BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki kurang lebih 13.466 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Marauke. Pulau-pulau tersebut dihubungkan oleh berbagai selat dan laut. Oleh karena memiliki banyak pulau Indonesia disebut juga sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki luas lautan yang lebih besar dari luas daratannya. Rasio antara luas lautan dan daratan adalah 70:30, dengan wilayah 70% adalah lautan, dan selebihnya adalah daratan maka negara Indonesia disebut juga dengan negara maritim. Sebagai negara maritim, dengan lautan yang sangat luas, maka laut merupakan potensi yang sangat besar untuk dikelola dan dikembangkan. Sektor kelautan memiliki banyak potensi dan peluang untuk mewujudkan masa depan. Potensi-potensi itu antara lain perikanan, wisata bahari, pertambangan bawah laut, transportasi laut, bangunan kelautan, industri kelautan dan jasa kelautan (Muhammad, 2010). Semua aktivitas di lautan memerlukan sarana transportasi laut, baik sebagai penghubung antara pulau, maupun dipergunakan dalam aktifitas lainnya seperti untuk menangkap ikan bagi nelayan, untuk mengangkut hasil perdagangan, hasil industri dan lain sebagainya. Sebagai negara yang besar dengan lautan yang sangat luas serta penduduk yang cukup banyak, tentulah Indonesia memerlukan sarana trasnportasi laut dengan jumlah yang banyak pula. Sarana trasnportasi laut di Indonesia telah cukup berkembang, baik sebagai kapal penumpang, maupun sebagai kapal nelayan. Tidak hanya dari segi jumlah kapal yang semakin bertambah, tetapi juga dalam hal pembuatan kapal pun telah berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut terlihat pada kapal penumpang maupun kapal nelayan. Perkembangan teknologi perkapalan dewasa ini semakin maju, terutama setelah adanya penemuan material baru sebagai material alternatif untuk pembuatan kapal. Penemuan teknologi penggabungan dua atau lebih material yang berbeda mendorong perkembangan desain konstruksi kapal yang semakin pesat. Teknologi penggabungan dua material ini sering dikenal sebagai
material komposit (Jones, 1987). Saat ini hampir semua kapal nelayan, yang sebelumnya dibuat dari kayu, telah dibuat dengan material komposit skin GFRP (glass fiber reinforced plastic). Meskipun teknologi komposit telah dikenal sejak tahun 1987, namun perkembangan teknologi material ini masih didominasi oleh material-material buatan terutama serat karbon dan belum diiringi dengan penemuan material baru yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Perkembangan material komposit saat ini melibatkan media penguatan serat buatan yang ketersediannya tergantung pada senyawa hidrokarbon yang berasal dari minyak bumi yang secara ekonomis dan lingkungan kurang menguntungkan (Rowell, 1998). Telah banyak alternatif inovasi dalam pembuatan body kapal ataupun lambung kapal dari material komposit. Salah satu faktor yang dapat melatarbelakangi alternatif atau inovasi penggunaan materail komposit, adalah keterbatasan ketersedian material kayu. Material kayu umumnya dipakai dalam pembuatan body kapal yang pada suatu saat dapat saja berkurang jumlahnya. Perkembangan inovasi ini dapat memberikan alternatif lain pada penggunaan material dasar membuat kapal, khususnya material komposit yang berkembang saat ini. Material komposit yang telah dikembangkan, dan cenderung meningkat jumlahnya adalah komposit dengan menggunakan serat buatan. Penggunaan serat buatan seperti komposit polimer pada dekade ini telah menunjukkan peningkatan. Namun masalah yang timbul seiring dengan perkembangan teknologi material komposit polimer tersebut kemudian adalah bagaimana memanfaatkan material baku yang mampu diregenerasikan. Hal ini dilandasi untuk mengantisipasi krisis material terutama jenis plastik polimer yang sumber material dipengaruhi oleh minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui (Rowell, 1998). Selain penggunaan material serat buatan, juga mulai dikembangkan penggunaan material serat alam, yang juga merupakan salah satu alternatif dalam pembuatan
body
kapal.
Beberapa
alasan
memilih
serat
alam
dalam
penggunaannya sebagai penguat komposit (mallick, 2007) antara lain: (1) lebih ramah lingkungan, dimana serat lebih biodegradable, tidak seperti serat glass dan
serat carbon, konsumsi energi untuk menghasilkannya lebih kecil, (2) Berat jenis serat alam lebih kecil, dalam kisaran 1,25 - 1,5 g/cm3 dibandingkan serat E-glass (2,54 g/cm3 dan serat carbon 1,8-2,1 g/cm3, (3) untuk beberapa jenis serat alam mempunyai rasio berat-modulus lebih baik E-glass, ini berarti bahwa serat alam sangat kompetitif dengan serat E-glass dalam desain kekakuan (stiffness-critical), (4) komposit serat alam natural mempunyai daya redam akustik lebih tinggi dibanding komposit serat glass dan serat carbon, ini berarti sangat cocok untuk peredaman suara, (5) serat alam lebih ekonomis dibanding serat glass dan serat carbon. Disamping potensi material serat alam ini tersedia cukup banyak di Indonesia karena mudah ditanam dan dapat dipanen dengan cepat. Penggunaan material alami oleh FAO pada 20 Desember tahun 2006, dilaksanakan dalam “International Year of Natural Fiber (IYNF) 2009”.Deklarasi oleh FAO tersebut, untuk mendesak berbagai industri manufaktur agar memanfaatkan material-material serat alam. Hal ini mendukung pemanfaatan potensi local genius materials di Indonesia khususnya ”serat alam rami” sebagai material rekayasa produk teknologi, termasuk natural composite (NACO). Dengan demikian, subsitusi penggunaan material-material sintetik dengan material alam yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui menjadi persyaratan produk. Serat alam sebagai elemen penguat sangat menentukan sifat mekanik suatu komposit karena dapat meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik. Orientasi arah serat, jenis tenunan, ukuran, bentuk dan material serat serta lingkungannya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mekanik dari lamina tersebut. Pemanfaatan serat rami tenunan yang dikombinasikan dengan epoksi sebagai matrik dapat menghasilkan komposit alternatif, salah satunya berguna untuk aplikasi material lambung kapal yang mampu menerima beban dari luar (Olessen dan Plackett, 1999). Dengan memvariasikan orientasi arah serat dan jenis tenunan dari serat rami diharapkan diperoleh hasil sifat mekanis yang maksimal. Keunggulan komposit serat rami dibandingkan dengan serat kaca (glass fiber) adalah komposit serat rami lebih ramah lingkungan karena mampu terbiodegrasi secara alami dan harganya pun lebih murah dibandingkan serat kaca. Serat kaca sukar terbiodegrasi secara alami. Selain itu serat kaca juga
menghasilkan gas CO dan debu sehingga berbahaya bagi kesehatan jika serat kaca didaur ulang. Oleh karena itu perlu adanya material alternatif pengganti serat kaca tersebut. Rami merupakan tanaman yang memiliki kandungan serat yang tinggi. Namun saat ini pemanfaatan serat rami di Indonesia hanya sebatas sebagai material dasar pembuatan pakaian dan kertas. Serat rami tentunya memiliki nilai lebih jika dapat digunakan untuk menggantikan serat non alam (glass fiber) yang selama ini masih diimpor dari luar negeri sebagai penguat material komposit. Pilihan terhadap serat alam rami karena rami mempunyai karakteristik kuat, ringan, tahan panas, tahan air dan dapat menahan tumbukan. Di samping itu pohon rami mudah ditanam oleh petani, karena cocok di daerah tropis. Perkembangan teknologi komposit saat ini sudah mulai mengalami pergeseran, dari material komposit berpenguat serat sintesis menjadi material komposit berpenguat serat alam. Serat alam rami (Boehmeria Nivea) memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai media penguatan pada resin polimer. Serat alam rami dapat digunakan sebagai media penguatan dalam berbagai bentuk antara lain dalam bentuk serat green (tanpa perlakuan) dan dalam bentuk tenunan. Rami dalam bentuk serat tenunan dapat dibuat dengan cara manual (sederhana) yaitu dengan cara memakai alat tenun bukan mesin (ATBM) dan dibuat secara permesinan atau alat tenun mesin (ATM). Jenis tenunan yang dihasilkan dari kedua cara tersebut antara lain jenis tenunan plain, basket, twill dan crow’s foot. Junior, dkk (2003) menggunakan jenis tenunan Plain weave hybrid ramiecotton sebagai penguat dan polyester sebagai matrik komposit untuk mengetahui kekuatan tariknya. Muntaha dan Rochardjo (2009) menggunakan jenis tenunan plain secara manual dan mesin untuk mendapatkan sifat mekanik biokomposit sekresi kutu albasia dengan penguat anyaman serat ramie (Boechmeria Nivea), begitupula Yusuf (2009) menggunakan jenis serat tenunan plain untuk komposit agar mendapatkan pengaruh orientasi serat dan fraksi volume terhadap sifat tarik dan impak material komposit serat rami ayam bermatrik polyester. Jacob dan Thomas (2005) menggunakan jenis serat tenunan basket untuk komposit kain
tenun sisal diperkuat karet alam untuk menentukan sifat tarik (tensile) dan sifat mengembang (swelling). Resin polimer telah banyak digunakan dalam dunia komposit sebagai media pengikat atau matrik dan dapat dikelompokkan ke dalam matrik jenis plastik polimer. Saat ini banyak dikembangkan beragam perekat berbasis polimer, baik berupa larutan, suspensi, maupun emulsi dan sebagainya. Polimer dapat dikelompokkan berdasarkan struktur, keadaan fisik, reaksi terhadap lingkungan, struktur kimia, dan aplikasi penggunaan produk akhirnya. Menurut reaksinya terhadap lingkungan, polimer terbagi dua bagian yaitu polimer themoplastic dan polimer Thermosetting. Pengelompokan polimer menjadi Themoplastic dan Thermosetting sering digunakan sebagai acuan untuk pemanfaatan polimer sebagai matrik dalam komposit. Pengelompokan secara kimia dapat sesuai dengan gugus yang dikandungnya, seperti eter, ester, hidroksil, vinil dan sebagainya. Menurut pemakaiannya polimer dikelompokkan ke dalam perekat serat, karet, plastik, pelapis dan sebagainya. Dalam prakteknya ada polimer yang berfungsi lebih dari satu kelompok perekat tersebut. Epoksi termasuk salah satu kelompok themoplastic yang memiliki kekuatan tinggi, memiliki ketahanan terhadap degradasi lingkungan sehingga resin ini banyak digunakan pada industri pesawat terbang. Sebagai resin pelapis epoksi juga memiliki sifat rekat yang baik dan tahan terhadap degradasi air sehingga resin ini sangat ideal digunakan sebagai material aplikasi bodi perahu atau kapal (Ray dan Raut, 2005). Ifannossa dkk (2010) menggunakan epoksi untuk menganalisis kekuatan tarik komposit serat bambu laminat helai dan woven yang dibuat dengan metode manufaktur hand lay-up dengan REH dengan hardener 1:1. Kifli (2009) menggunakan epoksi sebagai matrik untuk mengetahui pengaruh perlakuan permukaan serat dan perendaman air laut terhadap sifat fisik dan mekanis komposit serat kulit batang melinjo (Genetum Gnemon). Lain halnya dengan Rochardjo dkk (2005) yang melakukan penelitian awal untuk pengaruh lama post curing terhadap kekuatan tarik dan kekerasan mikro kondisi Vickers paduan polimer epoxy DGEBA dan hardener diamine dengan berbagai rasio antara lain 50:50; 60:40 dan 40:60. Sastra dkk (2005) menggunakan REH dengan hardener
4:1 untuk mengetahui sifat kelenturan dari komposit serat penguat Arenga Pinnata sebagai penguat dan epoksi sebagai matrik. Sementara itu Kishi dan Fujita (2008) menggunakan REH dengan hardener 7:3 untuk mengetahui sifat mekanis dari kayu berbasis epoksi dengan media penguat serat rami. Epoksi memiliki sifat hydrophobic dan serat alam mempunyai sifat hydrophilic. Sifat hydrophilic merupakan sifat alami dari serat alam selulosa yakni kemampuan serat dalam menyerap kandungan air dari lingkungan bebas. Kandungan air yang dimiliki oleh serat mempengaruhi sifat mekanis yang dapat mengurangi kemampuan rekat antarserat dengan matrik polimer (Swamy dkk, 2004; Sombatsompop dkk, 2004). Kelemahan dari serat alam yang bersifat hydrophilic harus direduksi agar tercapai kompatibilitas dengan resin polimer yang memiliki sifat hydrophobic. Serat alam selulosa merupakan komoditas yang sangat bermanfaat jika diproses secara benar mengingat sifat hydrophilic tersebut karena pengaruh air dari lingkungan sekitar sangat kritis. Di samping itu, serat alam telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat. Masyarakat di pulau Sumbawa sudah menggunakannya sebagai tali busur panah tradisional. Begitu pula masyarakat pedalaman di Indonesia dan Malaysia banyak menggunakan serat alam sebagai tali temali dan masyarakat di daerah pantai Papua Nugini menggunakan sebagai tali pancing dan jaring ikan karena ketahanannya terhadap air laut, (http://www.plantsfotuse.com). Sindhu, dkk (2007) menggunakan serat sabut kelapa sebagai material penguat komposit dengan matrik polyester yang direndam dalam berbagai media lingkungan antara lain 10% NaOH, HCl 1N, dan 10% NaCl (larutan garam) dan air dengan tujuan untuk melihat sejauh mana ketahanan (pengaruh) degradasi serat sabuk kelapa terhadap lingkungannya. Kifli (2009) menggunakan serat kulit batang melinjo sebagai material penguat komposit dengan matrik epoksi yang direndam ke dalam media air laut dengan tujuan mengetahui pengaruh sifat fisik dan mekanis komposit serat kulit batang melinjo (Genetum Gnemon).
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan padangan yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai penggunaan serat alam dan penggunaan material alam, yakni material komposit dengan serat alam rami dalam pembuatan badan kapal, penulis menemukan sejumlah masalah. Perumusan masalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Perlu diukur dan dianalisis harga rasio epoksi dengan hardener sehingga mempunyai sifat mekanis (kekuatan tarik, bending dan impak) terbaik untuk matrik dan komposit. 2. Jenis fabrikasi (model) tenunan rami bagaimanakah sehingga mempunyai sifat mekanis (kekuatan tarik, bending dan impak) terbaik untuk suatu lamina komposit. 3. Perlu diukur dan dianalisis berapa besar pengaruh degradasi akibat lingkungan air laut (kondisi lapangan).terhadap sifat mekanis (tarik, bending dan impak) dari komposit epoksi tenunan rami 4. Perlu diukur dan dianalisis berapa besar pengaruh konsentarasi NaCl terhadap penurunan kekuatan mekanis komposit epoksi tenunan rami (kondisi laboratorium) 1.3 Tujuan penelitian 1. Menentukan rasio epoksi dengan hardener sehingga mempunyai sifat mekanis (kekuatan tarik, bending dan impak) terbaik untuk matrik dan komposit. 2. Menentukan fabrikasi (model) tenunan rami sehingga mempunyai sifat mekanis (kekuatan tarik, bending dan impak) terbaik untuk suatu lamina komposit. 3. Menentukan menemukan pengaruh degradasi akibat lingkungan air laut terhadap sifat mekanis (tarik, bending dan impak) dari komposit epoksitenunan rami.
4. Menentukan menemukan pengaruh konsentarasi NaCl terhadap penurunan kekuatan mekanis komposit epoksi tenunan rami. 1.4 Batasan Masalah Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini dibatasi pada masalah: 1. Jenis tenunan rami yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) adalah tenunan Plain, Basket, Twill dan crow’s Foot. 2. Jenis tenunan rami yang menggunakan alat tenun mesin (ATM) adalah tenunan Plain dan Basket. 3. Variabel air laut dalam kondisi lapangan diambil di wilayah Pulau Barrang Lompo, Kecamatan Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. 4. Variabel air laut dalam kondisi laboratorium adalah kadar NaCl dalam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap sifat mekanis komposit. 5. Digunakan thermosetting resin: Type Bakelite EPR 174 standar Epoxy Resin Bisphenol A (DGEBA) Jenis coupling agent: Epoksi Hardener Versamid-140 jenis Polyamide Resins 6. Kekuatan mekanis yang diteliti adalah kekuatan tarik, kekuatan bending dan kekuatan impak 7. Serat benang rami yang digunakan berasal dari Kopontren Darussalam, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. 1.5 Manfaat Menelitian Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai panduan bagi masyarakat pengguna material komposit serat rami di lingkungan air laut misalnya industri kapal khususnya pada kelompok serat alam selulosa. Penelitian ini akan memberdayakan potensi alam dan sumber daya manusia Indonesia dengan memanfaatkan tenunan serat rami sebagai material penguat pada aplikasi kapal dengan material komposit berpenguat serat tenunan rami.
1.6 Keaslian Penelitian Perkembangan ilmu pengetahuan yang terkait dengan pemanfaatan material komposit tenunan serat rami pada industri kapal adalah sebagai berikut: Riwayat material yang dipakai untuk aplikasi lambung kapal dimulai dari material bambu, kayu, baja dan komposit dengan penguatan serat buatan, sedangkan komposit dengan penguatan serat alam selain kayu dan bambu belum pernah dibuat. Pemanfaatan material bambu hanya dapat digunakan sampai pada tingkat perahu atau rakit saja, material dari kayu dapat dibuat menjadi kapal kecil (perahu nelayan) sampai dengan kapal besar (kapal perang pada masa lampau). Material glass fiber dan serat karbon sudah dimanfaatkan untuk material lambung kapal modern namun memiliki keterbatasan antara lain (a) biaya mahal, (b) sumber ketersediaan terbatas, (c) diperlukan teknologi tinggi dalam pembuatannya dan (d) sulit di daur ulang. Material baja sudah dimanfaatkan, tetapi juga masih mempunyai keterbatasan yakni (1) mudah korosi, (2) biaya perawatan mahal dan (3) pengadaan material terbatas. Yusuf (2009) meneliti tentang orientasi serat dan fraksi volume terhadap sifat tarik dan impak material komposit serat rami anyam bermatrik polyester, Muntaha dan Rochardjo (2009) meneliti sifat mekanik biokomposit sekresi kutu albasia dengan penguat anyaman serat rami sedangkan Marsyahyo dkk (2005) meneliti pengaruh alkali terhadap kekuatan tarik dan model perpatahan serat tunggal rami. Ketiga peneliti yang telah disebutkan tidak menyinggung tentang perendaman material di lingkungan air laut dan beberapa variasi jenis tenunan rami. Pemodelan dan prediksi kemampuan untuk aplikasi lambung kapal dari material komposit dengan penguatan tenunan serat rami terhadap beban mekanis dan degradasi mekanis yang diakibatkan oleh lingkungan air laut, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini belum dilakukan.