BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini Indonesia sedang menikmati manfaat demografis dimana populasi penduduk usia kerja tumbuh lebih cepat daripada populasi anak- anak dan lanjut usia. Berdasarkan data Statistik Indonesia pada tahun 2010, penduduk usia kerja berjumlah 66,1 persen dari seluruh jumlah penduduk. Momen ini dapat menjadi peluang untuk menumbuhkan perekonomian dan mengentaskan kemiskinan, asalkan angkatan kerja yang ada dapat terserap dengan baik dalam pasar kerja. Namun momen ini akan tertutup seiring dengan bertambahnya penduduk lanjut usia. Penduduk lanjut usia yang lebih besar daripada penduduk usia kerja akan memperbesar beban ketergantungan penduduk. Menurut Amsberg, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia (2010), dalam sepuluh tahun mendatang, hal yang paling mendesak untuk dilakukan Indonesia adalah mendorong penciptaan lapangan kerja dan lingkungan kerja yang lebih baik. Lapangan kerja ini diharapkan dapat diakses oleh seluruh penduduk, termasuk bagi perempuan. Bekerja merupakan hak warga negara Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang. Secara khusus, hak tersebut tertuang dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Dengan demikian setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, berkesempatan untuk memenuhi hak tersebut. Perempuan adalah kunci strategis dalam pembangunan manusia. Masyarakat internasional telah menyadari hal tersebut sehingga memasukkan perempuan dalam pengukuran keberhasilan pembangunan. Indikator-indikator ini dapat dijumpai antara lain dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Menurut
Tukiran
(2005),
di
bidang
ketenagakerjaan
indikator
angka
pengangguran, proporsi yang bekerja di luar sektor pertanian, pekerja terampil,
1
ketimpangan upah perempuan terhadap laki-laki, serta kontribusi pendapatan perempuan terhadap pendapatan rumah tangga digunakan sebagai dasar penyusunan indikator pembangunan. Dalam laporan internasional pembangunan manusia, pada tahun 2000 hingga 2007 tren pembangunan jender (GDI) Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu 0,678 menjadi 0,726. Artinya, pembangunan jender di Indonesia dari segi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi membaik selama kurun waktu tersebut. Dewasa ini, peluang perempuan untuk memasuki pasar kerja semakin terbuka lebar. Dari segi kesehatan, angka fertilitas semakin menurun dan angka harapan hidup meningkat. Sebagaimana dalam penelitian Tukiran (2005) yang menggunakan asumsi Bongarts (1999), ketika angka fertilitas (TFR) masih tinggi maka partisipasi perempuan (bukan untuk laki-laki) dalam pasar kerja relatif rendah, dan jika TFR semakin rendah maka partisipasi tersebut meningkat. Perubahan fertilitas ini langsung berhubungan dengan perempuan, sehingga indikator fertilitas
secara khusus dapat dijadikan parameter dalam melihat
partisipasi kerja perempuan. Pemberdayaan perempuan salah satunya dapat dilihat dari partisipasinya dalam angkatan kerja. Meskipun pada tahun 2000-2007 tren GDI Indonesia meningkat, namun khusus pada tahun 2011 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih jauh di bawah laki-laki. Pada Agustus 2011, TPAK laki-laki sebesar 84,30 persen sedangkan TPAK perempuan sebesar 52,44 persen. Hampir separuh dari total penduduk usia kerja perempuan berada pada kelompok bukan angkatan kerja. Umumnya dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, laki-laki merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga. Oleh sebab itu, hampir semua laki-laki yang telah memasuki usia kerja terlibat dalam kegiatan ekonomi secara aktif. Berbeda dengan laki-laki, tugas pokok perempuan adalah sebagai istri dan ibu. Tugas ini identik dengan kegiatan mengurus rumah tangga, melahirkan, dan membesarkan anak, sehingga partisipasi perempuan dalam pasar kerja sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan budaya (Bakir dan Manning, 1983).
2
Meskipun identik dengan sektor domestik, perempuan juga mampu berperan dalam membantu perekonomian keluarga. Peran tersebut dapat sebagai pengelola keuangan atau sebagai pencari nafkah sampingan. Perempuan yang bekerja dan berpenghasilan diharapkan dapat mengurangi dampak dari guncangan ekonomi dalam keluarga yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Semakin besar tenaga kerja, maka semakin besar penawaran yang terjadi. Apabila hal tersebut tidak sesuai dengan jumlah permintaan tenaga kerja (atau kesempatan kerja) maka akan terjadi pengangguran. Terdapat beberapa faktor penghambat, seperti kesulitan mendapat pekerjaan yang sesuai serta tidak memiliki keahlian yang menyebabkan angkatan kerja perempuan tidak terserap dalam pasar kerja alias menganggur. Tingkat penganguran terbuka (TPT) perempuan masih lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan data Sakernas Agustus 2011, TPT perempuan sebesar 7,62 persen sedangkan laki-laki sebesar 5,90 persen. Tingkat pengangguran biasanya digunakan oleh media dan politisi dalam menilai kinerja pasar kerja. Menurut mereka, apabila tingkat pengangguran rendah maka kinerja pasar kerja dianggap baik. Sebaliknya, apabila tingkat pengangguran tinggi maka kinerja pasar kerja dianggap buruk. Hal ini tidak dapat sepenuhnya dibenarkan, sebab terdapat faktor sosio-ekonomi rumah tangga yang mempengaruhi tingkat pengangguran sehingga sulit untuk menafsirkan perubahannya. Menurut Bank Dunia (2010), faktor sosioekonomi yang perlu dipertimbangkan antara lain; bantuan non-pasar yang diterima oleh rumah tangga tersebut; status si pekerja dalam rumah tangga tersebut; preferensi mengenai keikutsertaan perempuan dalam angkatan kerja; dan beda upah antara sektor formal dan informal. Tingkat pengangguran dan pengangguran terbuka telah terbukti kurang dapat diandalkan sebagai sinyal kinerja pasar tenaga kerja di Indonesia. Pengkajian
sejarah
pasar
tenaga
kerja
di
Indonesia
memperlihatkan
ketidakcocokan antara tingkat pengangguran dan kinerja pasar kerja. Sebagai contoh, naiknya pengangguran pada 1990-97 bukan merupakan indikasi atas pasar yang memburuk. Kenaikan ini lebih disebabkan karena bertambahnya jumlah pekerja berpendidikan (yang sedang mencari pekerjaan), sementara pertumbuhan
3
ekonomi yang kuat menyebabkan pengangguran tidak terlalu memberatkan. Demikian pula saat krisis keuangan Asia, tingkat pegangguran secara mengejutkan tetap stabil. Banyak pekerja perkotaan yang memiliki keahlian harus kehilangan pekerjaannya, namun hal ini tidak tercermin dalam tingkat pengangguran karena perempuan miskin memasuki angkatan kerja dalam jumlah besar (Bank Dunia, 2010). Kinerja pasar kerja dan perubahan struktur perekonomian daerah justru dapat dilihat dari perubahan kesempatan kerja dalam kurun waktu tertentu. Perubahan kesempatan kerja berdasarkan lapangan, jenis, serta status pekerjaan dapat menggambarkan besarnya kontribusi dari setiap sektor pekerjaan terhadap peyerapan tenaga kerja. Ketiga kategori tersebut memiliki benang merah yang sama, yaitu produktivitas kerja. Produktivitas merupakan keseimbangan antara besarnya waktu dan tenaga yang dikeluarkan denga hasil kerja yan didapat. Sektor jasa dan manufaktur dinilai lebih produktif daripada sektor pertanian, kategori jenis pekerjaan terampil dinilai lebih produktif daripada jenis pekerjaan setengah terampil dan tidak terampil, sedangkan status pekerjaan formal dinilai lebih produktif daripada status pekerjaan informal. Pada tahun 2015, akan berlangsung ASEAN Economic Community dimana terjadi pasar bebas antar negara-negara ASEAN. Indonesia sebagai salah satu anggotanya, siap tidak siap akan terlibat. Pada saat itu bukan hanya aliran modal dan teknologi, tetapi juga aliran tenaga kerja akan terjadi. Contohnya, pengusaha dari Cina yang ingin membuka sawah di Papua bisa mengirimkan satu paket lengkap tenaga kerja, peralatan, serta modal untuk bertani. Dalam kegiatan ekonomi tersebut, penduduk pribumi kemungkinan besar hanya berperan sebagai tuan tanah yang menyewakan ladangnya. Kondisi tersebut tidak akan membuka peluang kerja bagi angkatan-angkatan kerja yang baru di daerah. Maka disini penting untuk melihat bagaimana tren perubahan kesempatan kerja, khususnya bagi perempuan, untuk dapat merumuskan strategi pemanfaatan tenaga kerja sebelum pasar bebas berlangsung.
4
Jawa Tengah dipilih sebagai daerah kajian penelitian sebab secara spasial provinsi ini berada pada posisi strategis. Jawa Tengah berbatasan langsung dengan tiga provinsi besar di Pulau Jawa yaitu Yogyakarta, Jawa Barat, serta Jawa Timur. Aktivitas pembangunan dari ketiga provinsi tersebut secara tidak langsung berimbas pada kegiatan sosial ekonomi penduduk di Jawa Tengah. Meskipun berada di tengah-tengah provinsi besar lainnya, rata-rata upah buruh/karyawan di Jawa Tengah termasuk yang paling rendah. Partisipasi angkatan angkatan kerja perempuan di provinsi ini juga cukup tinggi. Pembahasan perubahan kesempatan kerja perempuan di Jawa Tengah menggunakan dimensi waktu dari tahun 2007, 2009, dan 2011, sebab data-data pada tahun tersebut telah tersedia secara lengkap baik berupa publikasi tercetak maupun publikasi digital. Selain itu, rentang waktu tersebut lebih dekat dengan masa kini sehingga dapat dilihat tren terbaru kesempatan kerja perempuan di Jawa Tengah berdasarkan interpretasi data tersebut.
1.2 Pertanyaan Penelitian Indonesia
merupakan
negara
berkembang.
Berdasarkan
laporan
internasional pembangunan manusia secara keseluruhan tingkat kesejahteraan penduduk masih rendah, sedangkan pemerintah belum mampu memberikan tunjangan baik bagi lansia maupun bagi para pengangguran. Tantangan masa depan yang dihadapi Indonesia berupa penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih baik masih dalam tahap persiapan dan mengalami kebuntuan disana-sini. Perencanaan dan pelaksanaan yang matang perlu dilakukan agar tidak terjadi akibat yang buruk di masa depan, sehingga mempelajari kondisi ketenagakerjaan saat ini dan perubahannya mutlak diperlukan. Agar pembangunan sumberdaya manusia dapat berjalan beriringan, perempuan seharusnya mendapatkan perhatian yang sama dengan laki-laki. Perempuan adalah pihak yang seringkali diabaikan dalam perencanaan kebijakan. Dalam ketenagakerjaan, banyak masalah dihadapi oleh perempuan yang bekerja, mulai dari ketidaksetaraan upah hingga pelecehan seksual dalam lingkungan
5
pekerjaan. Penelitian ini dikhususkan untuk melihat salah satu masalah ketenagakerjaan yaitu kesempatan kerja perempuan menurut lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, serta status pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi pekerja perempuan menurut umur, pendidikan, dan upah? 2. Bagaimana perubahan kesempatan kerja perempuan menurut lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, dan status pekerjaan? 3. Bagaimana pertumbuhan kesempatan kerja perempuan menurut lapangan, jenis dan status pekerjaan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk: 1. Menganalisis kondisi pekerja perempuan di Jawa Tengah berdasarkan variabel umur, pendidikan, dan upah. 2. Menganalisis perubahan kesempatan kerja perempuan di Jawa Tengah 2007, 2009, 2011 menurut lapangan, jenis, dan status pekerjaan. 3. Menganalisis pertumbuhan kesempatan kerja perempuan di Jawa Tengah 2007, 2009, 2011 menurut lapangan, jenis, dan status pekerjaan.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitan ini berguna untuk: 1. Bahan penyusunan skripsi guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Geografi UGM dengan spesialisasi bidang Geografi Lingkungan. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan solusi bagi penyusunan kebijakan pengelolaan tenaga kerja perempuan di Jawa Tengah.
6
3. Sebagai bahan referensi mengenai dinamika ketenagakerjaan di Jawa Tengah.
1.5 Tinjauan Pustaka Partisipasi Angkatan Kerja Tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting dalam proses produksi. Sebagai sarana produksi, tenaga kerja lebih penting daripada sarana produksi yang lain seperti bahan mentah, tanah, air dan sebagainya. Karena manusialah yang menggerakkan semua sumber-sumber tersebut untuk menghasilkan barang (Simanjuntak, P. J., 1981 dalam Bakir dan Manning, 1983). Karakteristik
umur
penduduk
dapat
menggambarkan
kondisi
ketenagakerjaan di suatu daerah. Dengan menggunakan definisi BPS mengenai batas usia angkatan kerja yaitu 15 tahun dan lebih, maka dapat disimpulkan bahwa daerah dengan penduduk berusia kurang dari 15 tahun lebih banyak daripada penduduk Jumlah angkatan kerja dalam suatu negara atau daerah pada suatu waktu tertentu tergantung dari jumlah penduduk usia kerja. Perbandingan antara angkatan kerja dan penduduk usia kerja ini disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Semakin besar jumlah penduduk usia kerja dan semakin besar TPAK-nya, maka semakin besar pula jumlah angkatan kerja. TPAK dipengaruhi oleh berbagai faktor demografis, sosial dan ekonomis. Faktor-faktor ini antara lain adalah umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (kota/desa), pendapatan dan agama. Pengaruh dari masing-masing faktor ini terhadap TPAK berbeda antara penduduk laki-laki dan perempuan (Bakir dan Manning, 1983). Pola dan Perkembangan TPAK Wanita Perubahan
dalam
struktur
ekonomi
yang
terjadi
dalam
proses
pembangunan biasanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja. Menurut Sinha (1965), dengan 7
pembangunan perubahan dalam partisipasi wanita akan mengikuti pola yang berbentuk huruf ‘U’. Pada tahap-tahap pertama dalam pembangunan, lapangan kerja di sektor pertanian dan sektor-sektor tradisional lainnya akan berkurang lebih cepat daripada peningkatan lapangan kerja di sektor modern. Diramalkan bahwa hal ini akan mengurangi kesempatan kerja dan meningkatkan pengangguran, terutama di kalangan wanita. Pada waktu yang bersamaan, proses pembangunan juga meningkatkan penghasilan keluarga sehingga mengurangi tekanan ekonomi yang sebelumnya memaksa wanita bekerja. Kedua hal ini menyebabkan wanita cenderung keluar dari angkatan kerja dan menyebabkan TPAK wanita menurun. Namun setelah pembangunan mencapai suatu tahap tertentu, pendidikan dan tingkat upah yang tinggi, dan keinginan untuk menikmati kemewahan hidup sebagai hasil dari pembangunan telah mendorong wanita untuk kembali memasuki angkatan kerja. Hal ini akan meningkatkan TPAK wanita (Bakir dan Manning, 1983). Akan tetapi menurut Durand (1975) pola perkembangan partisipasi selama proses pembangunan tidak selalu mengikuti pola yang berbentuk huruf ‘U’. Apakah pembangunan ekonomi akan meningkatkan atau menurunkan tingkat partisipasi wanita dalam angkatan kerja sangat tergantung dari besarnya proposi pekerja wanita di sektor-sektor yang mengalami kemunduran dan yang mengalami perkembangan selama proses pembangunan. Misalnya, kecilnya proporsi wanita yang bekerja di sektor pertanian di negara-negara Amerika Latin dan perluasan lapangan pekerjaan di sektor non-pertanian sebagai akibat dari pembangunan ekonomi telah meningkatkan TPAK wanita di negara-negara tersebut. Sebaliknya, di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara dimana proporsi wanita yang bekerja di sektor pertanian sangat tinggi, pembangunan ekonomi yang mengurangi peranan sektor pertanian dan meningkatkan peranan sektor non-pertanian telah menyebabkan TPAK wanita menurun (Bakir dan Manning, 1983).
8
Pendidikan menciptakan Kesempatan Kerja Secara teoritis, pendidikan bagi wanita akan meningkatkan penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja mereka. Menurut Boserup (1970: 126), pendidikan akan memperbaiki status, kemampuan dan keahlian seorang wanita. Hal ini meningkatkan kemampuan bersaing dan meingkatkan permintaan terhadap jasa-jasanya di pasar tenaga kerja. Di samping itu, pendidikan juga meningkatkan aspirasi dan harapan seorang wanita akan penghasilan dan kehidupan yang lebih baik, dan hal ini lebih mendorongnya untuk masuk ke angkatan kerja (Standing, 1976; Mott, 1972; Cain, 1966 dalam Bakir dan Manning, 1983: 43). Agung (1998) berpendapat bahwa faktor pendidikan dan faktor kesempatan kerja saling mempengaruhi. Di satu pihak hasil pendidikan dapat menciptakan lapangan kerja baru, dan di lain pihak adanya suatu kesempatan kerja baru memberikan motivasi untuk berkembangnya sistem pendidikan baru. Namun, tidak semua penduduk usia sekolah dapat menikmati bangku sekolah yang berkelanjutan akibat tidak mampu mengakses fasilitas pendidikan. Akses tersebut dibatasi oleh adanya seleksi yang ketat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas serta ketidak-mampuan dari segi ekonomi. Menurutnya, anak-anak yang tidak mampu melanjutkan studi karena masalah ekonomi dengan sendirinya akan menjadi kelompok pencari kerja atau mereka akan masuk dalam angkatan kerja. Sejak terjadi krisis moneter 1997, angka putus sekolah meningkat. Kesempatan/peluang bekerja di samping sekolah, atau sekolah di samping bekerja, terutama bagi penduduk perkotaan, merupakan suatu aktivitas yang patut dan harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup mereka.
Masalah dalam Pasar Kerja Suroto (1992) mengatakan bahwa setidaknya ada empat kelompok masalah dalam pasar kerja, yaitu: 1. Masalah kelebihan tenaga kerja yang timbul apabila persediaan tenaga kerja lebih besar daripada kebutuhan tenaga kerja (S > D). Masalah ini
9
menyebabkan terjadinya: pengangguran, setengah pengangguran/ bekerja tidak penuh, kelebihan kualifikasi/ kurang pemanfaatan, dan terpaksa berada di luar angkatan kerja. 2. Masalah kekurangan tenaga kerja yang timbul apabila persediaan tenaga kerja lebih sedikit daripada kebutuhan tenaga kerja (S < D). 3. Masalah rintangan pasar kerja, yang timbul apabila persediaan tenaga kerja yang ada tidak bertemu dengan kebutuhan tenaga kerja akibat adanya suatu rintangan (S ≠ D). 4. Ketidaklayakan dalam lingkungan kerja ( S × D). Muara dari keempat masalah tersebut adalah kesempatan kerja yang sangat terbatas. Untuk lebih memahaminya, Suroto menggambarkan kesempatan kerja dalam diagram berikut ini: Gambar 1.1. Kesempatan Kerja dan Persediaan Tenaga Kerja
A
E
B
F
D
H
C
G
ABCD = Lapangan atau kesempatan kerja yang ada dalam masyarakat EFGH = Seluruh tenaga kerja yang bersedia bekerja atau angkatan kerja dalam masyarakat. EBCH = Kesempatan kerja yang diduduki/ Jumlah orang yang mempunyai pekerjaan atau dipekerjakan/ penggunaan tenaga kerja. AEHD = Lowongan/Kesempatan kerja yang tidak atau belum diduduki (S < D). BFGC = Pengangguran/Angkatan kerja yang tidak mempunyai pekerjaan (S > D). Istilah “employment” diartikan oleh Kementrian Perburuhan Indonesia (Jawatan Penempatan Kerja, 1957) sebagai “kesempatan kerja” atau sama dengan kotak EBCH. Kesempatan kerja dapat digolongkan kedalam tiga pendekatan, yaitu berdasarkan Lapangan/ Sektor Pekerjaan, Jenis Pekerjaan, serta Status Pekerjaan.
10
Dalam Keadaan Angkatan Kerja 2011, konsep dan definisi lapangan pekerjaan didasarkan pada Klasifikasi Baku lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2009. Jenis pekerjaan didasarkan atas Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia (KBJI) 2002 yang mengacu pada ISCO 88, sedangkan status pekerjaan dibedakan menjadi tujuh kategori. Klasifikasi dari masing-masing variabel disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1. Klasifikasi lapangan pekerjaan, jenis dan status. Lapangan Pekerjaan
Jenis Pekerjaan
Status Pekerjaan
(1) pertanian
(1) profesional, teknisi
(1) berusaha sendiri tanpa
(2) pertambangan
(2)
(3) industri pengolahan
ketatalaksanaan
orang lain
(4) listrik
(3) tata usaha
(2)
(5) bangunan
(4) usaha penjualan
dibantu
(6) perdagangan
(5) usaha jasa
keluarga atau karyawan
(7) transportasi
(6) pertanian
semetara
(8) keuangan
(7/8/9)
(9) jasa kemasyarakatan.
operator dan sejenis.
kepemimpinan/ rekan kerja atau bantuan
pekerja
kasar, (3)
berusaha oleh
pengusaha
sendiri anggota
dengan
pekerja tetap (4) buruh/ karyawan (7)
pekerja
keluarga/
tidak dibayar.
Karakteristik Upah Pekerja Hauser (1974) mengembangkan sebuah konsep yang didasarkan pada ‘Labor Utility Approach’, bahwa pemanfaatan pekerja dapat dikelompokkan menjadi bekerja tidak penuh karena jam kerja rendah, bekerja tidak penuh karena pendapatan rendah, bekerja tidak penuh karena mismatch dan bekerja penuh dengan upah yang cukup. Adapun suatu persoalan yang seringkali muncul dalam membahas tentang kesempatan kerja adalah produktivitas pekerja yang relatif
11
masih rendah. Produktivitas dapat dianalisa melalui penggunaan jam kerja yang dilakukan
oleh
pekerja.
Berdasarkan
pendekatan
underutilization
yang
dikembangkan oleh Hauser (dalam Effendi, 1995) mencerminkan kurang pemanfaatan angkatan kerja dengan mengkombinasikan pengaruh dari pendapatan rendah dan ketidaksesuaian antara pendidikan serta jam kerja (Oktarina, 2000).
12
1.6 Kerangka Pemikiran
Pembangunan Ekonomi
Perempuan yang Bekerja
Kesempatan Kerja menurut: 1. Lapangan Pekerjaan 2. Jenis Pekerjaan 3. Status Pekerjaan
Kondisi Kesempatan Kerja 2007, 2009, 2011
Perubahan Kesempatan Kerja
13
Karakteristik: a. Demografi: - Umur b. Sosial Ekonomi: - Pendidikan - Upah