BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor
pertanian sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Kenyataan yang terjadi bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah Indonesia diperuntukkan sebagai lahan pertanian. Sektor pertanian telah berada pada fase percepatan pertumbuhan. Salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan momentum pertumbuhan tersebut. Di balik berbagai keberhasilan yang telah dicapai pembangunan pertanian ke depan masih dihadapkan kepada masalah-masalah kesejahteraan petani, kemiskinan, pengangguran, ancaman terhadap ketahanan pangan, infrastruktur pertanian yang kurang mendapat perhatian, investasi relatif rendah, akses pasar yang masih lemah dan lainnya. Peningkatan produksi tanaman bahan makanan diarahkan pada penanganan komoditi padi, palawija, dan hortikultura sebagai usaha dalam penyediaan bahan makanan atau pangan secara kuantitas maupun kualitas (RPJMN 2010). Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan di mana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari, mempunyai beberapa permasalahan seperti tingkat pendidikan rendah, tingkat keterampilan masih terbatas, produktifitas dan tingkat pendapatan rendah, adanya sikap mental yang kurang mendukung dan masalahmasalah lainnya. Permasalahan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat petani pedesaan yang satu sama lain saling berkaitan. Penerapan teknologi yang menguntungkan akan lebih banyak terjadi bila para pengelola usahatani lebih terbuka sikapnya dan mampu melaksanakan anjuran penggerak perubahan atau yang biasa disebut bertahap reseptivitasnya terhadap hal-hal yang baru. Pengelolaan usahatani dimana saja dan kapan saja pada hakekatnya akan dipengaruhi oleh prilaku petani yang mengusahakan.
2
Prilaku orang itu ternyata tergantung dari beberapa faktor, diantaranya watak, suku dan kebangsaan dari petani itu sendiri, tingkat kebudayaan bangsa dan masyarakatnya, juga kebijakan pemerintah (Suharto, 2005). Pada masa pembangunan ini pandangan, perhatian dan pemeliharaan terhadap petani di pedesaan ternyata demikian besar, seperti diadakannya penyuluhan-penyuluhan yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan antara lain peningkatan hasil pertanian dan peningkatan taraf hidup petani. Petani adalah tulang punggung perekonomian negara dan desa adalah pangkal kehidupan perkotaan, tetapi kenyataannya kehidupan para petani di pedesaan masih berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah. petani buta akan pendidikan, teknologi yang baik untuk usahataninya, sehingga produksi yang petani lakukan dari generasi ke generasi hanyalah berdasarkan pengalaman dan usaha sendiri, dalam waktu yang demikian lama prilaku kehidupan petani tidak mengalami perubahan. petani tidak bisa melakukan perubahan karena terbentur pada keadaan sendiri, antara lain karena pendidikan yang diperolehnya terlalu rendah. Indonesia memiliki sumber daya alam hortikultura tropika yang berlimpah berupa keanekaragaman sumber daya lahan, iklim dan cuaca yang dapat dijadikan suatu kekuatan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam agribisnis hortikultura di masa depan. Produk-produk agribisnis hortikultura tropika nusantara yang terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat merupakan salah satu andalan Indonesia, baik di pasar domestik, regional maupun internasional. Bawang merah ( Allium ascalonicum) merupakan komoditas hortikultura yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik. Hal tersebut terlihat dari fenomena pasar komoditas bawang merah nasional yang sangat ditentukan oleh kinerja produksi domestik dengan kegiatan impor. Kinerja produksi yang dimaksud terutama ditunjukkan oleh kemampuan produksi pada sentra-sentra produksi nasional, sementara jumlah impor sangat ditentukan oleh tingkat permintaan domestik baik untuk kebutuhan konsumsi, benih dan industri. Pertumbuhan produksi rata-rata bawang merah selama periode 1989-2003 adalah sebesar 3,9 persen per tahun. Komponen pertumbuhan areal panen (3,5
3
persen) ternyata lebih banyak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan produksi bawang merah dibandingkan dengan komponen produktivitas (0,4 persen). Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini menyumbang 95,8 persen (Jawa memberikan kontribusi 75 persen) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada tahun 2003. Data Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Kementrian Pertanian menunjukkan bahwa sampai tahun 2009 secara nasional ditinjau dari neraca perdagangan komoditas bawang merah mengalami surplus impor sejak tahun 1999 sampai 2009 . Besaran surplus tersebut berkisar antara 16.916,4 pada tahun 1999 sampai 36.605,8 ton pada tahun 2009 dan konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2009 adalah 9,56 kg/kapita/tahun atau 0,79 kg/kapita/bulan (Lembaga Penelitian Undana, 2009). Desa Sidakaton merupakan desa yang mata pencaharian penduduknya sebagian besar disektor swasta /informal antara lain sebagai pedagang warung makan (warteg) di luar desa terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan lain-lain. Sebagian lagi,bekerja sebagai petani dan buruh tani. Produk unggulan Desa Sidakaton yang sebagian besar wilayahnya merupakan areal pertanian adalah bawang merah. Pengentasan kemiskinan di Desa sangat tergantung pada dua hal, yaitu : Pertama,
program
pembangunan
di
desa
itu
sendiri
secara
khusus;
Kedua,program pembangunan kabupaten secara keseluruhan. Tentu saja hal ini tergantung pada program pembangunan Indonesia secara keseluruhan (Lawang, 1989). Terlepas dari mutunya, setiap kabupaten memiliki program pembangunan daerah (Propeda) dan dari situlah disusun rencana strategis (Restra) yang bersifat tahunan. Pada umumnya desa tidak mempunyai program pembangunan sendiri, yang dilakukan selama ini adalah pembangunan desa menurut program pembangunan
kabupaten,
bukan
menurut
program
pembangunan
desa.
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 Junto UU Nomor 34 Tahun.2004 Junto UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah, desa telah diberi kewenangan
4
untuk menyusun rencana pembangunan Desa, namun pada kenyataannya mereka belum mampu melaksanakan tugas tersebut. Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki desa masih sangat terbatas baik dalam kualitas maupun kuantitasnya, sehingga sampai saat ini kebanyakan desa belum memiliki program yang pasti untuk mengatasi kemiskinan yang telah terjadi di desanya. Demikian juga masalah Kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan belum terpikirkan oleh para pembuat keputusan di desa (Fauziah, 2010). Sajogyo (1983) dalam Meiliala (2006) Perempuan pedesaan, merupakan sumber daya manusia yang cukup nyata berpartisipasi, khususnya dalam memenuhi fungsi ekonomi keluarga dan rumah tangga bersama dengan laki-laki. Perempuan di pedesaan sudah diketahui secara umum tidak hanya mengurusi rumahtangga sehari-hari saja, tetapi tenaga dan pikirannya juga terlibat dalam berbagai kegiatan usaha tani dan non usaha tani, baik yang sifatnya komersial maupun sosial. Berkaitan dengan kegiatan usahatani perempuan memiliki peranan mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pasca panen dan pemasaran. Sedangkan yang berkaitan dalam bidang non pertanian seperti pengambilan keputusan dalam keluarga (Dirjen PLA 2009). Akan tetapi pada kenyataannya terjadi kesenjangan gender berupa perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan usahatani bawang merah sehingga hal tersebut berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia telah mengusung program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) untuk menghapus segala bentuk diskriminasi baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan (Juliani, 2010). Keterlibatan perempuan di pedesaan dalam kegiatan ekonomi produktif antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, yaitu tidak tercukupinya kebutuhan rumah tangga mereka. Sebagai ibu rumah tangga, biasanya perempuan yang
5
bertanggung jawab dalam mengatur rumah tangga, baik menyangkut kesehatan gizi keluarga, pendidikan anak, dan pengaturan pengeluaran biaya hidup keluarga. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak tercukupi, maka perempuan yang pertama merasakan dampaknya. Sehingga dengan keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif setidaknya sebagian kebutuhan keluarga mereka terpenuhi. Perempuan memilki peranan yang besar dalam keluarga baik dalam kegiatan rumahtangga ataupun kegiatan ekonomi yang dapat menunjang pendapatan rumahtangga. Peranan dan keterlibatan perempuan dalam pengelolaan usahatani cukup besar, mulai dari persiapan lahan sampai pada pemasaran hasil produksi, akan tetapi perhatian terhadap perempuan masih rendah. Demikian juga masalah Kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan belum terpikirkan oleh para pembuat keputusan di desa Memfokuskan isu gender dengan memberikan peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan usahatani bawang merah, akan berpengaruh bukan saja terhadap kinerja suatu program pertanian, tetapi juga memberdayakan perempuan dan menimbulkan rasa kepemilikan (sense of ownership) terhadap suatu sumber usaha. Akses yang lebih baik terhadap sumberdaya juga memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkontribusi dalam kegiatan ekonomi produktif maupun dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan usahatani bawang merah. Dari hal tersebut menjadi menarik, ketika perempuan ikut serta dalam kegiatan usahatani guna meningkatkan produktifitas usahatani bawang merah dalam rumahtangga. Atas dasar itu, maka perlu diadakan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis Kesetaraan dan keadilan gender dalam usahatani bawang merah di Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
1.2.
Perumusan Masalah Mencermati
bahwa
usahatani
bawang
merah
berprospek
dalam
meningkatkan pendapatan rumahtangga sehingga perlu dianalisis apakah dalam rumahtangga tersebut masing-masing pihak telah mendapatkan perlakuan yang adil sehingga untuk itu rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah Kesetaraan
6
dan Keadilan Gender (KKG) dalam usahatani bawang merah di Desa Sidakaton sudah terwujud? Secara rinci pertanyaan penelitian meliputi: 1.
Bagaimana hubungan faktor sosial ekonomi petani ( jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, dan luas lahan) dengan relasi gender dalam pembagian kerja yang ditinjau dari konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)?
2.
Bagaimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga petani bawang merah dan bagaimana nilai sosial budaya di lokasi penelitian dapat membentuk relasi gender dalam rumahtangga petani bawang merah?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.
Menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi petani ( jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, dan luas lahan) dengan relasi gender dalam pembagian kerja dan Kesetaraan dan Keadilan Gender rumahtangga petani di Desa Sidakaton.
2.
Menganalisis pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga petani bawang merah di Desa Sidakaton yang dikaitkan dengan nilai sosial budaya yang terwujud dalam rumahtangga petani bawang merah.
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa Kegunaan untuk mahasiswa selaku
akademisi, masyarakat dan pemerintah. Berikut adalah manfaat yang dapat di peroleh yaitu: 1.
Mahasiswa Penelitian ini diharapkan menjadi pengayaan literatur terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender dalam usahatani. Selain itu, membuka wawasan mahasiswa mengenai masalah ketidakadilan dan ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat sehingga lebih sadar akan gender.
7
2.
Masyarakat Menyadarkan masyarakat tentang kesalahan persepsi yang telah di bangun oleh lingkungan sosial mengenai ketidakadilan dan ketimpangan gender yang selama ini dianggap sebuah kodrat. Sehingga masyarakat sadar gender, bisa lebih cerdas dan cermat dalam menghadapi peristiwa sosial yang terjadi.
3.
Pemerintah Menambah informasi pemerintah mengenai kesetaraan dan keadilan gender dalam usahatani sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam beberapa program pemerintah dan penentuan kebijakan sehingga terjadi kesetaraan gender