akan membutuhkan metode tertentu. Metode identifikasi permukiman kumuh tersedia beragam jenisnya. Mulai dari metode per-piksel hingga per-objek, metode analisis statistik hingga metode deteksi yang universal. Pemilihan metode deteksi permukiman kumuh khususnya di Kota Surabaya harus dapat mengidentifikasi dan membedakan permukiman kumuh terhadap permukiman sekitarnya dengan baik, sehingga penerapan analisis prioritas dan jenis tindak penanganan kawasan kumuh dengan metode identifikasi Dinas PU (Pekerjaan Umum) tahun 2014 dapat dengan efisien dilakukan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode deteksi permukiman kumuh PU dan metode deteksi dengan algoritma lacunarity. Metode deteksi permukiman kumuh dengan metode PU digunakan sebagai acuan penentuan lokasi kumuh sebab metode tersebut merupakan standar penentuan kekumuhan permukiman di Indonesia. Algoritma lacunarity dapat digunakan sebagai pengganti survei lapangan dalam melakukan deteksi dan klasifikasi suatu kawasan permukiman kumuh dan nonkumuh. Algoritma ini memiliki kemampuan deteksi permukiman kumuh secara efisien dengan meminimalisir adanya survei lapangan intensif (Kit et. al., 2012). Algortima lacunarity dapat mengamati dan mengetahui lokasi hingga perkembangan kekumuhan dalam analisis multitemporal. Metode ini juga mampu menciptakan dataset yang berhubungan dalam menggambarkan dominasi permukiman kumuh dengan mengesampingkan faktor teknis/internal (misalnya musim, SDM, dan permasalahan politik/birokrasi penanganan). Keuntungan lain digunakannya pendekatan ini yaitu dapat dimanfaatkan pada sumberdaya yang terbatas, tidak adanya persyaratan khusus mengenai software dan hardware menyebabkan teknik ini layak dan sesuai digunakan untuk negara berkembang (Kit. et. al., 2012). Kemampuan deteksi pembeda kumuh dan nonkumuh dan tingkat kerumitan dalam aplikasi algoritma tersebut telah dibuktikan dalam beberapa penelitian dengan hasil akurasi melalui cek lapangan yang baik (>80%) layak untuk diuji penggunaannya pada sistem permukiman perkotaan di Surabaya. Penggunaan algoritma lacunarity membutuhkan data/citra biner yang dapat dihasilkan dari metode binarisasi citra yang ada. Metode binarisasi citra
menggunakan algoritma line detection. Menurut Martinez dan Cupitt (2005), line detection telah menguraikan/memisahkan objek individual (dalam hal ini yaitu ukuran rumah) sehingga lebih cocok untuk digunakan dalam algoritma lacunarity. Pernyataan tersebut dibuktikan dalam penelitian Kit (2012) dengan menggunakan perbandingan dua metode biner (PCA dan line detection) menghasilkan line detection memberikan hasil yang lebih konsisten dan sangat baik pada ukuran floating window dan threshold binarisasi yang diberikan. Oleh karena itu, diharapkan penggunaan algoritma lacunarity yang didukung penggunaan metode binarisasi dengan line detection yang saling berkorelasi dapat menghasilkan hasil pembeda kekumuhan permukiman di Kecamatan Wonokromo secara efektif. Sejauh ini penggunaan citra resolusi tinggi utamanya di Indonesia masih dalam batasan membantu interpretasi secara visual kenampakan permukiman yang dianggap kumuh, metode interpretasi secara digital menggunakan algoritma lacunarity yang akan dilakukan diharapkan mampu meminimalisir kerja lapangan dalam deteksi kekumuhan. Identifikasi pembeda kumuh dan nonkumuh dapat digunakan sebagai acuan dalam mengetahui luasan dan sebaran permukiman kumuh, salah satunya di Kecamatan Wonokromo sehingga keinginan pencapaian Pemerintah Kota Surabaya untuk menciptakan Surabaya bebas kawasan kumuh pada tahun 2019 dapat terpenuhi dalam hal data lokasi kekumuhan. Penanganan kawasan kumuh dalam perkembangannya masih dalam kondisi yang belum tepat sasaran, yang dimungkinkan belum terdapatnya metode acuan yang tepat dalam merumuskan kebijakan penanganan. Penentuan prioritas penanganan kawasan kumuh yang dikeluarkan oleh PU pada tahun 2014 dapat menjadi referensi yang sangat relevan dalam menentukan prioritas, penggolongan, hingga pada tindakan yang sesuai dalam menangani permasalahan kawasan kumuh perkotaan.
1.2. Perumusan Masalah Perkembangan kepadatan hunian pada suatu kota banyak disebabkan dengan meningkatnya aktifitas pergerakan penduduk dari luar ke dalam kota untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya di suatu kota. Salah satu kota yang memiliki pergerakan penduduk yang besar yaitu Kota Surabaya. Kota Surabaya
sebagai kota terbesar kedua di Indonesia sekaligus sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur memiliki ketersediaan aksesbilitas dan fasilitas yang sangat memadai yang menyebabkan pergerakan penduduk sangat besar. Kebutuhan akan ruang hunian pada lokasi – lokasi Central Business District dan kawasan sekitarnya akan semakin padat dari tahun ke tahun, sedangkan ruang yang tersedia semakin berkurang. Harga lahan dalam kawasan kota akan semakin meningkat setiap tahunnya dimana pada kawasan – kawasan akses utama dan pusat perkantoran akan memiliki harga yang lebih tinggi dibanding kawasan hunian yang jauh dari kawasan tersebut. Permintaan hunian baru yang semakin tinggi akibat adanya migrasi dan pertumbuhan penduduk yang bertambah setiap tahun akan menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah dan pendatang tidak mampu membeli hunian pada kawasan yang dekat dengan lokasi bekerja. Hal tersebut dapat berpotensi memunculkan hunian ilegal di kawasan – kawasan tertentu. Berdasar data Bappeko dan Dinas Sosial Kota Surabaya, pada tahun 2002 Kecamatan Wonokromo tidak memiliki titik permukiman kumuh atau dalam hal ini dinyatakan bebas kawasan kumuh. Namun, dalam perkembangannya pada tahun 2008 pada kecamatan tersebut telah tumbuh hunian ilegal berupa slum pada kawasan sepanjang sungai dan kompleks perkeretaapian. Dari data yang ada menunjukkan bahwa permukiman kumuh terus berkembang setiap tahunnya dan akan semakin meluas jika tidak ditentukan penanganan dan prioritas kawasan yang sesuai. Permukiman kumuh menjadi salah satu permasalahan kota bahwa keberadaannya berpotensi mengganggu fungsi kawasan maupun fungsi ekosistem kawasan sekitarnya. Penentuan kawasan kumuh dapat dideteksi menggunakan bantuan citra satelit resolusi tinggi untuk dapat membedakan kawasan kumuh dengan kawasan di sekitarnya. Pada akhir – akhir ini telah banyak citra resolusi tinggi yang dapat digunakan diantaranya yaitu Quickbird, IKONOS, Geo-Eye (1 atau 2), Worldview (1 atau 2 atau 3), PLEIADES (1 atau 2), RAPID-EYE, dan SPOT (6 atau 7). Penggunaan data citra untuk kajian perkotaan yang dinamis juga akan membutuhkan data perekaman citra yang terbaru. Kehadiran Worldview-3 yang diluncurkan ke orbitnya pada tahun 2014 memberikan manfaat baru bagi kajian perkotaan. Pemanfaatan citra Worldview -3 dalam penelitian – penelitian
studi permukiman kumuh sangat jarang, bahkan belum dijumpai di Indonesia. Sehingga penggunaannya dalam penelitian ini diharapkan bisa menjelaskan kualitas akurasi citra dalam deteksi tingkat kekumuhan di wilayah tertentu, khususnya di Kecamatan Wonokromo. Pemaparan dan penelitian mengenai sebaran permukiman kumuh di Surabaya sudah banyak dilakukan oleh badan – badan yang berhubungan dengan permukiman kota, seperti Ditjen Cipta Kaya (PU), BLH, Bappeda, Dinas Sosial, BPS, dan lain sebagainya. Namun, metode penentuan lokasi kumuh masih didominasi dengan survei lapangan yang intensif dan interpretasi citra secara manual sehingga waktu yang digunakan tidak efisien. Selain itu, metode penentuan tingkat kekumuhan dari Dinas Pekerjaan Umum baru dikeluarkan pada tahun 2014 dengan menggunakan lima kriteria utama dengan 15 variabel dan 23 parameter kekumuhan belum banyak digunakan dalam penelitian – penelitian kekumuhan terbaru. Dengan penggunaan parameter yang kompleks diharapkan akan menghasilkan tingkat kedetailan dalam identifikasi kekumuhan hingga prioritas penanganan pada tiap jenis kawasan kumuh lebih baik dan tepat sasaran. Pemanfaatan citra Worldview-3 dengan menggunakan data mutakhir dan kombinasi metode yaitu deteksi kekumuhan menggunakan algoritma lacunarity yang telah diketahui mampu mengidentifikasi lokasi kumuh secara cepat dan meminimalisir survei lapangan sangat perlu diaplikasikan bagi kota metropolitan yang dinamis seperti Kota Surabaya sekaligus mengetahui akurasi deteksi citra yang digunakan. Penggunaan metode tambahan dari PU yang sekaligus menjadi landasan penentuan kekumuhan di Indonesia perlu kiranya dilakukan untuk mengetahui lokasi, prioritas penanganan, hingga jenis tindak penanganan kawasan kumuh yang ada di Kecamatan Wonokromo. Berdasarkan paparan dan penjelasan pada latar belakang dan rumusan masalah dapat diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana deteksi permukiman kumuh dari algoritma lacunarity? 2. Bagaimana akurasi citra Worldview-3 dalam deteksi dan identifikasi permukiman kumuh dengan algoritma lacunarity?
3. Bagaimana prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui deteksi permukiman kumuh yang dihasilkan algoritma lacunarity. 2. Mengetahui akurasi yang dihasilkan citra Worldview-3 dalam deteksi dan identifikasi permukiman kumuh dengan algoritma lacunarity. 3. Menentukan prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Wonokromo.
1.4. Kegunaan Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Manfaat secara teoritis menjelaskan sumbangsih penelitian ini terhadap bidang keilmuan penginderaan jauh untuk studi perkotaan khususnya pemukiman kumuh, sedangkan manfaat secara praktis merupakan manfaat yang dapat diperoleh sebagai rekomendasi atau masukan terhadap aplikasi pemecahan permasalahan yang ada.
1.4.1. Manfaat Teoritis Akurasi deteksi yang dihasilkan dalam algoritma lacunarity untuk mengidentifikasi permukiman kumuh menggunakan citra Worldview-3 yang tergolong dalam citra berketelitian paling tinggi saat ini diharapkan dapat dikembangkan dalam penggunaan aplikasi untuk penelitian permukiman kumuh pada penelitian selanjutnya. Adanya algoritma tersebut diharapkan dapat membantu menggantikan survei lapangan dalam deteksi kumuh dari metode PU pada beberapa parameter yang ada. Penggunaan metode – metode tambahan lain atau lokasi yang berbeda dapat dikembangkan kemudian dengan tetap mempertimbangkan teori-teori terkait yang ada dan relevan dengan permasalahan permukiman kumuh.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi aplikatif untuk penyelesaian masalah permukiman kumuh yang ada. Hasil deteksi, identifikasi sebaran, dan luasan hingga analisis prioritas dan jenis tindak penanganan permukiman kumuh yang ada di Kecamatan Wonokromo dapat dimanfaatkan sebagai data pendukung dalam pertimbangan perencanaan relokasi/penanganan permukiman kumuh sebagai bentuk peremajaan kota. Prioritas penanganan dapat digunakan dalam membantu pengembalian fungsi lahan sesuai RTRW/RDTRK Surabaya, sehingga meminimalisir terjadinya konflik lahan dan alih fungsi pemanfaatan fungsi lahan serta aktifitas di dalamnya yang bertentangan dengan RTRW/RDTRK diwaktu yang akan datang.