BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah mengalami pergeseran paradigma baru dalam pelaksanaannya, terutama setelah kegiatan pengadaan dilakukan melalui sistem elektronik (e-Procurement). E-Procurement dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik [1]. Pada prinsipnya sistem e-Procurement mengubah pola pikir, dari sesuatu yang sifatnya manual dan rawan penyalahgunaan menjadi sistem elektronik sistemik yang mengurangi tatap muka. Sistem ini secara tidak langsung memicu terciptanya pasar pengadaan yang kompetitif dan sehat. Setiap penyedia memiliki kesempatan yang sama, tidak ada lagi diskriminasi, jaminan transparansi karena sistem bisa dipantau bersama-sama dan praktek kecurangan dapat semakin dihilangkan [2]. Aplikasi e-Procurement untuk pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), yang dinamakan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). SPSE mulai diterapkan oleh instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia sejak tahun 2008. Unit yang dibentuk oleh sebuah instansi untuk mengoperasikan SPSE adalah Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Pada proses pengadaan, LPSE hanya sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam proses pengadaan. Pelaksanaan proses pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan/ULP. Sampai akhir tahun 2013, tercatat sudah 573 kementerian/lembaga/daerah/ instansi (K/L/D/I) yang memiliki LPSE [3]. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan e-Procurement adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah direvisi beberapa kali, terakhir Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada pelaksanaannya, Peraturan Presiden Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dijabarkan dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2010 tentang LPSE, Peraturan Kepala LKPP Nomor 17 Tahun 2012 tentang e-Purchasing dan Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 Tahun 2012 tentang e-
Tendering. E-Tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan menyampaikan 1 (satu) kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan sedangkan e-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik [4]. Mulai tahun 2008, instansi pemerintah pusat dan daerah mulai menerapkan eProcurement di pemerintahannya. Sistem LPSE diimplementasikan dengan prinsip terdistribusi/desentralisasi, yaitu setiap instansi memiliki server LPSE sendiri dengan alamat situs sendiri [3]. LPSE memfasilitasi Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk melakukan pengadaan barang/jasa secara elektronik dengan pihak penyedia barang/jasa selaku pelaku usaha. Kedudukan LPSE dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut :
Gambar 1.1 Kedudukan LPSE E-Procurement
merupakan
sistem
pengadaan
barang
dan
jasa
yang
memanfaatkan teknologi informasi. Implementasi model e-Procurement diharapkan dapat meminimalkan masalah-masalah yang muncul pada proses pengadaan barang dan jasa secara konvensional, antara lain proses pengadaan akan lebih menghemat waktu dan biaya [5], memerangi korupsi dan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan [6] sehingga akan tercipta suatu proses pengadaan barang dan jasa yang lebih efektif dan efisien [7]. Beberapa permasalahan yang sering muncul dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah antara lain penunjukan langsung, barang atau pekerjaan fiktif, eskalasi, kontrak lump sum, barang tidak sesuai spesifikasi, rekayasa lelang, KKN atau persengkokolan, pinjam bendera dan memecah atau menyatukan paket [8]. Hal tersebut membentuk persepsi tersendiri bagi aparat pemerintah terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa. Persepsi ini yang memicu para pejabat dan pegawai untuk tidak bersedia menjadi pengelola pengadaan di instansinya, baik itu menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan maupun menjadi anggota Unit Layanan Pengadaan (ULP) [9].
Implementasi e-Procurement juga membawa konsekuensi perubahan pada organisasi pemerintah daerah. Sejak tahun 2008, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menerapkan e-Procurement dalam kegiatan pengadaan barang/jasa. Pada awal pelaksanaan e-Procurement, penumbuhan budaya organisasi dirasa sangat penting. Hal tersebut untuk menciptakan kesadaran kolektif dan mengembangkan identitas organisasi yang baru [6]. Pelaksanaan e-Procurement juga membawa dampak pada perubahan kelembagaan organisasi pemerintah. Perubahan ini menjadi faktor keberhasilan dalam proses pelaksanaan e-Procurement di Kota Yogyakarta [10]. Implementasi e-Procurement juga berdampak pada pengembangan organisasi di Pemerintah Kabupaten Luwu Utara. Strategi pengembangan organisasi dilakukan melalui reformasi administrasi. Pengembangan organisasi dilakukan untuk menjawab perubahan lingkungan yaitu berkembangnya kebutuhan masyarakat serta tingginya tuntutan kepada pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel serta pelayanan yang efektif dan efisien [11]. Pemerintah Kota Magelang mulai menerapkan e-Procurement dalam kegiatan pengadaan barang/jasa mulai tahun 2011. LPSE Kota Magelang dibentuk dengan koordinator dari Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kota Magelang dan melayani kegiatan e-Procurement untuk seluruh Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Magelang. Regulasi pembentukan LPSE di Kota Magelang adalah Peraturan Walikota Magelang Nomor 31 Tahun 2011 Tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik Kota Magelang.
Portal
LPSE
Kota
Magelang
memiliki
alamat
http://lpse.magelangkota.go.id/eproc/ dengan tampilan halaman muka sebagai berikut :
Gambar 1.2 LPSE Kota Magelang
Jumlah kegiatan pengadaan barang maupun jasa yang dikelola LPSE Kota Magelang hingga akhir tahun 2014 sejumlah 157 paket dengan personil pengadaan berjumlah 20 orang. Secara umum, kendala keterbatasan jumlah ahli pengadaan bersertifikat di Kota Magelang disebabkan karena masih adanya persepsi tentang sistem pengadaan sebelumnya (pengadaan konvensional), antara lain mudahnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berkembang serta kurang transparan [12], sehingga membuat aparat pemerintah daerah khawatir atau enggan terlibat dalam kegiatan pengadaan barang/jasa agar tidak terkena masalah hukum. Hal ini yang menjadikan personil pengelola pengadaan yang ada di Kota Magelang menanggung beban pekerjaan kegiatan pengadaan barang/jasa yang berlebih setiap tahunnya (Data LPSE Kota Magelang 2014). Implementasi e-Procurement di Kota Magelang juga membawa dampak perubahan pada organisasi satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Pengadaan barang/jasa yang semula dikelola oleh masing-masing SKPD setelah adanya eProcurement pengelolaannya banyak dilakukan oleh ULP yang dibentuk di tingkat kota. Pengadaan barang/jasa yang melalui ULP terutama untuk kegiatan yang melalui lelang umum. Dukungan pemerintah daerah terhadap e-Procurement salah satunya dengan dikeluarkannya regulasi berupa Peraturan Walikota yang mengatur tentang LPSE beserta Standard Operating Procedure (SOP) LPSE Kota Magelang. Regulasi tersebut diberlakukan untuk seluruh SKPD yang memiliki kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan melalui e-Procurement. Kinerja dan capaian target penyerapan anggaran antara lain ditentukan oleh keberhasilan SKPD dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa setiap tahunnya. Berdasarkan gambaran permasalahan di atas, perlu dilihat adanya pengaruh pelaksanaan e-Procurement dalam membentuk persepsi aparat pemerintah terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa. Hal tersebut juga untuk mengetahui penerapan prinsipprinsip pengadaan barang/jasa pemerintah yang sudah dilakukan, yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel [13]. Selain itu, perlu diketahui juga perubahan perilaku organisasi pada SKPD di Kota Magelang dalam pelaksanaan e-Procurement. Ini terkait dengan bentuk komitmen organisasi pemerintah dalam mengawal pelaksanaan e-Procurement agar berhasil beserta faktorfaktor yang menentukan keberhasilannya.
1.2
Perumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Persepsi terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa konvensional yang sarat dengan permasalahan masih menjadi penyebab beberapa aparat pemerintah enggan atau tidak bersedia menjadi personil kegiatan pengadaan barang/jasa secara elektronik (eProcurement). 2. Perilaku organisasi SKPD di Kota Magelang dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui sistem e-Procurement belum diketahui. Perubahan perilaku organisasi dapat diketahui dari pengelolaan proses pengadaan, pengeluaran biaya dan perubahan organisasi pengadaan yang melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa.
1.3
Keaslian penelitian Penelitian mengenai implementasi e-Procurement dalam kegiatan pengadaan barang/jasa telah banyak dilakukan, baik itu pada organisasi pemerintah maupun perusahaan. Metode penelitian yang banyak digunakan merupakan kualitatif, dengan mendeskripsikan perubahan organisasi yang terjadi dari berbagai macam aspek. Metode penelitian kuantitatif juga digunakan pada beberapa penelitian dengan melakukan survey. Penelitian persepsi terhadap sistem e-Procurement menitikberatkan pada persepsi yang muncul dari penggunaan layanan pada sistem. Persepsi pengguna berasal antara lain dari penerimaan sistem dan kesuksesan penggunaan sistem. Penelitian tentang persepsi dan perilaku organisasi ini dilakukan dengan menyusun model kuantitatif untuk mengetahui persepsi yang muncul beserta perilaku organisasi yang terjadi dalam pelaksanaan e-Procurement. Perbandingan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1 Perbandingan dengan penelitian lain No.
Judul
1
Efisiensi Implementasi EProcurement Pada Proses Pengadaan Barang Dan Jasa Di Pemerintah Daerah (Studi Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Tahun 2008-2012) Analisis Pengaruh Penerapan E-Procurement Terhadap Kinerja Dan Efisiensi Supply Chain Management Studi Pada PT Petroflexx Prima Daya
2
Peneliti (Tahun) Adiningsih (2013) [14]
Metode
Hasil Penelitian
Deskriptif Kualitatif
E-Procurement menyebabkan efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa. Efisiensi yang terjadi berupa efisiensi operasional dan efisiensi anggaran.
Sari (2014) [15]
Kuantitatif - Survey
E-Procurement memberikan pengaruh terhadap kinerja dan efisiensi SCM perusahaan berupa pemusatan manajemen dan kontrol data yang lebih baik, proses pengadaan yang bersih dan transparan, meningkatkan kepuasan klien, mengurangi cost per tender dan mengurangi waktu proses. Penerapan e-Procurement menunjukkan keberhasilan dengan adanya efisiensi dan efektifitas pada beberapa aspek, yaitu waktu pengadaan yang lebih cepat, pengelolaan yang terpusat serta peningkatan jumlah penyedia barang/jasa yang mengikuti tender. Perbedaan persepsi pada pengguna sistem e-Procurement yaitu panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa pada Pemerintah Kota Yogyakarta. Perbedaaan terjadi karena adanya kesenjangan digital antar pengguna sistem e-Procurement sehingga mempengaruhi tindakan masing-masing dalam pemahaman dan penggunaan sistem tersebut.
3
Analisis Manajemen Perubahan Dalam Rangka Penerapan E-Procurement Di Pemerintah Kota Yogyakarta
Fachrurozin (2015) [16]
Deskriptif Kualitatif
4
Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang Dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta Terhadap Implementasi Sistem EProcurement
Nightisabha et al (2009) [17]
Kuantitatif - D & M IS Success Model
5
Analisis Penerimaan Pengguna Terhadap Aplikasi EProcurement PT Pertamina EP Dengan Menggunakan Metode Technology Acceptance Model
Putera (2009) [18]
Kuantitatif - TAM
Aplikasi e-Procurement bermanfaat untuk melihat pengumuman lelang dan pendaftaran/proses lelang meskipun pada awal peluncuran sistem mengalami retensi dari persepsi beberapa pihak, baik ekternal dan internal perusahaan.
No. 6
1.4
Judul Penelitian ini
Peneliti (Tahun) 2015
Metode
Hasil Penelitian
Kuantitatif Konstruksi Model
Hasil penelitian berupa persepsi dan perubahan perilaku organisasi dari model yang disusun sebagai dampak sistem e-Procurement di Kota Magelang
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui persepsi aparat pemerintah terhadap kegiatan pengadaan barang/jasa melalui sistem e-Procurement dibandingkan sistem sebelumnya. 2. Mengetahui perubahan perilaku organisasi yang terjadi dalam pelaksanaan eProcurement di lingkup pemerintah.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk aparat pemerintah, penelitian ini dapat memberikan pemahaman persepsi tentang proses kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan sistem eProcurement, sehingga tidak lagi muncul kekhawatiran atau keengganan untuk menjadi personil pengadaan barang/jasa, khususnya kegiatan lelang. 2. Untuk organisasi di lingkungan pemerintah daerah, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa di satuan kerja masing-masing, sehingga kegiatan pengadaan barang/jasa diharapkan dapat terlaksana dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan. 3. Untuk peneliti lain sebagai referensi penelitian tentang implementasi e-Goverment di pemerintah daerah.