BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terletak pada “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire on Pacific Rims) (Smith, 1996; Bronto, 2001 dalam Sutikno et al, 2007), yang memiliki gunungapi aktif sebanyak 129 atau sekitar 13 – 17 % dari seluruh gunungapi aktif di seluruh dunia. Dari jumlah gunungapi aktif yang ada di Indonesia, Pulau Jawa menjadi pulau yang memiliki gunungapi aktif terbanyak yang berjumlah 35 buah. Gunungapi aktif di Pulau Jawa tersebar dari barat sampai timur Pulau Jawa dan berada pada zona tengah Pulau Jawa yang merupakan zona deretan gunungapi. Salah satu gunungapi aktif yang ada di Indonesia adalah Gunungapi Merapi yang terletak diantara dua wilayah administratif yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengaruh aktivitas Gunungapi Merapi, tersebar hingga ke Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, di Provinsi Jawa Tengah, serta di D.I.Yogyakarta tersebar di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, sampai Kabupaten Bantul Erupsi gunungapi merupakan bahaya bahkan bencana yang bersifat kompleks (multiple effect), yang mampu mengakibatkan korban jiwa sebanyak kurang lebih 600 jiwa per tahunnya selama 20 abad terakhir hingga tahun 1982 (Blong, 1984). Erupsi gunungapi mempunyai dua sisi yang berbeda, yaitu hasil erupsi bersifat membangun (konstruktif). Akibat dari proses erupsi yang terjadi pada gunungapi, terjadi perbedaan perubahan bentuk morfologi disekitar gunungapi. Erupsi gunungapi juga membawa dampak baik untuk daerah persawahan, perkebunan disekitar tempat terjadinya erupsi. Saat erupsi terjadi, gunungapi mengeluarkan material baru, yang berasal dari dalam bumi dan bermanfaat untuk tanah disekitar daerah erupsi yang menjadi subur. Sisi negatif erupsi gunungapi yang bersifat merusak (desduktif) dibedakan menjadi dua yaitu, bencana, sekunder dan bencana, primer. Bencana primer erupsi gunungapi dapat berupa keluarnya lava dan disertai dengan luncuran awan panas piroklastik (Wedhus 1
Gembel). Bencana sekunder erupsi gunungapi berupa lahar dihasilkan dari rombakan material lepas dari hasil erupsi yang terbawa oleh air hujan yang terjadi pada lereng atas gunungapi dengan konsentrasi tinggi. Lahar merupakan material piroklastik yang dihasilkan dari erupsi gunungapi yang mengendap di puncak gunungapi, pada saat hujan terbawa oleh air hujan dan menghasilkan lahar hujan . Material piroklastik yang menyusun lahar tersebut terdiri dari fragmen batuan dan abu gunungapi, dan terdiri dari batu dengan ukuran kecil sampai yang berukuran bongkahan.
Gambar 1.1 Ilustrasi Proses Terjadinya Aliran Lahar Hujan Sumber : blog.umy.ac.id/restufauziah Bahaya erupsi gunungapi berupa aliran lahar mempunyai potensi ancaman terjadinya bencana lebih besar serta dapat menimbulkan korban jiwa daripada ancaman bencana aliran piroklastik. Aliran piroklastik mempunyai masa jenis yang lebih rendah dan lebih ringan yang tersusun dari abu vulkanik. Material hasil erupsi yang berupa aliran lahar mempunyai intensitas yang lebih sering daripada aliran piroklastik. Pembentukan kubah lava sejak pertengahan abad ke-15 Masehi menghasilkan deposit
2
lava yang besar dan berpotensi untuk terjadinya banjir lahar ketika turun hujan deras di bagian lereng atas gunungapi. Kecepatan aliran lahar di Gunungapi Merapi pada elevasi 1000 meter diperkirakan 5 hingga 7 meter/detik dengan pemicu curah hujan dalam intensitas sekitar 40 mm/jam yang terjadi selama 2 jam terus – menerus. Kondisi ini bisa terjadi pada musim hujan bulan November hingga April setiap tahun. Aliran lahar dapat terjadi akibat hujan dengan intensitas diatas 40 mm/jam dengan curah hujan sebelumnya (antecedent rainfall) diatas 50 mm yang disebut sebagai curah hujan kritis (critical rainfall) (STC, 1992 dalam Santosa, L.W, 2012). Aliran lahar berpotensi mengakibatkan bencana banjir lahar dan dapat mengancam area yang luas. Kejadian banjir lahar terjadi saat hujan dengan intensitas yang tinggi dan mengalir melalui lembah – lembah dan dataran rendah. Berikut ini merupakan peta lokasi desa yang terdampak oleh banjir lahar di sekitar gunung merapi pada tahun 2010
Gambar1.2 Peta Lokasi Desa Terdampak Lahar Gunung Merapi Sumber : BNPB Update 17 Januari 2011
3
Lereng dengan tingkat kemiringan yang tinggi terletak di puncak dan kaki gunungapi berpengaruh terhadap kecepatan aliran lahar. Aliran debris yang tersusun atas material piroklastik yang mempunyai masa jenis lebih besar daripada air hujan dan membentuk lahar akan meluncur dengan kencang, karena laju dari aliran lahar dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Laju aliran lahar yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi tersebut menimbulkan bahaya bagi daerah yang berada pada sekitar lintasan lahar. Daerah yang terdapat dipinggir sungai mempunyai tingkat bahaya tinggi, karena laju lahar yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Laju yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi tersebut membuat lahar sering keluar dari sungai dan menimbulkan bahaya bagi daerah sekitarnya. Laju aliran lahar yang kencang dan tenaga besar terjadi pada Gunungapi tipe Strato yang memiliki lereng curam. Pada beberapa penelitian didapatkan fakta bahwa aliran lahar dapat mencapai kecepatan lebih dari 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras hingga jarak lebih dari 80 kilometer Bencana banjir lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah menenggelamkan
sembilan
belas
kampung,
memutus
sebelas
jembatan,
menghancurkan lima dam atau bendugan penahan banjir, serta lebih dari 40000 orang mengungsi. Kampung – kampung terendam pasir hingga ketinggian lebih dari tiga meter, dan rumah – rumah di tepi sungai hanyut tanpa bekas (antaranews 2011). Data Balai Penyelidikan dan Pengembanagan Teknologi KegununKondapian (BPPTK, 2010) Yogyakata menyebutkan, Gunungapi Merapi telah mengeluarkan 130 juta meter kubik material selama letusan akhir 2010 lalu. Sekitar 50 juta meter kubik berada di Kabupaten Magelang, dan setidaknya baru akan habis tergerus banjir selama 3 kali musim penghujan. Meterial pasir dan batu yang terbawa dalam setiap banjir berkisar 6000 hingga 8000 meter kubik, atau sama dengan muatan 1500 truk. Kondisi saat ini ancaman terhadap bencana banjir lahar semakin meningkat, hal tersebut memerlukan upaya penanggulangan bencana dari Pemerintah.
4
Bencana timbul karena terdapat sesuatu yang rentan. Kerentanan dibagi menjadi tiga hal yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial ekonomi dan kerentanan lingkungan. Interaksi antara ketiganya dapat menimbulkan Risiko Bencana (ISDR, 2005). Faktor yang dapat memepengaruhi besarnya risiko bencana yang terjadi pada suatu daerah adalah tingkat kerentanan dan ancaman dari bahaya yang terjadi. Salah satu upaya pencegahan untuk mengurangi risiko bencana adalah dengan mengikutsertakan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana. Pengembangan informasi pada tingkat lokal dengan melibatkan partisipasi masyarakat sangat penting. Penilaian kerentanan pada suatu wilayah yang terancam oleh bencana banjir lahar perlu dilakukan sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Sehingga diperlukan kerjasama dengan masyarakat lokal untuk belajar dari pengetahuan serta pengalaman mereka dalam upaya pengurangan risiko bencana. Hal ini dikarenakan mayarakat dan pemukiman yang merupakan salah satu elemen risiko yang akan terdampak oleh ancaman banjir lahar. Hasil informasi dari penilaian kerentanan terhadap bencana dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk melakukan
tindakan
penaggulangan
yang
tepat,
kebijakan,
dan
program
penanggulangan dalam upaya pengurangan risiko bencana Gunungapi Merapi 1.2 Perumusan Masalah Erupsi Gunungapi Merapi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober hingga 11 November 2010 masih menyisakan potensi terjadinya bencana yang dapat mengancam penduduk yang bermukim disekitar Gunungapi Merapi. Status Gunungapi Merapi pada saat ini memang sudah dalam status aman. Sisa hasil erupsi pada 26 Oktober 2010 hingga 11 November lalu yang berupa endapan piroklastik dipuncak gunungapi Merapi dapat berpotensi menimbulkan bencana banjir lahar. Saat musim penghujan, risiko terjadi bencana banjir lahar semakin besar, karena curah hujan tinggi yang terjadi pada bagian atas Gunungapi Merapi membawa endapan piroklastik dan menyebabkan terjadinya banjir lahar. Banjir lahar merupakan bencana sekunder yang terjadi dari
5
kegiatan erupsi gunungapi. Oleh karena itu, penelitian tentang banjir lahar masih sangat relevan untuk dilakukan karena masih terdapat endapan piroklastik yang dapat bercampur dengan air hujan sehingga mengakibatkan banjir lahar dan hal tersebut terus terjadi saat musim penghujan. Seluruh sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi diperkirakan masih menyimpan material hasil erupsi dengan jumlah yang banyak. Diperkirakan besarya volume material yang dihasilkan dari erupsi mencapai 130 juta meter kubik (BPPTK, 2010) dan tersimpan di sungai – sungai yang berhulu di Merapi. Besarnya jumlah material yang terdapat pada masing – masing sungai yang berhulu di Merapi disajikan dalam tabel 1.1 sebagai berikut Tabel 1.1 Detail Kandungan Material Erupsi Merapi Lokasi Volume (m³) 1 Kali Gendol 28 Juta 2 Kali Kuning 14 Juta 3 Kali Boyong 8 Juta 4 Kali Bebeng 10 Juta 5 Kali Putih 18 Juta 6 Kali Blongkeng 10 Juta 7 Kali Pabelan 24 Juta 8 Kali Woro 12 Juta Sumber : Rapat Koordinasi Lembaga Kemanusiaan yang Dikoordinir oleh PEMDA Magelang dan UN - OCHA (25/1/2011) No
Berdasarkan fakta di lapangan, Kali Putih yang menjadi lintasan banjir lahar tidak mampu lagi menampung aliran lahar. Hal tersebut terjadi karena jumlah lahar, tidak sebanding dengan luas penampang Kali Putih untuk menampung aliran lahar. Akibatnya aliran lahar meluap dan menyebabkan banjir hingga meluap di Jalan Magelang. Banjir lahar di Kali Putih yang terjadi pasca Erupsi Merapi pada saat itu memutus akses jalan dari Yogyakarta menuju Jawa Tengah, dan sebaliknya. Penduduk di daerah bencana banjir lahar di sekitar Kali Putih Kabupaten Magelang, terdiri dari
6
berbagai kelompok sosial. Penilaian kerentanan pada masing – masing kelompok sosial akan berbeda, sehingga penting untuk dilakukan pengkajian mengenai tingkat kerentanan pada kelompok sosial. Tabel 1.2 Data Dampak Bencana Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 No Kecamatan Desa Pengungsi Kerusakan (Rumah) (jiwa) Roboh / Rusak Rusak Rusak Hanyut berat Sedang Ringan (unit) (unit) (unit) (unit) 1 Muntilan Taman 2 11 Agung 2 Muntilan Gondosuli 2 3 Muntilan Adikarto 192 13 12 4 Muntilan Ngrajek 565 5 2 50 5 Ngluwar Blongkeng 6 6 Salam Sirahan 11 58 7 Salam Sucen 1 4 8 Salam Seloboro 68 2 7 2 9 Salam Jumoyo 1005 54 36 5 10 Salam Gulon 1005 4 2836 87 135 62 2 TOTAL Sumber : Data BNPB update Tanggal 17 Januari 2011 dengan modifikasi Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang ada saat ini dibuat setelah terjadi Erupsi Gunungapi Merapi. Peta KRB merupakan salah satu alat yang digunakan untuk upaya pengurangan risiko bencana yang dilakukan oleh BNPB. Dengan adanya Peta KRB tersebut diharapkan masyarakat menjadi semakin memahami daerah yang rawan terhadap bencana, sehingga dapat mengurangi dampak dari kejadian Erupsi Gunungapi Merapi. Permasalahan pengurangan risiko bencana tidak hanya cukup dengan menggunakan Peta KRB sebagai media kepada masyarakat. Pembuatan Peta KRB setelah terjadi erupsi juga merupakan masalah penting, karena masyarakat sudah tinggal terlebih dahulu didaerah rawan bencana. Sehingga upaya pengurangan risiko bencana tidak dapat berjalan dengan baik selama masyarakat masih menempati daerah yang sejak lama mereka tinggali.
7
Gambar 1.3 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Sumber: Badan Geologi ESDM, tahun 2010 Salah satu isi dalam Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework Action) adalah mengurangi kerentanan masyarakat untuk menanggulangi suatu bencana alam yang pernah terjadi. Kerangka Aksi Hyogo membantu upaya bangsa dan masyarakat, supaya masyarakat mempunyai kapasitas, dalam menghadapi bencana serta kesiapsiagaan terhadap bencana yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana dan mengancam perkembangan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penilaian kerentanan diperlukan untuk mengurangi dampak dari peristiwa banjir lahar yang terjadi di Kali Putih Kabupaten Magelang Penelitian tentang banjir lahar di Kali Putih sudah sering dilakukan, terlebih pada saat pasca terjadinya Erupsi Merapi pada tahun 2010, namun untuk penelitian tentang tingkat kerentanan masyarakat masih sangat jarang dilakukan. Salah satu 8
elemen risiko bencana banjir lahar adalah masyarakat yang tinggal disepanjang Kali Putih. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kerentanan bencana banjir lahar di Kali Putih sebagai salah satu upaya pengurangan risiko bencana. 1.2.1
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana kondisi daerah terdampak pasca bencana banjirlahar pada daerah penelitian ? b. Bagaimanakah distribusi kerentanan fisik pada daerah penelitian? c. Apa upaya mitigasi bencana yang sudah dilakukan dengan adanya bencana banjir lahar yang terjadi di Kali Putih? 1.3 Tujuan Penelitan Berdasarkan judul dan uraian masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka diambil tujuan sebagai berikut : 1. Menganalisa kondisi daerah terdampak pasca bencana banjirlahar pada daerah penelitian. 2. Mengetahui distribusi kerentanan fisik di daerah penelitian dan daerah yang terdampak oleh aliran banjir lahar. 3. Mengetahui bentuk mitigasi pada daerah penelitian setelah terjadi bencana banjirlahar.
9
1.4 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai dasar tentang konsep dan pendekatan yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian. Fungsi dari tinjauan pustaka adalah untuk mendukung kerangka kerja konseptual, sehingga penelitian dapat dilakukan secara terstruktur dan seseuai dengan konsep atau teori yang sudah ada. Hasil pemahaman terhadap bahaya gunungapi, bahaya banjir lahar, elemen risiko dan kerentanan, serta peran serta Sistem Informasi Geografis Partisipatif untuk mengurangi risiko bencana dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. 1.4.1 Bahaya Gunungapi Bahaya Gunungapi merupakan kemungkinan suatu daerah untuk dilanda proses – proses atau kegiatan gunungapi yang berpotensi untuk merusak yang dapat datang sewaktu – waktu. Kemungkinan atau probabilitas yang dimaksud adalah kegiatan gunungapi tersebut masih berupa ancaman, dan belum merusak lingkungan hidup atau menimbulkan korban jiwa serta hilang atau rusaknya harta benda. Proses dan kegiatan gunungapi tersebut meliputi kegiatan erupsi baik erupsi gunungapi yang bertipe efusif atau erupsi gunungapi yang bertipe eksplosif. Proses yang lain berupa kegiatan gunungapi sekunder lainnya seperti lahar, hujan dan banjir. Oleh karena itu bahaya gunungapi dapat didefinisikan sebagai kegiatan guungapi yang berupa letusan, meleleh atau hanya berupa hembusan gas yang mengancam lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian materi dan hilangnya jiwa seseorang (Tilling, 1989 dalam Bronto, 2001). Di dunia terdapat lebih kurang 500 buah gunungapi aktif, yang rata – rata setiap tahunnya sekitar 50 buah gunungapi mengalami erupsi (Blong, 1984). Indonesia merupakan negara yang terletak pada “Cincin Api Pasifik” (Ring of Fire on Pacific Rims) (Smith, 1996; Sutikno-Bronto, 2001), yang memilik sekitar 129 gunungapi aktif, atau sekitar 13-17 % dari seluruh gunungapi aktif di seluruh dunia. Erupsi gunungapi merupakan bahaya bahkan bencana yang bersifat kompleks (multiple effects), yang
10
mampu membunuh lebih kurang 600 jiwa orang pertahunnya selama 20 abad terakhir hingga tahun 1982 (Blong, 1984 dalam Smith, 1996). Tabel 1.3. Ancaman Terhadap Kehidupan dan Harta Benda Berdasarkan Aktivitas Gunungapi Ancaman Bahaya Ancaman Terhadap Terhadap Harta Daerah yang Kehidupan Benda Terdampak Aliran Lava Rendah Sangat Tinggi Lokal Guguran Piroklastik Lokal sampai Pada Umumnya Ancaman (tephra falls) Regional Rendah kecuali Terhadap Harta daerah dekat erupsi Benda Aliran Piroklastik dan Sangat Tinggi Sangat Tinggi Lokal sampai Longsoran puing Regional batuan (debris avalanches) Sedang Tinggi Gas dan Hujan asam Pada umumnya Lokal sampai Lahar Rendah Sedang Regional Sumber : World Mateorological Organization/TD No.955, 1999
Erupsi Gunungapi baik yang bersifat efusif dan eksplosif dapat menimbulkan bentuk morfologi yang khas, dan menjadi kunci untuk mempelajari berbagai material hasil keluaran dan jenis lava. Aktivitas magma dan lava dari erupsi gunungapi tersebut berpengaruh terhadap pembentukan morfologi permukaan, baik yang bersifat konstruktif (membangun) atau destruktif (merusak) (Langgeng, 1998 dalam Sutikno, Santosa. L.W, Widiyanto, Kurniawan. A., Purwanto, 2007). Apabila bahaya gunungapi sudah melanda lingkungan hidup dan mengakibatkan kerusakan, korban jiwa dan kerugian material maka kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai bencana gunungapi (Bronto, 2001) 1.4.2 Bahaya dan Bencana Banjir Lahar Banjir lahar merupakan salah satu bahaya sekunder erupsi gunungapi. Lahar dapat diartikan sebagai aliran campuran bahan rombakan gunungapi dan air serta endapan yang dihasilkan aliran campuran tersebut. Bates and Jackson (1987) 11
mendefinisikan lahar sebagai aliran lumpur yang terjadi dari aliran lumpur yang terjadi dari material vulkaniklastik pada lereng gunungapi. Lahar tersusun dari material yang meliputi material piroklastik, tanah dan lava tercampur dengan air hujan atau air danau kawah yang tercurah selama terjadinya ledakan. Lahar yang tersusun dari material atau batuan yang sejenis merupakan hasil langsung dari letusan gunungapi, sedangnkan jika batuannya tidak sejenis, dapat diduga bahwa lahar tersebut berasal dari runtuhan dinding kawah atau longsoran bahan rombakan guungapi pada lereng gunungapi yang curam dan tercampur dengan air hujan dengan intensitas yang cukup tinggi. Lahar dapat dibedakan menjadi lahar letusan (lahar primer) dan lahar hujan (lahar sekunder). Lahar letusan dihasilkan oleh letusan gunungapi yang mempunyai danau kawah, sedangkan lahar hujan disebabkan oleh campuran piroklastik yang telah terendapkan dan air hujan. Lahar terjadi mengikuti turunnya hujan lebat dan alirannya melalui lembah – lembah di daerah rendah. Lahar mempunyai berat jenis antara 2 – 2,5 gr/cc dengan kecepatan mencapai sekitar 40 – 60 km/jam sehingga jika mengalir akan menimbulkan risiko bahaya yang tinggi. Semakin lama gunungapi mengalami fase istirahat yang lama, maka diperkirakan erupsi pada masa depan dapat meletus dengan dahsyat, misalnya terjadi letusan pembentukan kaldera. Hal tersebut menunjukkan bahaya yang semakin besar, karena selain dapat mengancam daerah yang lebih luas, saat fase istirahat panjang tersebut kegiatan manusia semakin meningkat dan mendekati lokasi sumber bencana. Sementara itu pemahaman, kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya semakin berkurang (Bronto, 2001). Bahaya longsoran batuan gunungapi adalah terkuburnya tata lingkungan hidup secara permanen karena tebal endapan dapat mencapai 30 - 50 m, bahkaan dalam beberapa kasus dapat mencapai 100 m. Lebih dari itu jarak longsoran juga sangat jauh dan sebarannya sangat luas. Indonesia sangat berpotensi terjadi longsoran batuan
12
gunungapi berskala besar karena sebagian besar gunungapi di Indonesia bertipe kerucut komposit. Meskipun kejadian longsoran batuan ini jarang terjadi, namun pemahaman terhadap proses longsoran ini belum jelas, kesadaran penduduk tentang jenis bahaya ini dapat dikatakan tidak ada serta pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya longsoran juga belum ada. Sehingga apabila longsoran tersebut terjadi dapat menimbulkan bencana yang sangat besar dan mematikan bagi kehidupan manusia (Bronto, 2001) Hujan lebat pada lereng Gunungapi dapat memicu terjadinya aliran lahar. Aliran lahar terjadi terutama pada material hasil erupsi gunungapi endapan piroklastik yang belum kompak.Aliran permukaan pada endapan piroklastik yang belum kompak dapat menganggkutnya menjadi aliran debris, berkecepatan tinggi dengan gerakan laminar atau turbulen. Aliran debris dan aliran dengan konsentrasi sedimen tinggi berasal dari morfologi lereng gunungapi, yaitu pada ketinggian 1000 – 1200 m. Aliran tersebut semakin menuruni lereng kandungan air semakin meningkat dan dapat mencapai jarak 20 km dari puncak atau mencapai lahan dengan ketinggian 200 – 300 m (Sutikno, Santosa. L.W, Widiyanto, Kurniawan. A., Purwanto, 2007). Kejadian banjir lahar mulai tahun 1587 hingga 1998 dapat dilihat pada table 4. Aliran hujan abu yang mengarah kea rah barat daya menyebabkan kawasan di bagian barat Gunungapi Merapi menyimpan banyak material piroklastik ringan hasil letusan. Material tersebut antara lain seperti abu, pasir, dan kerikil. Kondisi yang berbeda terdapat pada bagian selatan Gunungapi Merapi, dimana material yang terendapkan berupa tumpukan material piroklastik dengan suhu yang panas sehingga karakteristik materialnya berukuran lebih besar seperti pasir, kerikil, kerakal dan bongkahan batu besar (Daryono, 2011)
13
Tabel 1.4. Kejadian Lahar Mulai Tahun 1587 hingga 1998
1587 1672 1822 1832 1888 1920
08-Apr 28-Des 25-Des 22-Sep 12-Okt
5
Jarak Aliran (km) 7,5 5,5
1922
18-Feb
-
-
1922
4/5-Apr 08Agust 18/19Des 17/18Nov 12/23Des 24-Jan
-
-
-
-
-
13
-
7
-
3 2
1943 1948
30 Mei sampai 8 Juni, 20 Juni 11-Apr 13-Jan
3 1 -
2,5 -
1954 1956
18-Jan 25-Jun
20 8,5
7 6
Tenggara Barat Daya Barat Daya Barat Laut & Barat Barat
1961
08-Mei
29,4
12
Barat Daya
Tahun
1922 1930 1934 1939 1940 1942
Tanggal Volume Kejadian (10⁶m³)
Arah Aliran
Tipe Lahar
Sungai yang Menjadi Aliran Lahar
Barat Selatan & Barat Daya Selatan & Barat Daya Selatan & Barat Daya Selatan & Barat Daya
Panas Panas Panas Panas Dingin Panas
Senowo, Pabelan, Blongkeng, Lamat, Woro Senowo, Trising, Blongkeng, Batang -
-
-
-
-
Panas, Dingin
Batang, Pabelan, Lamat, Blongkeng, Woro, Senowo
Barat Barat & Barat Daya Barat
-
-
-
-
-
-
Dingin Panas, Dingin
Pabelan Senowo, Blongkeng, Batang, Pabelan 14
1967/1968
-
4,9
7
Barat Daya
1969 1972
7/8-Jan 06-Okt 25/28Feb 14-Apr 22/23Sep 19/20Des 10-Jul
7,7 -
13,3 3
-
06-Mar 05-Nop 21-Jan 13/151984 Jun 1986 10-Okt 1992 02-Feb 1994 22-Nop 1996 Oktober 1997 17-Jan 1998 Juli Sumber : Lavigne, 1999
1973 1973 1973 1973 1975 1976 1976 1979
Barat Daya Barat Daya
Panas, Dingin Dingin
Blongkeng, Krasak, Putih -
4,5
Barat Daya Barat Daya
Dingin -
Putih, Bebeng, Krasak, Kuning, Boyong
1,7
6,5
Barat Daya
-
-
2,9 1,9
7 5,5
Barat Daya Barat Daya
Dingin
0,4 0,8 -
3 3,5 -
Barat Daya Barat Daya Barat Daya
Dingin -
Putih, Bebeng, Krasak, Kuning, Boyong, Kuning, Blongkeng, Putih Batang, Bebeng, Krasak -
4,5 2,5 3 2,5 -
7 4 6 6,5 -
Barat Daya Barat Daya Barat Selatan Selatan Selatan Barat Daya
Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin Dingin
Putih Putih Putih Boyong Putih
15
1.4.3. Elemen Risiko Elemen risiko merupakan seluruh objek, manusia, hewan, aktifitas atau proses yang terkena dampak dari kejadian bencana didalam sebuah area, secara langsung maupun tidak langsung. Elemen risiko juga termasuk bangunan, fasilitas umum, populasi, aktivitas ekonomi, dan lingkungan (Van Westen et al., 2006 ). Pada berbagai literatur dijelaskan tentang metode yang dapat mengklasifikasikan elemen risiko yang tergantung pada negara yang berbeda, daerah perkotaan atau desa, dan skala pengukuran risiko.
Misalnya Asian
Disater
Preparedness
Center
(ADPC)
mengklasifikasikan elemen risiko menjadi elemen risiko fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan Tabel 1.5 Klasifikasi Elemen Risiko Klasifikasi Elemen Risiko ELEMEN FISIK ELEMEN SOSIAL Infrastruktur, misalnya : * Kelompok Umur Kategori Rentan Jalan kereta api, jemabatan, pelabuhan, bandara, dll * Kelompok Umur Kategori Rendah Fasilitas Penting, misalnya : * Tidak memiliki hak kepemilikan tanah / tempat penampungan darurat, tunawisma sekolah, rumah sakit, panti jompo, pemadam kebakaran, polisi, dll * Cacat Utilitas : listrik, penyediaan air * Gender Layanan Pemerintahan : * Rumah tangga dengan orang tua tunggal, dll Semua Tingkat - nasional, provinsi, local Mesin dan Peralatan Bangunan sejarah dan artefak ELEMEN EKONOMI ELEMEN LINGKUNGAN Aktifitas bisnis dan * Sumber daya lingkungan : udara, air, flora, perdagangan, akses untuk fauna bekerja, lahan pertanian, * Keanekaragaman Hayati dampak pada tenaga kerja, biaya produktifitas * Landscape Sumber : ADPC dalam Van Westen, et al, 2009
16
Tingkat kerentanan fisik dan bangunan sebagai elemen risiko ditentukan oleh pengaruh dari kejadian bahaya, seperti jarak dari kejadian dan konstruksi bangunan. Kerusakan bangunan / infrastruktur akibat kejadian bahaya disebabkan oleh beberapa faktor (Van Westen, 2005) : 1. Tipe: tipe bangunan yang berbeda menyebabkan perbedaan terhadap
tingkat
kerusakan akibat banjir lahar 2. Kecepatan : kecepatan aliran lahar yang mampu mencapai 40 – 60 km/jam dapat menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Gaya lateral yang ditimbulkan oleh aliran lahar mampu merobohkan bangunan. Banjir lahar dengan kecepatan tinggi juga mampu menyebabkan erosi tanggul sungai karena terus menerus tergerus oleh alirn lahar. 3. Ketinggian / kedalaman : kedalaman aliran banjir lahar menentukan seberapa besar bangunan terendam lahar. Kedalaman aliran lahar digabungkan dengan kecepatan lahar dapat menentukan debit banjir lahar. 4. Durasi : durasi banjir lahar sangat penting dalam hubungannya dengan konstruksi bangunan dan bagaimana konstruksi tersebut merespons terhadap pengaruh banjir lahar. 5. Sedimen : jumlah sedimen menentukan tingkat kerusakan bangunan dan biaya untuk pembersihan endapan material tersebut. 1.4.4. Kerentanan Masalah kerentanan sangat terkait erat dengan kondisi elemen yang terekspose bahaya. Semakin besar daya tahan elemen terhadap bahaya maka akan semakin rendah tingkat kerentanan (tidak rentan), dengan asumsi intensitas bahaya tidak berubah. Kerentanan didefinisikan sebagai tingkat kerugian dari suatu elemen atau sekumpulan elemen pada zona berisiko sebagai akibat dari adanya kejadian (bahaya) alam dengan besaran atau intensitas tertentu (Naryanto, 2011) 17
Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau populasi masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi suatu ancaman bahaya (BNPB, 2011). Kerentanan adalah sebuah kondisi manusia atau proses yang dihasilkan dari faktor fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan yang menentukan kemungkinan dan skala kerusakannya dari dampak bahaya tertentu (UNDP,2004) Tingkat kerentanan merupakan suatu hal penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena bencana terjadi apabila bahaya terjadi pada kondisi yang rentan (Awotona, 1997 dalam Bakornas PB, 2007). Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jaringan jalan KA. Wilayah Indonesia tergolong sangat rentan karena persentase kawasan terbangun , kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA, sangat rendah (Bakornas PB, 2007) Kondisi kerentanan sosial merupakan gambaran tentang kerapuhan atau ketidakmampuan sosial masyarakat dalam menghadapi bahaya. Kondisi sosial yang rentan dapat menimbulkan dampak kerugian yang besar saat terjadi bencana. Indikator kerentanan sosial diantaranya adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase usia penduduk (Bakornas PB, 2007) Kondisi kerentanan ekonomi menggambarkan tingkat ekonomi masyarakat yang rapuh terhadap ancaman bahaya. Semakin baik atau solid kondisi ekonomi masyarakat maka semakin tangguh masyarakat tersebut dalam menghadapi suatu bencana. Indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga
18
yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan pesentase rumah tangga miskin (Bakornas PB, 2007) Kerentanan pada suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa hal, yiatu antara lain sigat kerentanan yang multi dimensional (misalnya fisik, sosial, ekonomi, lingkungan, kelembagaan, dan faktor manusia), lalu sifat kerentanan yang dinamis yaitu perubahan kerentanan dari waktu ke waktu. Kerentanan juga tergantung pada skala dapat diekspresikan pada skala yang berbeda dari manusia, ke rumah tangga, hingga pada level negara (Van Westen, Kingma, 2005). Villagran mengembangkan kerangka kerja untuk menguraikan kerentanan (Gambar 1.4). Dimensi kerentanan dibagi menjadi tiga yaitu: skala atau tingkat geografis (dari manusia ke tingkat nasional), berbagai sektor masyarakat (elemen risiko), dan 6 komponen kerentanan (jenis kerentanan)
Gambar 1.4 Kerangka Kerentanan (Villagran, 2006) Sumber : Van Westen, 2005
19
1.4.5 Penilaian Kerentanan dan Kapasitas (Vulnerability and Capacity Assessment) Tujuan utama dari penilaian kerentanan dan kapasitas (Vulnerability and Capacity Assessment) adalah alat diagnostik untuk memberikan data analitis untuk mendukung keputusan yang lebih baik pada perencanaan dan pelaksanaan langkah – langkah pengurangan risiko bencana. Penilaian keretanan dan kapasitas yang efektif akan memberikan kontibusi untuk pemahaman yang lebih baik tentang sifat dan tingkat risiko yang akan dihadapi oleh masyarakat yang rentan, dimana risiko berasal, siapa yang terkena dampak buruk, sehingga penilaian tingkat kerentanan dan kapasitas dilakukan untuk mengurangi risiko dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas masyarakat yang berisiko terhadap anacaman bencana (Davis et al, 2004) Penilaian kerentanan dan kapasitas adalah komponen kunci didalam analisis risiko bencana, hasilnya dapat dipergunakan oleh para pengambil keputusan untuk mengurangi dampak risiko bencana tergantung pada skala yang dipergunakan namun pada skala lokal hasilnya akan lebih akurat, dengan demikian tujuan penilaian kerentanan dan kapasitas menurut Davis et al. (2004) adalah a. Mengidentifikasi dan mengukur kerentanan individu / kelompok secara spesifik berdasarkan karakteristik sosial seperti jenis kelamin, usia, kondisi kesehatan, ketidakmampuan / difabel, etnis, dan sebagainya b. Mencakup analisis pola kepadatan, keamanan penghidupan/mata pencaharian (livelihood security) dan aktivitas pekerjaan yang dapat meningkatkan kerentanan rumah tangga dan komunitas tertentu c. Identifikasi keanekaragaman sumberdaya, yaitu strategi menghadapi (coping strategies) masyarakat, kepemimpinan lokal dan lembaga, modal sosial yang sudah ada mungkin dapat memberi kontribusi terhdap upaya pengurangan risiko, keterampilan, tenaga kerja, fasilitas masyarakat, kesiapsiagaan, rencana evakuasi. 20
d. Dari aspek partisipatoris penilaian risiko adalah persepsi masyarakat lokal terhadap risiko yang berperan penting dalam penentuan risiko dan prioritas mitigasi. 1.4.6 Mitigasi Mitigasi didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan (King, 2007 dalam Kusumasri, 2014). Mitigasi sering juga disebut pencegahan atau pengurangan risiko dan dianggap sebagai landasan manajemen bencana (FEMA, 2006 dalam Kusumasri, 2014). Ketika kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan dilakukan untuk memberikan reaksi terhadap bencana atau dalam mengantisipasi konsekuensi bencana langkah – langkah mitigasi berusaha untuk mengurangi konsekuensi risiko bencana sebelum bencana terjadi. Mitigasi dapat dilihat sebagai upaya berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana melalui pengurangan kemungkinan dan komponen konsekuensi risiko bencana (Capolla, 2007 dalam Kusumasari, 2014). Tujuan mitigasi adalah
pengurangan
kemungkinan
risiko,
pengurangan
konsekuensi
risiko,
menghindari risiko, penerimaan risiko, serta transfer, pembagian, atau penyebarluasan risiko. Ada dua jenis mitigasi, yaitu struktural dan non struktural. Mitigasi struktural didefiniskan sebagai usaha pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui penerapan solusi yang dirancang (Kusumasri, 2014). Upaya ini mencakup ketahanan konstruksi, langkah – langkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi, modifikasi struktur, konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas atau sistem pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan infrastruktur untuk keselamatan hidup (Kusumasari, 2014). Mitigasi non struktural meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi risiko melalui modifikasi proses perilaku manusia atau alam, tanpa membutuhkan penggunaan
21
struktur untuk dirancang. Di dalam proses mitigasi non struktural terdapat langkah – langkah regulasi, program pendidikan dan kesadaran masyarakat, modifikasi fisik nonstruktural, modifikasi perilaku, serta pengendalian lingkungan. 1.5 Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang banjir lahar dan bahaya erupsi Gunungapi Merapi sudah sangat banyak dilakukan baik oleh peneliti nasional maupun internasional. Penelitian pasca terjadinya erupsi Merapi yang meletus dengan skala VEI 4 juga sudah tingkat kerentanan di wilayah sekitar Kali Putih sudah banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian di wilayah ini sepanjang Kali Putih lebih banyak tentang bahaya banjir lahar dan karakteristik bencana banjir lahar seperti yang dilakukan oleh Munawaroh (2012), Lavigne et (2000), Thouret (2000), Hadmoko (2013) dan masih banyak kajian penelitian mengenai karakteristik bahaya banjir lahar. Perbedaan dari penelitian ini adalah lebih banyak menganalisa tentang tingkat kerentanan masyarakat yang tinggal di sekitar Kali Putih terhadap bahaya banjir lahar. Penelitian tentang tingkat kerentanan di sekitar Kali Putih juga sudah dilakukan Permatasari (2012) dan Hendarsah (2010). Penilitian tentang tingkat kerentanan banjir lahar juga dilakukan oleh Giyarsih (2014) namun dilakukan disepanjang Kali Gendol Kabupaten Sleman. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah pada metode penilaian kerentanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE) yang menggabungkan metode statistik dengan spasial. Berbagai penelitian terdahulu dijadikan sumber acuan penulisan ini ditambilkan pada Tabel 1.6 berikut.
22
Tabel 1.6. Penelitian Sebelumnya Peneliti /
Judul Penelitian
Metode/ Teknik
Hasil
Tahun Florensius Steven Analisis Risiko Banjir dengan Kuisioner, / 2010
SIG Tingkat Risiko Bencana Banjir dipengaruhi oleh
pendekatan P-GIS di wilayah Partisipatif, Perkotaan Kecamatan Muara Lapangan,
Jaswadi / 2010
Survei topografi yang rendah. Faktor pendidikan, status dan pekerjaan berpengaruh terhadap kerentanan sosial.
Lawa Kutai Barat Kalimantan Analisis Citra
Bangunan tipe tiga mempunyai tingkat kerentanan
Timur
paling tinggi
Tingkat
Kerentanan
dan Kuisioner,
SIG Tingkat Kerentanan masyarakat ditentukan oleh factor
Kapasitas Masyarakat dalam Partisipatif,
dan fisik dan sosial ekonomi memengaruhi kemampuan
menghadapi risiko banjir di Penginderaan Jauh
masyarakat dalam menghadapi banjir (gotong royong
Kec Pasarkliwon Surakarta
dan kepemilikan sarana informasi) meningkatkan pengetahuan dan penyadaran masyarakat terhadap bahaya banjir
Haruman
Penilaian
Kerentanan
Hendarsah/ 2010
Kapasitas Masyarakat dalam Partisipatif, menghadapi
bahaya
dan Kuisioner,
banjir Survei
SIG Wialayah Rawan Bencana terletak di sekitar sungai FGD, yang menjadi medan lahar. Persepsi risiko yang tinggi
Lapangan, meningkatkan
lahar di Kecamatan Salam Analisis Citra
kapasitas
masyarakat
dalam
menghadapi bahaya banjir lahar. SIG Partisipatif
23
Lisditya Permatasari 2012
menggunakan metode SIG
berguna dalam upaya peringatan dini bahaya banjir
Partisipatif
lahar dan upaya mitigasi
Evaluasi
Pengembangan Tracking
/ Wilayah
Area Hasil tingkat kerentanan lebih ditekankan pada persil
Pemukiman Terdampak, Analisis bangunan dengan menggunakan parameter jarak dari
Berbasis Analisis Risiko Cross Section Sungai, sungai hasil pengukuran cross section sepanjang aliran Banjir Lahar di Daerah Sepanjang
Kali
Kabupaten
Putih
Magelang
Kuesioner, Citra
dan
Lapangan
Analisis Kali Putih dengan cara memafaatkan metode kriging. Survei Hasil dari tingkat kerentanan persil bangunan dilakukan survei wawancara dengan masyarakat untuk menganilisis risiko bencana pada daerah penelitian
Provinsi Jawa Tengah Munawaroh 2012
/ Kajian
Persebaran Pengukuran Infrastruktur, Morfologi
Kerusakan
Pemukiman, Dan Lahan Tracking Pertanian
Akibat
Banjir
Lahar Hujan Tahun 2010 dengan
Pendekatan
Terdampak,
Hasil prediksi tingkat bahaya dihasilkan dari skoring Sungai, beberapa
parameter,
yaitu
penggunaan
lahan,
Area morfologi sungai, jarak dari sungai, dan tinggi tebing Survei sungai. Hasil prediksi tingkat bahaya dari parameter
pengamatan lapangan dikombinasikan dengan luasan banjir lahar aktual hasil tracking area terdampak.
Geomorfologi
24
1.6 Landasan Pemikiran Bencana sekunder gunungapi banjir lahar merupakan bencana yang jauh lebih berbahaya dan mematikan. Erupsi Gunungapi Merapi pada tahun 2010 lalu telah menghasilkan banyak material piroklastik yang keluar dari dalam tubuh gunungapi. Material piroklastik sisa hasil erupsi mempunyai masa jenis yang lebih berat daripada material abu vulkanik. Oleh karena itu bencana banjir lahar lebih berbahaya daripada bencana primer. Banjir lahar merupakan hasil rombakan sisa material hasil erupsi yang terdapat di puncak Gunungapi yang terbawa oleh aliran air saat terjadi hujan di puncak gunungapi. Laju aliran lahar yang mengikuti gravitasi menimbulkan risiko yang besar untuk terjadinya bencana banjir lahar, karena aliran lahar dapat keluar dari sungai dan menimbulkan bencana banjir lahar. Erupsi Merapi pada tahun 2010 telah mengahasilakn 130 juta meter kubik material piroklastik, dan 50 juta meter kubiknya terletak di Magelang (BPPTK, 2010). Matertial hasil erupsi tersebut tersimpan di sungai – sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi dan di puncak gunungapi. Material piroklastik hasil sisa erupsi Gunungapi Merapi diperkirakan habis sampai tiga kali musim penghujan, oleh karena itu penelitian tentang banjir lahar masih sangat relevan untuk dilakukan. Local Konwledge atau pengetahuan lokal menjadi salah satu kunci untuk memahami risiko bencana. Masyarakat lokal mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam tentang fenomena lingkungan fisik dan sosial yang ada di daerahnya yang mengarah pada variasi risiko dari waktu ke waktu. Penilaian kerentanan pada suatu wilayah terdampak bencana sangat diperlukan untuk mengetahui upaya pengurangan risiko yang tepat untuk daerah tersebut. Besarnya tingkat kerentanan total pada suatu wilayah ditentukan oleh beberapa tingkat kerentanan lainnya yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan kerentanan ekonomi. Dengan demikian dapat diketahui wacana faktor kerentanan apa yang paling berpengaruh terhadap kerentanan total.
25
1.7 Diagram Alir Pemikiran Bahaya Banjir Lahar
Daerah Bahaya Banjir Lahar
Elemen Risiko
Bangunan
Masyarak at
Infras truktur
Faktor Berpengaruh Kerentanan
Faktor Sosial
Faktor Fisik
Faktor Ekonomi
Penilaian Kerentanan
Indept Interview
SMCE
Wawancara Koesioner
Manajemen Pengurangan Risiko Bencana
Tu juan
Hasil
Data
Proses
Sub Proses
Gambar 1.5 Diagram Alir Pemikiran
26
1.8 Batasan Operasional a. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007) b. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (UU No 24 Tahun 2007) c. Bahaya adalah peristiwa yang berpotensi merusak, fenomena atau aktivitas manusia yag dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan (UN-ISDR, 2004) d. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No 24 Tahun 2007) e. Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehibilitasi (Bakornas PB, 2007) f. Elemen yang berisiko adalah semua objek (manusia, hewan, kegiatan, dan proses) yang dapat terkena dampak negative dari fenomena berbahaya di daerah tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung (Van Westen et al., 2006) g. Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau populasi masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi suatu ancaman bahaya (Bakornas PB, 2007) h. Pencegahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana(Bakornas PB, 2007) i. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Bakornas PB, 2007)
27