BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Asam barbiturat pertama kali disintesis oleh peneliti Jerman Adolf Von Baeyer
pada tanggal 6 Desember 1864. Hal ini dilakukan dengan cara mengkondensasi urea dari hewan produk limbah dengan dietil malonat (ester dari asam apel). Ada beberapa cerita tentang bagaimana substansi ini mendapatkan namanya. Kisah yang paling mungkin adalah bahwa Von Baeyer dan rekan-rekannya pergi untuk merayakan penemuan mereka di sebuah kedai dimana artileri tentara kota juga merayakan hari Raya Saint Barbara-Santo pelindung artileri. Perwira artileri dikatakan telah dibaptis zat baru dengan mencampur “Barbara” dengan “urea”. Tidak ada substansi medis ditemukan, namun, sampai 1903 ketika dua kimiawan Jerman yang bekerja di Bayer, Emil Fischer dan Joseph von Mering, menemukan bahwa barbital ini sangat efektif dalam menginduksi tidur anjing. Barbital kemudian dipasarkan oleh Bayer di bawah nama dagang Veronal. Von Mering mengusulkan nama ini karena tempat paling damai yang ia tahu adalah kota Verona, Italia. Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan menghasilkan efek yang luas, dari sedasi ringan sampai anestesi total. Barbiturat juga efektif sebagai anxiolitik, hipnotik, dan antikolvusan. Barbiturat memiliki potensi kecanduan, baik secara fisik dan psikologis. Barbiturat pada umumnya digunakan sebagai asam bebas atau garam untuk sodium, kalsium, kalium, magnesium, litium, dan lain-lain. Kodein dan dionine berbasis garam-garam dari asam barbiturat telah dikembangkan. Pada tahun 1912, Bayer memperkenalkan turunan asam barbiturat lainnya, seperti phenobarbital dan lain-lain. Turunan asam barbiturat seperti pentobarbital dan phenobarbital sudah lama digunakan sebagai anxiolitik dan hipnotik. Barbiturat sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin dalam praktek medis rutin – misalnya dalam pengobatan kecemasan dan insomnia – karena benzodiazepin secara signifikan kurang menyebabkan overdosis. Namun barbiturat masih digunakan dalam anastesi umum, serta untuk epilepsi.
1
Barbiturat diklasifikasikan menjadi barbiturat aksi-sangat pendek (ultrashortacting), aksi-pendek (short-acting), aksi-menengah (intermediate-acting), dan aksilama (long-acting) tergantung pada seberapa cepat barbiturat beraksi dan berapa lama efek barbiturat berakhir. Barbiturat aksi sangat pendek (ultrashort-acting) masih banyak digunakan untuk anestesi bedah, terutama untuk menginduksi anestesi meskipun penggunaan barbiturat selama induksi anestesi sebagian besar telah digantikan oleh propofol. Barbiturat ultrashort acting seperti thiopental (pentothal) menghasilkan ketidaksadaran dalam waktu sekitar satu menit intravena injeksi. Obat ini digunakan untuk menyiapkan pasien untuk pembedahan; anestesi umum lain seperti sevofluran atau isofluran kemudian digunakan untuk menjaga pasien dari bangun sebelum operasi selesai. Thiopental dan barbiturat ultrashort-acting biasanya digunakan dalam pengaturan rumah sakit dan sangat tidak mungkin untuk disalahgunakan. Pada 1950-an dan 1960-an, laporan tentang overdosis barbiturat dan masalah ketergantungan meningkat, yang akhirnya menyebabkan penjadwalan barbiturat sebagai obat terkontrol. Pada tahun 1970, beberapa barbiturat ditunjuk di Amerika Serikat sebagai zat yang dikendalikan dengan berlakunya Act Amerika Controlled Substances 1970. Pentobarbital dan amobarbital secobarbital ditunjuk sebagai jadwal obat II, butabarbital jadwal III, dan phenobarbital sebagai jadwal IV. Pada tahun 1971, Konvensi Psikotropika ditandatangani di Wina. Dirancang untuk mengatur amfetamin, barbiturat, dan sintetik lainnya, perjanjian ini juga mengatur secobarbital, amobarbital, butalbital, cyclobarbital, dan pentobarbital sebagai jadwal III, dan allobarbital, methylphenobarbital, phenobarbital, serta vinylbital sebagai jadwal IV.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Toksikologi Toksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya. 4,5 Toksikologi forensik, adalah penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran.6 Hal yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi forensik bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi, namun mengenai teknologi dan teknik dalam memperoleh serta menginterpretasi hasil seperti: pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan, metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan gejala/efek atau dampak yang timbul serta bukti-bukti lainnya yang tersedia.7,8,9 Dengan informasi tersebut serta sampel yang akan diteliti, ahli toksikologi forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik tersebut terhadap seseorang (korban). Dalam mengungkap kasus kejahatan lingkungan, toksikologi forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemar, mengapa dapat bersifat toksik terhadap biota dan
3
manusia, dan sejauhmana risikonya, serta mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemar.10 Toksikologi forensik adalah salah satu dari cabang ilmu forensik. Menurut Saferstein yang dimaksud dengan Forensic Science adalah ”the application of science to low”, maka secara umum ilmu forensik (forensik sain) dapat dimengerti sebagai aplikasi atau pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk penegakan hukum dan peradilan. 11 Guna lebih memahami pengertian dan ruang lingkup kerja toksikologi forensik, maka akan lebih baik sebelumnya jika lebih mengenal apa itu bidang ilmu toksikologi. Ilmu toksikologi adalah ilmu yang menelaah tentang kerja dan efek berbahaya zat kimia atau racun terhadap mekanisme biologis suatu organisme. Racun adalah senyawa yang berpotensi memberikan efek yang berbahaya terhadap organisme. Sifat racun dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor, sifat fisiko kimis toksikan tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang ditimbulkan. Tosikologi forensik menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundangan undangan. 10.12,13 Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau Surat Keterangan. Jadi toksikologi forensik dapat dimengerti sebagai pemanfaatan ilmu tosikologi untuk keperluan penegakan hukum dan peradilan. Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai
4
bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologitoksikologi, farmakokinetik, biotransformasi. 14 2.2. Klasifikasi Racun Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Berdasarkan sumber dapat digolongkan menjadi racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan; opium, kokain, kurare, aflatoksin. Dari hewan; bisa/toksin ular/laba-laba/hewan laut. Mineral; arsen, timah hitam. Dan berasal dari sintetik; heroin. Berdasarkan tempat dimana racun berada, dapat dibagi menjadi racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas racun di alam, racun yang terdapat di rumah tangga misalnya deterjen, insektisida, pembersih. Racun yang digunakan dalam pertanian misalnya insektisida, herbesida, pestisida. Racun yang digunakan dalam industri laboratorium dan industri misalnya asam dan basa kuat, logam berat. Racun yang terdapat dalam makanan misalnya CN di dalam singkong, toksin botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat misalnya hipnotik sedatif. Pembagian lain berdasarkan atas kerja atau efek yang ditimbulkan. Ada racun yang bekerja secara lokal, sistemik dan lokal-sistemik. 15 a. Racun lokal, adalah racun yang merusak kulit, terutama berasal dari asam atau basa kuat atau zat kimia lain, seperti: H 2SO4, HNO3, HCL, dan NaOH. Keracunan zat ini ditandai dengan:
Rasa terbakar Panas di mulut, sukar menelan, haus yang hebat, muntah berwarna
hitam. Sakit perut Oliguria, konstipasi Setelah 12 jam dapat terjadi asfiksia, perforasi lambung, dan neurogenic syok. 5
b. Racun sistemik, misalnya pada keracunan morfin, bisa terjadi asfiksia, edema paru, depresi SSP, bahkan kematian.
c. Racun lokal dan sistemik Bersifat kongestif terhadap mukosa dan erosif terhadap tunika
muscularis GIT Penderita muntah, kolik, diare, serta mengalami gangguan hati dan ginjal
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keracunan 1. Cara masuk Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat. 2. Umur Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup. 3. Kondisi tubuh Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat. 4. Kebiasaan Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan terjadi toleransi pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol. 5. Idiosinkrasi dan alergi pada vitamin E, penisilin, streptomisin dan prokain.
6
Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat lokal, misalnya asam sulfat.13,16,17 2.4. Kerja dan Efek Racun Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase, yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal dengan fase toksokinetik.18,19 Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju sistem sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan farmasi. 19,20 Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik
7
(reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya. 19,20 Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik/farmakologik. Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolakbalik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersbersifat irreversibel atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi.19,20 Secara keseluruhan deretan proses sampai terjadinya efek toksik/farmakologi dapat digambarkan dalam suatu diagram seperti pada gambar 2.1. Dari gambaran singkat di atas dapat digambarkan dengan jelas bahwa efek toksik/farmakologik suatu xenobiotika tidak hanya ditentukan oleh sifat toksokinetik xenobiotika, tetapi juga tergantung kepada faktor yang lain seperti:
-
bentuk farmasetika dan bahan tambahan yang digunakan, jenis dan tempat eksposisi, keterabsorpsian dan kecepatan absorpsi, distribusi xenobiotika dalam organisme, ikatan dan lokalisasi dalam jaringan, biotransformasi (proses metabolisme), dan keterekskresian dan kecepatan ekskresi, dimana semua faktor di atas dapat dirangkum
ke
dalam
parameter
farmaseutika
dan
toksokinetika
(farmakokinetika). 8
Gambar 2.1. Deretan rantai proses pada fase kerja toksik dalam organisme secara biologik dikelompokkan menjadi: fase eksposisi, toksokinetik ”farmakokinetik”, dan fase toksodinamik ”farmakodinamik” 2.5. Biotransformasi Racun Pada umumnya reaksi biotransformasi merubah xonobitika lipofil menjadi senyawa yang lebih polar sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam tubuh organinsme. Karena sel pada umumnya lebih lipofil dari pada lingkungannya, maka senyawa-senyawa lipofil akan cendrung terakumulasi di dalam sel. Bioakumulasi xenobiotika di dalam sel pada tingkat yang lebih tinggi yang dapat mengakibatkan keracunan sel (sitotoksik), namun melalui reaksi biotransformasi terjadi penurunan kepolaran xenobiotika sehingga akan lebih mudah diekskresi dari dalam sel, oleh sebab itu keracunan sel akan dapat dihindari. 21,22 Pada umumnya senyawa aktif biologis adalah senyawa organik yang bersifat lipofil, yang umumnya susah dieksresi melalui ginjal, jika tanpa mengalami perubahan biokimia di dalam tubuh. Senyawa-senyawa lipofil setelah terfiltrasi glumerular umumya akan dapat direabsorpsi melalui tubili ginjal menuju sistem peredaran darah. Ekskresi senyawa ini akan belangsung dengan sangat lambat. Jika senyawa tersebut tidak mengalami perubahan kimia,
9
kemungkinan akan menimbulkan bahaya yang sangat serius. Senyawa lipofil ini akan tinggal dalam waktu yang cukup di dalam tubuh, yaitu terdeposisi di jaringan lemak. 22 Pada prinsipnya senyawa yang hidrofil akan dengan mudah terekskresi melalui ginjal. Ekskresi ini adalah jalur utama eliminasi xenobiotika dari dalam tubuh, oleh sebab itu oleh tubuh sebagian besar senyawa-senyawa lipofil terlebih dahulu dirubah menjadi senyawa yang lebih bersifat hidrofil, agar dapat dibuang dari dalam tubuh. Pada awalnya toksikolog berharap melalui berbagai proses reaksi biokimia tubuh akan terjadi penurunan atau pengilangan toksisitas suatu toksikan, sehingga pada awalnya reaksi biokimia ini diistilahkan dengan reaksi ”detoksifikasi”. Kebanyakan toksikolog lebih mencurahkan perhatiannya kepada: bagaimana dan berapa banyak sistem enzim yang terlibat pada proses detoksifikasi dan metabolisme dari suatu ”endotoksik”. Edotoksik merupakan senyawa toksik hasil samping dari proses biokimia normal tubuh dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Sebagai contoh beberapa enzim oksidatif yang terlibat reaksi oksigenase selama metabolisme aerob pada detoksifikasi suatu tokson dapat mengakibatkan depresi oksidatif dan kerusakan pada jaringan. Seorang toksikolog seharusnya memiliki pengetahuan dasar dari suatu proses detoksifikasi guna memahami, memperkirakan, dan menentukan potensial toksisitas dari suatu senyawa. Dalam subbahasan ini akan diberikan pengetahuan dasar reaksi metabolisme dari suatu xenobiotika, yang dapat dijadikan pengetahuan dasar dalam mengkaji toksikologi.23,24,25 Pada umumnya prose resaksi detoksifikasi/metabolisme akan mengakhiri efek farmakologi dari xenobiotika (detoksifikasi / inaktivasi). Namun, pada kenyaaanya terdapat beberapa xenobiotika, justri setelah mengalami reaksi detoksifikasi/metabolisme terjadi peningkatan aktivitasnya (bioaktivasi), seperti bromobenzen melalui oksidasi membentuk bentuk bromobenzen epoksid. Bromobenzen epoksid akan terikat secara kovalen pada makromlekul jaringan hati dan mengakibatkan nekrosis hati. Oleh sebab itu, dalam hal ini istilah detoksifikasi kurang tepat digunakan. Para ahli menyatakan lebih tepat menggunakan
10
istilah biotransformasi untuk menggambarkan reaksi biokimia yang dialami oleh xenobiotika di dalam tubuh. Biotransformasi belangsung dalam dua tahap, yaitu reaksi fase I dan fase II. Rekasi-reaksi pada fase I biasanya mengubah molekul xenobiotika menjadi metabolit yang lebih polar dengan menambahkan atau memfungsikan suatu kelompok fungsional (-OH, -NH2, -SH, -COOH), melibatkan reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Kalau metabolit fase I cukup terpolarkan, maka ia kemungkinannya akan mudah diekskresi. Namun, banyak produk reaksi fase I tidak segera dieliminasi dan mengalami reaksi berikutnya dengan suatu subtrat endogen, seperti: asam glukuronida, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino ditempelkan pada gugus polar tadi. Oleh sebab itu reaksi fase II disebut juga reaksi pengkopelan atau reaksi konjugasi. 15 Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak spesifik terhadap substrat (lihat tabel 2.1). Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase) umumnya terikat pada membran dari reticulum endoplasmik dan sebagian terlokalisasi juga pada mitokondria, disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim terlarut (seperti esterase, amidase, sulfoterase).16
Tabel 2.1. Jenis reaksi dan enzim yang terlibat dalam reaksi metabolimse suatu xenobiotika
11
Sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase I umumnya terdapat di dalam reticulum endoplasmik halus, sedangkan sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol. Disamping memetabolisme xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat, dll). Selain organ-organ tubuh, bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi metabolisme, khususnya reaksi reduksi dan hidrolisis. 11,16
2.6. Analisis Toksikologi
12
Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi untuk:
1. 2. 3. 4.
Analisa tentang adanya racun. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun
organophospat. 5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate, narkotika, ganja, dan lain sebagainya. Analitikal toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Guna toksikologi adalah menolong menentukan sebab kematian. Kadang-kadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan. Pada pengiriman material untuk analitikal toksikologi, diharapkan dokter mengirimkan material sebanyak mungkin, dengan demikian akan memudahkan pemeriksaan dan hasilnya akan lebih sempurna. Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu, misalnya:
Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun
organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap. Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan
keracunan logam berat yang akut. Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non
volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin. Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis. Untuk racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ
parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam
13
lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa.20 Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel “sample preparation”, 2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga dengan “general unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.
2.2. Barbiturat 2.2.1
Defenisi Barbiturat Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat,
dan mereka menghasilkan spektrum efek yang luas, mulai dari sedasi ringan sampai anestesi total. Mereka juga efektif sebagai anksiolitik, sebagai hipnotik, dan sebagai antikonvulsan. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik fisik dan psikologis.8 Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, 14
pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan.9 2.2.2. Klasifikasi Barbiturat Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat merupakan hasil reaksi kondensasi antara urea dengan asam malonat. Tabel 2.2. Rumus beberapa turunan asam barbiturat Subtituen pada
Nama
BM
1
R1
R2
Barbital, veronal
-
Etil
Etil
184,19
Fenobarbital, luminal
-
Etil
Fenil
232,23
Butetal, soneril
-
Etil
n-butil
212,24
Pentobarbital, nembutal
-
Etil
1-metil butil
224,27
Allobarbital, alurat
-
Alil
Alil
208,21
Aprobarbital, alurat
-
Alil
Isopril
210,23
Metarbital, gemonil
Metil
Etil
Etil
198,22
Mefobarbital, prominal
Metil
Etil
Fenil
246,2
Tabel 2.3 Penggolongan barbiturat berdasarkan lama kerja, dengan contoh obat, waktu paruh, dan dosis hiptotiknya.10 Contoh Obat
Waktu Paruh (jam)
Kerja sangat singkat
Tiamilal
-
-
(iv 2 - 4 jam)
Tiopental
-
-
Heksobarbital
2,7 – 7
-
Kemital
-
-
Kerja singkat
Pentobarbital
15 – 48
50 – 100 mg
(3 jam)
Sekobarbital
19 – 34
100 – 200 mg
Siklobarbital
-
-
Golongan
Dosis hipnotik (mg)
15
Kerja sedang
Butabarbital
34 – 42
100 – 200 mg
(3 - 6 jam)
Amobarbital
8 – 42
50 – 200 mg
Probarbital
-
65 – 130 mg
Kerja lama
Fenobarbital
24 – 140
100 – 200 mg
(6 jam)
Mefobarbital
-
100 – 200 mg
Barbital
-
300 – 500 mg
2.2.3. Mekanisme Kerja Barbiturat Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinap saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).4,8,10
2.2.4. Efek Barbiturat 2.2.4.1.
Pada Sistem Saraf Pusat
Barbiturat menimbulkan semua tingkat depresi mulai dari sedasi ringan sampai koma. Tingkat depresi tergantung pada jenis barbiturat, dosis yang sampai ke SSP, cara pemberian, tingkat kepekaan SSP pada waktu pemberian obat, dan ada tidaknya toleransi.10 Seluruh SSP dipengaruhi barbiturat, tetapi yang paling peka adalah korteks serebri dan sistem retikular. Pada dosis sedatif sudah terjadi depresi daerah motoris dan sensoris korteks. Yang relatif kebal terhadap barbiturat adalah vasomotor dan pusat pernapasan di medula oblongata.10 2.2.4.2.
Sistem Kardiovaskular
16
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output, dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi Co2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.5,6 2.2.4.3.
Sistem Pernafasan
Dosis hipnotik menyebabkan depresi respirasi yang ringan, sementara pada dosis yang lebih besar, dapat terjadi intoksikasi, yang menekan pusat pernapasan (medulla oblongata), sehingga respon terhadap CO2 berkurang, dan mengakibatkan ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO 2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.7, 10, 11 Selain pusat pernapasan, respirasi juga terganggu oleh : a.
Edema pulmonum terutama terjadi dengan barbiturat kerja singkat.
b.
Pneumonia hipostatik terutama dengan barbiturat kerja lama.
c.
Hiper-refleksia N. vagus yang bisa menyebabkan singulus, batuk, spasme bronkus dan laringospasme. Ini sering terjadi pada anastesia bila tidak diberikan pramedikasi sulfas atropin atau skopolamin.10
2.2.4.4.
Saluran Cerna
Tonus dan amplitudo pergerakan otot usus berkurang sedikit karena barbiturat. Sekresi lambung hanya sedikit berkurang.10, 11 2.2.4.5.
Ginjal
Barbiturat tidak mempunyai efek buruk terhadap ginjal yang sehat. Namun Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.10 2.2.4.6.
Hati
17
Pada dosis terapi, barbiturat tidak mengganggu fungsi hepar yang normal. Namun dapat terjadi kerusakan hepar yang hebat dan disertai dengan dermatitis serta gejala alergi lainnya pada penderita hipersensitif.10 2.2.5. Penyalahgunaan Barbiturat Seperti etanol, barbiturat memabukkan dan menghasilkan efek yang sama selama intoksikasi. Gejala-gejala keracunan barbiturat termasuk depresi pernapasan, menurunkan tekanan darah, kelelahan, demam, kegembiraan yang tidak biasa, iritabilitas, pusing, konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan, gangguan koordinasi,
gangguan
penilaian,
kecanduan,
dan
pernapasan
yang
dapat
menyebabkan kematian. Pengguna melaporkan bahwa penggunaan barbiturat dalam dosis tinggi memberi mereka perasaan puas, santai dan euforia. Risiko utama dari penyalahgunaan barbiturat adalah depresi pernapasan akut. Ketergantungan fisik dan psikologis juga dapat terjadi pada penggunaan berulang. Efek lain dari keracunan barbiturat meliputi mengantuk, nistagmus lateral dan vertikal, bicara cadel dan ataksia, kecemasan menurun, hilangnya hambatan. Barbiturat juga digunakan untuk mengurangi efek samping atau penarikan dari penyalahgunaan narkoba. Pengguna
narkoba
cenderung
memilih
barbiturat
short-acting
dan
intermediate-acting. Yang paling sering disalahgunakan adalah amobarbital (amytal), pentobarbital (Nembutal), dan secobarbital (Seconal). Kombinasi amobarbital dan secobarbital (disebut Tuinal) juga sangat disalahgunakan. Barbiturat short-acting dan intermediate-acting biasanya diresepkan sebagai obat penenang dan pil tidur. Pil ini mulai bertindak 15-40 menit setelah mereka tertelan, dan efek mereka berakhir sekitar lima sampai enam jam.8 Penggunaan barbiturat dosis besar dapat terjadi pada percobaan bunuh diri atau kecelakaan. 10 Intoksikasi berat umumnya terjadi bila menelan sekaligus barbiturat 10 kali dosis hipnotik. Barbiturat kerja singkat, kelarutannya dalam lemak lebih tinggi dan lebih toksik dibandingkan dengan barbiturat kerja lama.10 Dosis 6 - 10 gram fenobarbital dan dosis 2 - 3 gram amobarbital, sekobarbital atau pentobarbital dapat menimbulkan kematian.10 18
Kadar fenobarbital terendah dalam plasma yang pernah dilaporkan bersifat letal kira-kira 60 mikrogram/ml, sedangkan untuk anobarbital dan pentobarbital kirakira 10 mikrogram / ml.10 2.2.5. Gejala Keracunan Barbiturate 2.2.5.1 Gejala Keracuna Akut a.
Koma,
b.
Pernapasan lambat,
c.
Kulit dan membran mukosa mengalami sianosis,
d.
refleks menurun atau negatif,
e.
Suhu badan menurun,
f.
Pupil mengecil, dengan refleks cahaya bisa (+) ataupun (-).10
2.2.5.2 Gejala Keracunan Kronik a.
Kelainan psikiatrik dengan gejala yang menyerupai intoksikasi alkohol,
b.
Kelainan neurologis, yaitu gangguan bicara, nistagmus, diplopia, ataksia, kelemahan otot rangka, dan lain-lain,
c.
Kelainan dermatologis, misalnya urtikaria, purpura, eksantem, dan dermatitis eksfoliatif.10
2.2.6. Tatalaksana Keracunan Barbiturat Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan pengobatan simtomatik suportif yang umum.11 Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan. 11 19
Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine.11 2.2.7. Pemeriksaan Forensik Korban Keracunan Barbiturat Kadar dalam darah yang rendah ditemukan pada keracunan yang fatal dimana kematian terjadi cepat karena depresi pada pengatur pernafasan di pusat. Menurut penelitian, kematian terjadi 20 menit setelah overdosis. Pada autopsi, tanda kegagalan kardiorespiratorius, dimana menunjukkan sianosis, tanda-tanda bendungan. Walaupun tidak spesifik, kemungkinan paru-paru yang kongestif pada keracunan barbiturat akut sangat fatal dibandingkan kondisi lainnya. Organ ini hampir semuanya berwarna hitam dan sistem vena keseluruhan dipenuhi darah deoksigenasi yang berwarna hitam. Dapat ditemukan bister barbiturat pada daerah kulit yang tertekan terutama pantat, punggung dan lengan bawah,. Blister ini dapat juga ditemukan pada pasien yang koma. Dapat ditemukan tanda-tanda setempat dari erosi oleh obat tersebut. Mukosa gaster dapat rusak oleh karena alkali dari obat seperti sodium amital dimana merupakan garam sodium dari asam organik lemah yang mengalami hidrolisis di dalam lambung. Fundus dapat menipis, granular dan hemoragis. Kardia dan esofagus bagian bawah dapat terkena dikarenakan refluks dan bila mengalami regurgitasi, darah yang berwarna hitam dapat muncul pada mulut dan hidung. Barbiturat tertentu dapat menunjukkan tanda karakterisitik tertentu di mulut, esofagus dan lambung. Warnanya bervariasi pada setiap obat-obatan, tetapi warna biru-tua dari kapul sodium amital dapat mewarnai lambung dan bahkan dapat terlihat pada dinding usus saat abdomen dibuka. Kapsul pigmentasi gelatin lainnya dapat berwarna merah, kuning atau biru. Seperti obat lainnya, konsumsi dengan alkohol memperburuk tingat kefatalannya. 2.2.8. Pemeriksaan Toksikologi 2.2.8.1. Pemeriksaan Urine atau Bilasan Lambung dengan Metoda Kopanyi12
20
Dilakukan dengan memasukkan 50 ml urin atau isi lambung dalam sebuah corong. Periksa dengan kertas lakmus, jika bersifat alkali tambahkan HCl sampai bersifat asam. Tambahkan 100 ml eter, kocok selama beberapa menit. Diamkan sebentar, tampak air terpisah dari eter, lapisan air dibuang, barbiturat terdapat dalam lapisan eter. Saring eter ke dalam beaker glass dan uapkan sampai kering di atas penangas air. Tambahkan 10 tetes kloroform untuk melarutkan sisa barbiturat yang mengering. Ambil beberapa tetes larutan dan letakkan pada white pocelain spot plate. Tambahkan 1 tetes kobalt asetat (1 % dalam metil alkohol absolut) dan 2 tetes isopropilamin (5% dalam metil-alkohol absolut), Barbiturat akan memberi warna merah muda sampai ungu. 2.2.8.2 Pemeriksaan Barbiturat pada Organ Tubuh12 Untuk pemeriksaan toksikologik, bahan yang harus dikirim ialah isi lambung, darah hati atau perifer, urin, ginjal, hati, sebagian otak dan lemak pada kasus keracunan barbiturat golongan kerja sangat singkat. Ada 5 macam metode ekstraksi (Moghrabi & Curry), dan yang memberikan hasil terbaik ialah ekstraksi langsung dengan kloroform. Bila kadar dalam darah sangat rendah maka metode yang diapakai adalah metode asam tungstat. Konsentrasi barbiturat dalam otak, hati dan ginjal menunjukkan jumlah yang besar sedangkan dalam otot dan tulang-tulang sedikit. Konsentrasi barbiturat yang terbesar terdapat dalam otak dan hati yang bervariasi antara 2,5-8 mg/100 gr jaringan. Dalam keadaan mayat yang membusuk lanjut, barbiturat masih tetap dapat ditentukan (lebih kurang 25 % dari konsentrasi semula) sehingga dalam melakukan penarikan kesimpulan, hal ini perlu diperhitungkan. 2.2.9. Aspek Kedokteran Forensik dan Medikolegal Toksikologi Forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan korban. Toksikologi Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu penyidik polisi dalam pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun, menyusun dan menilai barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus yang ada indikasi 21
korbannya meninggal akibat racun. Dokter pemeriksa pada kewenangannya tidak akan menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-obatan, dan racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu tersebut. 1. Aspek hukum Sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang menegaskan “dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” Dari pasal diatas dapat disimpulkan bahwa apabila ada kasus mati karena keracunan yang diduga tindak pidana, penyidik berwenang mendatangkan dan meminta keterangan seorang ahli. Sedangkan "Keterangan ahli" menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah "keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan". Dengan adanya definisi diatas maka yang dimaksud dengan seorang yang memiliki keahlian khusus dalam keracunan adalah seorang toksikologi. Sebab kematian seorang korban yang mati karena racun dan diduga karena suatu tindak pidana, perlu diketahui oleh pihak pengadilan, karena menentukan kesalahan yang telah dilakukan terdakwa, sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana seadil mungkin. Apabila kesalahan itu dilakukan tanpa kesengajaan (karena kealpaannya) maka terdakwa dapat dijatuhi pidana berdasarkan : pasal 203, 205, dan 359 KUHP. Pasal 203 (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bahwa barang sesuatu dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh, atau bersama-sama dengan orang lain, sehingga karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 22
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal 202 (1) Barang siapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang ber- salah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Pasal 204 (1) Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat; berhahaya itu tidak diberi tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakihatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Apabila tindakan pembunuhan dengan racun itu dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal 205 (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau di bagibagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat 23
ribu lima ratus rupiah. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (3) Barang-barang itu dapat disita. Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal 202 (1) Barang siapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur, pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang ber- salah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Pasal 338 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Apabila terdakwa mengetahui bahwa barang tersebut berbahaya bagi jiwa atau kesehatan, tetapi ia tidak mengatakan dengan berterus terang sifat bahaya dari pada barang tersebut kepada orang yang berkepentingan, maka ia dapat dipidana berdasarkan pasal 204 KUHP. Pasal 339 KUHP 24
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan
maksud
untuk
mempersiapkan
atau
mempermudah
pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, kerana pembunuhan dengan rencana (woord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh lima tahun. Pasal 304 “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Apabila tidakan itu dilakukan atas permintaan korban, tedakwa dapat dipidana berdasarkan pasal 344 KUHP. Pasal 344 “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Seseorang yang sengaja menghasut, membantu atau memberi sarana untuk membunuh diri dengan racun, sehingga korban meninggal dunia maka terdakwa dapat dijatuhi pidana berdasarkan pasal 345 KUHP Pasal 345 25
“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.” Pasal 351 KUHP (1) Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak 4500 rupiah. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama7 tahun. (4) Dengan penganiyaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 353 KUHP (1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun. Pasal 354 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.2 (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Pasal 355 KUHP (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 15tahun. Pasal 356 KUHP
26
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga: (1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya, menurut undang-undang, isterinya atau anaknya; (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau kerana menjalankan tugasnya yang sah (3) Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum
27
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Barbiturat adalah obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan
menghasilkan efek yang luas, dari sedasi ringan sampai anestesi total. Barbiturat juga efektif sebagai anxiolitik, hipnotik, dan antikolvusan. Barbiturat memiliki potensi kecanduan, baik secara fisik dan psikologis. Barbiturat pada umumnya digunakan sebagai asam bebas atau garam untuk sodium, kalsium, kalium, magnesium, litium, dan lain-lain. Kodein dan dionine berbasis garam-garam dari asam barbiturat telah dikembangkan. Turunan asam barbiturat seperti pentobarbital dan phenobarbital sudah lama digunakan sebagai anxiolitik dan hipnotik. Barbiturat sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin dalam praktek medis rutin – misalnya dalam pengobatan kecemasan dan insomnia – karena benzodiazepin secara signifikan kurang menyebabkan overdosis. Namun barbiturat masih digunakan dalam anastesi umum, serta untuk epilepsi. Dengan penggunaan teratur efek barbiturat dapat berkembang. Ini pada akhirnya dapat menyebabkan kebutuhan untuk meningkatkan dosis obat untuk mendapatkan efek asli yang diinginkan farmakologi atau terapi. Kecanduan barbiturat secara psikologi dapat berkembang dengan cepat. Reseptor GABAA diperkirakan memainkan peran penting dalam pengembangan ketergantungan pada barbiturat serta gembira “tinggi” yang dihasilkan barbiturat. Overdosis terjadi ketika seseorang mengambil dosis yang lebih besar-daripadaresep obat. Gejala overdosis biasanya termasuk kelesuan, kesulitan dalam berpikir, kelambatan bicara, mengantuk, napas pendek, kehilangan keseimbangan, dan dalam kasus-kasus yang parah koma dan kematian. Barbiturat dalam dosis mematikan memilki efek yang sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Bahkan, meski dalam pengawasan, pemberian barbiturat masih menjadi masalah, karena dapat menyebabkan gejala berbahaya dan tidak menyenangkan ketika obat berhenti, setelah ketergantungan terhadap obat berkembang. Seperti etanol, barbiturat memabukkan dan menghasilkan efek yang sama selama intoksikasi. Gejala-gejala keracunan barbiturat termasuk depresi pernapasan, menurunkan tekanan darah, kelelahan, demam, kegembiraan yang tidak biasa, iritabilitas, pusing, konsentrasi yang buruk, sedasi, kebingungan, gangguan 28
koordinasi,
gangguan
penilaian,
kecanduan,
dan
pernapasan
yang
dapat
menyebabkan kematian.
29
DAFTAR PUSTAKA
1.
Idries, Abdul, Mun’im. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto, 2011.
2.
Idries, Abdul, Mun’im. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi I. Jakarta : Binarupa Aksara, 1997.
3.
Sitorus, Seven. Kegawatan Klien dengan Keracunan. Jakarta. Available at : www.scribd.com
4.
Stark, Margaret M. Clinical Forensic Medicine A Physician’s Guide, 2nd Edition. New Jersey : Humana Press, 2000.
5.
Mangku G. Diktat Kumpulan Kuliah buku I. Laboratorium Anesthesiologi dan reaminasi FK. Unud , Denpasar, 2002.
6.
Mangku G. Standart pelayanan dan tatalaksana anastesia – analgesia dan terapi intensif rumah sakit sanglah denpasar FK UNUD , Denpasar, 2000.
7.
Latief SA dkk. Petunjuk Praktis Aneshtesiologi edisi kedua. bagian Anesthesiologi dan terapi intensif, Denpasar : FK UNUD, 2000.
8.
Mandal, Ananya. 2014. Barbiturate Abuse. diakses dari http://www.newsmedical.net/health/Barbiturate-Abuse.aspx tanggal 3 Jui 20149.
9. Tjay dan Rahardja, Obat-obat Penting. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2003. 10. Kumpulan kuliah farmakologi. Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Ed. 2. Jakarta : EGC, 2009. 11. Katzung, Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta : EGC, 1998. 12. Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi, Hertian S, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. p. 47: 68-69: 92-100: 105-06: 111: 113: 125-26: 136-37: 144-46: 167—96 13. Sudjana Putu. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Toksikologi, hal (127-177). Surabaya; 14. R. Soesilo. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sukabumi : Politeia 30
15. Budiyanto, Arif dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 16. Sampurna, Budi; Samsu, Zulhasmar; Siswaja. Tjejep Dwiadja. 2008. Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum Sebuah Pengantar. Jakarta. 17. I.M.A. Gelgel Wirasuta. 2009. Analisis Toksikologi Forensik. http://gelgelwirasuta.blogspot.com/2009/12/analisis-toksikologi-forensik.html. Diunduh tanggal 28 Juni 2014 18. DiMaio VJ, DiMaio Dominick. 2001. Forensic Pathology 2nd ed. New York: CRC Press 19. Loomis, T.A., 1978, Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.) IKIP Semarang Press, Semarang 20. Lowry, W.T., Garriot, J.C. (1979), Forensic Toxicology Controlled Substances and Dangerous Drugs, Plenum Press, New York. 21. Purwandianto, A. 2000, Pemanfaatan Laboratorium Forensik Untuk Kepentingan Non-Litigasi, dalam Tim IBA Kriminalistik, Laporan Kegiatan Buku II, Proyek Pengembangan Kewirahusaan Melalui Itegratif Bahan Ajar Kriminalistik, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 22. Wirasuta, I M.A.G., (2005), Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis, Workshop Analisis Toksikologi Forensik 7-8 Desember 2005, BPOM RI., Jakarta
31
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Umum Universitas Mulawarman
Referat
Intoksikasi Barbiturat
Disusun Oleh : Harry Hamyasa
0808015017
Pembimbing : dr. Cort Darby Tombokan, SH, SpF
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Umum Universitas Mulawarman Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2014
32