BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama beberapa dekade terakhir, kepedulian terhadap lingkungan telah meningkat secara drastis di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Perubahan yang positif pada perilaku konsumen terhadap produk-produk terkait lingkungan dapat dilihat berdasarkan meningkatnya kesadaran lingkungan sejak tahun 1970-an (Alwitt dan Pitts, 1996). Perubahan ini juga telah memunculkan revolusi hijau untuk menanggulangi dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih jauh. Indonesia sebagai negara berkembang juga mulai menyadari betapa pentingnya untuk menjaga kelestarian lingkungan setelah kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat. Indonesia telah menunjukkan komitmen yang serius terhadap pengelolaan lingkungan, salah satunya dengan penggunaan alat pemasaran hijau (green tools marketing) berupa ecolabeling pada produk-produk yang beredar di pasaran. Tujuannya adalah agar konsumen bisa mengetahui spesifikasi dari produk-produk tersebut dan mana yang ramah lingkungan dan mana yang tidak. Alat-alat pemasaran hijau seperti eco-labeling dan eco-brand akan mempermudah persepsi dan kepedulian konsumen terhadap sifat dan karakteristik produk hijau. Penerapan aturan ini memainkan peran yang sangat penting untuk mengubah perilaku yang dilakukan konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan, ditambah lagi hal ini bisa mengurangi akibat buruk dari produk sintetis yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perusahaan harus tahu seberapa besar pengaruh alat pemasaran hijau dalam perilaku pembelian konsumen. Lee (2008) menyatakan tiga tahap untuk pemasaran hijau. Tahap pertama pemasaran hijau muncul sejak tahun 1980-an, ketika gagasan pemasaran hijau baru diinisiasi dalam industri (Peattie dan Crane, 2005). Pemasaran hijau masuk ke tahap kedua pada 1990-an, pada dekade ini serangan balik dialami oleh pemasar (Wong et al., 1996). Secara bertahap, pemasar melihat bahwa kekhawatiran konsumen, sikap positif mereka terhadap lingkungan dan produk hijau tidak diterjemahkan ke dalam perilaku pembelian (Schrum et al., 1995). Sejak tahun 2000, pemasaran hijau telah berkembang menjadi tahap ketiga. Pada tahap ini pemasaran hijau telah melalui
15
momentum baru dengan penerapan teknologi yang lebih maju, regulasi ketat oleh pemerintah dan peningkatan kesadaran lingkungan global. Menurut Hartmann dan Ibanez (2006) pemasaran hijau pada umumnya berfokus pada efisiensi strategi persuasi kognitif, dan keyakinan bahwa keterlibatan tinggi konsumen mengenai isu-isu lingkungan adalah efek pengetahuan lingkungan yang telah tumbuh. Stanton dan Futrell (1987) mendefinisikan pemasaran hijau atau pemasaran berbasis lingkungan sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk menggantikan kebutuhan dan keinginan saat ini dengan dampak yang minimal pada lingkungan kita. Ginsberg dan Bloom (2004) menyatakan bahwa tidak ada satu alat pemasaran yang akan sesuai untuk semua perusahaan. Sebaliknya, strategi harus berbeda berdasarkan pasar yang berbeda dan tingkat kepedulian konsumen terhadap lingkungan. Dua alat pemasaran hijau dipilih dalam penelitian ini sebagai tambahan untuk pengetahuan konsumen tentang produk yang ramah lingkungan. Saat ini, alat ini juga digunakan untuk membantu konsumen membedakan antara produk hijau dan produk konvensional. Alatalat ini termasuk eco-label dan eco-brand. Penelitian pernah dilakukan sebelumnya namun hasilnya sangat kontradiktif (Bleda dan Valente, 2008; Chatterjee, 2009; Chan, 2004; Davis, 1993). Namun tentunya hal ini bisa terjadi karena konteks perbedaan budaya, waktu dan tempat diadakannya penelitian. Menurut Ottman (1992a, b) dan Peattie (1992) permintaan dan sikap untuk produk hijau cenderung tidak merata di seluruh segmen pasar dan budaya yang berbeda. Pada akhirnya penelitian ini dapat memberikan beberapa wawasan untuk pemasar hijau tentang bagaimana mereka dapat memperluas operasi mereka di Asia terutama di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Seiringnya bertambahnya waktu, jumlah penduduk relatif selalu meningkat. Pertambahan penduduk ini tentunya sejalan dengan meningkatnya kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi suatu barang. Peningkatan tingkat konsumsi ini tentunya akan meningkatkan kebutuhan lainnya dan menghasilkan residual yang semakin meningkat yang nantinya mencemari lingkungan. Namun berkat majunya teknologi dan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk hidup 16
dengan mengonsumsi barang-barang yang tidak membahayakan lingkungan, maka muncullah produk hijau sebagai produk alternatif yang ditawarkan produsen. Produk ini tentunya akan memberikan manfaat berbeda pada konsumennya dibanding produk non-hijau dalam rangka mendukung kepedulian lingkungan. Salah satu produk hijau yang telah diakui keberadaannya adalah produk lampu hemat energi dari Philips. Berdasarkan fenomena tersebut peniliti tertarik untuk menelitit tentang perilaku pembelian aktual konsumen dikalangan konsumen produk lampu hemat energy Philips berdasarkan atas kesadaran dan pengetahuan akan kepedulian lingkungan. Dalam penelitian ini peneliti berusaha memecahkan masalah tersebut dengan practical gap dengan penelitian sebelumnya yaitu perbedaan konteks budaya dan demografi antara tempat penelitian sebelumnya yaitu Malaysia dengan Indonesia.
1.3 Pertanyaan Riset Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka rumusan masalah utama yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1.
Apakah eco-label berpengaruh positif pada perilaku pembelian aktual konsumen?
2.
Apakah eco-brand berpengaruh positif pada perilaku pembelian aktual konsumen?
1.4 Tujuan Riset Tujuan dari riset ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh alat pemasaran hijau yaitu eco-labeling dan eco-brand sebagai variabel independen dalam mempengaruhi perilaku pembelian aktual dikalangan konsumen.
17
1.5 Lingkup Riset Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dan terbatas pada konsumen dengan usia di atas 18 tahun yang telah membeli produk lampu Philips. Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan pertimbangan peningkatan pertumbuhan penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta setiap tahunnya yang sejalan dengan bertambahnya tingkat konsumsi masyarakat namun tidak diimbangi dengan kebutuhan yang memadai sehingga bisa menciptakan defisit. Di sisi lain ketika kebutuhan terpenuhi maka akan menciptakan peningkatan residual yang bisa mencemari lingkungan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Model riset yang digunakan merupakan replikasi penelitian Elham Rahbar dan Nabsiah Abdul Wahid yang sebelumnya telah dilakukan di Malaysia. Populasi penelitian ini adalah seluruh konsumen yang berusia lebih dari 18 tahun dan telah membeli produk lampu Philips. Sampel dalam penelitian ini adalah 150 konsumen produk lampu Philips yang berusia lebih dari 18 tahun. Variabel yang digunakan adalah eco-label, eco-brand dan pembelian aktual konsumen.
1.6 Kontribusi Riset Mempelajari
faktor-faktor
penentu
perilaku
pembelian
hijau
konsumen
akan
menguntungkan pemasar hijau, dalam hal ini perusahaan, karena perusahaan akan tahu seberapa besar pengaruh alat pemasaran hijau dalam perilaku pembelian konsumen. Ketika perusahaan telah mengetahui faktor-faktor penentu perilaku pembelian hijau maka perusahaan bisa mengaplikasikannya pada produk-produk yang mereka produksi ketika melakukan pemasaran. Pada akhirnya perusahaan akan lebih efisien dalam melakukan produksi dan pemasaran sehingga laba perusahaan pun akan meningkat sejalan dengan praktek hijau yang mereka lakukan. Implikasi dari penelitian ini juga bermaanfaat untuk kebijakan pemerintah seperti pemerintah bisa menyediakan beberapa panduan yang tepat bagi perusahaan-perusahaan konvensional untuk merumuskan kebijakan hijau seperti memberikan insentif bagi produsen yang menggunakan alat pemasaran hijau untuk kegiatan pemasaran mereka
yang
mempromosikan produk yang benar-benar hijau dalam proses manufaktur mereka, membangun infrastruktur yang mendukung konsep hijau, membuat aturan yang mewajibkan perusahaan
18
untuk melakukan gerakan hijau, yang pada akhirnya akan mendorong masyarakat untuk membeli produk dengan eco-label.
19