BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Perlu adanya panduan/ acuan kerja yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun material menyangkut pelayanan dan perawatan kepada pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta serta fasilitas kesehatan lainnya di Indonesia, agar tidak terjadi “ kekeliruan”dalam bertindak yang mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi pasien tetapi juga seluruh praktisi kesehatan yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu dalam melaksanakan pelayanan dan perawatan kepada pasien seorang dokter penyakit dalam harus selalu menjunjung tinggi sikap humanism, profesionalisme, bertanggung jawab moral, memegang teguh etika kedokteran, etika social dan etika nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) berusaha menyusun suatu buku panduan Pelayanan dan Perawatan Kepada Pasien, sehingga tercapai tujuan pelayanan kesehatan yang optimal, professional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material. 1.1 PENGERTIAN DAN TUJUAN Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam adalah panduan prosedur standar operasional dalam pelayanan dan perawatan kepada pasien yang harus diketahui dan dijalankan oleh seorang dokter penyakit dalam untuk melaksanakan kegiatan pelayanan secara optimal, professional dan dapat dipertanggung jawabkan. Panduan Pelayanan Medik Penyakit Dalam ditetapkan oleh PB PAPDI dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kepada pasien secara lebih optimal, berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material. 1.1 RUANG LINGKUP Ruang lingkup panduan pelayanan medic penyakit dalam mencakup: · Sepuluh penyakit terbanyak dari setiap divisi penyakit dalam · Penyakit-penyakit yang dianggap penting walaupun angka kejadian kecil · Penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan emergensi · Tatalaksana tindakan/prosedur penyakit dalam
1
BAB II
STANDAR PELAYANAN MEDIK PAPDI
2
2.1
METABOLIK ENDOKRINOLOGI
3
DIABETES MELITUS PENGERTIAN Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang diotandai oleh hiperglikemia akibat defek pada: 1. Kerja Insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik) dan di jaringan perifer (otot dan lemak) 2. Sekresi insulin oleh sel beta pancreas 3. Atau keduanya Klasifikasi Diabetes Melitus (DM) I. DM Tipe I (destruksi sel β, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut): · Immune-mediated, · Idiopatik II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relative sampai predominan defek sekretorik dengan resistensi insulin) III. Tipe spesifik lain: · Defek genetic pada fungsi sel β · Defek genetic pada kerja insulin · Penyakit eksokrin pancreas · Endokrinopati · Diinduksi obat atau zat kimia · Infeksi · Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM · Sindrom genetic lain, yang kadang berkaitan dengan DM IV. DM gestational DIAGNOSIS Terdiri dari: · Diagnosis DM · Diagnosis Komplikasi DM · Diagnosis penyakit penyerta · Pemantauan pengendalian DM Anamnesis: · Keluhan khas DM: Poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. · Keluhan tidak khas DM; lemah, kesemutan, gatal mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita. Faktor risiko DM tipe 2: · Usia > 45 tahun, · Berat badan lebih: > 1105 berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/m2 · Hipertensi (TD 140/90mmHg) · Riwayat DM dalam garis keturunan · Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4.000 gram · Riwayat DM gestational · Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) · Penderita penyakit jantung koroner, tuberculosis, hipertiroidisme 4
·
Kolesterol HDL 35mg/dL atau trigliserida 250 mg/dL
Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk : · Tinggi badan, berat badan, tekanan darah, lingkar pinggang. · Tanda neuropati · Mata( visus, lensa mata dan retina) · Gigi mulut · Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku Kriteria diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plama vena) 200 mg/dL, atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126mg/dL, atau 3. Kadar glukosa plasma 200mg/dL pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO DIAGNOSIS BANDING Hiperglikemia reaktif, toleransi glukosa terganggu (TGT), Glukosa darah puasa terganggu (GDPT) PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium · Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, laju endap darah · Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan · Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur, kreatinin · SGPT, Albumin/globulin · Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida · A1 C · Albuminuri mikro Pemeriksaan penunjang lain: EKG, foto thoraks, funduskopi TERAPI Edukasi meliputi pemahaman tentang: Penyakit DM, makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, cara mengembangkan system pendukung dan mengajarkan keterampilan, cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Perencanaan Makan Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25gr/hari, diutamakan serat larut. Jumlah kalori basal per hari: 5
· Laki-laki: 30 kal/kgBB Idaman · Wanita: 25 kal/kg BB Idaman Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari): · Status gizi: - BB gemuk -20% - BB lebih -10% - BB kurang +20% · Umur > 40 tahun: -5% · Stres metabolic (infeksi, operasi, dll) + (10s/d 30%) · Aktivitas: - Ringan +10% - Sedang +20% - Berat +30% · Hamil - Trimester I,II +300kal - Trimester III/laktasi +500kal Rumus Broca Berat badan Idaman = (tinggi badan-100)-10% Pria < 160cm dan wanita < 150cm, tidak dikurangi 10% lagi. BB Kurang : < 90 % BB idaman BB Normal : 90-110%BB idaman BB Lebih : 110-120% BB idaman Gemuk : > 120% BB idaman Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Prinsip : Continous-Rythmical-interval-Progresive-Endurance Intervensi farmakologis Obat Hipoglikemia Oral (OHO) · Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea, glinid · Penambah sensitifitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion · Penghambat absorbsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
6
Insulin Indikasi: · Penurunan berat badan yang cepat · Hiperglikemia berat yang disertai ketosis · Ketoasidosis diabetic · Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik · Hiperglikema dengan asidosis laktat · Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal · Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) · KEhamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestational yang tidak terkendali dengan perencanaan makan · Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat · Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Terapi Kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Pengelolaan DM tipe 2 Gemuk: Non-farmakologis Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: +1 macam OHO Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Biguanid/ penghambat glukosidase α/Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO Biguanid + penghambat glukosidase α+ Glitazon Atau Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO: Biguanid + penghambat glukosidase α+ Glitazon+Secretagogue atau Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin Atau Terapi kombinasi OHO siang hari+insulin malam hari
7
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir Pengelolaan DM tipe 2 Tidak Gemuk: Non-farmakologis Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Non-farmakologis + Secretagogue Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 2 macam OHO, antara: Secretagogue+ Biguanid/ penghambat glukosidase α/Glitazon Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran tidak tercapai: Kombinasi 3 macam OHO Secretagogue + penghambat glukosidase α+Biguanid/Glitazon Atau Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai: Kombinasi 4 macam OHO: Secretagogue + penghambat glukosidase α+Biguanid + Glitazon, atau Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis): Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai: Insulin, atau Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam Sasaran terapi kombinasi 4 OHO + insulin tidak tercapai: Insulin Bila sasaran tercapai: Teruskan terapi terakhir Penilaian hasil terapi 1. Pemeriksaan glukosa darah 2. Pemeriksaan A1C 3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri 4. Pemeriksaan glukosa urin 5. Penentuan Benda Kriteria Keton Pengendalian DM (lihat tabel)
8
Tabel: Kriteria Pengendalian DM
GD puasa (mg/dL) GD 2 jam PP (mg/dL) A1C (%) Kolesterol total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL) IMT (Kg/m 2) Tekanan darah (mmHg)
Baik
Sedang
Buruk
80-109 80-144 < 6,5 < 200 < 100 >45 < 150 18,5-22,9 <130/80
110-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129
126 180 >8 240 130
150-199 23-25 130-140 80-90
200 >25 >140/90
Komplikasi A. Akut: · Ketoasidosis diabetic · Hiperosmolar nonketotik · hipoglikemia B. Kronik · Makroangiopati: - Pembuluh koroner - Vascular perifer - Vascular otak · Mikroangiopati: - Kapiler retina - Kapiler renal · Neuropati · Gabungan: - Kardiomiopati: penyakit koroner, kardiomiopati · Rentan infeksi · Kaki Diabetik · Disfungsi ereksi Prognosis Dubia Wewenang · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS nonpendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit Yang Menangani · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Metabolik Endokrinologi · RS nonpendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Unit Terkait 9
· ·
RS Pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi ginjal hipertensi , Divisi kardiologi, dan Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi. RS Non pendidikan: bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi
Referensi 1. PERKENI, Konsensus Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.2002 2. PERKENI. Petunjuk Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2.2002 3. The Expert Committee on The Diagnostic and classification of Diabetes Melitus. Report of the Expert Committee on the diagnostic and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes care, jan 2003; 26 9Suppl.I) : s5-20. 4. Suyono S. Type 2 Diabetes Management in Diabetes and its Complications : From Molecular to clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000: 185-99.
10
TIROTOKSIKOSIS PENGERTIAN Tirotoksikosis merupakan suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormone tiroid karena ini berhubungan dengan suatu kompleks fisiologis dan biokoimia yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormone tiroid berlebihan. Toksikosis dibagi dalam 2 kategori: 1. Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme 2. Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosi sebagai akibat dari produksi tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme karena penyakit graves, struma multinodosa toksik (Plummer), adenoma toksik. Penyebab lain ialah tiroiditis, penyakit trofoblatik, pemakaian yodium berlebihan, obat hormone tiroid,dll. Krisis Tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan factor pencetus : Infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stress emosi, penghentian obat anti-tiroid, terapi I131, ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/strok, palpasi tiroid terlalu kuat. DIAGNOSIS Gejala dan tanda tirotoksikosis: hiperaktivitas, palpitasi, berat badan turun, nafsu makan meningkat, tidak tahan panas, banyak keringat, mudah lelah, sering buang air besar, oligomenore/amenore dan libido turun, takikardia, fibrilasi arterial, tremor halus, reflex meningkat, kulit hangat dan basah, rambut rontok, buit. Gambaran klinis penyakit Graves: struma difus, tirotoksisitas, ofthalmopati/eksoftalmus, dermopati local, akropati. Laboratorium: TSHs rendah, T4 dan fT4 tinggi pada T3 toksisitas; T3 atau fT3 meningkat. Penderita yang dicurigai krisis tiroid · Anamnesis : Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan suasana hati, bingung, diare, amenorea · Pemeriksaan fisik: - Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves atau penyakit lain - Sistem saraf pusat terganggu: Delirium, koma - Demam tinggi sampai 400C - Takikardia sampai 130-200 x/menit - Dapat terjadi gagal jantung kongestif, ikterus 11
· Laboratorium: TSHs sangat rendah, T4 / fT, / T3 tinggi, anemia normositik normokrom, limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat, azotemia prerenal · EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat. DIAGNOSIS BANDING • Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow) • Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis/acft'rfa) • Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional PEMERIKSAAN PENUNJANG • Laboratorium: TSHs, T4 atau fT4, T3 , atau fT3, TSH RAb, kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid) • Sidik Tiroid / thyroid scan: terutama membedakan penyakit Plummer dari penyakit Graves dengan komponen nodosa • EKG • Foto toraks TERAPI Tata laksana Penyakit Graves: ObatAntitiroid • Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300- 600 mg / hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari. • Metimazol dosis awal 20 - 30 mg / hari. • Indikasi: - Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis - Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif - Persiapan tiroidektomi - Pasien hamil, lanjut usia - Krisis tiroid Penyekat adrenergik βpada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40-200 mgdalam4dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT4/ T4/T3 dan TSHs.Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan. dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. 12
Tindakanbedah Indikasi: • Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid • Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi • Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima yodium radioaktif • Adenoma toksik, struma multinodosa toksik • Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul Radioablasi Indikasi: • Pasien berusia > 35 tahun • Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi • Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid • Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid • Adenoma toksik, struma multinodosa toksik Tatalaksana Krisis tiroid: (terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid) 1. Perawatan suportif: • Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) • Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: infus Dextrose 5% dan NaCl 0,9 % • Mengatasi gagal jantung: 02, diuretik, digitalis 2. Antagonis aktivitas hormon tiroid: • Blokade produksi hormon tiroid: PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif: Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO. • Pada keadaan sangat berat: dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT) PTU 600 1.000 mg atau metimazol 60-100 mg. • Blokade ekskresi hormon tiroid:Solutio Lugol {saturated solution of potas sium iodida) 8 tetes tiap 6 jam • Penyekat (3: Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90 x/m). • Glukokortikoid: Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12jam. • Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal. 3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik, dll. KOMPLIKASI • Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. • Krisis tiroid: mortalitas PROGNOSIS • Dubia adbonam. • Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15 %. 13
WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalamdan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam SUNITYANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi ginjal-hipertensi, divisi kardiologi, dan Departemen Neurologi, Radiologi/Kedokteran nuklir, Patologi Klinik, Bedah/tumor. • RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah. REFERENSI 1. Sumual A , Pandelaki K. Hipertiroidisme. In: W aspadji S, et al, eds. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.p. 766-72. 2. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-HM;2001.p. 2060-84. 3. Suyono S, Subekti I. Krisis Tiroid. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:78-82. 4. Suyono S, Subekti 1. Patogenesis dan Gambaran Klinis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. W aspadji S. Pengelolaan medis Penyakit Graves. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
14
KETO-ASIDOSIS DIABETIKUM PENGERTIAN Ketoasidosis diabetikum adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius. Gambaran klinis utama ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, faktor pencetus: infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, penghentian atau pengurangan dosis insulin. DIAGNOSIS Klinis: • Keluhan poliuri, polidipsi • Riwayat berhenti menyuntik insulin • Demam / infeksi • Muntah • Nyeri perut • Kesadaran : kompos mentis, delirium, koma • Pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul) • Dehidrasi (turgor kulit menurun, lidah dan bibir kering) • Dapat disertai syok hipovolemik Kriteria diagnosis: Kadar glukosa : >250mg/dL pH : <7,35 HCO3 : rendah Anion gap : tinggi Keton serum : positif dan atau ketonuria DIAGNOSIS BANDING Ketosis diabetik, hiperglikemi hiperosmolar non ketotik / hyperglycemic hyperosmolar state, ensefalopati uremikum, asidosis uremikum, minum alkohol, ketosis alkoholik, ketosis hipoglikemia, ketosis starvasi, asidosis laktat, asidosis hiperkloremik, kelebihan salisilat, druginduced acidosis, ensefalopati karena infeksi, trauma kapitis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan cito: gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, aseton darah. urin rutin, analisis gas darah, EKG Pemantauan: • Gula darah: tiapjam, • Na +, K+, CI": tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan. • Analisis gas darah : bila pH < 7 saat masuk —> diperiksa setiap 6 jam s.d. pH > 7,1. Selanjutnya setiap hari sampai stabil. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi): kultur darah, kultur urin, kultur pus
15
TERAPI Akses intra vena (iv) 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way: II. Cairan: • NaCl 0,9 % diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu ± 1L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan. • Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L. • Jika Na+ > 155 mEq/L -4 ganti cairan dengan NaCl 0,45 %. • Jika GD < 200 mg/dL —> ganti cairan dengan Dextrose 5 %. III. • • • •
Insulin {regular insulin = RI): Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan RI bolus 180 mU/kgBB IV, dilanjutkan: • RI drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 % Jika GD < 200 mg/dL: kecepatan dikurangi —» RI drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9% • Jika GD stabil 200 - 300 mg/dL selama 12 jam -» RI drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam:
GD (mg/dL) <200 200-250 250-300 300-350 >350
RI (Unit, subkutan) 0 5 10 15 20
• Jika kadar GD ada yang < 100 mg/dL: drip RI dihentikan • Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan).
sehari
IV. Kalium • Kalium (K CI) drip dimulai bersamaan dengan drip RI, dengan dosis 50 mEq / 6 jam. Syarat: tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG dan jumlah urine cukup adekuat. • Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua : <3,5 —> dripKCl 75mEq/6jam 3,0-4,5 —> dripKCl 50mEq/6jam 4,5 - 6,0 —> drip KCJ 25 mEq/6jam >6,0 —> drip dihentikan • Bila sudah sadar, diberikan K+oral selama seminggu.
16
V. Drip
Natrium bikarbonat 100 mEq bila pH <7,0, disertai KC126 mEq drip. 50 mEq bila pH 7,0 - 7,1, disertai KC113 mEq drip. Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam. VI. • • • • • • • •
TatalaksanaUmum: OksigenbilaPO,<80mmIIg Antibiotika adekuat Heparin: bila ada KID satau hyperosmolar (> 380 mOsm/L) Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis: Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam, Kesadaran setiap jam, Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam, Produksi urin setiap jam, balans cairan Cairan infus yang masuk setiap jam, Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan penunjang).
KOMPLIKASI Syok hipovolemik, edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut, hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak, hipokalsemia PROGNOSIS Dubia ad malam, tergantung pada usia, komorbid, adanya infark miokard akut, sepsis, syok. WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik • RS non pendidikan: Bagian Patologi Klinik REFERENSI 1. PERKENl. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. 2002. 2. W aspadji S. Kegawatanpada Diabetes Melitus. In: Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, J5-16 A pril 2000:83-8. 3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In:Prosiding Simposium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang limit Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 A pril 2000:89-96. 4. Kitabchi A E, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg RA , Malone JI, et al. Management of Hyperglycemic Crises in Patients W ith Diabetes. Diabetes Care, Jan 2001;24(1): 131-51.
17
HIPOGLIKEMIA PENGERTIAN Hipoglikemiaadalahkeadaandimanakadarglukosadarah <60 mg/dL, ataukadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis.Hipoglikemia pada DM terjadi karena: • Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral • Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan • Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat • Kegiatanjasmaniberlebihan. DIAGNOSIS Gejala dan tanda klinis : • Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun • Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara • Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar • Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang Anamnesis: • Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis. • Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi • Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya • Lama menderita DM, komplikasi DM • Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll • Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik (3, dll. Pemeriksaan fisik: pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum: 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia 2. Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat DIAGNOSIS BANDING Hipoliglikemia karena • Obat: - (sering): insulin, sulfonilurea, alkohol, - (kadang): kinin, pentamidine - (jarang): salisilat, sulfonamide • Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel (3 jenis lain, sekretagogue (sulfonilurea), autoimun, sekresi insulin ektopik • Penyakit kritis: gagal hati, gagal ginjal, gagal jantung, sepsis, starvasi dan inanisi • Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin • Tumor non-sel (3: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma • Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol 18
PEMERIKSAAN PENUNJANG Kadar glukosa darah (GD), tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide TERAPI Stadium permulaan (sadar) • Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat • Hentikan obat hipoglikemik sementara, • Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam • Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar) • Cari penyebab Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia): 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (= 50 mL) bolus intra vena, 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10 % per infus, 6 jam per kolf, 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: • Bila GDs < 50 mg/dL —> + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV • Bila GDs < 100 mg/dL —>+ bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40 % : • Bila GDs < 50 mg/dL -H> + bolus Dekstrosa 40 % 50 mL IV • Bila GDs < 100 mg/dL -4 + bolus Dekstrosa 40 % 25 mL IV • Bila GDs 100 -200 mg/dL —> tanpa bolus Dekstrosa 40 % • Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10% 5. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 6. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL —> pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa 5 % atau NaCl 0,9 %. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam: GD (mg/dL) <200 200-250 250-300 300-350 >350
RI (Unit, subkutan) 0 5 10 15 20
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti: adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin) 9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan kesadaran menurun 19
KOMPLIKASI Kerusakan otak, koma, kematian PROGNOSIS Dubia. WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care IICU • RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICU REFERENSI: 1. PERKENI. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Pipe 2002. W aspadji S. 2. Kegawatan pada Diabetes Melitus. Dalam Prosiding Simposium Penatalaksanaan 1 Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, 15-16 April 2000:83-8. 3. CryerPE. Hypoglycemia. InBraunwaldE, FauciAS, KasperDL, MauserSL, LongoDL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p. 2138-43.
20
DISLIPIDEMIA PENGERTIAN Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolesterol HDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting danberkaitan, sehingga dikenal sebagai triad lipid. Secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: Hiperkolesterolemia. hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia DIAGNOSIS Klasifikasi kadar kolesterol: Kolesterol LDL:
< 100 mg/dL 100-129 mg/dL 130- 159mg/dL 160- 189mg/dL 190mg/dL
Optimal Hampir optimal Borderline tinggi Tinggi Sangat tinggi
Kolesterol total:
<200mg/dL 200-239mg/dL 240mg/dL
Idaman Borderline tinggi Tinggi
Kolesterol HDL
< 40 mg/dL 60 mg/dL
Rendah Tingi
Untuk mengevaluasi risiko penyakit jantung koroner (PJK), perlu diperhatikan faktorfaktor risiko lainnya: • Faktor risiko positif: - Merokok - Umur (pria 45 tahun, wanita 55 tahun) - Kolesterol HDL rendah - Hipertensi (TD 140/90 atau dalam terapi antihipertensi) - Riwayat penyakit jantung koroner dini dalam keluarga (first degree: pria < 55 tahun, wanita < 65 tahun) • Faktor risiko negatif: · Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total. ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner (PJK) pada pasien dengan 2 faktor risiko, meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun. Ekivalen risiko PJK mengandung risiko kejadian koroner mayor yang sebanding dengan kejadian PJK. yakni > 20 % dalam 10 tahun, terdiri dari: • Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri karotis yang simptomatis, • Diabetes • Faktor risiko multipel yang mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20 %. 21
Peningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor risiko independen untuk erjadinya PJK. Faktor yang mempengaruhi tingginya trigliserida: • Obesitas, berat badan lebih • Inakti vitas fisik • Merokok • Asupan alkohol berlebih • Diet tinggi karbohidrat (> 60 % asupan energi), • Penyakit DM tipe 2, gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik • Obat: kortikosteroid, estrogen, retinoid, penghambat adrenergik-beta dosis tinggi • Kelainan genetik (riwayat keluarga) Kiasifikasi derajat hipertrigliseridemia Normal : <150mg/dL Borderline-tinggi : 150-199mg/dL Tinggi : 200-499mg/dL Sangat tinggi : 500mg/dL DIAGNOSIS BANDING · Hiperkolesterolemia sekunder. Karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide) · Hipertrigliseridemia sekunder. karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penghambat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik, gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease · HDL rendah sekunder. karena malnutrisi, obesitas, merokok, penghambat beta-steroid anabolik PEMERIKSAAN PENUNJANG Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia 20 tahun, setiap 5 tahun sekali: Kadar kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida, glukosa darah, tes fungsi hati, urin ;ngkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG TERAPI Untuk Hiperkolesterolemia: Penatalaksanaan Non-farmakologis (Perubahan Gaya I lidup): • Diet, dengankomposisi: - Lemakjenuh < 7 % kalori total - PUFA hingga 10% kalori total - MUFA hingga 10% kalori total - Lemak total 25 - 35 % kalori total - Karbohidrat 50-60% kalori total - Protein hingga 15 % kalori total - Serat 20-30 g/hari - Kolesterol <200 mg/hari 22
• Latihan jasmani • Penurunan berat badan bagi yang gemuk • Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alkohol Pemantauan profit lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di bawah ini), pemantauan setiap 4-6 bulan. • Bila setelah 6 minggu PGH, target belum tercapai: intensifkan penurunan lemak jenuh dan kolesterol, tambahkan stanol/steroid nabati, tingkatkan konsumsi serat. dan kerjasama dengan dietisien. • Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan. dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi Farmakologis: • Golongan statin: - Simvastatin 5-40 mg - Lovastatin 10 - 80 mg - Pravastatin 10-40 mg - Fluvastatin 20-80 mg - Atorvastatin 10-80 mg • Golongan bile acid sequestrant: - Kolestiramin 4-16 g • Golongan nicotinic acid: - Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5 - 3 g Targer Kolesterol LDL (mg/dl) : Kategori Risiko
Target LDL
Kadar LEfL jrntukjmrlajTGH >100 (100-129: opsional)
Kadar LDL untuk mulai terapi farmakologis 130
PJK atau Ekivalen PJK (FRS>20%) Faktor risiko 2 (FRS 20%) Faktor risiko 0-1
<100
< 130
>130
<160
>160
>130 (FRS 10-20 % (160-189: opsional) >190 (160-189: opsional)
Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi. target belum tercapai: intensifkan/ naikkan dosis statin atau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor atau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL. 23
Pasien dengan hipertrigliseridemia: • Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas. • Penatalaksanaaan farmakologis: Target terapi: - Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL. - Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol non-HDL, yakni sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). - Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat atau nicotinic acid. Golongan fibrat terdiri dari: • Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg • Fenofibrat 1 x 200 mg Penyebab primer dari dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana. KOMPLIKASI Aterosklerosis, penyakit jantung koroner, strok, pankreatitis akut PROGNOSIS Dubia ad Bonam WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan peserta PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi /Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi · RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Gizi REFERENSI 1. 2.
3. 4.
5.
PERK EN I. K onsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Melitus di Indonesia. 1995. Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in A dults. Executive Summary of the Third Report of the N ational Cholesterol Education Program SCEPt Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol p. A dults: A dult Treatment Panel III). JA MA , May 16, 2001;285(19):2486-97. Semiardji G N ational Cholesterol Education Program - A dult Treatment Panel III (N CEP-A TP III): A dakah hal yang baru? Makalah Siang K linik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian llmu Penyakit Dalam, 2002. Ginsberg HN , Goldberg IJ. Disorders of Lipoprotein Metabolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. N ew Y ork: McGraw Hill; 2001.p. 2245-57. Suyono S. Terapi Dislipidemia, Bagaimana Memilihnya dan Sampai K apan? Prosiding Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta,ll-I2 N ovember 2000:185-99.
24
STRUMA NODOSA NON TOKSIK PENGERTIAN Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.Berdasarkan jumlah nodul, dibagi: · Struma mononodosa non toksik · Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul dibedakan menjadi: nodul dingin, nodul hangat, nodul panas Sedangkan berdasarkan konsistensinya, nodul dibedakan menjadi: nodul lunak, odul kistik, nodul keras, nodul sangat keras DIAGNOSIS Anamnesis: Sejak kapan benjolan timbul · Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap · Cara membesarnya: cepat, atau lambat · Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja · Riwayat keluarga · Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda · Perubahan suara · Gangguan menelan, sesak napas · Penurunan berat badan · Keluhan tirotoksikosis Pemeriksaan fisik: · Umum · Lokal: • Nodul tunggal atau majemuk, atau difus • Nyeri tekan • Konsistensi • Permukaan • Perlekatan pada jaringan sekitarnya • Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional Pemberton 's sign Penilaian risiko keganasan: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid r.ik. tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: · Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak · · ·
Riwayat keluarga dengan tiroditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. Gejala hipo atau hipertirodisme. Nyeri berhubungan dengan nodul. 25
· · · · · · · · · · · ·
Nodul lunak, mudah digerakkan. Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kea rah keganasan tiroid : Umur <20 tahun atau > 70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan napas Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak) Riwayat keluarga kanker tiroid meduler Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irregular dan sulit digerakkan Paralisis pita suara Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru,dll)
Langkah diagnostic I: TSHs, FT4 Hasil: Non-toksik Langkah diagnostik II: BAJAH nodul tiroid Hasil: A. Ganas B. Curiga C. Jinak D. Tak cukup/sediaan tak representative (dilanjutkan di kolom Terapi)
DIAGNOSIS BANDING · · · · · · · · ·
·
Struma nodosa yang terjadi pada peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin saat masa pertumbuhan,pubertas,laktasi,menstruasi,kehamilan,menopause,infeksi, stes lain. Tiroiditis akut Tiroiditis subakut Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel) Simple goiter Struma endemic Kista tiroid, kista degenerasi Adenoma Karsinoma tioid primer, metastatic Limfoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG · · · · · ·
Laboratorium:T4 atay Ft4, T3M dab TSHs Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid: - Bila hasil laboratorium: non-toksik - Bila hasil lab. (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold nedule. Syarat: sudah menjadi eutiroid, USG tiroid: - Pemantau kasus nodul yang tidak dioperasi - Pemandu pada BAJAH Sidik tiroid: - Bila klinis: ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH (2 kali): jinak, - Hasil sitologi dengan BAJAH: curiga ganas Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga dengan karsinoma tiroid medular, diperiksakan kalsitonin) Pemeriksaan antitiroglobulin bila TSHs meningkat, curiga penyakit Hashimoto. 26
TERAPI Sesuai hasil BAJAH, maka terapi: A. Ganas Operasi Tirodektomi near-total B. Curiga Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC): Bila hasil = ganas Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil = jinak Operasi Lobektomi, atau Tiroidektomi near-total. Alternative:Sidik tiroid. Bila hasil=cold nedule Operasi C. Tak cukup/sediaan tak representative · Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH. Bila klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi Bila klinis curiga ganas rendah Observasi · Jika nodul Kistik (saat BAJAH):aspirasi. Bila kista regresi Observasi Bila kista rekurens,klinis curiga ganas rendah Observasi Bila kista rekurens,klinis curiga ganas tinggi Operasi Lobektomi D. Jinak Terapi dengan Levo-tiroksi (LT4) dosis subtoksis. · Dosis ditirasi mulai 2x25 ug (3 hari), · Dilanjutkan 3x25 ug (3-4 hari), · Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis-menjadi 2x100 ug sampai 4-6 minggu, kemudian evaluasi TSH (targe 0,1 –0,3 ulU/L) · Supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan · Evaluasi TSH dipertahankan selama 6 bulan · Evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasi bila mengeci>50% dari volume awal) - Bila nodul mengecil atau tetap L-tiroksin dihentikan dan diobservasi: § Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 ulU/L). § Bila setelah l-tiroksin dihentikan, struma tidak berubah, diobservasi saja. - Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi obat dihentikan dan operasi Tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA: § Jinak:terapi dengan L-tiroksi:target TSH 0,5-3,0 ulU/L § Ganas terapi dengan L-tiroksin § Individu dengan risiko ganas tinggi:targe TSH<0,02-0,05 ulU/L § Individu dengan risiko ganas rendah:target TSH 0,05-0,1 ul/U/L KOMPLIKASI Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akut/subakut. PROGNOSIS Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis. WEWENANG · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Metabolik Endokrinologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT 27
· ·
RS pendidikan: Departemen Patologi Klinik, Radiologi / Radiodiagnostik/ Kedokteran nuklir, Bedah Tumor, Patologi Anatomik RS non pendidikan : Bagian Radiologi,Bedah,Patologi Klinik,Patologi Anatomik
REFERENSI 1. Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. In:W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p. 757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati S, Gani RA , A lwi I, eds. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakrta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam; 1997.p.207-13 3. Subekti 1. Struma Nodosa Non-Toksi (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,eds. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.187-9 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003. 5. Jameson JL, W eetman A P. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E. Fauci A S. Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Harrison’ s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New Y ork: McGraw-Hill;2001.p.2060-86.
28
KISTA TIROID PENGERTIAN Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10-25% dari seluruh nodul tiroid.Insidens keganasan pada nodul kistik kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid. DIAGNOSIS Anamnesis · Sejak kapan benjolan timbul · Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap · Cara membesarnya:cepat,atau lambat · Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja · Riwayat keluarga · Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/muda · Perubahan suara · Gangguan meelan · Sesak napas · Penurunan berat bada · Keluhan tirotoksikosis Pemeriksaan fisik: · Umum · Lokal: - Nodus tunggal atau majemuk, atau difus - Nyeri tekan - Konsistensi:kistik - Permukaan - Perlekatan pada jaringan sekitarnya - Pendesakan atau pendorongan trakea - Pembesaran kelenjar getah bening regional - Pemberton’ s sign Penilaian risiko keganasan: Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostic penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: · Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak · Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun. · Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme. · Nyeri berhubungan dengan nodul. · Nodul lunak, mudah digerakkan. · Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. · · · ·
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan kearah keganasan tiroid: Umur < 20 tahun atau > 70 tahun Gender laki-laki Nodul disertai disfagia,serak,atau obstruksi jalan napas Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu-bulan) 29
· · · · ·
Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatakan insidens penyakit nodul tiroid jinak) Riwayat keluarga kanker tiroid medular Nodul yang tunggal,berbatas tegas,keras,irregular dan sulit digerakkan paralisis pita suara, Temuan limfadenopati servikal Metastasis jauh (paru-paru, dll)
Langkah diagnostik awal: TSHs, FT4 Bila hasil : Non toksik Langkah diagnostik II: Fungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid DIAGNOSIS BANDING Kista tiroid, kista degenerasi, karsinoma tiroid PEMERIKSAAN PENUNJANG · USG tiroid: - Dapat membedakan bagian padat dan cair, - Dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. - Gambaran USG kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tipis. · Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin. · Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH): pada bagian yang solid. TERAPI Fungsi aspirasi seluruh cairan kista: · Bila kista regresi observasi · Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah · Bila kista rekurens, klinis keecurigaan ganas tinggi
fungksi aspirasi dan observasi operasi lobektomi
KOMPLIKASI Tidak ada. PROGNOSIS Dubia ad bonam, tergantung tipe dan jenis histopatologinya. WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Metabolik Endokrinologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah tumor · RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah
30
REFERENSI 1. Kariadi SH KS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam W aspadji S, et al, eds. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;.p.757-65. 2. Suyono S. Pendekatan Pasien dengan struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HA W, Effendy S, Setiati S. Gani RA , A lwi Leditors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta:Departemen Ilmu Penyakit Dalam:1997.p.207-13. 3. Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A ,editors. Pedoma Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakrta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:1999.p. 187-9 4. Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.
31
2.2
KARDIOLOGI
32
BRADIARITMIA PENGERTIAN Bradiaritmia adalah perlambatan denyut jantung di bawah 50 kali/menit yang dapat disebabkan oleh disfungksi sinus node, hipersensitivitas/kelainan system persarafan dengan dan atau adanya gangguan konduksi atriovetrikular. Dua keadaan yang sering ditemukan: 1. Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) 2. Gangguan kondusksi atrioventrikular/blok AV (AV block):blok AV derajat satu, blok AV derajat dua, blok AV total. DIAGNOSIS Gangguan pada sius node (sick sinus syndrome) Keluhan: · Penurunan curah jantung yang bermanifestasi dalam bentuk letih, pening, limbung, pingsan · Kongesti pulmonal dalam bentuk sesak napas · Bila disertai takikardia disebut braditakiaritmia:terdapat palpitasi, kadang-kadang disertai angina pectoris atau sinkop (pingsan) · Dapat pula menyebabkan kelainan/perubahan kepribadian, lupa ingatan, da emboli sistemik. EKG: · EKG monitoring baik selama dirawat inap di RS maupun dalam perawatan jalan (ambulatory/holter ECG monitoring), dapat menemukan kelainan EKG berupa braidikardia sinus persisten. Blok AV · Blok AV Derajat Satu Irama teratur dengan perpanjangan interval PR melebih 0,2 detik · -
-
Blok AV Derajat dua Mobitz tipe I (Wenckebach), Gelombang P bentuk normal dan irama atrium yang teratur, pemanjangan PR secara progresif lalu terdapat gelombang P yang tidak dihantarkan, sehingga terlihat interval RR memendek dan kemudian siklus tersebut berulang kembali Mobitz tipe II, Irama atrium teratur dengan gelombang P normal. Setiap gelombang P diikuti gelombang QRS kecuali yang tidak dihantarkan dan bias lebih dari 1 gelombang P berturut-turut yang tidak dihantarkan. Irama QRS bias teratur atau tidak teratur tergantung pada denyut yang tidak dihantarkan. Kompleks QRS bias sempit bila hambatan terjadi pada berkas his, namun bias lebar seperti pada blok cabang berkas bila hambatan ini pada cabang berkas. Blok AV Total (Complete AV Block): terjadi hambatan total konduksi antara atrium dan ventrikel. Atrium dan ventrikel masing-masing mempunyai frekuensi sendiri (frekuensi ventrikel < frekuensi atrium) Keluhan : Sinkop,vertigo, denyut jantung (<50 kali/menit) EKG : Disosisasi attrioventrikular Denyut atrium biasanya lebih cepat.
DIAGNOSIS BANDING PEMERIKSAAN PENUNJANG · EKG 12 sdapan, Rekaman EKG 24 jam (Holter ECG Monitor), Ekokardiografi, Angiografi koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi (Electrophysiology Study) 33
TERAPI Gangguan pada sinus node (sick sinus syndrome) Pada keadaan gawat darurat berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV (total(0,04 mg/kgBB) jika tidak ada respos berikan drip isoproterenol mulai dengna dosis I ug/menit sampai 10 ug/kg/menit secara bertahap. Kemudian lanjutkan dengna pemasangan pacu jantung, sesuai dengan sarana yang tersedia (transcutaneus temporary pace maker dan transvenous temporary pace maker). Pada penatalaksana selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Blok AV Pengobatan hanya diberikan pada penderita yang simtomatik. Walaupun demikian etiologi penyakit dan riwayat alamiah penyakut ikut menentukan tindakan selanjutnya. Bila penyebabnya obatobatan maka harus dihentikan. Demikian pula bila penyebabnya oleh karena factor metabolic yang reversible maka factor-faktor tersebut juga harus dihilangkan (seperti hipotiroidisme, asidosis, gangguan elektrolit dan sebagainya). Bila penyebab yang mendasarinya diketahui dan bila hal itu bersifat jantung sementara) seperti halnya pada infark miokard akut inferior. Pada penderita yang simptomatik, perlu dipasang pacu jantung permanen. Blok AV total Pada keadaan gawat darurat (simptomatik/asimptomatik) berikan sulfas atropine (SA) 0,5-1 mg IV (total 0,04 mg/kgBB), atau isoproterenol. Bila obat tidak menolong pasang alat pacu jantung sementara, selanjutnya dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. KOMPLIKASI Sinkop, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung. PROGNOSIS Tergantung penyebab, berat gejala dan respon terapi WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultrasi pada konsulen Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENGANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care/ICCU · RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Patologi Klinik, ICCU REFERENSI 1.
2. 3.
Penggabean MM. Bradiaritmia Dalam In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1999.p.161-5. K aro K S. Disritmia. In:Rilantono LI, Baraas F, K aro K S., Roebiono PS, editors. Buku A jar K ardiologi, Jakarta: Balai Penerbit FK UI:1999.p.275-88. Trisnohadi HB. K elainan Gangguan Iram a Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N , Waspadji S, Rachman M, Lesmana LA , Widodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FK UI;1996.p.1005-14.
34
EDEMA PARU AKUT (KARDIAK) PENGERTIAN Edema paru akut (kardiak) adalah Akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peninggian tekanan intravascular. DIAGNOSIS Riwayat sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari) disertai gelisah, batuk dengan sputum berbusa kemerahan. Pemeriksaan Fisik : · Sianosis sentral. · Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih. · Ronki basah nyari di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru; kadang-kadang disertai ronki kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkosparme sehingga disebut asma kardial. · Takikardia dengan gallop S3. · Murmur bila ada kelainan katup. Elektrokardiografi · Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. · Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bias ditemukan. Laboratorium · Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. · Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard. Foto toraks Opasifikasi hilus dan bagian basal paru kemudian makin ke arah apeks paru kadang-kadang timbul efusi pleura. Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung: Kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormality (penyakit jantung koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. DIAGNOSIS BANDING Edema paru akut non kardiak, emboli paru, asma bronkial. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah rutin, ureum, kreatinin, analisis gas darah, elektrolit, urinalisis, foto toraks, EKG, Enzim jantung (CK-CKMB, Troponin T), ekokardiogafi transtorakal, angiografi koroner. TERAPI 1. Posisi duduk. 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu, ronki bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan ederma secara adekuat : dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator/bipep. 35
3. Infus emergensi. 4. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada. 5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organorgan vital. 6. Morfin sulfat : 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit sampai total dosis 15 mg. 7. Diuretik : furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip kontinu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam. 8. Bila perlu (tekanan darah turun/tanda hipoperfusi): Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis atau keduanya. 9. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard. 10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen. 11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi. 12. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut, seperti regurgitasi, VSD, dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendinae. KOMPLIKASI Gagal napas. PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala, dan respons terapi. WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam. · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam. UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Kardiologi. · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
36
UNIT TERKAIT · RS pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah toraks · RS non pendidikan: Bagian Anestesi, ICCU/ICU, Bedah REFERENSI Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung A kut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , MansjoerA , eds. Pedoman Diagno sis dan Terapi di Bidang llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 14054 .
37
ENDOKARDITIS INFEKTIF PENGERTIAN Endokarditis infektif adalah Inflamasi pada endokard yang biasanya melibatkan katup dan jaringan sekitarnya yang terkait dengan agen penyebab infeksi DIAGNOSIS Kriteria Klinis Duke untuk Endokarditis Infektif (EI): EI definite: · Kriteria Patologis Mikroorganisme : ditemukan dengan kultur atau histologi dalam vegetasi yang mengalami emboli atau dalam suatu abses intrakardiak. Lesi patologis : vegetasi atau terdapat abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan histologis yang menunjukkan endokarditis aktif. · Kriteria klinis : menggunakan definisi spesifik, yaitu :Dua kriteria mayor atau satu mayor dan tiga kriteria minor atau lima kriteria minor Kriteria Mayor: 1. Kultur darah positif untuk endokarditis Infektif (EI) A. Mikroorganisme khas konsisten untuk EI dari 2 kultur darah terpisah seperti tertulis di bawah ini: (i) Streptococci viridans, streptococcus bovis atau grup HACEK atau (ii) Community acquired Staphylococcus aureus atau enterococci tanpa ada fokus primer atau B. Mikroorganisme konsisten dengan EI dari kultur darah positif persisten didefinisikan sebagai: (i) > 2 kultur dari sampel darah yang diambil terpisah > 12 jam atau (ii) Semua dari 3 atau mayoritas dari > 4 kultur darah terpisah (dengan sample awal dan akhir diambil terpisah > 1 jam). 2. Bukti keterlibatan kardial A. Ekokardiografi positif untuk EI didefinisikan sebagai: (i) Massa intrakardiak oscilating pada katup atau struktur yang menyokong, di jalur aliran jet regurgitasi atau pada material yang diimplantasikan tanpa ada alternatif anatomi yang dapat menerangkan, atau (ii) Abses, atau (iii) Tonjolan baru pada katup prostetik atau B. Regurgitasi valvular yang baru terjadi (memburuk atau berubah dari murmur yang ada sebelumnya tidak cukup) Kriteria Minor: 1. Predisposisi : predisposisi kondisi jantung atau pengguna obat intravena. 2. Demam:suhu>38°C. 3. Fenomena vascular : emboli arteri besar. infark pulmonal septik, aneurisma J. perdarahan konjungtiva, dan lesi Janeway. 38
4. Fenomena imunologis : glomerulonefriti, Osier's nodes, Roth Spots, dan factor rheumatoid. 5. Bukti mirobiologi: kultur darah positif tetapi tidak raemenuhi kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologis infektif aktif oleh mikroorganisme konsisten dengan EI. 6. Temuan kardiografi: konsisten dengan EI tetapi tidak memenuhi kriteria seperti tertulis di atas. El possible Temuan konsisten dengan EI turun dari kriteria definite tetapi tidak memenuhi kriteria rejected EI Rejected Diagnosis alternatif tidak memenuhi manifestasi endokardits atau resolusi manifestasi endokarditis dengan terapi antibiotik selama < 4 hari atau Tidak ditemukan bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi setelah terapi antibiotik > 4 hari. DIAGNOSIS BANDING Demam rematik akut dengan karditis, sepsis tuberkulosis milier, lupus eritematosus sistemik, glomerulonefritis pasca streptokokus, pielonefritis,poliarteritis nodos reaksi obat. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah rutin, EKG foto toraks, ekokardiografi, transesofageae ekokardiografi, kulti darah. TERAPI Prinsip terapi adalah oksigenasi, cairan intravena yang cukup, antipiretik, antibioti Regimen yang dianjurkan (AHA) 1. Endokarditis katup asli karena Streptococcus viridans dan Str. Bovis : · Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi selar 4 minggu atau seftriakson 2 g lkali/hari iv atau im selam 4 minggu · Penisilin G kristal 12-28 juta unit/24 jam iv kontinu atau 6 dosis terbagi sela 2 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selan minggu · Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24jam iv dalam 2 dosis terbagi, tic 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu 2. Endokarditis katup asli karena Str. Viridans dan Str. Bovis relatif resisten terhj Penisilin G · Penisilin G kristal 18 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis te selama 4 minggu dengan gentamicin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap: selama 2 minggu · Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi. tk 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4 minggu 3. Endokarditis karena Enterococci · PenisilinGkristal 18-30 juta unit/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu · Ampisilin 12 g/24 jam/24 jam iv kontinu atau dalam 6 dosis terbagi selama 4 -6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu · Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam selama 4-6 minggu dengan gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu 39
4. Endokarditis karena Stafilokokus tanpa materi prostetik. a. Regimen untuk Methicilin Succeptible Staphylococci • Nafsilin atau oksasilin 2 g IV tiap 4 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat 1 mg/kgBB im atau iv tiap 8 jam selama 3-5 hari b. Regimen untuk pasien alergi beta laktam • Cefazolin (atau sefalosporin generasi I laian dalam dosis setara) 2 g iv tiap 8 jam selama 4-6 minggu dengan opsional ditambah gentamisin sulfat Img/kgBB imatau iv tiap 8 jam selama 3—5 hari • Vankomisin hidroklorida 30 mg/kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak > 2g/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama4-6 minggu Operasi dilakukan bila Bakteremia yang menetap setelah pemberian terapi medis yang adekuat, gagal jantung kongestif yang tidak responsif terhadap terapi medis, vegetasi yang menetap setelah emboli sistemik, dan ekstensi perivalvular KOMPLIKASI Gagal jantung, emboli, aneurisma nekrotik, gangguan neurologi, perikarditis PROGNOSIS Tergantung beratnya gejala dan komplikasi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam • Panduan Pelayanan Medik PAPDI • UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Bedah • RS non pendidikan : Bagian Bedah REFERENSI A lwi I. Diagnosis dan Penatalaksanaan Endokarditis Infektif pada Penyalah guna Obat Intravena. In: Setiati S, Sitdoyo A W , A lwi I, Ba.waz.ier LA , Soejono CH, Lydia A , et al, editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan limit Penyakit Dalam 2000. Jakarta: Pusat Infonnasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;2000. p. 171-86.
40
FIBRILASI ATRIAL PENGERTIAN FIBRILASI ATRIAL (FA) adalah Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran zelombang "P" dengan frekuensi antara 350-650 per menit. DIAGNOSIS Gambaran EKG berupa adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang P" dengan frekuensi antara 350-650 per menit Klasifikasi FA Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari: 1. Primer : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia. 2. Sekunder : bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi ada kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia Klasifikasi FA berdasarkan waktu timbulnya Fibrilasi atrial (FA) serta kemungkinan ererhasilan usaha konversi ke irama sinus : 1. Paroksismal, bila FAberlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun 2. Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan intervensi pengobatan atau tindakan. 3. Permanen bila FAberlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi pengobatan AF tetap tidak berubah FA dapat pula dibagi menjadi: 1. FA Akut, bila timbul kurang dari 48 jam 2. FA Kronik, bila timbul lebih dari 48 jam PEMERIKSAAN PENUNJANG • EKG bila perlu gunakan Holter Monitoring pada pasien AF paroksismal. • Foto toraks, ekokardiografi untuk mengetahui adanya penyakit primer • Pemeriksaan elektrofisiologi tidak diperlukan kecuali untuk kepentingan akademik TERAPI Fibrilasin Atrial Paroksismal 1. Bila asimptomatik, tidak diberikan obat antiaritmia, hanya diberi penerangan saja. 2. Bila menimbulkan keluhan yang memerlukan pengobatan dan tanpa kelainan jntung atau disertai kelainan jantung minimal dapat diberi obat penyekat beta itau obat antiaritmia kelas IC seperti propafenon atau flekainid. 3. Bila obat tersebut tidak berhasil, dapat diberikan amiodaron. 4. Bila dengan obat-obat itu juga tidak berhasil, dipertimbangkan terapi ablasi atau obat-obat antiaritmia lain. 5. Bila disertai kelainan jantung yang signifikan, amidaron merupakan obat pilihan.
41
Fibrilasi atrial persisten 1. Bila FA tidak kembali ke irama sinus secara spontan kurang dari 48 jam, perlu dilakukan kardioversi ke irama sinus dengan obat-obatan (farmakologis) atau elektrik tanpa pemberian antikoagulan sebelumnya. Setelah kardioversi diberikan obat antikoagulan paling sedikit selama 4 minggu. Obat antiaritmia yang dianjurkan kelas IC (propafenon dan flekainid) 2. Bila FA lebih dari 48 jam atau tidak diketahui lamanya maka pasien diberi obat antikoagulan secara oral paling sedikit 3 minggu sebelum dilakukan kardioversi farmakologis atau elektrik. Selama periode tersebut dapat diberikan obat-obat seperti digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium untuk mengontrol laju irama ventrikel. Alternatif lain pada pasien tersebut dapat diberikan heparin dan dilakukan pemeriksaan TEE untuk menyingkirkan adanya trombus kardiak sebelum kardioversi. 3. Pada FA persisten episode pertama, setelah dilakukan kardioversi tidak diberikan obat antiaritmia profilaksis. Bila terjadi relaps dan perlu kardioversi pada pasien ini dapat diberikan antiaritmia profilaksis dengan penyekat beta, golongan kelas IC (propafenon, flekainid), sotalol atau amiodaron. Fibrilasi Arial Permanen 1. Kardioversi tidak efektif 2. Kontrol laju ventrikel dengan digoksin, penyekat beta, atau antagonis kalsium. 3. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan ablasi nodus AV atau pemasangan pacu jantung permanen. 4. FAresisten, perlu pemberian antitromboemboli KOMPLIKASI Emboli, strok, trombus intrakardiak PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi pada konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Bedah toraks , ICCU, Anestesi • RS non pendidikan : ICCU, Departemen Anestesi, Bedah
42
REFERENSI 1. Ismail D. Fibrilasi A trial: A spek Pencegahan Terjadinya Stmt In: Setiati S, SudoyoA W , A lwi I, BawazierLA , Kasjmir Y , MansjoerA , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2001. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000. p.97-114. 2. Karo KS. Disritmia. Dalam: Rilantono LI, Baraas F, Karo KS, Roebiono PS, editors.Buku A jar Kardiologi. Jakarta, Balai Penerbit FKUI; 1999. p. 275-88. 3. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta; Balai Penerbit FKUI ;1996. p. 1005-14. 4. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA , Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999. p. 155-60.
43
GAGAL JANTUNG KRONIK PENGERTIAN Gagal jantung kronik merupakan Sindrom klinis yang kompleks akibat kelainan fungsi atau struktural jantung yang mengganggu kemampuan jantung untuk berfungsi sebagai pompa DIAGNOSIS Anamnesis : Dispnea d' effort; orthopnea; paroxysmal nocturnal dispnea; lemas; anoreksia dan mual; gangguan mental pada usia tua Pemeriksaan Fisik : Takikardia, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan/ekstensi vena jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi basah halus di basal paru, dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal jantung berat, edema pretibial pada pasien yang rawat jalan, edema sakral pada pasien tirah baring. Efusi pleura, lebih sering pada paru kanan daripada paru kiri. Asites sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan perikarditis konstriktif, hepatomegali, nyeri tekan, dapat diraba pulsasi hati yang berhubungan dangan hipertensi vena sistemik, ikterus, berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin, ekstremitas dingin, pucat dan berkeringat. KRITERIA DIAGNOSIS Kriteria Framingham : Diagnosis ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor • • • • • • • •
Kriteria Mayor Paroxysmal nocturnal dispnea Distensi vena-vena leher Peningkatan vena jugularis Ronki Kardiomegali Edema paru akut Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif
• • • • • • •
Kriteria Minor Edema ekstremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (> 120 denyut per menit)
Mayor atau minor Penurunan berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari terapi DIAGNOSIS BANDING • Penyakit paru : pneumonia. PPOK. asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat • Penyakit »mjal: gagal ginjal kronik. sindrom nefrotik • Penyakit hati: siro&is hepatis
44
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang • Foto rontgen dada : Pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris dan redistribusinya ke apeks paru (opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks) , peningkatan tekanan vaskular pulmonar, kadang-kadang ditemukan efusi pleura. • Elektrokardiografi :Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan Iain-lain) Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, dan Iain -lain Laboratoratorium 1. Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), hemoglobin, tes fungsi tiroid, tes fungsi hati, dan lipid darah 2. Urinalisa untuk mendeteksi proteinuria atau glukosuria. Ekokardiografi Dapat menilai dengan cepat dengan informasi yang rinci tentang fungsi dan struktur antung, katup dan perikard.Dapat ditemukan fraksi ejeksi yang rendah < 35-40% tfau normal, kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid itau regurgitasi trikuspid), hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang iitemukan dilatasi ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, itau perikarditis TERAPI Non farmakologi • Anjuran umum: a. Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan b. Akti vitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan c. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang d. Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu e. Kontrasepsi dengan IUD pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon dosis rendah masih dapat dianjurkan. • Tindakan umum : a. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan. b. Hentikan rokok c. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya d. Akti vitas fisik (latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang) e. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut • Farmakologi a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan 45
menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik. b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik. d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat diguna kan bila ada kontraindikasi penggunaan penghambat ACE e. Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan f. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersama-sama diuretik, penghambat ACE, penyekat beta. g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan em boli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak. i. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung. KOMPLIKASI Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit PROGNOSIS Tergantung klas fungsionalnya
46
WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care • RS non pendidikan: ICCU / ICU REFERENSI 1. PanggabeanMM, SuiyadiprajaRM. GagalJantungA kutdan GagalJantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA , Mansjoer A , eds. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 140-54. 2. A CC/A HA . A CC/A HA Guidelines for the Evaluation and Management of Chronic Heart Failure in A dult: Executive Summary. A Report oj'The A merican College of Cardiology/ -.'nerican Heart A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1995 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation ::-Jl: 104:2996-3007.
47
TAKIKARDIA ATRIAL PAROKSISMAL PENGERTIAN Takikardia atrial paroksismal adalah takikardia yang terjadi karena perangsangan yang berasal dari AV node di mana sebagian rangsangan antegrad ke ventrikel sebagianke atrium DIAGNOSIS Gelombang P dapat negatif di depan kompleks QRS, terletak di belakang kompleks QRS atau sama sekali tidak ada karena berada dalam kompleks QRS.Jarak R-R teraturKompleks QRS langsing, kecuali pada rate ascendent aberrant conduction PEMERIKSAAN PENUNJANG • EKG 12 sandapan • Rekaman EKG 24 j am • Pemeriksaan Elektrofisiologi • Ekokardiografi • Angiografi koroner • TEE (Transesofageal Echocardiografi) TERAPI 1. Manipulasi saraf autonom dengan manuver valsava, eye ball pressure, pemijitan sinus karotikus dan sebagainya 2. Pemberian obat yang menyekat node AV a. Adenosin atau adenosin Tri Phosphate (ATP) IV. Obat ini harus diberikan secara intrvena dan cepat (flush) b. Verapamil intravena c. Obat penyekat beta d. Digitalisasi Pilihan utama adalah ATP dan verapamil. 3. Bila sering berulang dapat dilakukan ablasi dengan terlebih dahulu EPS untuk menentukan lokasi bypass tract atau ICD (Defibrillator Intra Cardial) KOMPLIKASI Emboli, kematian mendadak PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
48
UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Di visi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Anestesi • RS non pendidikan: ICCU / ICU, Bagian Anestesi REFERENSI 1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In : Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA, W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilidl, edisi ketiga. Jakarta:Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14. 2. Makmun, III. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro . Gani KA, MansjoerA, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; I999.p. 155-60.
49
PERIKARDITIS PENGERTIAN Perikarditis peradangan pada perikard parietalis, viseralis atau kedua-duanya, yang dapat bermanifestasi sebagai : perikarditis akut, efusi perikard tanpa tamponade, efusi perikard dengan tamponade, perikarditis konstriktif DIAGNOSIS Tergantung manifestasi klinis perikarditis : Perikarditis akut Sakit dada tiba-tiba substernal atau prekordial, yang berkurang bila duduk dan bertambah sakit bila menarik napas (sehingga perlu dibedakan dengan pleuritis).Pada pemeriksaan fisik ditemukan friction rub. EKG menunjukkan ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung akut dan repolarisasi dini). Foto jantung normal atau membesar Tamponade Pada fase awal terjadi peninggian tekanan vena jugularis dengan cekungan x prominen dan hilangnya cekungan y (juga terlihat pada kateter vena sentral). Pada fase selanjutnya timbul tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada saat inspirasi), pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 12-15 mmHg pada inspirasi, terlihat pada arterial line atau tensimeter). Penurunan tekanan darah. Umumnya tamponade disertai: pekak hati yang meluas, bunyi jantung melemah, friction rub, takikardia.Foto toraks menunjukkan : • paru normal kecuali bila sebabnya kelainan paru seperti tumor • Jantung membesar membentuk kendi (bila cairan > 250 ml) • EKG low voltage, elektrikal alternans (gelombang QRS saja, atau P, QRS dan T) • Ekokardiografi : efusi perikard moderat sampai berat, swinging heart dengan kompresi diastolik vena kava inferior, atrium kanan dan ventrikel kanan • Kateterisasi : peninggian tekanan atrium kanan dengan gelombang x prominen serta gelombang y menurun atau menghilang. Pulsus paradoksus dan ekualisasi tekanan diastolik di ke-4 ruang jantung (atrium kanan, ventrikel kanan, ventrikel kiridanPCW) Perikarditis Konstriktif • Kelelahan, denyut jantung cepat, dan bengkak. • Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda gagal jantung seperti peningkatan tekanan vena jugularis dengan cekungan x dan y yang prominen. hepatomegali, asites dan edema • Pulsus paradoksus (pada bentuk subakut) • End diastolic sound (knock) (lebih sering pada kronik) • Tanda Kusmaull (peninggian tekanan vena jugularis pada inspirasi) terutama pada yang kronik. • Foto toraks: kalsifikasi perikard, jantung bisa membesar atau normal. • Echo CT Scan dan MRI bisa mengkonfirmasi foto toraks. Bila CT Scan/MRI • normal maka diagnosis perikarditis konstriktif hampir pasti sudah bisa disingkirkan. • Kateterisasi menunjukkan perbedaan tekanan atrium kanan, diastolik ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan rata-rata PCW < 5 mmHg. Gambaran dip dan platen pada tekanan ventrikel. 50
DIAGNOSIS BANDING • Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi aorta, akut abdomen • Efusi perikard/tamponade: kardiomiopati dilatasi atau gagal jantung, emboli paru, • Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif PEMERIKSAAN PENUNJANG KG, foto toraks, ekokardiografi (terutama bila tersangka pericardial efusion), Kateterisasi, CT Scan, MRI TERAPI Perikarditis Akut • Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade. • Simptomatik dengan aspirin 650 mg/4 jam atau OAINS indometasin 25- 50 mg/6 jam. Dapat ditambahkan morfm 2-5 mg/6 jam atau petidin 25-50 mg/4jam, hindarkan steroid karena sering menyebabkan ketergantungan. Bila tidak membaik dalam 72 jam, maka prednison 6080 mg/hari dapat dipertimbangkan selama 5-7 hari dan kemudian tapering off. • Cari etiologi/kausal Efusi Perikard • Sama dengan perikarditis akut, disertai pungsi perikard untuk diagnostik Tamponade Jantung • Perikardiosentesis perkutan • Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam 30-60 menit disertai dobutamin 2-10 ug/kgBB/menit atau isoproterenol 2-20 ug/menit • Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan : a. Dilatasi balon melalui perikardiostomi jarum perkutan b. Pembedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk membuat jendela perikardial dapat dilakukan bila : tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak membaik dengan perikardiosentesis, kasus trauma • Pembedahan yang dapat dilakukan : 1. Bedah sub-xyphoid perikardiostomi 2. Reseksi perikard lokal dengan bantuan video 3. Reseksi perikard anterolateral jantung • Pengobatan kausal : bila sebabnya antikoagulan, harus dihentikan; antibiotik, antituberkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard bila etiologinya tumor. Perikarditis Konstrikitiva • Bila ringan diberikan diuretika atau dapat dicoba OAINS • Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi 51
KOMPLIKASI • Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade, perikarditis konstriktiva • Efusi perikard/ tamponade: henti jantung, aritmia : fibrilasi atrial atau flutter, perikarditis konstriktiva. PROGNOSIS Tergantung beratnya gejala dan komplikasi yang terjadi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam dengan konsultasi kepada dokter konsulen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care, Departemen Bedah • RS non pendidikan : ICCU / ICU, Bagian Bedah REFERENSI 1. Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, lsbagio H, etal, editors. Baku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisiketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl ;1996.p. 1077-81. 2. Panggabean MM, Mansjoer H. Perikarditis. Dalam : Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro , Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUl; 1999. p. 173-77.
52
SINDROM KORONER AKUT PENGERTIAN Sindrom koroner akut suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat skemia miokard.Sindrom koroner akut mencakup: 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST 2. Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST 3. Angina pektoris tak stabil (unstable angina pectoris) DIAGNOSIS Anamnesis Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial.Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas ian dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan Kirahat atau obat nitrat, atau tidak. Nyeri dicetuskan oleh latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, dan lemas. Elektrokardiogram • Angina pektoris tidak stabil : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada nyeri, tidak dijumpai gelombang Q • Infark miokard ST elevasi: hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q inversi gelombang T • Infark miokard non ST elevasi: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam. Petanda Biokimia • CK,CKMB,Troponin-T,dll • Enzim meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal DIAGNOSIS BANDING • Angina pektoris tak stabil: infark miokard akut • Infark miokard akut: diseksi aorta, perikarditis akut, emboli paru akut, penyakit dinding dada, Sindrom Tietze, gangguan gastrointestinal seperti: hiatus hernia ian refluks esofagitis, spasme atau ruptur esofagus, kolesistitis akut, tukak I lambung, dan pankreatitis akut. PEMERIKSAAN PENUNJANG • EKG • Foto rontgen dada • Petanda biokimia: darah rutin, CK, CKMB, Troponin T, dll • Profil lipid, gula darah, ureum kreatinin • Ekokardiografi • Tes Treadmill (untuk stratifikasi setelah infark miokard) • Angiografi koroner 53
TERAPI • Tirah baring di ruang rawat intensif jantung (ICCU) • Pasang infus intra vena dengan Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% • Oksigenisasi dimulai dengan 2 liter/menit 2-3 jam, dilanjutkan bila sarurasi oksigen arteri rendah (< 90%) • Diet: puasa sampai bebas nyeri, kemudian diet cair. Selanjutnya diet jantung. • Pasang monitor EKG secara kontinu Atasi nyeri dengan • Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. atau • Morfin 2,5 mg (2-4 mg)intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena. Antitrombotik • Aspirin (160-345 mg), bila alergi atau intoleransi/ tidak responsif diganti dengan tiklopidin atau klopidogrel. Trombolitik dengan streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam atau aktivator plasmino gen jaringan (t-PA) bolus 15 mg, dilanjutkan dengan 0,75 mg/kgBB (maksimal 50 mg) dalam jam pertama dan 0,5 mg/kgBB (maksimal 35 mg) dalam 60 menit jika elevasi segmen ST > 0,1 mv pada dua atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mv pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan, waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun. Blok cabang (BBB) dan anamnesis dicurigai infark miokard akut. Antikoagulan Heparin direkomendasikan untuk pasien yang menjalani revaskularisasi perkutan atau bedah, pasien dengan risiko tinggi terjadi emboli sistemik seperti infark miokard anterior atau luas, fibrilasi atrial, riwayat emboli, atau diketahui ada trombus ventrikel kiri yang tidak ada kontraindikasi heparin. Heparin diberikan dengan target aPTT 1,5-2 kali kontrol.Pada angina pektoris tak stabil heparin 5000 unit bolus intravena, dilanjutkan dengan drip 1000 unit/jam sampai angina terkontrol dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol. Pada infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin bolus intravena 5000 unit dilanjutkan dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan menyesuaikan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol. Pada infark miokard anterior transmural luas antikoagulan diberikan sampai saat pulang rawat. Pada penderita dengan trombus ventrikular atau dengan diskinesi yang luas di daerah apeks ventrikel kiri antikoagulan oral diberikan secara tumpang tindih dengan heparin sejak beberapa hari sebelum heparin dihentikan. Antikoagulan oral diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan dengan menyesuaikan nilai INR (2-3) Atasai rasa takut atau cemas Diazepam 3 X 2-5 mg oral atau IV
54
Pelunak tinja Laktulosa (laksadin) 2 X 15 ml • Penyekat Beta diberikan bila tidak ada kontraindikasi • Penghambat ACE diberikan bila keadaan menizinkan terutama pada infark miokard akut yang luas, atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi, riwayat infark miokard Antagonis • Antagonis kalsium : verapamil untuk infark miokard non ST elevasi atau angina rektoris tak stabil bila nyeri tidak teratasi Atasi komplikasi: 1. Febrilasi atrium • Kardioversi elektrik untuk pasien dengan gangguan hemodinamik berat atau iskemia intraktabel • Digitalisasi cepat • Penyekat Beta • Diltiazem atau verapamil bila penyekat beta dikontraindikasikan • Heparinisasi 2. Fibrilasi ventrikel DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika tak berhasil harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J. 3. Takikardia ventrikel • VT polimorfik menetap (> 30 detik) atau menyebabkan gangguan hemodinamik : DC Shock unsynchronized dengan energi awal 200 J, jika gagal harus diberikan shock kedua 200-300 J dan jika perlu shock ketiga 360 J • VT monomorfik yang menetap diikuti anina, edema paru atau hiptensi harus diterapi dengan DC shock synchronized energi awal 100 J. Energi dapat ditingkatkan jika dosis awal gagal. • VT monomorfik yang tidak disertai angina, edema paru atau hipotensi dapat diberikan: Lidokain bolus 1-15 mg/kg BB. Bolus tambahan 0,5- 0,75 mg/kg BB tiap 5-10 menit sampai dosis loading total maksimal 3 mg/kgBB. Kemudian loading dilanjutkan dengan infus 2-4 mg/menit (30-50 ug/kgBB/menit); atau Disopiramid: bolus 1-2 mg.kgBB dalam 5 -10 menit dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 mg/kg BB/jam; atau Amiodaron 150 mg infus selama 10-20 menit atau 5 ml/kgBB20-60 menit dilanjutkan infus tetap 1 mg/menit selama 6 jam dan kemudian infus pemeliha raan 0,5 mg/menit; atau Kardioversi elektrik synchronized dimulai dosis 50 J (anestesi sebelumnya) 4. Bradiaritmia dan blok • Bradikardia sinus simtomatik (frekuensi jantung < 50 kali/menit disertai hipotensi, iskemia aritmia ventrikel escape) • Asistol ventrikel • Blok AV simtomatik terjad pada tingkat nodus AV (derajat dua tipe 1 atau derajat tiga dengan ritme escape kompleks sempit) • Terapi dengan sulfas atropin 0,5-2 mg. Isoproterenol 0,5-4 ug/menit bila atropin gagal, sementara menunggu pacu jantung sementara 55
5. Gagal jantung akut, edema paru, syok kardiogenik diterapi sesuai standar pelayanan medis mengenai kasus ini 6. Perikarditis • Aspirin (160-325 mg/hari) • Indometasin, • Ibuprofen • Kortikosteroid 7. Komplikasi mekanik • Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel ditatalaksana operasi. KOMPLIKASI 1. Angina pektoris tak stabil : payah jantung, syok kardiogenik, aritmia, infark miokard akut. 2. Infark miokard akut (dengan atau tanpa ST elevasi) : gagal jantung, syok kardiogenik, ruptur korda, ruptur septum, ruptur dinding bebas, aritmia gangguan hantaran, aritmia gangguan pembentukan rangsang, perikarditis, sindrom dresler, emboli paru. PROGNOSIS Tergantung daerah jantung yang terkena, beratnya gejala, ada tidaknya komplikasi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care • RS non pendidikan : ICCU / ICU REFERENSI 1. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner A kut. In: Bawazier LA , A lwi I, SyamA F, Gustaviani R, Mansjoer A , editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskukir. Jakarta.Pusat Informasidan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKU1; 2001. p. 32-42. 2. Harun S, A lwi I, Rasyidi K. Infark Miokard A kut. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro , Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian limit Penyakit Dalam FKUI ;1999.p. 165-72. 3. Santoso T. Tatalaksana Infark Miokard A kut. In: Subekti I, LydiaA . Rumende CM, Syan i A F, Mansjoer A , Suprohaita, editors. Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p. 1-10. 56
RENJATAN KARDIOGENIK PENGERTIAN Renjatan kardiogenik adalah kegagalan sirkulasi akut karena ketidakmampuan daya pompa jantung DIAGNOSIS Trias renjatan : tekanan darah < 90 mmHg, takikardia, dan oliguria Pemeriksaan fisik 1. Tanda-tanda gagal jantung 2. Kemungkinan: komplikasi infark miokard akut seperti ruptur septum interventrikel atau muskulus papilaris. Infark ventrikel kanan pada infark inferior dimana denyut aritung rendah karena blok AV, tanda gagal jantung kanan dengan paru yang tidak kongestif.Murmur : regurgitasi akut aorta, mitral, stenosis aorta berat, atau trombosis katup prostetik Elektrokardiografi 1. Tanda iskemia, infark, hipertrofi, low voltage 2. Aritmia: AVblok, bradiaritmia, takiaritmia Foto toraks Opsifikasi hilus dan bagian basal paru, kemudian makin ke arah apeks paru. Kadang-:ang efusi pleura Ekokardiografi Kontraktilitas ventrikel kiri atau ventrikel kanan yang buruk, dilatasi ventrikel kiri I JCIU atrium kiri atau arteri pulmonalis, Regurgitasi katup, Miksoma atrium, Efusi prikard dengan tamponade, Kardiomiopati hipertrofik, Perikarditis konstriktiva DIAGNOSIS BANDING • Syokhipovolemik • Syok obstruktif (emboli paru, tension pneumotoraks) • Syok distributif (syok anafilaksis, sepsis, toksik, overdosis obat • Infark jantung kanan PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah rutin, ureum, kreatinin, AGD, elektrolit, foto toraks, EKG, Enzim jantung (CK-E K.MB, Troponin T), Angiografi koroner TERAPI 1. Posisi ½ duduk bila ada edema paru kecuali hipotensi berat 2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk: pasien makin sesak, takipnu. ronki bertambah, Pa02 tidak bisa dipertahankan > 60 mmlls dangan O, konsentrasi dan aliran tinagi, retensi CO,, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator 57
3. Infus emergensi 4. Bila ada tension pneumotoraks segera diidentifikasi dan ditatalaksana untuk dekompresi dengan chest tube torakotomi 5. Atasi segera aritmia dengan obat atau DC 6. Jika ada defisit volume yang ikut berperan berikan normal salin 250-500 ml kecuali ada edema paru akut. Jika terapi cairan gagal pasang kateter Swan Ganz. 7. EKG prekordial kanan untuk deteksi gagal jantung kanan bila ada infark akut inferior 8. Penilaian cukup tidaknya volume paling baik dengan kateter Swan Ganz untuk mendapatkan PAWP. Jika pemberian cairan kontraindikasi atau tidak efektif berikan vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik 100 mmgHg. Dopamin dimulai dengan 5 ug/kgBB/menit dititrasi sampai tercapai target mempertahankan tekanan darah atau sampai 15 ug/kgBB/menit. Tambahkan norepinefrin bila tekanan darah < 80 mmgHg dengan dosis 0,1 30 ug/kgBB/ menit. Jika tidak respons dengan dopamin dapat juga ditambahkan dobutamin dengan dosis titrasi 2,5 -20 ug/kgBB/menit. Atau milrininon/amrinon 9. IABP (Intra Aortic Ballon Pump) bila tidak responsif dengan terapi adekuat I sambil menunggu tindakan intervensi bedah. 10. Jika tekanan darah sudah stabil dapat diberikan vasodilator untuk mengurangi I afterload dan memperbaiki fungsi pompa terutama berguna pada : hipertensi berat, edema paru, dekompensasi katup. Nitrolgliserin sublingual atau intravena. 11. Nitrogliserin peroral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 I mmHg bisa diberikan nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan nitroprusid. Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/ menit bila tidak memberi respons dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. 12. Bila perlu: Diberikan Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau dobutamin 2-10 ug/kgBB/ menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respons klinis 13. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard 14. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis atau tidak berhasil dengan terapi oksigen 15. 15. Atasi aritmia atau gangguan konduksi . 16. Operasi pada komplikasi akut infark jantung akut seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel atau korda tendinae KOMPLIKASI Gagal napas PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
58
UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: ICCU / medical High Care, Departemen Bedah toraks / Jantung. • RS non pendidikan: ICCU /ICU, Bagian Bedah, Anestesi
REFERENSI 1. Panggabean MM, Suryadipraja RM. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gam RA, Mansjoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ,1999. p. 140-54. 2. Trisnohadi HB. Syok kardiogenik. In: Prosiding Simpsosium Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 11-16. 3. Harun S, Mansjoer H. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut. In: Bawazier LA, Alwi I, Syam AF, Gustaviani R, Mansjoer A, editors. Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 32-42.
59
FIBRILASI VENTRIKULAR PENGERTIAN Fibrilasi ventrikular adalah kelainan irama jantung dengan tidak ditemukan depolarisasi ventrikel yang terorganisasi sehingga ventrikel tidak mampu berkontraksi sebagai suatu kesatuan dengan irama yang sangat kacau serta tidak terlihat gelombang P, QRS maupun T DIAGNOSIS EKG: kompleks QRS sudah berubah sama sekali, amplitudo R sudah mengecil sekali. PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG 12 sandapan, rekaman EKG 24 jam, ekokardiografi, angiografi koroner TERAPI 1. DC shock dengan evaluasi dan shock sampai 3 kali jika perlu dimulai dengan 200 Joule, kemudian 200-300 Joule dan 360 Joule. 2. Resusitasi jantung paru selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi di pembuluh nadi besar tidak teraba). 3. Bila teratasi penatalaksanaan seperti takikardia ventrikular. KOMPLIKASI Emboli paru, emboli otak, henti jantung PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam -Divisi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian llmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care ' RS non pendidikan: ICCU /ICU REFERENSI 1. Trisnohadi MB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H. et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl ;1996. p. 1005-14. 2. Sfakmun LH. Gangguan Iraina Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maiyantoro, Gain RA , MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang limit Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 1999. p 155-60.
60
TAKIKARDIA VENTRIKULAR PENGERTIAN Takikardia ventrikular adalah kelainan irama jantung berupa tiga atau lebih kompleks yang berasal dari ventrikel secara berurutan dengan laju lebih dari 100 per menit. DIAGNOSIS EKG: frekuensi kompleks QRS meningkat, 150-200 kali/menit, kompleks QRS melebar, hubungan gelombang P dan kompleks QRS tidak tetap DIAGNOSIS BANDING Supraventrikular takikardia dengan konduksi aberans PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG 12 sandapan, Rekaman EKG 24 jam, Ekokardiografi, Angiografi koroner, Pemeriksaan elektrofisiologi TERAPI • Atasi penyakit dasar : bila iskemia maka dilakukan revaskularisasi koroner, bila payah jantung maka diatasi payah jantungnya • Pada keadaan akut: - Bila mengganggu hemodinamik : dilakukan DC shock - Bila tidak mengganggu hemodinamik : dapat diberikan antiaritmia dan bila tidak berhasil dilakukan DC shock DC Shock diberikan dan dievaluasi sampai 3 kali (200 Joule, 200-300 Joule, 360 Joule atau bifasik ekuivalen) jika perlu. Antiaritmia yang diberikan : lidokain atau amiodaron. Lidokain diberikan mulai dengan bolus dosis 1 mg/kgBB (50-75 mg dilanjutkan dengan rumatan 2-4 mg/kgBB). Bila masih timbul bisa diulangi bolus 50mg/kgBB. Untuk amiodaron dapat diberikan 15 mg/kg BB bolus 1 jam dilanjutkan 5 mg/kg BB bolus /drip dalam 24 jam sampai dengan 1000 mg/24jam. Untuk jangka panjang Bila selama takikardia tidak terjadi gangguan hemodinamik maka dapat dilakukan tindakan ablasi kateter dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan. Hal ini terutama untuk ventrikular takikardia reentran cabang berkas. Bila selama takikardia terjadi gangguan hemodinamik perlu dilakukan tindakan konversi dengan defibrilator, kalau perlu pemasangan defibrilator jantung otomatik. KOMPLIKASI Emboli paru, emboli otak, kematian PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi
61
WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNITTERKAIT • RS pendidikan : ICCU / medical High Care • RS non pendidikan: ICCU / ICU REFERENSI 1. Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUl; 1996. p. 1005-14. 2. Makmun LH. Gangguan Irama Jantung. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi 1, Maryantoro, Jani RA , MansjoerA , editors. Pedoman Diagnosis dan Tempi di Bidang Ilmu Penyakit Z'jlam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam cKUI;1999.p 155-60.
62
EKSTRASISTOL VENTRIKULAR PENGERTIAN Ekstrasistol ventrikuler adalah suatu kompleks ventrikel premature timbul secara dini di salah satu ventrikel akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis atau melalui mekanisme reentri. DIAGNOSIS P sinus biasanya dalam komleks QRS, segmen ST atau gelombang T,kopleks QRS muncul lebih awal dari seharusnya,QRS melebar (> 0,12 detik),gambaran QRS wide and bizarre, segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS, bila karena mekanisme reentri maka interval antara kompleks ekstrasistol ventrikel akan selalu sama. Bila berbeda maka asalnya dari focus ventrikel yang berbeda PEMERIKSAAN PENUNJANG EKG 12 sandapan,rekaman EKG 24 jam,ekokardiografi,angiografi koroner Terapi · Tidak perlu diobati jika jarang,timbl pada pasien tanpa/tidak dicurigai kelainan organic · Perlu pengobatan bila terjadi pada kedaan iskemiamiokard akut,bigemini,trigemini,atau multifocal,alvo ventrikel. · Koreksi gangguan elektrolit,gangguan keimbangan asam basa, dan hipoksia · Obat: xilokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB dilanjutkan infs 2-4 mg/menit.Obat alternative: prokainamid,disopiramid,amiodaron,meksiletin.Bila pengobatan tidak perlu segera, obat-obat ersebut dapat diberikan secara oral KOMPLIKASI VT/VF,kematian mendadak PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi WEWENANG · RS pendidikan : dOKTERsPESIALIS Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : ICCU/medical High Care · RS non pendidikan: ICCU/ICU REFERENSI Trisnohadi HB. Kelainan Gangguan Irama Jantung Y ang Spesifik. In: Sjaifoellah N, W aspadji S, RachmanM, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H,et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996.p.1000-14. 63
2.3
PULMONOLOGI
64
HEMOPTISIS PENGERTIAN Hemoptisis adalah ekspektoris darah dari saluran napas. Darah bervariasi dari dahak disertai bercak/lapisan darah hingga batuk berisi darah saja. Batuk darah masif adalah batu darah lebih dari 100 mL hingga lebih dari 600 mL darah dalam 24 jam DIAGNOSIS · Anamnesis - Batuk, darah bewarna merah segar , bercampur busa - Batuk sebelumnya,dahak(jumlah,bau penampilan),demam sesak, nyeri ada, riwayat penyakit paru, penurunan berat badan, anoreksia - Penyakit komorbid,riwayat penyakit sebelumnya - Kelainan perdarahan, penggunaan obat antikoagulan/obat yang dapat menginduksi trombositopenia - Kebiasaan: merokok · Pemeriksaan fisik - Orofaring,nasofaring: idak ada sumber perdarahan - Paru: ronk basah atau kering,pleural friction rub - Jantung: tanda-tanda hipertensi pulmonal, mitral stenosis, gagal jantung · Laboratorium - DPL, LED, ureum, kreatinin, urin lengkap - Hemoptisis(aPTT): bila perlu - Sputum: pemeriksaan BTA langsung dan kultur, pewarnaan Gram,kultur MOR · Bronkoskopi: Menentukan lokasi sumber perdarahan dan diagnosis · CT scan toraks: Menemukan bronkiektasi, malformasi AV DIAGNOSIS BANDING · Sumber trakeobronkial: - Neoplasma ( karsinoma bronkogenik,tumor metastasis endobronkial,dll) - Bronkitis(akut dan kronik) - Bronkiektasis - Bronkiolitiasis - Trauma - Benda Asing · Sumber parenkim paru: - Tuberkulosis paru - Pneumonia - Abses paru - Mycetoma(fungus ball) - Sindrom Goodpasture - Granulomatosis Wegener - Pneumonitis lupus - Sumber vascular - Peningkatan tekanan vena pulmonal (stenosis mitral) 65
-
Emboli paru Malformasi AV Hematemesis Perdarahan nasofaring Koagulopati, pengobatan trombolitik/antikoagulan
Pemeriksaan penunjang · Foto toraks · Laboratorium: - DPL, LED, ureum, kreatinin, urine lengkap - Hemostasis: bila perlu - Sputum: pemeriksaan BTA,pewarnaan Gram, kultur MOR · Bronkoskopi: bila perlu · CT Scan toraks: bila perlu TERAPI Hemoptisis massif: Tujuan Terapi adalah mempertahankan jalan napas, proteksi paruyang sehat, menghentikan perdarahan · Istirahat baring, kepala direndahkan tubuh miring ke sisi sakit · Oksigen · Infuse,bila perlu transfuse darah · Medikamentosa - Antibiotikka - Kodein tablet untuk spresi batuk - Koreksi koagulopati; Vitamin K intravena · Bronkoskopi: diagnostik dan terapeutik topical(bilas air es,intilasi epinefrin) · Intubasi selektif pada bronkus paru yang tidak berdarah(bila perlu) Indikasi operasi pada pasien batuk darah massif: · Batuk darah 600cc/24jam, dan pada observasi tidak berhenti · Batuk darah 100-250cc/24jam,hb< 10 g/dL, dan pada observasi tidak berhenti · Batuk darah 100-250 cc/24jam, Hb>10 g/dL, dan pada observasi 48 jam tidak berhenti Hemoptisis non-masif: Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar. Terapi konservatif suatu penyakit dasar KOMPLIKASI Asfiksia, atelektasis, anemia PROGNOSIS Tergantung pada penyebabnya
66
WEWENANG · RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penakit Dalam · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Departemen Bedah/Toraks, Radiologi, Patologi Klinik · RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru
REFERENSI 1. R Uyainah A . Hemoptisis. In: Simadibrata M,Setiani S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.p.215-6. 2. A pproach to the patient. In: Fishman A P, Elias JA , Fishman JA . Grippi MA , Kaiser LR, Senior RM,editors. Fishman’ s Manual of Pulmonary Diseases and Disorders 3nd ed.New Y ork: McGrawHill;2002.p. 16-21. 3. W einberg SE, Braunwald E. Cough and Hemoptysis. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’ s Principles of internal medicine.15th ed. New Y ork: McGrawHill;2001.p.203-7.
67
EFUSI PLEURA PENGERTIAN Efusi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura>15 ml, akibat ketidakseimbangan gaya Starling, abnormalitas struktur endotel dan mesotel,drainase limpatik terganggu dan abnormalitas side of entry( defek diafragma) Tipe efusi pleura 1. Efusi transudatif: cairan oleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena perubahan factor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorbs cairan pleura Penyebab: · Gagal jantung Kongestif · Sindrom nefrotik · Sirosis hati · Sindrom meigs · Hidronefrosis · Dialysis peritoneal · Efusi pleura maligna/para maligna: karena atelektasis pada obstruksi bronchial, atau stadium awal obstruksi limfatik 2. Efusi eksudatif: cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat). Efusi eksudatif terjadi karena perubahan factor local yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Penyebab · Tuberkulosis · Efusi parapneumonia: efusi pada pneumonia · Keganasan: metastasis(karsinoma paru,kanker mammae, limfoma, ovarium,dll), mesothelioma · Emboli paru · Penyakit abdomen: penyakit pancreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika · Penyakit kolagen(LES,dll) · Trauma · Chylothorax · Uremia · Radiasi · Sindrom Dressler · Pasca CABG · Penyakit Pleura di induksi obat: amiodarone, bromocriptine, · Penyakit pericardium Chylothoraks : timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chyclus darah tepi keadaan ini disebabkan trauma atau rupture pembuluh darah atau tumor. Efusi pleura maligna: dapat ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan pleura saat biopsy pleura Efusi paramaligna: efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan leura atau jaringan pleura. Efui paramalgna dapat berupa cairan transudat 68
DIAGNOSIS Anamnesis: Nyeri, Sesak, Demam Pemeriksaan Fisik Restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada: Bila>300 mL cairan: · Bagian bawah/daerah cairan: Perkusi : redup Fremitus taktil dan fokal : menghilang Suara napas : melemah s.d. menghilang,fremitus(saat awal) Trakea : terdorong ke kontralateral Di atas dari cairan : penekanan paru/konsolidasi Foto torak · PA: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan) · Lateral: sudut kostofrenikus tumpul (>200mL cairan) · PA/lateral: gambaran perselubungan homogeny menutupi struktur paru bawah, biasanya relative radioopak, permukaan atas cekung USG: menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi erlokulasi(terutama bila ketebalan efusi<10mm atau terlokulasi). CT scan(bila perlu) : menunjukkan efusi yang belum terdeteksi dengan radiologi konvensional, memperlihatkan parenkim paru, identiikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan asbestosis, membedakan bses paru perifer dengan empyema terlokulasi Pungsi pleura(torakosentesis) dan analisis cairan pleura: melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darah. Dinilai secara: Makroskopis · Transudat = jernih, sedikit kekuningan · Eksudat = warna lebih gelap, keruh · Empiema = opak , kental · Efusi kaya kolesterol = berkilau seperti satin · Efusi chylous = seperti susu Mikroskopis: · Sel leukosit <1.000/mm 3 : transudat · Sel leukosit meningkat, predominasi limfosit matur: neoplasma, limfoma,TBC · Sel leukosit predominasi PMN: pneumonia,pancreatitis
Kimiawi 69
· · · · -
Potein LDH Cairan disebut eksudat bila memenuhi salah satu dari 3 kriteria: Rasio kadar protein total cairan pleura/serum>0,5 Rasio kadar LDH cairan pleura/serum>0,6 Kadar LDH> 200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum Jika efusi pleura eksudat,selanjutnya diperiksakan Kadar glukosa Kadar amylase PH Hitung jenis Kadar Lipid: trigliserida Pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi Amilase Tes Bakteriologi: pewarnaan Gram,kultur MOR,pemeriksaan BTA langsung dan Kultur BTA Sitologi
DIAGNOSIS BANDING Transudat,eksudat,chylothorax,empiema(lihat di atas) PEMERIKSAAN PENUNJANG · Foto toraks PA, lateral dan lateral dekubitus · Analisis cairan pleura · Pemeriksaan cairan pleura: BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme+ resistensi · Sitologi cairan pleura(dengan atau tanpa cystopin) · USG toraks · CT scan TERAPI Efusi karena gagal jantung · Diuretik · Torakosentesis diagnostic bila: - Efusi menetap terapi diuretik - Efusi unilateral - Efusi bilateral, ketinggian caira berbeda bermakna - Efusi+ febris - Efusi + nyeri dada pleuritik Efusi Parapneumonia/empiema Torakosentesis+ Antibiotika ± drainase(lihat lampiran algoritme) Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis Obat anti tuberculosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, setelah ada respon diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi >tinggi dari sela iga III. 70
Efusi Pleura Keganasan · Drainase dengan chest tube+ pleurodesis kimiawi. Kandidat yang baik untuk pleurodesis ialah: - Terjadi rekurens yang cepat - Angka harapan hidup: minimal beberapa bulan - Pasien tidak debibilitasi - Cairan pleura dengan pH>7.30 · Alternatif pasien yang tidak dapat dilakukan pleurodesis ialah pleuroperitoneal shunt · Terapi kanker paru(lihat PPM kanker paru) - Kemoterapi sistemik pada limfoma, kanker mammae dan karsinoma paru small cell - Radioterapi pada limfoma dan chylothorax limfomatous dengan keteribatan KGB mediastinum · Pasien dengan lama harapan hidup pendek atau keadaan buruk: torakosentesis terapeutik periodik Chylothoraks Chest tube/thoracostomy sementra, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt Hemotoraks Chest tube/thoracostomy, Bil perdarahan >200 ml/jam, pertimbangkan torakotomi Efusi karena penyebab lain; Atasi penyakit primer Komplikasi Efusi pleura berulang, efusi pleura maligna PROGNOSIS · Dubia : tergantung penyebab,dan penyakit komorbid · Prognosis buruk pada efusi pleura maligna WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit dalam-Divisi Pulmunologi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru
71
UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Departemen bedah/toraks, Radiologi, Patologi,Anatomi, Mikrobiologi Klinik REFERENSI 1. Uyainah A . Efusi Pleura In: Simadibrata M. Setiati S,A lwi I,Maryantoro, Gani RA ,Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit dalam Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilm Penyaki Dalam FKUI. 1999:210-1. 2. Rosenbluth DB. Pleura Effusions: Nonmalignant anf Malignant. In: Fishman A P, Elias JA , Grippi MA , Kaiser LR, Senior RM,editors. Fishman’ s Manual of Pulmonary Diseases and disorders.3rd ed. New Y ork: Mc-Graw Hill,2002: 487-506. 3. Light RW . Disorders Of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper DI, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’ s Principles of Internal Medicine.15th ed. New Y ork: McGraw-Hill,2001: 1513-6.
72
PNEUMOTORAKS PENGERTIAN Pneumotoraks adalah akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru. Pneumotoraks spontan: terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas: · Pneumotoraks spontan primer: Pada orang sehat. Faktor risiko : merokok Penyebab : umumnya rupture bullae · Pneumotoraks spontan sekunder: pada penderita PPOK, tuberculosis paru,asma,cystic fibrosis, pneumonia pneumocystis carinii,dll. Pneumotoraks traumatic adalah pneumotoraksyang didahului trauma, termasuk: biopsi transtorakal, ventilasi mekanik, pemasangan kateter vena sentral,torakosentesis, biopsi transbronkhial,dll. Menurut fistulanya, dibagi atas: 1. Pneumotoraks ventil 2. Pneumotoraks terbuka 3. Pneumotoraks tertutup DIAGNOSIS Gejala: nyeri dada,akut, terlokalisir, dipsnea(pada pneumotoraks ventil: tiba-tiba, makin hebat), batuk, hemoptisis Pemeriksaan Fisik · Takipneu · Sisi terkena(ipsilateral) - Statis: lebih menonjol - Dinamis: pergerakan berkurang/tertinggal - Fremitus: menghilang - Perkusi: hipersonor - Auskultasi: suara napas melemah-menghilang · Tanda pneumotoraks tension: - Keadaan umum sakit berat - Denyut jantung> 140x/m - Hipotensi - Takipneu,pernapasan berat - Sianosis - Diaforesis - Deviasi trakea ke sisi kontralateral - Distensi vena leher
73
Foto toraks: • Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruagan lusen • PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada apeks. • Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinal shift, depresi diafragma, ekspansi rib cage CT Scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae AGD : hipoksemia, mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia. DIAGNOSIS BANDING Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi pleura, kanker paru PEMERIKSAAN PENUNJANG Foto toraks CT scan toraks Analisis gas darah : bila diperlukan TERAPI • Pneumotoraks unilateral kecil (< 20 %) dan asimtomatik: observasi, foto toraks serial. • Aspirasi: anestesi lokal di sela iga II anterior (garis midklavikula) aspirasi dengan kateter 16F atau 18F, hingga tidak ada gas lagi keluar. • Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan pemasangan thoracostomy tube. Tube disambungkan ke water sealed chamber, dapat disertai suction untuk 24 jam pertama atau selama masih ada kebocoran udara. Setelah 24 jam tidak terjadi pneumotoraks lagi: tube dapat dicabut. • Jika pneumotoraks rekurens: - Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau: - Konsul Bagian Bedah / Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan: § Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal), atau § Torakoskopi, atau Open thoracotomy. Indikasi: - Kebocoran udara memanjang, - Reekspansi paru tidak sempurna - Bullae besar - Risikopekerjaan Indikasi relatif: - Pneumotoraks tension - Hemopneumotoraks - Bilateral pneumotoraks - Rekurens ipsilateral / kontralateral
74
KOMPLIKASI Gagal nafas pneumotoraks tensio, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks, penebalan pleura, atelektatis, pneumotoraksrekurens, emfisima mediastinu, edema paru reekspansi PROGNOSIS Dubia: tergantung tipe penyakit dasar, faktor pemberat/ komorbid. WEWENANG • RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dal am - Di visi Pulmonologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Paru UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Departemen Bedah / Toraks, Radiologi / Radiodiagnostik • RS non pendidikan: Bagian Bedah, Paru, Radiologi REFERENSI 1. Bahar A . Pneumothoraks. In Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;1999.-p.221-2. 2. Rosenbluth DB. Pneumothorax. In Fishman A P, Elias J A , Fishman J A , Grippi MA , Kai ser LR, Senior RM, editors. Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders. 3"1 ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2002.p. 507. 3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p. 1513-6.
75
PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT PENGERTIAN Pneumonia adalah Inflamasi parenkim paru yang disebabkan Mikobakterium tuberkulosis.
mikroorganisme selain
Pneumonia Didapat Di Masyarakat (Community-acquired Pneumonia, CAP) • Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit • infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara napas dan atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama > 14 hari sebelum timbulnya gejala (IDSA 2000) Etiologi penyebab Grup I: rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran) • Hemophilus influenzae • Respiratory viruses • Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik Grup II: rawat jalan, dengan penyakit kardiopulmonal, dan / atau faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP ) • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik atau virus ) • Hemophilus influenzae • Enterik gram negatif • Respiratory viruses • Lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp, aspirasi ( anaerob ), Mycobacte rium tuberculosis, fungi endemik Grup III: rawat inap Non-ICU a. Dengan penyakit kardiopulmonal dan / atau faktor modifikasi (termasuk penghuni pantijompo) • Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP) • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik ) • Enterik gram negatif • Aspirasi (Anaerob) • Virus 76
• Legionella spp • Lain: Mycobacterium tuberculosis,fungi endemik, Pneumocystis carinii b. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • Infeksi campuran (bakteri + patogen atipik) • Virus • Legionella spp - Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii Grup IV:RawatICU a. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa - Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP ) - Legionella spp - Hemophilus influenzae - Enterik gram negatif - Staphylococcus aureus - Mycoplasma pneumoniae - Respiratory Virus - Lain:- Chlamydia pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik b. Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa - Semua patogen diatas (IV.a) - + Pseudomonas aeruginosa DIAGNOSIS Rencana diagnostik bertujuan : 1. Diagnostik adanya CAP: - Foto paru terdapat infiltrat baru atau infiltrat yang bertambah - Terdapat 2 dari 3 gejala berikut: demam, batuk + sputum produktif, leukositosis (pada penderita usia lanjut: gejala dapat tidak khas/tersamar, seperti lesu, tidak mau makan, dll) 2. Pengkajian awal derajat berat penyakit dengan The Pneumonia PORT prediction rule atau Pneumonia Severity of Illness Index ( PSl): Berdasarkan proses dua langkah yang mengevaluasi faktor demografis, penyakit komorbid, remeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiologis, pasien distratifikasi menjadi limakelas risiko mortalitas dan outcome: - Pasien dengan kondisi berikut dimasukkan dalam kelas risiko II-V - Usia di atas 50 tahun - Terdapat riwayat penyakit komorbid: · keganasan · gagal jantung kongestif · penyakit serebrovaskular 77
·
· penyakit ginjal penyakit hati
- Terdapat kelainan pada pemeriksaan i'isis: · perubahan status mental · nadi > 125 kali/menit · pemapasan > 30 kali/menit · tekanan darah sistolik < 90 mmHg · suhu<30°Catau>40°C • Selain kondisi di atas pasien dimasukkan dalam kelas risiko I 3. Identifikasi penyebab mikrobiologis (lihat tabel 4): • pewarnaan Gram sputum • kultur sputum • kultur darah • pemeriksaan serologis, pemeriksaan antigen, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), dan tes invasif (torakosentesis. aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal. biopsi paru terbuka dan torakoskopi): bila diperlukan. DIAGNOSIS BANDING Tuberkulosis paru, jam ur PEMERIKSAAN PENUNJANG • foto toraks • pulse oxymetry • Laboratorium Rutin : DPL, hitung jenis, LED. Glukosa darah, Ureum, Creatinin, • SGOT.SGPT • Analisis gas darah, elektrolit • Pewarnaan Gram sputum • Kultur sputum • Kultur darah • Pemeriksaan serologis • Pemeriksaan antigen • Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). • Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal. bronkoskopi. aspirasi jarum transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi TERAPI Tata laksana Umum: Rawatjalan: • Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan • Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol • Ekspektoran/mukolitik • Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan • Kontrol setelah48jam atau lebih awal bila diperlukan • Bila tidak membaik dalam 48 jam dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit atau 78
dilakukan foto thoraks. Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh : - Derajat berat CAP - Penyakit terkait - Faktor prognostik lain - Kondisi dan dukungan orang dirumah - Kepatuhan, keinginan pasien Rawat inap di RS : - Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi. Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8kPa dan SaO2 > 92 % - Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOk dengan komplikasi gagal napas dituntut denga pengukuran analisa gas darah berkala - Cairan : bila perlu dengan cairan intravena - Nutrisi - Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol - Ekspektoran/ mukolitik Foto thorak diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan. Rawat di ICU : - Bronkoskopi daopat bermamfaat untuk retensi sekret, mengalami sampel untuk kultur guna penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobrakial. Terapi antibiotik : Pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin, bedasarkan perkiraan etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok p[asien rtertentu, sesuai pedoman terapi emp[irik inisial ATS 2001. Syarat untuk alih terapi : - Berkurangnya keluhan batuk dan sesak nafas - Suhu afebris ( < 1000F ) opada dua pengukuran yang terpisah 8 jam lamanya, leukosit berkurang / menjadi normal. - Saluran gastrointestinal berfungsi baik, masukan oral adekuat. Syarat untuk pemulangan dapat merujuk pada criteria Weingarten atau Ramirez (lihat table 6). KOMPLIKASI - CAP berat : Bila memenuhi suatu kriterias mayor ( dari dua kriteria modifikasi ) atau dua kriteria minor ( dari # kriteria minor modifikasi ) Kriteria minor yang dikaji saat masuk RS : 1. gagal nafas berat ( PaCO2/ FIO2 < 250 ) 2. foto thoraks : pneumonia multilobaris 3. TD sistolik < 90 mmHg.
79
Kriteri mayor yang dikaji saat masuk RS atau dalam perjalanan penyakit : 1. perlunya ventilator mekanis 2. syok sepsis - Gagal nafas - sepsis, syok sepsis - Gagal ginjal akut - Efusi parapneumonik - bronkiektasis PROGNOSIS Tergantung pada derajat berat penyakit, penyakit komorbid, status imunologis, dll. WEWENANG - RS pendididkan : dokter spesialis penyaklit dalam dan PPDS penyakit dalam - RS non pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam UNIT YANG MENANGANI - Rs pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi - Rs non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam. UNIT TERKAIT - RS pendidikan : devisi tropic infeksi, Depasrtement Radiologi/ Radiodiagnostik, Patolog Klinik, Mikrobiologi Klinik, Parasitologi, Anestesia/ ICU - RS non pendidikan : Bagian paru, patologi klinik, radiologi, parasitlogi, mikrobiologi klinik, anestesi /ICU REFERENSI 1. A merican Thoracic Society. Guidelines for Management of A dults with Community A cquired Pneumonia: Diagnosis, A ssessment of Severity, A nti Microbial Therapy, and Prevention. A n J Respir Crit Care Med, 2001: 163:1730 –54. 2. British Thoracic Society Standard of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for The Management of Community A cquired Pneumonia in A dults. Thorax 2001:56(SUPPL IV ):1-64. A vailable at URL:http://Thorax.bmjjournals.com /cgi/content/full/56/suppl_4/. 3. Rhew DC, W eingarten SR, A chieving A Safe and Early Discharge for Patients wit Community A cquired Pneumonia. Medical Clinics of North A merica, November 2001:85(6):1427-40. 4. Barttlet JG, Dowell SF, Mendell LA , File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Guidelines from Infectious Diseases Society of A merica: Practice Guidelines for The Management Community A cquired Pneumonia in A dults. Clinical Infectious Diseases 2000:31:347-82.
80
Table 2. langkah kedua sistem skor rumus prediksi pneumonia Karakteristik pasien Faktor demografik : Usia Laki-laki perempuan Penghuni panti jompo Penyakit ko-morbid : Neoplasma Penyakit hati Gagal jantung kongestif Penyakit serebrovaskul;ar Penyakit ginjal Temuan pemeriksaan fisik : Perubahan status mental Frekuensi pernafasan > 30 kali/menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHg Suhu < 350C atau > 400 C Frekuensi nadi > 125 kali/menit Hasil laboratorium dan radiologis : AGD : pH < 7,35 Blood Urea Nitrogen >30 Mg/dl ( 11 mmol/L) Natrium < 130 mmol/L Glukosa > 250 mg/dl Hematokrit < 30 % AGD : PaCO2 < 60 mmHg Efusi pleura
Nilai
Umur ( tahun ) Umur (tahun)-10 + 10 +30 +20 +10 +10 +10 +20 +20 +20 +15 +10 +30 +20 +20 +10 +10 +10 +10
Tabel 3. Stretifikasi Pneumoni Bedasarkan Skor Resiko, angka kematian dan rekomendasi tempat rawat Kelas resiko I II III IV V
Jumlah nilai
< 70 71-90 91-130 >130
Mortalitas Cohort validasi pneumonia PORT (%) Rawat inap Rawat jalan Semua pasien 0,5 0,0 0,1 0,9 0,4 0,6 1,2 0,0 0,9 9,0 12,5 9,3 27,1 0,0 27,0
Penatalaksanaan Rawat jalan Rawat jalan Rawat inap singkat Rawat inap Rawat inap
81
Table 4. perbandingan pemeriksaan diagnostik CAP ATS 2001 Lab Rutin
Rawat jalan : Rawat jalan : Pasien yang masih tak perlu untuk mungkin dirawat mayoritas pasien RS,>65 th,komorbid. Rawat inap : Rawat inap : harus semua pasien
CRP Pemeriksaan oksigenasi : pulse oximetry
Pemeriksaan oksigenasi: Analisa gas darah Foto thoraks
Gram sputum
Kultur sputum
Kultur darah
BTS 2001
Rawat jalan : penyakit dasar jantung /paru Rawat inap : semua Rawat inap: Penyakit berat, penyakit paru kronis Rawat jalan dan inap ; harus
Rawat jalan dan inap : Bila dicurigai bakteri resisten, atau bakteri tak sensitive terhadap AB yang biasa Rawat jalan dan inap : Bila curiga bakteri resisten atau bakteri tak sensitive terhadap AB biasa
Rawat inap :
Rawat inap : bila tersedia Rawat jalan : diperteimbangkan
CIDS 2000 Rawat jalan : Jika klinis/ro mengarah keprognostic buruk,
IDSA 2000 Rawat inap direkomendasikan
Rawat inap : datang ke IGD ; direkomendasikan Rawat inap : Pasien tertentu
Rawat inap : SaO2< 92%, CAP berat
Rawat jalan : Jika klinis/ro mengfarah ke prognostyi buruk Rawat inap : direkomendasikan Rawat jalan dan inap : PPOK
Rawat jalan : Tak perlu untuk mayoritas pasien
Rawat jalan : Direkomendasikan bila diperlukan
Rawat jalan dan inap: Harus
Rawat inap : harus Rawat jalan : Tak respon terhadap AB empiris,
Rawat inap: harus Rawat jalan : Mayoritas tak direkomendasikan
Rawat inap : semua
Rawat inap : CAP berat, komplikasi (+) Rawat jalan : Tidak respon terhadap Ab empiris
Rawat inap : direkomendasikan Rawat inap : direkomendasikan
Rawat inap : Bukan CAP berat,dahak purulen, belum AB, CAP berat, tidak respon terhadap AB empiris Rawat inap : Rawat inap :
Rawat inap : Pasien tetentu
Rawat jalan : Optional Rawat inap : Direkomendasikan
Rawat jalan : Optional Rawat inap : Direkomendasikan
Rawat inap : 82
Tes serologi
Pneumoco-ccal antigen test Tes antigen (A), serologi (S), Kultur (K), Legionella
Direkomendasikan Rawat inap : Tidak rutin direkomendasikan
Rawat inap : (A) CAP berat
Pemeriksaan sputum BTA langsung
Tatalaksana rawat jalan
direkomendasikan Rawat inap: CAP berat, tidak respon terhadap beta lactam, faktor resiko, wabah Rawat ianp : CAP berat Rawat inap : (A,S,K) CAP berat, faktor resiko, wabah
Direkomendasikan Tidak direkomendasikan
Rawat jalan : batuk produktif persisten
Bila klinis sesuai,faktir resiko
Direkomendasikan Rawat inap : (A) CAP berat
Rawat inap : (A,K), CAP berat, >40 Th, tak resp[on terhadap beta lactam, immunocompromise, kecurigaan klinis dan wabah Rawat inap : Pasien tertentu, batuk > 1 bulan
Tatalaksana rawat
CAP
Sakit ringan-sedang Tanpa penyakit kardiopulmona l, tanpa faktor modifikasi
Direkomendasikan Tidak direkomendasikan
Riwayat penyakit kardiopulmona l+ /atau faktor modifikasi
Severe CAP
Tanpa resiko P.aeruginosa
Penyakit kardiopulmona l + /atau faktor modifikasi
Tanpa resiko P.aeruginosa
Tanpa penyakit kardiopulmona l, tanpa faktor modifikasi
Gambar 2. Stratifikasi Pasien CAP ( ATS 2001 )
83
Tabel 5. Rekomendasi Terapi Empiris (ATS 2001) Grup Karakteristik Antibiotik Pilihan (kedua pilihan ini setingkat) I Rawat jalan penyakit MAKROLID GENERASI DOXYCYLINE kardiopulmonal (-) BARU factor modifikasi (-) II Rawat jalan, penyakit ΒLactam Oral: Fluoroquinolon: kardiopulmonal (+) Cefpodoxime, Amoxc=Icilin antipneumococcus dan/atau Faktor Dosis Tinggi, modifikasi (+) Amoxicilin/Clavulanat. Atau parental: Cefriaxone, diikuti Cefpodoxime oral Dikombinasi dengan: Makrolid atau doxycycline III A Rawat inap, penyakit ΒLactam IV: Fluoroquinolon: kardiopulmonal (+) Cefotaxime, Cefriaxone, Antipneumococcus IV dan/atau factor Ampicilin/Sulbactam, Ampicilin modifikasi (+) dosis tinggi. Dikombinasi dengan: Makrolid IV atau oral Atau doxycyline III B Rawat inap, penyakit Azithromycin IV Fluoroquinolon: kardiopulmonal (-) Atau : antipneumococcus factor modifikasi (-) Doxycycline dan βlactam IV A Rawat ICU. Tanpa ΒLactam IV: resiko Ps. Aeruginosa Cefotaxime Cefriaxone Dikombinasi Dengan: Makrolida IV (Azithromycin) Atau Fluoroquinolon IV IV B Rawat ICU. Dengan Β Lactam Antipseudomonas IV ΒLactam Antipseudomonas resiko Ps. Aeruginosa Tertentu IV Tertentu Cefepime Cefepime Imipenem Imepenem Meropenem Meropenem Piperacilin/Tazobactam Piperacilin/Tazobactam Dikombinasi Dengan : Dikombinasi Dengan: Quinolon Antipseudomonas IV Aminoglikosid IV Ciprofloxacin Dikombinasi dengan: Makrolid IV (Azithromycin) Atau Fluoroquinolon nonpseudomonas IV Table 6. Kriteria Alih Terapi Dan Pemulangan Pasien (Weingarten Dan Ramirex) 84
Kriteria alih terapi
Weingarten Tidak ada alasan yang jelas untuk tetap dirawat: TD sistolik < 100 mmHg, dehidrasi seperti ditunjukkan oleh hipernatremia ( Na > 155 mmol/l), rasio BUN: creatinin > 20 :1, perubahan TD sistolik ortostatik > 20mmHg, perubahan mental akut, hipoksia (saturasi gas darah arteri pada udara kamar < 90% atau PO2 <55 mmHg), asidosis respiratorik akut dengan pH <7,30, ketidakmampuan minum obat atau cairan per oral, penjalaran infeksi (meningitis), penyakit komorbid yang tidak stabil .
Ramirez Perbaikan batuk dan sesak nafas Absorpsi gastrointestinal adekuat Suhu menjadi normal (<37,80C selama minimal 8 jam) Leukosit menjadi normal
Tidak ada pathogen berisiko tinggi: Stapylococcus aureus, aspirasi pasca obstruksi, mycobacterial, fungi. Tidak ada komplikasi fatal selama perawatan: infark miokard akut, fibrilasi ventricular, takikardia ventricular, asystole, blok jantung total, fibrilasi atrial tak stabil atau baru, takikardia supraventrikular, pneumotorak, gagal jantung kongetif
Waktu alih terapi Kriteria pulang
Waktu pulang
Tidak ada imunosupresi, atau infeksi Hari ke-3 Tidak ada
Hari ke-4
Jika kriteria alih terapi terpenuhi Kandidat terapi oral. Tidak perlu tata laksana kondisi komorbid (CHF, dll) Tak perlu tindakan diagnostic (bronkoskop untuk massa paru) Tak ada indikasi sosial unutk melanjutkan perawatan (kondisi rumah tak stabil) Jika kriteria pulang terpenuhi
85
PNEUMONIA ATIPIK PENGERTIAN Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakteri, tapi mempunyai gambaran klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia umumnya, yakni onset yang insidious, demam ringan sampai berat, batuk tanpa produksi sputum, dan tidak berespon dengan terapi antibiotik beta lactam. Etiologi : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia, legionella spp, influenza virus tipe A dan B. DIAGNOSIS Pada pneumonia tyang disebabkan oleh mokroba atipik, gejala sisten pernapasan dapat tidak khas, sedangkan gejala sistemik, seperti sakit kepala, nyeri otot atau sendi dapat menonjol. - Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberat/ infeksi sekunder. - Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil. - Malaise, kelemahan seluruh anggota badan. - Sakit kepala, nyeri otot. - Nyeri dada, sesak nafas ( buila berat). PEMERIKSAAN FISIK - Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru : suara nafas bronchial, ronkhi - Efusi pleura, abses paru - Gejala gangguan ekstra p[aru ( terutama oleh legionella dan mychoplasma ) § Infeksi saluran nafas atas : laryngitis, faringitis, rinnitus. § Saluran gastrointestinal : diare, muntahj, nyerui perut, hepatosplenomegali. § Sistem kardiovaskular : bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis. § Gangguan sistem saraf : confusion, ensefalitis, meningguismus, paralisis guilain barre, kelumpuhan saraf cranial, neuropatio perifer. § Gangguan dermatomuskuloskeletal : rash, eritema, myalgia, artritis, atralgia. § Ganggguan sistem urogenital : glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tuboovarian. § Mata : bullous myringitis. § Telinga : otitis media. LABORATORIUM DPL leukositosis, biiasanya < 15.000/ml, trombositopenia, anemia hemolitik, LED meningkat, SGOT,SGPT meningkat. FOTO THORAKS : bervariasi - Fase awal : infiltrasi paru retikuler dan interstisial - Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus. - Pemeriksaan KGB hilus. DIAGNOSA BANDING Pneumonia didapat dimasyarakat (CAP) bronchitis kronik. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : DPL, retikulosit, LED,SGOT, SGPT, serologi 86
Foto toraks : bervariasi. · Fase awal : infiltrat paru retikuler dan interstitial · Unilateral, terutama lobus bawah, segmental atau satu lobus · Pembesaran KGB hillus DIAGNOSA BANDING Pneumonia yang didapat di masyarakat (CAP) bronchitis kronis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : DPL, retikulosit, LED, SGOT, SGPT, Serologis. Foto thoraks. TERAPI Antibiotok : pemilihan antibiotik dengan spektrum sesempit mungkin : · Makrolid : § Eritromisin § Claritomisisin 2x500 mg § Azitromicin 1x500 mg § Roksitromisin 2x500 mg · Doksisiklin · Respiratory- fluorokuinolon · Rifampisin (bila curiga legionella) Tatalaksana umum penderita pneumonia (=tatalaksana uimun CAP) RAWAT JALAN - Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat dan minum banyak cairan - Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol - Ekspektoran/mukolitik - Nutria tambahan pada penyakit yang berkepanjangan - Control setelah 48 jam atau lenih awal buila perlu - Bila tiodak membaik dalam 48 jam dipertiombangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto thoraks. Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh : - Derajat berat - Penyakit terklait - Faktor prognosis lain - Kondisi dan dukungan orang dirumah - Kepatuhan, keinginan pasien
87
Rawat inap di RS - Oksigen, bila perlu dengan pantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen ibnspirasi. Tujuannya : mempertahankan PaO2 > 8 kPa dan SaO2 > 92 %. - Terap[I oksigen pada pasioen dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala. - Cairan ; bila perlu dengan cairan intravena. - Nutrisi - Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol. - Ekspektoran / miukolitik. - Foto thoraks diulang pada pasien yang tiofdak menunjukkan perbaikan yang memuaskan. Rawat di ICU - Bronkoskopi dapat bermamfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penulusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial. KOMPLIKASI Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal nafas, kor pulmonal, pneumotoraks, septicemia, herepes labialis, penyakit tromboemboli. PROGNOSA Dubia : tergantung derajat berat penyakit, penyakit terkait, faktor prognosyik lain. WEWENANG - RS pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakiut dalam - RS non pendidikan: dokterr spesialis penyakit dalam. UNIT YANG MENANGANI - RS pendidikan : departemen ilmu penyakit dalam- devisi pulmonologi - RS non pendidikan : bagian ilmu penyakit dalam. UNIT TERKAIT - RS pendidikan : departemen radiologi / radiodiognostik, patologi klinik, mikrobiologi klinik. - Rs non pendidikan : bagian patologi klinik, paru, radiologi, mikrobiologi klinik.
88
GAGAL NAPAS PENGERTIAN Gagal nafas adalah ketidakmampuan mempertahankan nilai pH ( keasaman ), oksigen, dan karbondioksida darah arteri supaya tetap dalam batas normal. ETIOLOGI - Penyakit saluran nafas : bronchitis kronis, emfisema, asma bronchial, bronkiektasis - Penyakit paru parenkim : pneumonia, edema paru, aspirasi, inhalasi asap, gas. - Gangguan hipermeabilitas : edema paru, ARDS - Penyakit pembuluh darah : emboli paru, syok kardiogenik, Fistula A, V.pulmoner. - Trauma : dada, leher, kepala. - Gangguan neuromuscular : poliomyelitis, sindrom tetanus, paralisis diafragma. - Obat-obatan : barbiturate, narkotik, sedative, obat0-obatan relaksasi. - Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, ankylosing spondylitis - Lain-lain : hipotermia. DIAGNOSIS Sesak nafas berat, batuk, sianosis, pulsus paradoksus, stridor, aritmis, takikardia, kontriksi pupil. Gagal napas tipe I - PaCO2 normal atau menigkat - PO2 turun - Umumnya kurus - Warna kulit : pink puffer - Hiperventilasi - Pernapasan : purse lips Gagal napas tipe II - PCO2 meningkat - PO2 menurun - Sianosis - Umumnya kegemukan - Hipoventilasi - Tremor CO2 - Edema DIAGNOSA BANDING Edema paru, ARDS PEMERIKSAAN PENUNJANG - Analisa gas darah - Foto thoraks - kateter Swan Gans dengan monitor-tekanan kap[iler paru (PCWP) - EKG
89
TERAPI Tahap I - perbaikan gangguan hipoksemia dengan terapi O2 - bronkodilator nebulizer - Humidifikasi - Fisioterapi dada - Antibiotik Tahap II - bronkodilator parenteral - kortikosteroid Tahap III - stimulasi pernapasan - mini trakheostomi bila retensi sputum Tahap IV - ventilasi mekanik KOMPLIKASI Mortalitas PROGNOSIS Malam WEWENANG dokter spesialis penyakit dalam dan PPDS penyakit dalam : dokters spesialis penyakit dalam UNIT YANG MENANGANI DEpartemen Ilmu Penyakit dalam- devisis pulmonologi : Bagian ilmu penyakit dalam UNIT TERKAIT Departemen Patiologi KLinik, Radiologi, ASnestesi/ICU pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi /ICU.
RS pendidikan
:
RS non pendidikan
RS pendidikan
:
RS non pendidikan
RS pendidikan : RS
non
90
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK PENGERTIAN Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Perlambatan aliran udaraq umunya bersifat progressif dan berkaitan dengan respon inflamasi yang bersifat abnormal terhadap partikel dan gas iritan. DIAGNOSIS · keluhan : sesak napas, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko +, PPOK ringan dapat tanpa keluhan dan gejala. · Anamnesa riwayat paparan dengan faktor rediko, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS sebelumnya, komorbiditas, dampak penyakit terhadap aktifitas, dll. Kemungkinan mengurangi faktor resiko. · Pemeriksaan fisik : § Pernapasan Pursed lipss § Takipnea § dada empisematous atau barrel chest § dengan tampilan fidsik pink puffer atau blue bloater § bunyi napas vesikuler melemah § ekspirasi memanjang § ronki kering atau weexing § bunyi jantung jauh · Diagnosa pasti denga spirometri § FEV1/FVC< 70 % § uji bronkodilator (saat diagnose ditegakkan ) ; FEV1 pasca bronkodilator <80% prediksi. · uji coba kortikosteroid · analisa gas darah pada : § semua pasien dengan VEP1 < 40% prediksi § secara klinis diperkirakan gagal nafas atau payah jantung kanan. PPOK eksaserbasi akut · Gejala eksaserbasi : bertambah nya sesak nafas, kkadang-kadang disertai mengi, bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna. · Gejala non spesifik : malaise, insomnis, fatique, depresi. · Spirometri : fungsi paru sangat menurun Etiologi eksaserbasi Infeksi mukosa tracheobronkial, terutama Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarralish.
91
Kalisifasi PPOK menurut National Heart, Lung and Blood Institute dan WHO · Stadium 0 ; derajat beresiko PPOK ; spirometri normal, kelainan kronik ( batuk, sputum produktif) · Stadium I : PPOK ringan : VEP1/ KVP < 70%, VEP1> 80% prediktif, dengan atau tanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif ). o Stadium II : PPO sedang : VEP1 / KVP< 70%. 30% < VEP1 < 80 % prediktif, dengan atau tanpa keluhan kronk ( batuk, sputum prediktif ). · Stadium III : PPOK berat : VEP1 / KVP < 70%, VEP1 < 30% prediktif atau VEP1 < 50% prediktif + gagal napas DIAGNOSA BANDING Asa bronchial, bronkiektasis, gagal jantung kongestif, pneumonia. PEMERIKSAAN PENUNJANG - Spirometri - Foto thoraks - Bila eksaserbasi akut ; analisa gas darah, DPL, sputum gram, kultur MOR. TERAPI Usaha mengurangi faktor resiko - Eedukasi –motivasi berhenti merokok - Farmakoterapi stop merokok Terapi PPOk stabil Terapi farmakologis a. Bronkodilator - Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia, tak terjangkau. - Rutin (bila gejala menetap ) atau hanya bila diperlukan (gejala intermitten) - 3 golongan : · A gonis beta 2 : fenopterol, salbotamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol. · Antikolinergik : ipatropium bromide, oksitropium bromide. · Metilxantin : teofilin le[pas lambat, bila kombinasi beta 2 dan steroid belum memuaskan. · Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi. b. Steroid pada : · PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid · PPOK dengan FEV1 <50% prediksi · Eksaserbasi akut c. Obat-obat tambahan lain - Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) : ambroxol, karbosistein, gliserol iodide - Antioksidan : N asetil sistein - Imunoregulator ( imunostimulator, immunomodulator) ; tidak rutin - Anttusif : tida rutin - Vaksinasi : influenza, pneumokok Terapi nonfarmakologis 92
a. b. -
Rehabilitasi ; latihan fisik, latihan endurance, latihan pernafasan, rehabilitasi psikososial. Terapi ksigen jangka panjang (> 15 jam sehari) : pada PPOK stadium III, AGD = PaO2< 55 mmHg, atau SaO2 < 88% dengan/ tanpa hiperkapni. paO2 55-66 mmHg, atau SaO2 < 885 disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantng, polisitemia. c. Nutrisis d. Pembedahan : pada PPOk berat, ( bila dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan mekanik paru ). Terapi PPOK Eksaserbasi Akut Penatalaksanaan PPOk eksaserbasi akut dirumah : bronkodilator sepertipada PPOK stabl, dosis 46 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi : diberikan antibiotic spectrum luas (termasuk pneumonia, H influenza). Terapi eksaserbasi akut dirumah sakit ; - Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venture mask. Bronkodilator : inhalasi agonis β2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat : + aminofilin (0,5 mg/kgbb/jam) - Steroid : prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena : pada keadaan akut Antibiotik terhadap S pneumonia, H influenza, M catarralish. - Ventilasi mekanik pada : gaga; napas akut atau kronik. KOMPLIKASI Gagal napas, kor pulmonal, septicemia. PROGNOSA Dubia, tergabtubg stage, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid lain. WEWENANG - Rs pendidikan ; Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PDS Penyakit Dalam - RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Pulmonologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Rehabilitasi medik, Radiologi/ Radiodiagnostik, Anestesi/ ICU · RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ ICU REFERENSI Uyainah A . Standarisasi Baru dalam Diagnosis dan Terapi PPOK . In: Setiati S, A lwi I, K asjmir Y I, Baw ajer LA , Lidya A , Syam A F, et al. editors. Proceeding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2002. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan bbagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002, p.55-64.
93
TUBERKULOSIS PARU PENGERTIAN · Tuberkulosis paru adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium Tuberculosis berdasarklan hasil pemeriksaan sputum, TB dibagi dalam: 1. TB paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif 2. TB paru BTA negative, 3 dari specimen sputum BTA negative, foto thorak positif · Berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang ditunjukkan oleh foto thorak, TB paru dibagi dalam: 1. TB paru dengan kelainan luas 2. TB paru dengan kelainan paru sedikit · Berdasarkan organ selain paru yang terserang, Tb paru dibagi dalam: 1. TB Ekstra Paru Ringan: TB kelenjar limfe, TB tulang non-vertebra, Tb sendi, Tb adrenal 2. TB Ekstra Paru Berat: meningitis, Tb milier, TB diseminata, perikarditis, pleuritis, peritonitis, TB vertebra, TB usus, Tb genitourinarius · Berdasarkan riwayat pengobatannya, Tb paru dibagi dalam: 1. Kasus baru 2. Kambuh(Relaps) 3. Drop-out / default 4. Gagal terapi 5. Kronis DIAGNOSIS Keluhan (tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): batuk-batuk 3 minggu, Batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada, malaise, lemah, berat badan turun, nafsu makan turun, keringat malam, demam Gejala yang ditemukan(tergantung derajat berat, organ terlibat, dan komplikasi): keadaan umum lemas, kakeksia, takipnea, febris, paru: tanda-tanda konsolidasi(redup, fremitus mengeras/melemah, suara nafas bronchial/melemah, ronkhi basah/kering) Laboratorium: LED meningkat Mikrobiologis: · B TA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS · Kultur Mycobacterium Tuberculosis positif(diagnosis pasti) Radiologis: · Foto thoraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrate, pembesaran KGB hilus/KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung Imuno-serologis: · Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux) positif > 15 mmpada orang Indonesia yang imunokompeten · Tes PAP, ICT-TB : positif PCR –TB dari sputum (hanya menunjang klinis) DIAGNOSIS BANDING 94
Pneumonia, tumor,/keganasan paru, jamur patu, penyakit paru, akibat kerja PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium: LED Mikrobiologis: BTA sputum, kultur resistensi sputum terhadap M.tuberculosis. · Pada kategoti 1 dan 3: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 4 dan 6. · Pada kategori 2: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke 2, 5 dan 8. · Kultur BTA sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi. Radiologis : foto thoraks PA, lateral pada saat diagnosis awal dan terapi. Selam terapi : evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan. Imuno-serologis : · Uji kulit dengan tuberculin (Mantoux) · Tes PAP, ICT-TB PCR-Tb dari sputum TERAPI Terapi umum: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tatalaksanakomorbiditas, nutrisi, vitamin Medikamentosa obat anti TB (OAT): Kategori 1 : untuk · Penderita baru TB paru, sputum BTA positif · Penderita Tb paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainan paru luas · Penderita TB ekstra paru berat diterapi dengan · 2 RHZE / 4 RH-2 RHZE / 4 R3H3-2 RHZE / 6 HE Kategori 2 : untuk · Penderita kambuh · Penderita gagal · Penderita after default diterapi dengan : - 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE - 2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 Kategori 3 : untuk · Penderita baru TB paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainanparu tidak luas · Penderita TB Ekstra Paru Ringan diterapi dengan: - 2 RHZ / 4 RH - 2 RHZ / 4 R3H3 - 2 RHZ / 6 HE Kategori 4 : untuk · Penderita Tb kronik Diterapi dengan : - H seumur hidup - Bila mampu: OAT lini kedua
95
KOMPLIKASI · Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumothoraks, gagal nafas, · TB ekstra paru : pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritonitis, Tb kelenjar limfe, · Kor pulmonal PROGNOSIS Dubia : tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun, komorbiditas
· ·
WEWENANG RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Pulmonologi · RS non-pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB, Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Patologi Klinik, Mikrobiologi Klinik, Patologi Anatomi, Bedah/Thoraks dan bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB · RS non pendidikan : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi, Mikrobiologi Klinik dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organ/komplikasi TB
96
KARSINOMA PARU PENGERTIAN Karsinoma paru umumnya berarti tumor yang berasal dari epitel pernafasan( bronkus, bronkiolus, alveolus). Tipe sel yang paling sering ditemukan menurut klasifikasi WHO untuk neoplasma primer : 1. Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) 2. Karsinoma sel kecil (oat cell carcinoma) 3. Adenokarsinoma (termasuk bronkioalveolar) 4. Karsinoma sel besar Faktor risiko: · Merokok (aktif, pasif) · Polusi lingkungan kerja: - Asbestos (galangan kapal, konstruksi, pertambangan) - Arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam) - Hidrokarbon aromatik polisiklik(industry baja) - Kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom) - Silica(penemuan baja) - Pabrik gas beracun, penyulingan nikel - Tambang uranium, radon, dan turunannya · Polusi udara : gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidokarbon aromatic polisiklik · Radiasi non-ionisasi (telepon seluler) · Radisasi prosedur diagnostik DIAGNOSIS Gambaran klinis: · Asimptomatis · Klinis lokal: batuk, hemoptisis, wheezing, stridor, abses, atelektasis · Klinis invasi lokal: nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura, aritmia (invasi ke pericardium), sindrom vena cava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak (penekanan pada n.Laryngeal recurrent) ,sindrom pancoast (invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis) · Metastasis : nyeri tulang, sakit kepala, ikterus, perubahan neurologis, suara serak, sulit menelan, sesak nafas, pembesaran kelenjar getah bening · Sindrom paraneoplastik: - Gejala sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam - Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi - Neurologik : demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer - Endokrin : sekresi PTH (hiperkalsemia) - Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh - Renal : SIADH - Osteoartropati hipertrofi
97
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Diagnostik pada pasien dengan kanker paru terdiri dari: Diagnosis adanya kanker paru Diagnosis tipe histologist kanker paru Staging kanker paru Anatomic staging : penentuan lokasi tumor Physiologic staging : pengkajian kemampuan pasien menerima berbagai terapi antitumor Terutama untuk kanker paru non-small cell : resektabilitas (apakah tumor dapat diangkat seluruhnya dengan prosedur bedah standar seperti lobektomi atau pneumonektomi) dan operabilitas (apakah pasien dapat mentoleransi prosedur bedah)
DIAGNOSIS BANDING Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain. Tumor jinak paru: tersering ialah adenoma bronchial dan hamartoma. Yang lebih jarang kondroma, fibroma, lipoma, hemangioma, leiomyoma, teratoma, endometriosis. Infeksi (Tb paru, infeksi non-spesifik), granuloma. PEMERIKSAAN PENUNJANG · Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin pada pasien dengan batuk dan gambaran klinis dicurigai suatu keganasan. · Pemeriksaan sitologi lain dapat dilakukanpada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening, biopsy transthorakal, transbrokhial needle aspiration(TBNA), bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsy sumsum tulang. · Pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas, dilakukan melaui cara: bronkoskopi, thorakoskopi, mediastinoskopi, thorakotomi · Foto thoraks: untuk penapisan pasien dengan resiko tinggi, menentukan adanya massa di paru, melihat adanya efusi pleura · CT Scan thoraks: memastikan adanya lesi di paru, menentukan lokasi dan ukuran lesi secara tepat, menilai KGB hilus dan mediastinum, mencari metastasis paru suprarenalis dan hepar dan hepar, menilai respon terapi, mendeteksi kekambuhan terapi. · Pencitraan lain: CT scan Abdomen, USG abdomen, CT kepala, bone scan, bone survey, angiografi, MRI Prosedur staging untuk pasien kanker paru: A. Untuk semua pasien · Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik lengkap · Penentuan status tampilan · Laboratorium : DPL, elektrolit, glukosa, kalsium, fosfat, fungsi ginjal, fungsi hati · EKG · Tes kulit untuk tuberculosis · Foto thotaks · CT scan thoraks · CT scan abdomen atau USG abdomen · CT scan otak · Bone scan · Bone survey atau foto daerah tulang yang dicurigai berdasarkan bone scan atau 98
klinis · Foto barium bila ada keluhan esophagus · Fungsi parui/spirometri dan analisia gas darah bila ada gangguan pernapasan · Biopsy dari lesi yang dicurigai kanker yang dapat dijangkau: - Lesi sentral: bronkoskopi dengan bilasan bronkus, sikatan bronkus, TBNA, biopsy, forsep - Lesi perifer: biopsy aspirasi jarum halus transthorakal dengan atau tanpa bimbingan USG/CT scan, biopsi dengan thorakoskopi · Sitologi cairan pleura bila ada efusi pleura B. Untuk pasien dengan NSCLC tanpa kontraindikasi untuk pembedahan kuratif atau radioterapi: · Seperti butir A, ditambah: · Tes koagulasi · Jika rencana bedah: evaluasi mediastinum oleh bagian bedah pada saat mediastinoskopi atau thorakotomi C. Untuk pasien SCLC: · Seperti butir A, ditambah: · Aspirasi sumsum tulang dan biopsy TERAPI Berdasarkan tipe histopatologis dan staging TNM menurut IUCC 1997: NSCLC: Stage I : A-B, II A-B, beberapa III A: St. I A-B & 2 A-B: Reseksi St. III A dengan keterlibatan N2 minimalI(ditentukan saat thorakotomi atau mediastinoskopi): Reseksi + Diseksi KGB mediastinum lengkap + pertimbangkan kemoterapi neoajuvan Keterlibatan N2(bila tidaK diberikanKemoterapi Neoajuvan): radioterapi pasca op Kemoterapi /ajuvan:diskusikan resiko/keuntungan bagi pasien Non-operabel: radioterapi berpotensi kuratif Stage II A dengan tipe tertentu dari tumor stage T3: Invasi dinding dada (T3): reseksi on block tumor + dinding dada yang terlibat, pertimbangkan radioterapi pasca op Tumor Pancoast(T3): radioterapi pre-op (30-45Gy) dilanjutkan reseksi en block tumor+dinding dada yang terlibat, pertimbangkan radioterapi pasca op atau brakiterapi intra op Keterlibatan saluran napas proksimal(<2 cm dari karina) tanpa KGB mediastinum : reseksi sleeve(jika mungkin pertahankan paru distal yang normal) atau pneumonektoni Stage III A “ lanjut bulky , klinis terbukti N2 pre-op, Stage III B yang toleran terhadap Radioterapi port: radioterapi potensial kuratif+kemoterapi(jika status tampilan dan kondisi umum memungkinkan), atau radioterapi saja(bila tidak mungkin kemoterapi)
99
Stage III A dengan N2 lanjut Pertimbangkan kemoterapi neoajuvan dan reseksi Stage III B dengan invasi karina(T4) tanpa adanya N2: pertimbangkan pneumonektomi dengan reseksi sleeve trakea dan reanastomosis langsung ke bronkus mainstem dan kolateral Stage IV dan III B yang lebih lanjut: Radioterapi pada daerah local yang simptomatis Kemoterapi untuk pasien rawat jalan Drainase chest tube untuk efusi pleura maligna yang banyak Pertimbangkan reseksi tumor primer/metastasis untuk kasus metastasis otak atau adrenal yang terisolasi SCLC: Limited stage (status tampilan baik): kemoterapi kombinasi+radioterap thorak Extensive stage (status tmapilan baik): khemoterapi kombinasi Respon tumor komplit (semua stage): radioterapi cranial profilaktik Status tampilan buruk(semua stage): Kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis Radioterapi paliatif Semua pasien: Radioterapi untuk: · Metastasis otak · Kompresi medulla spinalis · Lesi litik pada tulang penahan beban · Lesi local simptomatik (paralysis nervus, obstruksi saluran nafas, hemoptisis pada NSCLC dan SCLC yang tidak respon pada kemoterapi Diagnosis dan tatalaksana masalah medis lain dan supportive care selama kemoterapi Mendorong stop merokok
KOMPLIKASI · Obstruksi jalan napas · Gagal napas · Perdarahan/hemoptisis · Abses · Atelektasis · Nyeri kanker · Efusi pleura · Aritmia · Sindrom vena cava superior · Sindrom Horner · Dysphonia · Sindrom Pancoast · Metastasis ke organ: otak, tulang, hepar, limfatik · Sindrom paraneoplastik: - Penurunan berat badan, anoreksia, demam 100
-
Leukositosis, anemia, hiperkoagulasi Hiperkalsemia SIADH Demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer
PROGNOSIS Tergantung tipe histology, staging resektabilitas, dan operabilitas WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPds Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu penyakit Dalam-Divisi Pulmonologi HematologiOnkologi Medik · RS non pendidikan: bagian Ilmu penyaki Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Departemen Radiologi/radiodiagnostik/Radioterapi/Patologi Anatomi, Bedah/Thoraks/Onkologi · RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi REFERENSI 1. Uyainah A .Pendekatan Diagnostik Kanker Paru. In: A lwi I, Setiati S, Kasjmir Y I, Bawazier LA , Syam A F, Mansjoer A , editors. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan ILmu Penyakit Dalam 2002. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2002.p. 91-8. 2. Minna JD. Neoplasm of the lung. In: Braunwald E Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’ s Principle of Internal Medicine.15th ed New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p.562-71.
101
EMBOLI PARU PENGERTIAN Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan olehembolus pada arteri pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan komplikasi thrombosis vena dalam (DVT) yang umumnya terjadi pada kaki atau panggul. Factor predisposisi thrombosis vena, dikaitkan dengan Trias Virchow, yaitu: · Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gagal jantung kongestif/kor pulmonal, thrombosis vena sebelumnya · Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibody antikardiolipin, sindrom nefrotik, thrombosis esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel disease Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi intravaskular intravascular diseminata, defisiensi protein C dan S, defisiensi antitrombin III · Kerusakan dinding pembuluh darah : trauma pembedahan Manifestasi klinis terbagi atas: · Akut: oklusi massif, infark paru, emboli paru tanpa infark · Kronik: emboli paru unresolved DIAGNOSIS · Keluhan: sesak nafas, nyeri dada, hemoptisis · Pemeriksaan fisik: takipneu, takikardi, pleural rub, tanda-tanda efusi pleura, tanda-tanda gagal jantung kanan akut(JVP meningkat, bunyi P2 mengeras, murmur sistolikdaerah katup pulmonal). · EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inverse gelombang T di V1-V4, kadang-kadang dijumpai RBBB, AF. Pada emboli paru massif dapat dijumpai RAD, P pulmonal, SI Q3T3. · Foto thoraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrate, efusi, atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton’ s sign, W estermark’ s sign, Palla’ s sign, pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan · AGD: Hipoksemia, alkalosis respiratorik · D-dimer plasma: meningkat(sensitive, tidak spesifik). Bila >500 ng/ml, dilanjutkan dengan pemeriksaan: · Ventilation / Perfusion Lung Scan: (sensitive, tidak spesisik) - Pada emboli paru: kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan perfusi lebih menonjol - Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas : high-probability lung scan, non-high probability lung scan(=low dan intermediate probability lung scan), normal lung scan. - USG kompresi kaki. Indikasi : hasil scan menunjukkan non-high probability lung scan, sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru. - Jika hasil scan adalah high-probabilitiy lung scan, atau USG kaki positif DVT: diterapi sebagai emboli paru. - Angiografi pulmoner: baku emas. Indikasi: hasil diagnostic lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti(seperti pada pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki resiko tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik). 102
DIAGNOSIS BANDING Pneumonia, bronchitis, asma bronchial, bronchitis kronik eksaserbasi akut, infark miokard, edema paru, kanker paru, pneumothoraks, kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer, nyeri musculoskeletal, anxietas. PEMERIKSAAN PENUNJANG · Lab: DPL, AGD, D-dimer plasma, hemostasis (PT, aPTT, INR, aktivitas protrombin, kadar fibrinogen), kadar protein C dan S, ACA, urin lengkap · Ventilation/perfusi lung scan · USG Doppler · EKG · Angiografi pulmoner TERAPI Terapi primer Obat trombolitik diindikasikan pada emboli paru massif yang menyebabkan instabilitas hemodinamik atau gagal napas, streptokinase: dosis loading 250.000IU drip IV dalam 30 menit. Dilanjutkan 100.000 IU perjam drip IV, selam total 24 jam. Terapi preventif Antikoagulan: · Unfractionated heparin secara intravena, diberikan kontinyu atau intermiten, bolus inisial IV 80 IU/kgBB atau sekitar 5.000 IU, dilanjutkan dengan drip 18 IU/kgBB/jam IV - Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target 1,5-2,5 x control. Bila hasil aPTT> 2,5 x control: dosis diturunkan 100-200 IU/jam, bila hasil aPTT <1,5 x control: dosis dinaikkan 100-200 IU/jam, bila aPTT 1,5-2,5 x control : dosis dipertahankan. Pemantauan aPTT hari ke II setiap 12 jam, hari ke III setiap 24 jam. - Setelah 7 hari heparinisasi: ditambahkan(overlapping) antikoagulan oral selama ± 5 hari, hingga tercapat target INR pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut. - Selama pemberian antikoagulan, perlu diperhatikan lesi fokal di tempat lain, prosedur invasive yang direncanakan, dipantau jumlah trombosit. · Low Molecular W eight Heparin(LMW H) diberikan subkutan tiap 12 jam. Dosis LMWH, yaitu enoxaparin 1ml/kgBB sedangkan nadroparin 0,1 ml/kgBB. Pada obesitas, BB < 50 kg, gagal ginjal kronik, kehamilan dapat diperiksakan anti factor Xa: 0,3-0,7 IU. Antikoagulan oral (warfarin ) dimulai sesudah 7 hari pemberian heparin dengan dosis awal 5 mg/hari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari: target INR 2-3 hari. Bila INR < 2: dosis dinaikkan ½ tablet/hari, bila INR > 3: dosis diturunkan , bila INR 2-3 :dosis dipertahankan.
103
Terapi Suportif · Oksigen · Infuse cairan · Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi atau tanda-tanda gagal jantung akut yang lain · Vasopresor sesuai indikasi · Anti aritmia sesuai indikasi · Analgetik KOMPLIKASI Komplikasi emboli paru : gagal napas , gagal jantung kanan akut, hipotensi/syok kardiogenik. Komplikasi diagnostic: reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan: termasuk (perdarahan intrakranial), heparin induced thrombocyitopenia, nekrosis kulit, warfarin embriopati. PROGNOSIS Malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit dalam-Divis Pulmonologi · RS pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT · RS pendidikan: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik, Bedah/Thoraks · RS non pendidikan: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi REFERENSI 1. 2.
3. 4.
5. 6. 7. 8.
Bahar A . Diagnostik dan Diagnosis Banding Emboli Paru. Prosiding Simposium Cardiovascular Respiratory Immunology: From Pathogenesis to Clinical A pplication 2003. Jakarta, 2003:16-8. Fishman A P. Pulmonary Thromboembolic Disease. In Fishman A P, Elias JA , Fishman JA , Grippi MA , K aiser LR, Senior RM(eds). Fishman’ s Manual of Pulmonary Disease and Disorder.3 nd ed. N ew Y ork: McGraw Hill;2002.p. 461-8. Goldhaber SZ. Pulmonary Thromboembolism. In Braunw ald E, Fauci A S, K asper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Harrison’ s Principles of Internal Medicine.15th ed. N ew Y ork: McGraw -Hill;2001.p. 1508-13. Bahar A , Emboli Paru. In : Simadibrata M Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 1999.p.211-2. Tambunan K L. Deteksi dan Tatalaksana Trombosis V ena Dalam. Prosiding Simposium Penatalaksanaan K edaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta, 2002:28-33. Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Engl J med, July 9, 1998;339(2):93-104 A gnelli G. A nticoagulation in the prevention and treatment of Pulmonary Embolism. Chest, Jan 1995;107(1):39S-44S. Hyers TM, A gnelli G, Hull RD, Morris TA , Samama M, Tapson V , et al. antithrombotic Therapy for V enous Thromboembolic Disease. Sixth A CCP Consensus Conference on A ntithrombotic Therapy. Chest Jan 2001; 119(1): 176-93S.
104
2.4
REUMATOLOGI
105
ARTRITIS PIRAI PENGERTIAN Arthritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi Kristal-monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular dan megakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik. DIAGNOSA Criteria ACR (977) : A. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam cairan sendi, atau B. Didapatkan Kristal monosodium urat di dalam tofus, atau C. Didapatkan 6 dari criteria berikut : 1. Inflamsi maksimal pada hari pertama 2. Serangan arthritis akut lebih dari 1 kali 3. Arthritis monoartikuler 4. Sendi yang terkena berwarna kemerahan 5. Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I 6. Serangan pada sendi MTP unilateral 7. Serangan pada sendi tarsal unilateral 8. Tofus 9. Hiperurisemia 10. Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic 11. Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic 12. Kultur bakteri cairan sendi negative DIAGNOSA BANDING Pseudogout, arthritis septic, arthritis rheumatoid PEMERIKSAAN PENUNJANG · LED, CRP · Analisa cairan sendi · Asam urat darah dan urin 24 jam · Ureum, kreatini, CCT · Radiologi sendi TERAPI 1. Penyuluhan 2. Pengobatan fase akut : a. Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai terjadi perbaikan inglamasi atau terdapat tanda-tanda toksik atau dosis tidak melebihi 8 mg/24 jam b. Obat anti inflamasi non steroid c. Glukokortikoid dosis rendah bila ada kontraindikasi dari kolkisin dan obat antiinflamasi ninsteroid 3. Pengobatan hiperurisemia : a. Diet rendah purin 106
b. Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya allopurinol c. Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah) obat antihiperurisemik tidak boleh diberkan pada stadium akut. KOMPLIKASI · Tofus · Deformitas sendi · Nefropati gout, gagal ginjal, batu saluran kencing PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit DAlam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : BAgian Ilmu Penyakit DAlam UNIT TERKAIT -
107
ARTRITIS REUMATOID PENGERTIAN Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak diketahui DIAGNOSIS Criteria diagnosis (ACR, 1987) : 1. Kaku pagi, sekurangnya 1 jam 2. Arthritis pada sekurangnya 3 sendi 3. Arthritis pada sendi pergelangan tangan, metacarphalanx (MCP) dan proximal interphalanx (PIP) 4. Arthritis yang simetris 5. Nodul rheumatoid 6. Factor rheumatoid serum positif 7. Gambaran radiologic yang spesifik Untuk diagnosis AR diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut diatas. Criteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu. DIAGNOSA BANDING Spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjorgen PEMERIKSAAN PENUNJANG · LED, CRP · Factor rheumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada sebagian besar kasus (85%), sedangkan hasil negative tidak menyingkirkan adanya AR · Analisa cairan sendi. dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit di atas 2000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan untuk menyingkirkan adanya artropi Kristal · Radiologi tangan dan kaki. Gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus, erosi meluas sampai daerah subkondral. · Biopsy sinovium/nodul rheumatoid. TERAPI · Penyuluhan · Proteksi sendi, terutama pada stadium akut · Obat antiinflamasi non steroid · Obat remitif (DMARD), misalnya : o Klorokuin dengan dosis 1x250 mg/hari o Metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali seminggu o Salazoprin dosis 3-4x 500mg/hari o Garam emas per oral dosis 3-9 mg/hari, atau subkutan dosis awal 10 g, dilanjutkan seminggu kemudian dengan dosis 25 mg/minggu, dan dinaikkan menjadi 50 mg/minggu selama 20 minggu, selanjutnya diturunkan setiap 4 minggu sampai dosis kumulatif 2 g · Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat mungkin, untuk mengatasi keadaan 108
· · ·
akut atau kekabuhan. Dapat diberikan prednisone dengan dosis 20 mg dosis terbagi dan segera tapering off Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2 sendi, dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti tiamcinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40 mg Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis Operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI · Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnas) · Sindrom terowongan karpal PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi · RS non pendidikan : Departemen Bedah
109
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK PENGERTIAN Lupus eritematous sistemik adalah penyakit autoiun yang ditandai produksi antibody terhadapa komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas DIAGNOSIS Criteria diagnosis ACR 1982, diagnose ditegakkan bila didapatkan 4 dari criteria dibawah ini : 1. Ruam malar 2. Ruam discoid 3. Fotosensitvitas 4. Ulserasi dimulut atau nasofaring 5. Arthritis 6. Serositis (pleuritis atau perikarditis) 7. Kelainan ginjal (proteinuria >0,5 g/hari, atau silinder sel) 8. Kelainan neurologi, kejang-kejang atau psikosis 9. Kelainan hematologi, anemia, hemolitik, atau leucopenia, atau trombositopenia 10. Kelainan imunologik, sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif, tes serologis untuk sifilis positif palsu. 11. Antibody antinuclear (ANA) positif DIAGNOSIS BANDING Mixed connective tissue disease, sindrom vaskulitis PEMERIKSAAN PENUNJANG · LED, CRP · C3 dan C4 · ANA, ENA (anti dsDNA dsb) · Comb test, bila ada AIHA · Biopsy kulit TERAPI · Penyuluhan · Proteksi terhadap sinar matahari, sinar ultraviolet, dan sinar fluoresein · Pada manifestasi non-organ vital (kulit, sendi, fatigue) dapat diberkan klorokuin 4mg/kgBB/hari · Bila mengenai organ vital, berikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu, kemudian tapering off · Bila terdapat peradangan terbatas pada 1- sendi, dapat diberikan injeksi sterois intraartikular · Pada kasus berat atau mengancam nyawa dapat diberikan metilprednison 1 gr/hari IV selama 3 hari berturut-turut, lalu prednisone 40-60 mg/hari per oral · Bila pemberian glukokortikoid selama 4 minggu tidak memuaskan, maka dimulai pemberian imunosupresif lain, missal siklofosfamid 500-1000 mg/m 2 sebulan sekali selama 6 bulan, kemudian tiap 3 bulan sampai 2 tahun. · Immunosupresan lain yang dapat diberikan dalah azatioprin, siklosporin-A KOMPLIKASI 110
Anemia hemolitik, thrombosis, lupus serebral, efritis lupus, infeksi sekunder, osteonekrosis. PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Divisi alergi, ginjal, pulmonologi, hematologi dan departemen ilmu penyakit kulit kelamin · RS non pendidikan :Bagian Kulit-Kelamin.
111
ARTRITIS SEPTIK PENGERTIAN Arthritis septic adalah arthritis yang disebabkan oleh adanya infeksi berbagai mikroorganisme (bakteri,non-gonokokal) DIAGNOSIS · Nyeri sendi akut, umumnya monoartikular · Umunya terdapat penyakit lain yang mendasari · Ditemukan bakteri dari kultus caitan sendi DIAGNOSIS BANDING Arthritis gonokokal, bursitis septic PEMERIKSAAN PENUNJANG · Analisis cairan sendi · Pewarnaan Gram dan kultur cairan sendi · Radiografi sendi yang terserang · LED, CRP, leukosit darah · Kultur darah, bila ada anda-tanda sepsis TERAPI · Aspirasi cairan sendi · Antibiotic bersprektum luas sebelum ada hasil kultur dan diubah setelah hasil kultur siperoleh · Drainasi sendi yang terinfeksi · indikasi tindakan bedah adalah infeksi koksa pada anak-anak, infeksi mengenai sendi yang sulit dilakukan drainasi secara adekuat, terdapat bukti osteomielitis, infeksi berkembang ke jaringan lunak disekitarnya. KOMPLIKASI Osteomielitis, sepsis PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi · RS non pendidikan : Departemen Bedah
OSTEOARTRITIS 112
PENGERTIAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan sendi. penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit) DIAGNOSIS Osteoatritis sendi lutut : 1. Nyeri lutut, dan 2. Salah satu dari 3 kriteria berikut : a. Usia > 50 tahun b. Kaku sendi < 30 menit c. Krepitasi + osteofit Osteoatritis sendi tangan : 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari 4 kriteria berikut : a. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (DIP II dan III kiri dank an, CMC I kid an ka) b. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP c. Pembengkakan pada < 3 sendi MCP d. Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu Osteoatritis sendi pinggul : 1. Nyeri pinggul, dan 2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut : a. LED < 20 mm/jam b. RAdiologi : terdapat osteofit pada femut atau asetabulum c. Radiologi : terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial) DIAGNOSIS BANDING Arthritis rheumatoid, arthritis gout, arthritis septic, spondilitis ankilosa PEMERIKSAAN PENUNJANG · LED (pada OA inflamatif, LED meningkat) · Analisis cairan sendi · Radiografi sendi yang terserang · atroskopi TERAPI · penyuluhan · proteksi sendi, terutama pada stadium akut · obat antiinflamasi non steroid, diantaranya : sodium diklofenak 50 mg t.i.d piroksikam 20 mg o.d, meloksikam 7,5 mg o.d dan sebagainya · steroid intraartikular untuk OA inflamasi · fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu diberikan ortosis 113
·
operasi untuk memperbaiki deformitas
KOMPLIKASI Deformitas sendi PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah-Ortopedi · RS non pendidikan : Bagian Bedah
114
SKLEROSIS SISTEMIK PENGERTIAN Sklerosis sistemik merupakan penyakit kronik yang mengenai berbagai system organ dan terutama ditandai dengan penebalan kulit. Penyakit ini dapat difus, terbatas, atau berupa sindrom tumpang tindih. DIAGNOSIS A. Kriteria mayor Skeloroderma proksimal B. Kriteria minor 1. Sklerodaktil 2. Pencekungan jaru atau hilangnya substansi jari 3. Fibrosis basal di kedua paru Diagnosis ditegakkan bila didapat 1 kriteria mayordan 2 kriteria minor atau lebih. DIAGNOSIS BANDING Mixed Connective Tissue Disease PEMERIKSAAN PENUNJANG · LED, CRP. Peningkatan hasil menunjukkan proses inflamasi aktif · ANA, anti topo-I (Scl-70), antibody antisenromer, anti SS-A, anti SS-B, anti RNP. Diharapkan hasil tersebut positif, terutama anti-toposomerase I, RNA polymerase I,III, dan U3 RNP · Radiologi tangan, toraks · Uji fungsi paru · Ureum dan kreatinin · Biopsy kulit TERAPI Penyuluhan dan dukungan psikososial : · Proteksi terhadap suhu dingin untuk mengatasi fenomena Raynud · Bila terdapat ulkus atau gangrene, harus dirawat dengan baik dan diberikan antiiotik yang adekuat · Dapat dicoba D-penisilamin 3x250 mg. bila gagal dapat dicoba DMARD lain seperti metotreksat · Bila didapatkan gangguan gastrointestinal, dapat diberikan H2 antagonis, omeprasol, dan obat-obat prokinetik · Pada keadaan kirisis renal, dapat diberkan kaptopril. Bila fungsi ginjal memburuk, dapat dilakukan dialysis. · Pada pneumonitis, dapat diberikan glukokortikoid atau siklofosfamid. KOMPLIKASI Hipertensi yang tidak divertikulosis
terkontrol,
krisis renal,
pneumonitis, refluks esofagitis,
115
PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Rematologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan :divisi alergi, ginjal, pulmunologi, hematologi dan Departemen Ilmu Kulit Kelamin · RS non pendidikan : BAgian Kulit Kelamin
116
2.5
TROPIK INFEKSI
117
DEMAM BERDARAH DENGUE PENGERTIAN Demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes Albopticus serta memenuhi criteria WHO untuk demam berdarah dengue (DBD) DIAGNOSIS Criteria diagnosis WHO 1997 untuk DBS harus memenuhi : · Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, bisanya bifasik · Terdapat minimal sati dari manifestasi perdarahan berikut : o Uji tourniquet positif (>20 petekie dalam 2,54 cm2) o Petekie, ekimosis, atau purpura o Perdarahan ukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain o Hematemesis atau melena · Trombositopenia (<100.000/mm3) · Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage o Hematokrit meningkat >20 dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin, dan poplasi yang sama o Hematokrit turun hingga >20% dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan o Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites, dan hipoproteinemia Derajat I : demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/atau mudah memar II : derajat I disertai perdarahan spontan III : terdapat kegagalan sirkulasi : nadi cepat dan lemah atau hipotensi, diserti kulit dingn dan lembab serta gelisah. IV: renjatan : tekanan darah dan nadi tidak teratur DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindrom renjatan dengue DIAGNOSIS BANDING Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia PEMERIKSAAN PENUNJANG Hb, Ht, leukosit, trombosit, serologi dengue TERAPI Nonfarmakologi : tirah baring, makanan lunak Farmakologis : · Simtomatis : antipiretik : antipiretik parasetamol bila demam · Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran protocol tatalaksana DBD o Cairan intravena : Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jam/kolf. Koloid/plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan. o Tranfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi 118
o
Pertimbangan heparinisasi dapa DBD stadium III dan IV dengan koagulasi intravascular diseminta (KID)
KOMPLIKASI Renjatan, perdarahan, KID PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikn : Dokter Spesialis PEnyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Divisi Hematologi-Onkologi Medik, PMI
119
DEMAM TIFOID PENGERTIAN Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. DIAGNOSIS · Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare · Pemeriksaan fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relative (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah, serta tremor), hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, sodeolae (jarang pada orang Indonesia) · Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal, aneosinofilia, limfopenia, peningkatan LED, anemia ringan, trombositopenia, gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau pennkatan titer uji widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negative tidak menyingkirkan diagnosis. Uji widal tunggal dengan titer antibody O 1/320 atau H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis. Hepatitis tifosa Bila emenuhi 3 atau lebih criteria Kholsa (!990) : hepatomegali, ikterik, kelainan laboratorium ( antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan indeks PT) kelainan histopatologi. Tifoid karier Ditemukannya kuman salmonella thypi dalam biakan feses urin pada seseorang tanpa tanda infeksi atau pada seseorang setelah 1 tahun pasca demam tifoid DIAGNOSIS BANDING Infeksi virus, malaria PEMERIKSAAN PENUNJANG Daraf perifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu) TERAPI Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak rendah serat Farmakologis : · Simtomatis · Antimikroba : o Pilihan utama : kloramfenikol 4x500 mg sampai dengan 7 hari sebelum bebas demam Alternative lain : · Tiamfenikol 4x500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol) · Kortimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu 120
·
·
· ·
Sefalosporin generasi III, yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama ½ jam perinfus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2x1 gram · Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) : o Norfloksasin 2x 400 mg/hari selama 14 hari o Siprofloksasin 2x50 mg/hari selama 6 hari o Ofloksasin 2x400mg/hari selama 7 hari o Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari o Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari Pada kasus toksik difoid (demama tifoid sisertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemerikasaan cairan otak masih dalam batas normal ) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4x500 mg dengan ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, renajatn septic Steroid hanya diindikasikan pada toksis tifoid atau demam tifoid yang mengalami tenjatan septic dengan dosis 3x5 mg
Kasus tifoid karier : · Tanpa kolelitiasis à pilihan rejimen terapi selama 3 bulan : o Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari o Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari o Kortimoksazol 2x2 tablet /hari · Dengan kolelitiasis à kolesistektomi +regimen tersebut diatas selama 28 hari atau kolesistektomi + salah satu rejimen berikut : o Siprofloksasin 2x750 mg/hari o Norfloksasin 2x400 mg/hari · Dengan infeksi schistosoma haematobium pada traktus urinarius àeradikasi schistosoma haematobium : o Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau o Metrifonat 7,5 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu . Setelah ereadikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti diatas Perhatian : pada kehamilan fluorokuinolon dan kortimoksazol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada rismester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trismester I. obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan sefalosporin generasi III (seftriakson) KOMPLIKASI Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis, tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia, empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid) 121
PROGNOSIS Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ tidak adekuat atau ada komplikasi berat, prognosis meragukan/ buruk WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah digestif · RS non pendidikan : Departemen Bedah
122
LEPTOSPIROSIS PENGERTIAN Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen dari famili leptospiraceae DIAGNOSIS · Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare · Pemeriksaan Fisis: injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia, hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran · Laboratorium: dapat ditemukan leukositosis, peningkatan amylase, lipase, dan CK, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal. Serologi leptospira positif (titer 1/100 atau terdapat peningkatan 4 kali pada titer ulangan) DIAGNOSIS BANDING Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria, kolangitis, hepatitis fulminan PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amylase, lipase, serologi leptospira MAT (mikoaglutinasi test) TERAPI Nonfarmakologis Tirah baring, makanan/ cairan tergantung pada komplikasi organ yang terlibat Farmakologis : · Simtomatis · Antimikroba pilihan adalah pilihan utama: penisilin G4 x 1,5 juta unit selama 5-7 hari. Alternatifnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III, fluorokuinolon KOMPLIKASI Gagal
ginjal,
pankreatitis, miokarditis, perdarahan massif, meningitis aseptik. Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi parifer, miokarditis, thrombosis, tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru (pneumonia, empiema, pleuritis), hematobolier (hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid) PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
123
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Devisi ginjal-hipertensi.
124
SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK PENGERTIAN · Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS) yang disebabkan oleh infeksi. · Renjatan (syok) septik: sepsis dengan hipotensi, ditandai dengan penurunan TDS < 90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg dan TD awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan TD · Sepsis berat :gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan asidosis metabolik. DIAGNOSIS SEPSIS 1. Sirs ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut: · Suhu badan >38°C atau < 36°C · Frekuensi denyut jantung > 90 x menit · Frekuensi pernafasan > 24 x/menit atau PaCO2 < 32 · Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau adanya >10% sel batang 2. Ada fokus infeksi yang bermakna DIAGNOSIS BANDING Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD, elektrolit, kultur darah dan infeksi fokal (urin, pus, sputum, dan lain-lain) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap anti mikroba, foto toraks. TERAPI · Eradikasi fokus infeksi · Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati Antimikroba definitif diberikan bila hash kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai basil uji kepekaan mikroorganisme. · Sportif: resusitasi ABC, oksigenase, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya - Resusitasi cairan. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada respons klinis (respons terlihat dan peningkatan tekanan darah, penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis, ronki, galop S,. dan penurunan saturasi oksigen) Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12 mm Hg), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori per hari - Oksigenase sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang progresif, hiperkapnia gangguan neurologis, atau kegagalan otot pernafasan - Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah sistolik 90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin dipertahankan >30 125
-
-
ml/jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin dengan dosis >8 g/kgBB/menit, norepinefrmn 0,03-1,5 mg/kgBB /menit, fenilefrin 0,5-8 mg/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5 tg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-28 mg/kgBB/menit, dopamin 3-8 mg/kgBB/menit, epinefrin 0,1 -0,5 mg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase inhibitor (amrinondanmilrinon) Transfusi komponen darah sesuai indikasi Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah, dan asidosis metabolik (secara empiris dapat diberikan bila pH < 7,2 atau bikarbonat serum < 9 mEq/l, dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik) Nutrisi yang adekuat Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal Kartikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 W/ kgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya.
KOMPLIKASI Gagal nafas gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel PROGNOSIS Dubia ad malam WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit alam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Divisi pulmonologi, ginjal-hipertensi, hematologi-onkologi, dan medical high care / ECU · RS non pendidikan: ECU
126
FEVER OF UNKNOWN ORIGIN PENGERTIAN · Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab: infeksi, neoplasma, penyakit kolagen dan vaskular · FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3°C selama 4 minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal 4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dan dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi, obat, sarkoma, limfoma · FUO pada pasien netropenia (jumlah lekosit PMN<500/mm 3) adalah demam > 38,3°C, dalam 3 hari perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif dan dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi · FUO pada geriatri adalah demam > 38,3°C, dalam 3 hari perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan belum dapat ditentukan penyebab dan demam. Penyebab: neoplasma, penyakit kolagen, infeksi · FUO pada pasien pediatri (usia<18 tahun) adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 5 hari, sudah dilakukan pemeriksaan intensif selama 3 hari bila pasien dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab: infeksi, penyakit kolagen, neoplasma · FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat serta pada masa permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi. penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil pertumbuhan mikroorganisme negatif dan dengan fokus infeksi. Penyebab: infeksi · FUO iatrogenic adalah demam > 38,3°C akibat penggunaan obat: penicillin, sefalosponin, sulfonamida, atropin, fenitoin, prokainarnida, amfoterisin, interferon, interleukin, rifarnpisin, INH, makrolida, klindamisin, vankomisin, aminoglikosida, allopurinol DIAGNOSIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis: · riwayat penyakit secara terperinci: pola demam, ada tidaknya infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit pinggang, diare, abses atau radang tonsil dan otot, nyeri dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik · riwayat pekerjaan, perjalanan, kontak dengan orang sakit atau hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan (termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit pasien, kelenjar getah bening, lubang orifices pasien Laboratorium: sesuai mikroorganisme dan organ terkait DIAGNOSIS BANDING Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi, immunologi, radiologi, EKG biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan (scanning), endoskopi/peritoneoskopi, angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan TERAPI 127
· ·
Simtounatik Uji terapeutik dengan antibiotika, kartikosteroid, atau obat anti inflamasi non- steroid tidak dianjurkan kecuali bila penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi empirik diperlukan
KOMPLIKASI Sepsis, renjatan sepsis PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Divisi pulmonologi, hematologi-onkologi. · RS non pendidikan: -
128
MALARIA PENGERTIAN Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovate, atau Plasmodium malariae dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles DIAGNOSIS Anamnesis: riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dan atau pergi ke daerah endemik malaria, trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringat yang banyak; pada daerah endemik malaria, trias malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama) Pemeriksaan Fisis: konjungtiva pucat, sklera ikterik, splenomegali Laboratorium: sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+) [sebagai penunjang] Malaria berat: ditemukannya P falciparum dalam stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala berikut: 1. Malaria serebral: koma dalam yang tak dapat/sulit dibangunkan dan bukan disebabkan oleh penyakit lain 2. Anemia berat (normositik) pada keadaan hitung parasit >10.000/ul; (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%) 3. Gagal ginjal akut(urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa, atau < 12 ml/kgBB pada anakanak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mg/dl 4. Edema paru/Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) 5. Hipoglikemia (gula darah < 40 mg/dl) 6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik <70 mmHg, disertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa > 1°C) 7. Pendarahan spontan dan hidung, gusi, saluran cerna, dan/atau disertai gangguan koagulasi intravaskular 8. Kejang berulang lebih dan 2 kali dalam 24 jam setelah pendinginan pada hyperthermia 9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma <15 mEq/l) 10. Hemoglobinuria mikroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek samping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD) 11. Diagnosis pasca-kematian dengan ditemukannya P Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat: 1. Gangguan kesadaran 2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa duduk/jalan) 3. Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daerah tak stabil malaria 4. Ikterus (bilirubin >3 mg/dl) 5. Hyperpyrexia (suhu rektal > 40°C) 129
DIAGNOSIS BANDING Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, ensefalitis PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes fungsi ginjal, tea fungsi hati, gula darab, UL, AGD, elektrolit, hemostasis, rontgen toraks, EKG TERAPI A. Infeksi P vivax atau P. ovale a. Daerah sensitif klorokuin: Klorokuin basa 150 mg: Han I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam kemudian), Hari II dan III: 2 tablet atau Hari I dan II : 4 tablet, Hari III : 2 tablet Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15mg selama 14 hari. Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari b. Daerah resisten klorokuin Kina 3 x 400-600mg selama 7 hari Terapi radikal: ditambah primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari B. Infeksi P. falciparum ringan/sedang infeksi campur P falciparum dan P vivax · Artemisin Hari I:4 tablet (200 mg) Hari II:4 tablet (200 mg) Hari III:4 tablet (200 mg) · Arnodiaquin Hari I: 4 tablet (600 mg) Hari II: 4 tablet (600 mg) Hari III: 2 tablet (600 mg) · Klorokuin basa 150 mg: Hari 1 : 4 tablet + 2 tablet (6jam kemudian), Hari II : 2 tablet Hari III : 2 tablet atau Hari I : 4 tablet Hari II : 4 tablet Hari III : 2 tablet · Bila perlu ditambah terapi radikal: ditambah primaquine 45 mg (3 tablet) (dosis tunggal); infeksi campur: primaquine 1 x 15 mg selama 14 hari à bila resisten dengan pengobatan tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat 3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari C. Malaria berat · Articulate iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam ke-0, 12, 24, dilanjutkan satu kali per hari. · Drip kina HCl 500mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500 ml D5% diberikan dalam 6 - 8 jam (maksimum 2000 mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula darah tiap 8 - 12 jam sampai pasien dapat minum obat per oral atau sampai hitung parasit malaria sesuai target 130
·
(total pemberian parenteral dan per oral selama 7 hari dengan dosis per oral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali sehari) Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan dengan tetrasiklin 94 mg/ kgBB diberikan 4 kali sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari
Perhatian SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primaquine tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi, dan penderita defisiensi G6PD. Klorokuin tidak botch diberikan dalam keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila obat sudah diterima selama 48 jam tetapi belum ada perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka dosis selanjutnya diturunkan sampai 30-50%. Kartikosteroid merupakan kontraindikasi pada malaria serebral. Pemantauan pengobatan: hitting parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50% HO dan H3 < 25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Pencegahan: klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/minggu diminum tiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah endemik sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai 1 (satu) hari sebelum pergi ke daerah endemis malaria hingga 4 minggu setelah meninggalkan daerah endemis KOMPLIKASI Malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut PROGNOSIS Malaria falciparum ringan/sedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. Malaria berat: duhia ad malam WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Tropik Infekal · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi dan Departemen Neurologi · RS non pendidikan: Bagian Neurologi
131
INTOKSIKASI OPIAT PENGERTIAN Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan. DIAGNOSIS · Anamnesis: informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada · Pemeriksaan Fisis: pupil miosis-pin point pupil, depresi nafas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi, tanda edema paru, needle tracksigiz, sionosis, spasme saluran cerna dan belier, kejang · Laboratorium: opiat urin positif atau kadar dalam darah tinggi DIAGNOSIS BANDING Intoksikasi obat sedatif: barbiturat, benzodiazepin, etanol PEMERIKSAAN PENUNJANG Opiat urin/darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks TERAPI A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan, sesuai kebutuhan. B. Pemberian antidotnalokson 1. Tanpa hiperventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 2. Dengan hiperventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 3. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 —10 menit hingga timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang, 4. Efek nalokson berkurang dalam 2O-40 menit dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 ml P5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam 5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks 6. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal bila: pernafasan tak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventitasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal 7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pyloric, bila diperlukan dapat dipasang NOT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada intoksikasi opiat oral 8. Activated clzarcoal dapat diberikan pada intoksikasi peruraian memberikan 240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram 9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazeparn intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila perlu. 132
Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi. KOMPLIKASI Aspirasi, gagal nafas. edema paru akut PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Tropik Infeksi · RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi dan Departemen Psikiatri, Departemen Anestesi/ICU · RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
133
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT PENGERTIAN Intoksikasi organofosfat merupakan intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat. DIAGNOSIS · Anamnesis: riwayat minum/kontak dengan zat yang mengandung organofosfat, muntah · Pemeriksaan Fisis: bradikardia, pupil miosis, penurunan kesadaran, tanda-tanda aspirasi · Laboratorium: pemeriksaan bahan muntah atau darah mengandung organofosfat PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, elektrolit, rontgen toraks, EKG, pemeriksaan organofosfat TERAPI •Bilas ambung melalui NGT •Atropinisasi KOMPLIKASI Gagal nafas, blok AV PROGNOSIS Dubia WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesial Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam Divisi Tropik Infeksi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Divisi Pulmonologi, Psikosomatik • RS non pendidikan: Bagian Psikiatri
134
2.6
GINJAL HIPERTENSI
135
PENYAKIT GINJAL KRONIK PENGERTIAN Kriteria penyakit ginjal kronik adalah: 1. Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), berdasarkan: · kelainan patologik atau · petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. LFG <60 ml/menit/1,73 m² yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal DIAGNOSIS · Anamnesis: lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat, BAK berkurang · Pemeriksaan Fisis: anemis, kulit kering, edema tungkai atau palpebra, tanda bendungan paru · Laboratorium: gangguan fungsi ginjal Batasan dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik Dengan Kerusakan LFG Ginjal (ml/menit/l,7 Dengan Tanpa 3 m²) Hipertensi Hipertensi > 90 1 1 60-89 2 2 30-59 3 3 15-29 4 4 < 15 (atau 5 5 dialisis)
Tanpa Kerusakan Ginjal Dengan Hipertensi Hipertensi Hipertensi +1 ¯ LFG 3. 4 5
Tanpa Hipertensi Normal ¯ LFG 3. 4 5
DIAGNOSIS BANDING Gagal ginjal akut PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, ureum, kreatinin, UL, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, elektrolit (Na, K, Cl, Ca, P, Mg), profil lipid, asam urat serum, gula darah, AGD, SI,TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, USG ginjal, pemeriksaan immunologi, hemostasis lengkap, foto polos abdomen, renogram, foto toraks, EKG ekokardiografi, biopsi ginjal, HBsAg, Anti HCV, Anti HIV. TERAPI Nonfarmakologis: · Pengaturan asupan protein: - pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien - pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari - pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari · Pengaturan asupan kalori: 35 Kal/kgBB ideal/hari 136
· · · · · · · · · ·
Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dan kalori total Garam (NaCl): 2-3 gram/hari Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari Fosfor:5-10mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17mg/hari Kalsium: l400-l600mg/hari Besi: 10-18 mg/hari Magnesium: 200-300 mg/hari Asam folat pasien HD: 5 mg Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss). Pada CAPD air disesuaikan dengan jumlah dialisat yang keluar. Kenaikan berat badan di antara waktu RD <5% BB kering.
Farmakologis: · Kontrol tekanan darah: - Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II à evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan - Penghambat kalsium - Diuretik · Pada pasien DM. kontrol gula darah à hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6% · Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl · Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat · Kontrol osteodystrophy renal : Kalsitniol · Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/1 · Koreksi hiperkalemi · Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin · Terapi ginjal pengganti KOMPLIKASI Kardiovaskular, gangguan keseimbangan asam basa, cairan, dan elektrolit, osteodistrofi renal, anemia PROGNOSIS Dubia
137
WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam · Hemodialisis: wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi · RS non pendidikan: Bagian ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Unit Hemodialisis, ICU/Medical High Care, Departemen Bedah Urologi · RS non pendidikan: Unit hemodialisis, ICU
138
SINDROM NEFROTIK PENGERTIAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m² disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. DIAGNOSIS • Anamnesis: bengkak seluruh tubuh, buang air kecil keruh • Pemeriksaan fisis: edema anasarka, asites • Laboratorium: proteinuria masif > 3,5 gram/24 jam/1,73 m², hiperlipidemia, hipoalbuminemia (<3,5 gram/dl), lipiduria, hiperkoagulabilitas. Diagnosis etiologi berdasarkan biopsi ginjal DIAGNOSIS BANDING Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN PEMERIKSAAN PENUNJANG Urinalisis, ureum, kreatinin, tes fungsi hati, profil lipid, DPL, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan immunologi, biopsi ginjal, protein urin kuantitatif TERAPI Nonfarmakologis: • Istirahat • Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam • Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari • Berhenti merokok • Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema Farmakologis: • Pengobatan edema: diuretik loop • Pengobatan proteinunia dengan penghambat ACE dan/atau antagonis reseptor Angiotensin II • Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin • Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75 mmHg. Penghambat ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama • Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular) KOMPLIKASI Penyakit ginjal kronik, tromboemboli PROGNOSIS Tergantung jenis kelainan glomerular
139
WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik · RS non pendidikan: -
140
PENYAKIT GLOMERULAR PENGERTIAN Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder. Penyakit glomerular primer: 1. Kelainan minimal 2. Glomerulo skelerosis fokal segmental 3. Olomerulonefritis (GN) difusi: a. ON membranosa (nefropati membranosa) b. ON proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalysis: sedimen eritrosit (+), hematuri): - ON prohferatif mesangial - GN proliferatif endokapiler - ON membranoproliferatif(mes/angiokapiler) - ON kresentik dan necrotizing c. ON sclerosing 4. Nefropati IgA Penyakit glomerular sekunder: 1. Nefropati diabetik 2. Nefritis lupus 3. GN pasca infeksi 4. GN terkait hepatitis 5. GN terkait HIV Keterangan: • Difus: lesi mencakup > 80% glomerulus. • Fokal: lesi mencakup < 80% glomerulus. • Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus. • Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus. DIAGNOSIS Manifestasi klinis penyakit glomerular dapat berupa: 1. Sindrom nefrotik 2. Hematuria persisten 3. Proteinuria persisten 4. Sindrom nefritik (hipertensi, hematuria, azotemia) 5. Rapid progressive glomerulonephritis (RPGN) DIAGNOSIS BANDING Etiologi dan penyakit glomerular
141
PEMERIKSAAN PENUNJANG Urinalisis, ureum, kreatinin, protein urin kuantitatif/24 jam, pemeriksaan immunologi, biopsi ginjal, gula darah, tes fungsi hati TERAPI Sesuai etiologi, penyakit glomerular primer: 1. Kelainan minimal: · Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/m² (maksimal 80mg) selama 4- 6 minggu · Setelah 4-6 minggu dosis prednison diberikan 40 mg/m² selang sehari selama 4-6minggu - Bila terjadi relaps: dosis prednison kembali 60 mg/m² (maksimal 80mg) setiap hari sampai 3 hari bebas protein dalam urin, kemudian kembali selang sehari dengan dosis 40 mg/m² selama 4 minggu - Bila sering relaps (2 kali): prednison selang sehari ditambah dengan siklofosfamid 2 mg/kgBB atau klorambusil 0,15 mg/kgBB selama 8 minggu. Bila gagal, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan - Bila tergantung steroid (relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 2 minggu pasca obat sudah dihentikan, 2 kali berturut-turut): siklofosfamid 2 mg/kgBB selama 8-12 minggu. Bila gagal, diberikan siklosponin 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan - Bila resisten terhadap steroid, diberikan siklosporin 5 mg/kgBB selama 6- 12 bulan 2. Glomerulonefritis fokal segmental: · Steroid yang setara dengan prednison 60 mg/hari selama 6 bulan. - Bila resisten atau tergantung steroid: siklosponin 5 mg/kgBB selama 6 bulan - Bila terjadi remisi, dosis siklosporin diturunkan 25% setiap dua bulan - Bila gagal, siklosporin dihentikan 3. Nefropati membranosa: · Metil prednisolon bolus intravena 1 gram/hari selama 3 hari · Kemudian diberikan steroid yang setara dengan prednison 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan lalu diganti dengan kloambusil 0,2 mg/kgBB/hari atau siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari selama 1 bulan · Prosedur kedua diulang kembali sampai seluruhnya dad prosedur kedua sebanyak 3 kali 4. Glomerulonefritis membranoproliferatif · Steroid tidak terbukti efektif pada pasien dewasa. · Dianjurkan pemberian aspirin 325 mg/had atau dipinidamol 3 x 75-100 mg/hari atau kombinasi keduanya selama 12 bulan. Bila dalam 12 bulan tidak memberikan respon, pengobatan dihentikan sama sekali 5. Nefropati IgA · Bila proteinuria < 1 gram, hanya observasi · Bila proteinuria 1 - 3 gram, dengan fungsi ginjal normal, hanya observasi. Bila dengan gangguan fungsi ginjal, diberikan minyak ikan · Bila proteinuria > 3 gram dengan CCT >70 ml/menit, diberikan steroid yang setara dengan prednison 1 mg/kgBB selama 2 bulan lalu tappering off secara perlahan sampai dengan 6 bulan. Bila CCT < 70 ml/menit, hanya diberikan minyak ikan · Suplementasi kalsium selama terapi dengan steroid
142
KOMPLIKASI Penyakit ginjal kronik PROGNOSIS Tergantung jenis kelainan glomerular WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Dokter Spesialis penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomik • RS non pendidikan: -
143
GAGAL GINJAL AKUT PENGERTIAN Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu.) yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kreatinin serum 0,5 mg/dl dan nilai sebelumnya, penurunan CCT hitung sampai 50% atau penurunan fungsi ginjal yang mengakibatkan kebutuhan akan dialisis. DIAGNOSIS Terdapat kondisi yang dapat menyebabkan GGA: 1. Pre-renal: akibat hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan, penurunan curah jantung dan hipotensi oleh sebab lain) 2. Renal: akibat kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat kimia/toksin, iskemi ginjal, penyakit glomerular) 3. Post-renal: akibat obstruksi akut traktus uninarius/batu saluran kemih, hipertrofi prostat, keganasan ginekologis) Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urin < 100 mg/24 jam), oligunia (produksi urin < 400 ml/24 jam), poliuria (produksi urin > 3.500 ml/24 jam) DIAGNOSIS BANDING Episode akut pada penyakit ginjal kronik PEMERIKSAAN PENUNJANG Tes fungsi ginjal, DPL, urinalysis elektrolit, AGD, gula darah TERAPI - Asupan nutrisi - Kebutuhan kalori 30 Kal/kgBB Ideal/hari pada. GGA tanpa komplikasi; kebutuhan ditambah 15-20% pada GGA berat (terdapat komplikasi/stres) - Kebutuhan protein 0,6-0,8 gram/kgBB ideal/hari pada OGA tanpa komplikasi; 1-1,5 gram/kgBB ideal/hari pada GGA berat - Perbandingan karbohidrat dan lemak 70 : 30 - Suplementasi asam amino tidak dianjurkan - Asupan cairan à tentukan status hidrasi pasien, catat cairan yang masuk dan keluar tiap hari, pengukuran BB setiap hail bila memungkinkan, dan pengukuran tekanan vena sentral bila ada fasilitas. - Hipovolemia: rehidrasi sesuai kebutuhan - Bila akibat perdarahan diberikan transfusi darah PRC dan cairan Isotonik, hematokrit dipertahankan sekitar 30% - Bila akibat diare, muntah, atau asupan cairan yang kurang dapat diberikan cairan kristaloid - Normovolemia: cairan seimbang (input = output) - Hipervolemia: restriksi cairan (input < output) - Fase anuria/oligunia: cairan seimbang; Fase poliuria: 2/3 dan cairan yang keluar Dalam keadaan insensible water loss yang normal, pasien membutuhkan 300- 500 ml 144
electrolyte free water per hari sebagai bagian dan total cairan yang diperlukan - Koreksi gangguan asam basa - Koreksi gangguan elektrolit: • Asupan kalium dibatasi <50 mEq/hari. Hindari makanan yang banyak mengandung kalium, obat yang mengganggu ekskresi kalium seperti penghambat ACE dan diuretik hemat kalium, dan cairan/nutrisi parenteral yang mengandung kalium • Bila terdapat hipokalsemia ringan diberikan koreksi per oral 34 gram per hari dalam bentuk kalsium karbonat, bila sampai timbul tetani, diberikan kalsium glukonas 10% IV • Bila terdapat hiperfosfatemia, diberikan obat pengikat fosfat seperti alumunium hidroksida atau kal1ium karbonat yang diminum bersamaan dengan makan - Pemberian furosemid bersamaan dengan dopamin dapat membantu pemeliharaan fase nonoligunik, tapi terapi harus dihentikan bila tidak memberikan hasil yang diinginkan - Indikasi dialisis: • Oliguria • Anunia • Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/l) • Asidosis berat (pH <7,1) • Azotemia (ureum > 200 mg/dl) • Edema paru • Ensefalopati uremikum • Penikarditis uremik • Neuropati/miopati uremik • Disnatremia bera (Na > 160 mEq/l atau < 115 mEq/l) • Hipertermia • Kelebihan dosis obat yang dapat didialisis (keracunan) KOMPLIKASI Gangguan asam basa dan elektrolit, sindrom uremik, edema paru, infeksi PROGNOSIS Dubia ad bonam WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Hemodialisis: wewenang Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan departemen Ilmu Penyakit Dalam—Divisi Ginjal-Hipertensi, hemodialisis • RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, unit Hemodialisis
Unit
UNIT TERKAIT • RS pendidikan ICU, unit dialisis • RS non pendidikan: -
HIPERTENSI 145
PENGERTIAN Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang makan obat antihipertensi. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII: Klasifikasi TD sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg) Normal < 120 dan < 80 Pre-hipertensi 120-139 atau 80-89 Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99 Hipertensi stage 2 160 atau 100 Diagnosis • Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff yang meliputi minimal 80% lengan atas pada pasien dengan posisi duduk dan telah beristirahat 5 menit. • Tekanan sistolik = suara fase 1 dan tekanan diastolik = suara fase 5 • Pengukuran pertama harus pada kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer • Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko hipotensi postural (lanjut usia, pasien DM, dan lain-lain) • Faktor risiko kardiovaskular: - Hipertensi - Merokok - Obesitas (IMT > 30) - Inaktivitas fisik - Dislipidemia - Diabetes melitus - Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit - Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun) - Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau perempuan <65 tahun) • Kerusakan organ sasaran: - Jantung: hipertrofi ventrikel kin, angina atau riwayat infark miokard, riwayat revaskularisasi koroner, gagal jantung - Otak: strok atau transient ischemic attack (TIA) - Penyakit ginjal kronik - Penyakit arteri perifer - Retinopati • Penyebab hipertensi yang telah diidentifikasi: sleep apnea, akibat obat atau berkaitan dengan obat, penyakit ginjal kronik, aldosterinisme primer, penyakit renovaskular, terapi steroid kronik dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasi aorta, penyakit tiroid atau paratiroid.
146
DIAGNOSIS BANDING Peningkatan tekanan darah akibat white coal hypertension, rasa nyeri, peningkatan tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dan lain-lain. PEMERIKSAAN PENUNJANG Urinalisis, tes fungsi ginjal, gula darah, elektrolit, profil lipid, foto toraks, EKG; Sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitasrenin plasma, aldosteron, katekholamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi TERAPI • Modifikasi gaya hidup dengan target tekanan darah <140/90 mmHg atau <130/ 80 pada pasien DM atau penyakit ginjal kronis. Bila target tidak tercapai maka diberikan obat inisial. • Obat inisial dipilih berdasarkan: 1. Hipertensi tanpa compelling indication a. Pada hipertensi stage I dapat diberikan diuretik. Pertimbangkan pemberian penghambat ACE, penyekat reseptor beta, penghambat kalsium, atau kombinasi. b. pada hipertensi stage II dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII atau penyekat reseptor beta atau penghambat kalsium. 2. Hipertensi dengan compelling indication. Lihat tabel petunjuk pemilihan obat pada compelling indication. Obat antihipertensi lain dapat diberikan bila dibutuhkan misalnya diuretik, antagonis reseptor AII, penghambat ACE, penyekat reseptor beta, atau penghambat kalsium. Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai. Pertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis hipertensi. • Pada penggunaan penghambat ACE atau antagonis reseptor AII: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan. • Kondisi khusus lain: - Obesitas dan sindrom metabolik (terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki > 102 cm atau perempuan > 89 cm, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa 110 mg/dl, tekanan darah minimal 130/85 mmHg, trigliserida tinggi 150 mg/dl kolesterol HDL rendah <40 mg/dl pada laki-laki atau <50 mg/dl pada perempuan) à modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan penghambat ACE. Pilihan lain adalah antagonis reseptor AII, penghambat kalsium, dan penghambat α - Hipertrofi ventrikel kiri à tatalaksana tekanan darah yang agresif termasuk penurunan berat badan, restriksi asupan natrium, dan terapi dengan semua kelas antihipertensi kecuali vasodilator langsung, hidralazih dan minoksidil. - Penyakit arteri perifer à semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin - Lanjut usia, termasuk penderita hipertensi sistolik terisolasi à diuretika (tiazid) sebagai lini pertama, dimulai dengan dosis rendah 12,5 mg/hari. Penggunaan obat antihipertensi Lain dengan mempertimbangkan penyakit penyerta - Kehamilan à pilihan terapi adalah golongan metildopa, penyekat reseptor β, antagonis kalsium, dan vasodilator. Penghambat ACE dan antagonis reseptor AII tidak boleh 147
digunakan selama kehamilan. Petunjuk pemilihan obat pada compelling indications Obat-obat yang Direkomendasikan Kondisi Antagoni Risiko Tinggi Penghamba s Penghamba Dengan Diureti Penyekat t Reseptor t compelling k Reseptor β ACE AII Kalsium indication Gagal Jantung Pasca Infark Miokard Risiko tinggi Penyakit Koroner DM penyakit Ginjal Kronik Pencegahan Stroke Berulang
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
Antagonis Aldostero n Ö Ö
Ö Ö
Ö
KOMPLIKASI Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi genial, atherosclerosis pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung PROGNOSIS Bonam WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Umum Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: ICCU, Departemen mata, Neurologi • RS non pendidikan: ICCU / ICU, Departemen mata, neurologi
148
KRISIS HIPERTENSI PENGERTIAN Krisis hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. Dibagi menjadi dua: 1. Hipertensi emergency: situasi di mana diperlukan penurunan tekanan dara yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau progresif 2. Hipertensi urgency: situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna tanpa adanya gejala yang berat atau kerusakan organ target progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. DIAGNOSIS • Anamnesis: Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat pasien, tekanan darah rata-rata riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung, dan gangguan penglihatan • Pemeriksaan fisis: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis. • Laboratorium: sesuai dengan penyakit dasar, penyakit penyerta, dan kerusakan organ target DIAGNOSIS BANDING Penyebab hipertensi emergency: Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema • Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala • Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner • Kondisi ginjal: GN akut hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit kolagenvaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal • Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperretleksi otomatis pasca cedera korda spinalis • Eklampsia • Kondisi bedah: hipotensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera, hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dan garis jahitan vaskular • Luka bakar berat • Epistaksis berat • Thrombotic thronibocytopenic purpura PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, uninalisis, ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, EKG Pemeriksaan khusus sesuai indikasi: foto toraks, ekokardiografi, aktivitas renin plasma, aldqeron, metanefrin/katekolamin, USG abdomen, CT scan, dan MRL 149
TERAPI Target terapi hipertensi emergency sampai tekanan darah diastolik kurang lebih 110 mmHg atau berkurangnya mean arterial blood pressure 25% (pada strok penurunan hanya boleh 20% dan .khusus pada strok iskemik, tekanan darah baru diturunkan secara bertahap bila sangat tinggi >220/130 mmHg) dalam waktu 2 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 12-16 jam selanjutnya sampai mendekati normal. Penurunan tekanan darah pada hipertensi urgency dilakukan secara bertahap dalam waktu 24 jam. KOMPLIKASI Kerusakan organ target Hipertensi urgency: Obat
Dosis
Awitan
Kaptopril
6,25-50 mg per oral atau sublingual bila tidak dapat menelan Dosis awal per oral 0,15 mg, selanjutnya 0,15 mg tiap jam dapat diberikan sampai dengan dosis total 0,9 mg 100 - 200 mg per oral 20-40 mg per oral 20-40 mg, dapat diulang hanya diberikan bila terdapat retensi cairan Infus 5-100 mcg/menit. Dosis awal 5 mcg/menit, dapat ditingkatkan 5 mcg/menit tiap 3-5 menit Bolus IV 10 mg (0,25 mg/kgBB), dilanjutkan infus 5-10 mg/jam 6 ampul dalam 250 ml cairan infus, dosis diberikan dengan titrasi Infus 0,25-10 mcg/kgBB/menit, (maksimum 10 menit)
15 menit
Lama Kerja 4-6 jam
0,5 - 2 jam
6-8 jam
0,5-2 jam 0,5-1 jam 5-15 Menit 2-5 Menit
8-12 jam 6-8 jam 2-3jam
Segera
1-2 menit
Klonidin
Labetalol Furosemid Diuretik: Furosemid Vasodilator: - Nitrogliserin - Diltiazem -
Klonidin
-
Nitroprusid
5-10 Menit
PROGNOSIS Dubia WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Medical High Care, ICU • RS non pendidikan: ICU 150
INFEKSI SALURAN KEMIH PENGERTIAN Infeksi saluran kemih (ISIC) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman di saluran kemih. Kuman mencapai saluran kemih melalui cara hematogen dan asending. Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstruksi arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, DM, atau pengaruh obat-obat estrogen. ISK sederhana/takber komplikasi: ISK yang terjadi pada perempuan yang tidak hamil dan tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal ISK berkomplikasi: ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pada anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil DIAGNOSIS • Anamnesis: ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria • Pemeriksaan fisis: febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra • Laboratorium: leukositosis, lekosituria, kultur urin (+): bakteriuria >105/ml urin DIAGNOSIS BANDING ISK sederhana, ISK berkomplikasi. PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, urinalysis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah, foto BNO-IVP, USG ginjal. TERAPI Nonfarmakologis: • Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik • Menjaga higiene genitalia eksternal Farmakologis: • Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan.
151
Tabel 1.Antimikroba pada ISK bawah tak berkomplikasi Antimikroba Dosis Trimetopnim- Sulfametoksazol 2 x 160/800 mg Trimetopnim 2 x 100mg Siprofloksasin 2 x 100-250 mg Levofloksasin 2 x 250 nig Setlksim 1x400mg Sefjodokshn proksetil 2 x 100 mg Nitrofurantoin makrokristal 4 x 50 mg Nitrofunantoin monobidnat 2 x 100 mg makroknistal Amoksisilin/klavulanat 2 x 500 mg Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas akut berkomplikasi Antimikroba Dosis Sefepim 1 gram Siprofloksasin 400 mg Levofloksasin 500 mg Ofloksasin 400mg Gentamisin (+ ampisilin) 3-5 mg/kgBB 1 mg/kgBB Ampisilin (+gentamisin) 1-2 gram Tikarsilin-klavulanat 3,2 gram Piperasilin-tazobaktam 3,375 gram Imipenem-silastatin 250-500mg
Lama Terapi 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 7 hari 7 hari 7 hari Lama Terapi 12 jam 12 jam 24 jam 12 jam 24 jam 8 jam 6 jam 8 jam 2-8 jam 6.8 jam
152
ISK pada Perempuan Perempuan dengan keluhan disuria dan sering flAK Pengobatan selama 3 hari
Folow up selama 4-7 hari
Tak Berg ejala
Tak perlu intervensi lebih lanjut
Berg ejala
Keduanya negatif
Piuria tanpa bakteriuria
Piuria dengan atau tanpa bakteriuria
Observasi, pengobatan dengan analgetika saluran kemih
Pengobatan untuk kuman
Pengobatan diperpanjang
• ISK tak bergejala pada perempuan menopause tidak perlu pengobatan • ISK pada perempuan hamil tetap diberikan pengobatan meski tidak bergejala • Pengobatan untuk ISK pada laki-laki usia < 50 tahun harus diberikan selama 14 hari; usia > 50 tahun pengobatan selama 4-6 minggu • Infeksi jamur kandida diberikan flukonazol 200-400 mg/hari selama l4 hari. Bila infeksi terjadi pada pasien dengan kateter, kateter dicabut lalu dilakukan irigasi kandung kemih dengan amfoterisi selama 5 hari.
153
ISK Berulang Riwayat ISK berulang
Gejala ISK baru
Pengobatan 3 hari
Follow up selama 4-7 hari
Pengobatan berhasil
Pasien dengan reinfeksi
Calon untuk terpakai jangka panjang dosis rendah
·
Pengobatan gagal
Infeksi kuman resistensi antimikroba
Infeksi kuman peka antimikroba
Terapi 3 hari untuk kuman yang peka
Terapi dosis tinggi selama 6 minggu
Terapi jangka panjang: trimetopnim-sulfametoksazol dosis rendah (40-200 mg) tiga kali seminggu setiap malam, fluorokuinolon dosis rendah, nitrofurantoin makrokristal 100 mg tiap malam. Lama pengobatan 6 bulan dan bila perlu dapat diperpanjang 1-2 tahun lagi.
KOMPLIKASI Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis infeksi kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjal PROGNOSIS Bonam WEWENANG • RS pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Daam dan PPDS Pertyakit Dalarn • RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam — Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Departemen Radiologi, Departemen Mikrobiologi • RS non pendidikan: Bagian Radiologi, Bagian Mikrobiologi 154
BATU SALURAN KEMIH PENGERTIAN Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika urinaria. DIAGNOSIS • Anamnesis: nyeri/kolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga • Pemeriksaan fisis: nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda balotemen • Laboratorium: hematuria, bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect path IVP atau pielografi antegrad/retrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG DIAGNOSIS BANDING • Nefrokalsinosis • Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika • Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite PEMERIKSAAN PENUNJANG Urinalisis, kultur urin dan tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, elektrolit darah (kalsium, fosfor) dan urin 24 jam (kalsium, sitrat, oksalat, asam urat), asam urat darah, hormon paratiroid, foto BNO-IVP, USG abdomen, pielografi antegrad/retrograd, renogram, analisis batu TERAPI Nonfarmakologis: • Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani • Batu urat: diet rendah asam urat • Minum banyak (2,5 1/hari) bila fungsi ginjal masih baik Farmakologis: • Antispasmodik bila ada kolik • Antimikroba bila ada infeksi • Batu kalsium: kalium sitrat • Batu urat: alopuninol Bedah: • Pielotomi • •ESWL • Nefrostomi KOMPLIKASI Kolik, obstruksi, infeksi saluran kemih, gangguan fungsi ginjal
155
PROGNOSIS Bonam WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Departemen Bedah I Urologi • RS non pendidikan: Bagian Bedah
156
NEFRITIS LUPUS PENGERTIAN Lupus eritematosus sistemik (LES) yang disertai keterlibatan ginjal DIAGNOSIS • Memenuhi kriteria LES menurut ACR 1982, • Diagnosis klinis ditegakkan bila pada pasien LES terdapat proteinuria 1 gram/24 jam dengan/atau hematuria (> 8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%. • Biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ada kontraindikasi, untuk menentukan pilihan pengobatan berdasarkan kelas nefritis lupus. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO 1995) Nefritis Lupus Histopatologi Kelas I Glomeruli normal Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI
Gejala Klinis Hanya proteinuria, sedimen urin tidak ada kelainan Perubahan pada mesangial Kelas II a: hanya proteinuria, kelainan sedimen urin tidak ada Kelas II b: hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria, tanpa hipertensi, tidak pernah terjadi SN atau gangguan fungsi ginjal Glomerulonephritis fokal Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien. segmental Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada sebagian pasien Glomerulonephritis difus Hematuria dan proteinuria pada seluruh pasien. Hipertensi, SN, dan penurunan fungsi ginjal pada hampir seluruh pasien Glomerulonephritis SN pada seluruh pasien, sebagian dengan membranosa difus hematuria atau hipertensi, namun fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun Glomerulonephritis Penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan sklerotik lanjut kelainan urin yang relatif normal
DIAGNOSIS BANDING Glomerulonephritis oleh sebab lain PEMERIKSAAN PENUNJANG Urinalysis, protein urin kuantitatif 24 jam, tes fungsi ginjal, biopsi ginjal, albumin serum, profil lipid, komplemen C3, C4, anti ds-DNA TERAPI Tujuan pengobatan untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk.
157
Penatalaksanaan Umum: • Diet rendah garam bila terdapat hipertensi, rendah lemak bila terdapat dislipidemia atau sindrom nefritik, renda protein sesuai derajat penyakit • Diuretik dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan • Tatalaksana hipertensi dengan baik • Pemeriksaan rutin periodik meliputi: sedimen urin, protein urin kuantitif 24 jam, tes fungsi ginjal, albumin serum, komplemen C3,C4 , anti ds-DNA • Monitor efek samping steroid dan immunosuppressant serta komplikasi selama pengobatan. Suplementasi kalsium untuk mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid • Hindari pemberian salisilat dan obat anti-inflamasi nonsteroid yang akan memperberat fungsi ginjal. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada sindrom anti fosfolipid • Hindari kehamilan bila nefritis lupus masih aktif KOMPLIKASI Gagal ginjal PROGNOSIS Tergantung kelas nefritis lupus. Kelas I dan II prognosis balk. Kelas III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Kelas V prognosis cukup baik. WEWENANG · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam —Divisi Ginjal-Hipertensi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan: Unit hemodialisis, Divisi Rematologi, Divisi Alergi-immunologi, Departemen Patologi Anatomik · RS non pendidikan: Unit hemodialisis
158
2.7
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK
159
LIMFOMA NON-HODGKIN PENGERTIAN Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid padat. DIAGNOSIS • Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/massa tumor di tempat lain (tulang, intra abdomen, hidung, lambung dan sebagainya) • Riwayat demam tanpa sebab yang jelas • Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan • Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai • Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma non Hodgkin (LNH) DIAGNOSIS BANDING Limfoma Hodgkin, limfaderitis, tuberkulosis, toxoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain. PEMERIKSAAN PENUNJANG • Pemeriksaan sitologi kelenjar/massa tumor untuk mengetahui LNH tersebut serta keterlibatan kelenjar lain yang membesar • Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal • Aspirasi dan biopsi sumsum tulang • CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar • Getah bening (KGB) para aorta abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam abdomen • Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB mediastinum • Pemeriksaan telinga hidung tenggorokan (TNT) untuk melihat keterlibatan cincin Waldeyer • Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan lambung • Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat keterlibatan tulang TERAPI Derajat keganasan rendah • Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral. • Radioterapi paliatif Derajat keganasan menengah • Stadium I s.d. IIa: radioterapi atau kemoterapi parenteral kombinasi. • Stadium IIb s.d. IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliatif. Derajat keganasan tinggi • Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif) • Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif Reevaluasi hasil penobatan: • Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat • Setelah selesai pengobatan lengkap 160
KOMPLIKASI Akibat langsung penyakitnya: • Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus, dan saraf • Mudah terjadi infeksi, bisa fatal Akibat efek samping pengobatan: • Aplasia sunisum tulang • Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin • Gagal ginjal oleh obat sisplatinum • Neuritis oleh obat vinkristin PROGNOSIS Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky mass. keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan organ yang mempengaruhi pengobatan. • Derajat keganasan rendah: Tidak dapat sembuh, namun dapat hidup lama. • Derajat keganasan menengah: Sebagian dapat disembuhkan. • Derajat keganasan tinggi: Dapat disembuhkan, cepat meninggal apabila tidak diobati. WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: Departemen THT, Patologi Anatori, Radiologi/Radioterapi • RS non pendidikan: Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi REFERENSI 1. Reksodiputra, AH. Irawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 11. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit PKUI:2001.p. 607-21. 2. Non-Hodgkin’ s Lymfomen Hematologie Klapper. 8thed. Leids Universitair Medisch Centrun, Leiden. Juni 1999:82-98. 3. Abdulmuthaljb, Limfoma non-Hodgkin, In: Simadibrata M, Setiadi S, Alwi, Oemardi M, Gani R4, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta. Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM: 1999. p. 113-4.
161
ANEMIA APLASTIK PENGERTIAN Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum tulang di mana jaringan hemopoiesis diganti oleh jaringan lemak, dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Anemia aphlatik berat Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dan 3 gejala berikut • granulosit <500/ul • trombosit <20.000/ul • retikuiosit< 10% 2. Anemia aplastik • Sumsum tulang hipoplastik • Pansitopenia dengan satu dan tiga pemeriksaan darah seperti pada anemia aplastik berat DIAGNOSIS • Anamnesis: - Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah - Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunangkunang - Tanda-tanda infeksi: sering demam - Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematunia. buang air besar campur darah, muntah darah) • Pemeriksaan fisik: konjungtiva pucat, takikardi, tanda perdarahan Pemeriksaan penunjang: darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus (hepatitis, parvovirus) • Diagnosis pasti: sitologi dan histopatologi sumsum tulang DIAGNOSIS BANDING Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi anemia karena penyakit kronik, anemia karena penyakit keganasan sumsum tulang, hiperspienisme, leukemia akut PEMERIKSAAN PENUNJANG • Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus • Aspirasi dan biopsi sumsum tulang TERAPI Terapi penunjang: • Transfusi komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai indikasi (pada topik transfusi darah) • Menghindari dan mengatasi infeksi • Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/kgBB/ hari • Androgen: Metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/ hari, maksimal diberikan selama 3 bulan • Splenoktomi dilakukan bila tidak respons dengan steroid. Bila pasien menolak splenoktomi dapat diberikan terapi immunosuppressive: - Siklosponin 5 mg/kgBB/hari - ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/ kgBB/ hari intravena selama 5 hari - Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA yang cocok 162
Respons terapi: • Komplit: granulosit> 1000/ul, trombosit> 100.000/ul, Hb normal • Parsial: granulosit >500/ul, tidak membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit • Minimal: granulosit>S00/uf, membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit • Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap KOMPLIKASI Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia berat PROGNOSIS •Dubia, tergantung tingkat hipoplasianya •Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi, perdarahan atau komplikasi transfusi darah WEWENANG •RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam •RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI •RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Hematologi - Onkologi Medik •RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT •RS pendidikan: Departemen Patologi Anatomi •RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi REFERENSI: 1. Salonder, H. A nemia aplastic. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lexmana, L A lwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2001:501-8. 2. A piastisehe anemie. Hematology Klapper 8 th ed. Leids Universirair Medisch Centrun Leiden. Juni 1999.12-16. 3. W idjanarko A . A nemia aplastik. In: Sintadibrata M, Setiari S. A lwi I, Oemardi M, Gani R,4, Mansjoer A , edt. Pedoman diagnosis don terapi di bidang ilmu penyakit dalam Jakarta: Pusar Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSCM: 1999. p. 102-3.
163
LEUKEMIA AKUT PENGERTIAN Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan set induk darah (sel bias dan atau satu tingkat di atasnya). leukemia akut dibagi dua yaitu: leukemia mieblastik akut, leukemia limfoblastik akut DIAGNOSIS Anamnesis: - Gejala anemia: rasa lemas/lemah, pucat, pusing, sesak nafas/gagal jantung, berkunangkunang - Tanda-tanda infeksi: sering demam - Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, buang air besar campur darah, muntah darah) • Pemeriksaan fisik: pucat, demam, pembesaran kelenjar getah b1ing (KGB) superfisial, organomegali, petekie/purpural ekimosis • Pemeriksaan penunjang: Aspirasi sumsum tulang: hitung jenis set bias dari atau progranulosit > 30% DIAGNOSIS BANDING Sindrom mielodisptasia (MDS), reaksi leukernoid, leukemia kronis PEMERIKSAAN PENUNJANG • Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV) • Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenetik TERAPI Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun: Persiapan pengobatan sitoreduksi: • Akses vena sentral • Anti emetik • Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi cukup > 2000 ml/24 jam. alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat oral 4 x 500-1000 mg/hari (target pH urin > 7) • Tunda haid (lynestrenol) • Antibiotika dekontaminasi parsial • Profilaksis streptokokus (henzyipenicilline 4x 1 gr) • Vitamin K 2 kali seminggu 5 mg per oral • Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu • Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit > 100.000/uL dikombinasi metil prednisoton 5 mg/kg/hari
164
Pemeriksaan rutin: • Turn, over rate set tumor (LDH, asam urat) • Elektrolit (Na, K, Ca) • Hemostasis lengkap • Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) • Keasaman urin • Fungsi hari (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP) • Gula darah • Serologi virus • Surveillance bakteriologi • Foto dada • Fungsi lumbal diagnostik jangkitan otak Kuratif: • Sitoreduksi dengan sitostatika mulai dan yang ringan hingga yang agresif dengan membutuhkan rescue set induk darah pasien clan darah perifer untuk penyelamatan pada ablasi sumsum tulang • Transplantasi set induk darah alogenik atau/autogenik dan darah perifer, sumsum tulang atau tali pusar Paliatif Respons terapi Komplit: • Hitung jenis set bias dan atau progranulosit < 5% pada sitologi aspirat sumsum tulang • Pada darah tepi tidak ditemukan bias, leukosit > 3000/ul, granulosit > 1500/ul dan trombosit > 100.000/ul Partial: • Hitung jenis set bias dan atau progranutosit 5-10% pada sitologi aspirat sumsum tulang • Pada darah tepi dapat ditemukan sel blas Tidak respon: • Hitung jenis sel bias dan atau progranulosit > 10% pada sitologi aspirat sumsum tulang KOMPLIKASI Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopenia/koagulasi intravaskular diseminata. PROGNOSIS Malam. WEWENANG • RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam • RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
165
UNIT TERKAIT • RS pendidikan Departemen Patologi Anatomi • RS non pendidikan: Bagian Patologi Anatomi REFERENSI 1. A cute leukemie algemeen. Hematologie Klapper, 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum: Leiden, Juni 1999:20. 2. A bdul Muthalib Leukimia akut. In: Simadibraga M, Setiati S, A lwi I Oemardi M, Gani RA , Mansjoer A , eds. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen: Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 1999, p. 110-3.
166
SINDROM LISIS TUMOR PENGERTIAN Sindrom lisis tumor adalah sindrom yang ditandai berbagai kombinasi antara hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma yang sedang berproliferasi secara cepat. DIAGNOSIS · Anamnesis : Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma burkitt, leukimia limfoblastik akut, dan limfoma derajat tinggi lainnya) · Pemeriksaan fisik : Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya pernapasan kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada hiperkalemia) · Laboratorium : Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa menunjukkan pH urin < 7 dan/ terdapat kristal asam urat DIAGNOSIS BANDING Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam urat, AGD, urinalisis TERAPI · Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting · Hidrasi adekuat 5000ml/m 2 per hari · Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat · Allopurinol 300mg/m 2 per hari · Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat · Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K > 6 meq/dl, kreatinin > 10 mg/dl, F > 10 mg/dl atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa KOMPLIKASI Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak PROGNOSIS Malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI 167
· ·
RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT -
IDIOPHATIC THROMBOCYTOPENIA 168
PURPURA DIAGNOSIS Untuk menyingkirkan kemungkinan idiophatic thrombocytopenia purpura (ITP) sekunder · Anamnesis : - Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides, kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia - Gejala sistematik ; pusing, demam, penurunan berat badan - Gejala penyakit autoimun ; artalgia, rash kulit, rambut rontok - Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya), resiko infeksi HIV, status kehamilan, riwayat transfusi, riwayat pada keluarga (trombisitopenia, gejala perdarahan dan kelainan autoimun), - Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko perdarahan (kelainan gastrointestinal, sistem saraf pusat dan Urologi) - Kebiasaan/hobi : aktivitas yang traumatik · Pemeriksaan fisik : - Perdarahan (lokasi dan beratnya) - Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan jaundice atau sitgmata penyakit hati kronik - Tanda infeksi (bakteria/infeksi HIV) - Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis) · Pemeriksaan penunjang : - Darah tepi : hitung trombosit < 150.000/uL dengan tidak dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda yang berukuran lebih besar. - Laboratorium kimia rutin dan enzim hati - Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV, rubella) - Pemeriksaan ACA, Coomb’ s test, C3, C4, ANA, andti dsDNA - Pemeriksaan imunoelektroforesis protein - Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada komplikasi, kecuali masa perdarahan yang memanjang - Pemeriksaan pungsi sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat - Pemeriksaan autoantibodi trombosit. DIAGNOSIS BANDING · Berkurangnya produksi trombosit/aplasia megakariosit baik yang kongenital atau didapat · Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme, hipotermia) · Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug induced, kehamilan dll) · Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada spesimen darah tepi PEMERIKSAAN PENUNJANG · Laboratorium : darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin, ACA, Comb test, C3, C4, ANA, anti dsDNA, serologi virus, anti HIV, antibodi antitrombosit · Sitologi aspirasi sumsum tulang TERAPI ITP akut : (anak-anak, self limiting) 169
·
· ·
Trombosit > 30.000/ul, asimtomatik/ purpura minimal tidak diterapi rutin Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan bermakna atau < 10.000/ul dengan purpura minimal Steroid (~ prednison 1-2 mg/kgBB/hari) Mengingat ITP pada anak bersifat self limiting, maka lama terapi dibatasi selama 21 hari. Dapat juga diberikan IV Ig 1gr/kg 1 hari Perdarahan yang mengancam jiwa dirawat, steroid injeksi dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg/hari) atau steroid oral dosis tinggi (~ prednison 4-8 mg/kg/hari) dan transfusi trombosit
ITP kronik (dewasa) Terapi suportif : · Membatasi aktivitas yang berisiko trauma · Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi trombosit · Transfusi PRC sesuai kebutuhan · Transfusi trombosit bila : - Perdarahan masif - Adanya ancaman perdarahan otak/ SPP - Persiapan untuk operasi besar Perawatan RS untuk pasien dengan : · Perdarahan berat yang mengancam jiwa · Trombosit < 20.000/ul dengan perdarahan mukosa bermakna · Trombosit > 50.000/ul asimtomatik/ dengan purpura minimal tidak diterapi · Trombosit < 30.000/ul dengan/ tanpa gejala, 30.000-50.000/ul dengan perdarahan bermakna, kadar trombosit berapa saja dengan perdarahan yang mengancam jiwa diterapi : Steroid (~ prednison 1-2 mg/kg/hari), dipertahankan 3-4 minggu lalu tapp down, maksimal selama 6 bulan. Prednison tidak boleh diberikan dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada pasien tidak respon Splenektomi Indikasi : · Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6 bulan observasi · Memerlukan dosis maintenance steroid yang tinggi · Adanya kontraindikasi / intoleransi terhadap steroid Pilihan terapi yang lain : · Obat-obatan imunosupresan (siklofosfamid, azatioprin, vinkristin) · Preparat androgen (danazol) · Exchange plasmapharesis pada pasien dengan keadaan sakit berat · Hormonal anovulatoir KOMPLIKASI Infeksi, ITP berat, DM indeuced steroid, hipertensi, immunocompromised 170
PROGNOSIS · ITP akut : bonam · ITP kronik : dubia ad malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi - Onkologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT REFERENSI 1. Idiopatische trombocytopenische purpura. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:113-7. 2. Djoerban Z. Immune trombocytopenic purpura. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Oemardi M, Gani RA, Mansjoer A, editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSCM: 1999.p. 104-8.
TROMBOSIS VENA DALAM PENGERTIAN 171
Trombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah DIAGNOSIS Gejala klinik bervariasi (90% tanpa gejala klinis) Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila : · Riwayat trombosis, stroke · Pasca tindakan bedah terutama bedah ortpedi · Imobilisasi lama terutama paska trauma/penyakit berat · Luka bakar · Gagal jantung akut atau kronik · Penyakit keganasan baik tumor solid maupun keganasan hematologi · Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama yang disertai syok · Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormon estrogen · Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk trombosis Anamnesis Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena Pemeriksaan fisik · Edem, eritem, peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, pembuluh darah vena teraba, Homan’ s sign (+) · Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan negatif palsu · Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi Pemeriksaan penunjang · Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N:85-125%) · Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat · Tider D-dimer meningkat DIAGNOSIS BANDING Sindrom pasca flebitis, varises, gagal jantung, trauma, refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitits kontak, eritema nodosum, kehamilan, flebitis superfisial, paralisis PEMERIKSAAN PENUNJANG · Radiologi : venografi/flebografi, USG vena-B mode atau colour doppler · Laboratorium : kadar AT III, protein C, protein S, antibodi antikardiolipin, profil lipid, agresi trombosit
Tersangka DVT Ultrasonografi 172
Ada 3 pilihan
DVT Pertimbangan Klinis
D-Dimer
Diagram Pendekatan Diagnosis DVT TERAPI Non farmakologis : · Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena · Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskular · Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam dll, tindakan ini dapat meningkatkan aliran darah vena di vena-vena yang masih terbuka (patent) · Pemakaian kaus kaki elastik (elastic stocking), alat ini dapat meningkatkan aliran darah vena Farmakologis : 1. Antikoagulan Heparin (unfractionated) · Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai 1000IU/jam · Target ApTT 1,5 - 2,5 x kontrol, bila - aPTT < 1,5 x kontrol, dosis –100 - 200 IU/jam - aPTT 1,5 - 2,5 x kontrol, dosis tetap - aPTT > 2,5 x kontrol, dosis –100 - 200 IU/jam · Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam Hati III: aPTT diperiksa tiap 24 jam LMWH (Low Molecular W eight Heparin) · Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam · Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam · Tidak perlu pemantauan Warfarin · Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian heparin dengan dosis hari 16-10 mg malam hari, hari II diturunkan. · INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan target 2-3 173
·
·
Bila target INR tercapai, heparin dapat dihentikan 24 jam berikutnya Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor resiko - Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6 bulan - Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama atau bahkan seumur hidup Cara penyesuaian dosis INR - INR 1,1 - 1,4 Hari I naikkan 10-20% dari total dosis mingguan Mingguan naikkan 10-20% dari total dosis mingguan Kembali 1 minggu - INR 1,5 - 1,9 Hari I naikkan 5-10% dari total dosis mingguan Mingguan naikkan 5-10% dari total dosis mingguan Kembali 2 minggu - INR 2,0 - 3,0 Tidak ada perubahan Kembali 1 minggu - INR 3,1 - 3,9 Hari I kurangi 5-10% dari dosis total mingguan Mingguan kurangi 5-10% dari dosis total mingguan Kembali 2 minggu - INR 3,9 –5,0 Hari I tidak dapat obat Mingguan kurangi 10-20% dari dosis total mingguan Kembali 1 minggu - INR > 5,0 Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0 Mulai dengan dosis kurang 20-50% Kembali tiap hari
2. Trombolisis (streptokinasi, tPA) · Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu setelah pembentukan thrombus (trombosis vena iliaka atau vena femoralis akut atau subakut) · Tidak dianjurkan untuk trombus yang berusia lebih dari 4 minggu 3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon) · Bukan merupakan terapi utama · Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau warfarin KOMPLIKASI Perdarahan akibat antikoagulan/ antiagregasi trombosit, trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien yang mendapat > 6 bulan dengan dosis 10.000U/hari PROGNOSIS Tergantung pada penyebab, pada yang tidak disertai komplikasi baik WEWENANG 174
· ·
RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Radiologi, Bedah / Vaskular · RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah REFERENSI 1. Supandiman, I. Trombosis. Dalam: Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Sefiati, S. Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2000:588-91. 2. Tambunan, KL. Terapi anti koagulan pada trombosis vena dalam. Dalam : Setiadi, S. Bawazier, LA. Atmakusuma, D. Kasjmir, Y I. Syam, AF. Gustaviani, R. Current Treatment in Internal Medicine 2000. PIP IPD FKUI Jakarta 2000:19-22. 3. Atmakusuma, D. Perbedaan trombosis vena dalam dan trombosis arter akut dalam hal diagnosis dan tatalaksanaan. Dalam : Prodjosudjadi, W . Setianti, S. Alwi, I. Pertemuan Ilmiah Nasional PB PAPDI 2003, therapeutic update and workshop in internal medicine. PIP IPD FKUI Jakarta 2000:193-205. 4. Tambunan, KL. Peran terapi medicamentosa pada DVT kronik. Dalam: Simadibrata, M. Alwi, I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA. Syam, AF. Mansjoer, A. Penyakit kronik dan degenaratif, penatalaksanaan dalam praktek sehari-hari. PIP IPD FKUI Jakarta. 2003:9-13.
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA 175
PENGERTIAN Koagulasi intravaskular diseminata adalah aktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada waktu yang bersamaan. DIAGNOSIS Klinis : · Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria. · Tanda-tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis, hematoma, hematemesis-melena, hematuria, epistaksis) · Manifestasi trombosis gagal organ (paru, ginjal, hati) · KID merupakana akibat dari kausa primer yang lain : - Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin intra-uterin, abortus septik) - Bidang hematologi (reksi transfusi, hemolisis berat, leukimia) - Infeksi (septikemia, gram negatif, gram positif; virus HIV, hepatitis, dengeu; parasit malaria) - Trauma, penyakit hati akut, luka bakar Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Kompensasi Trombosit N PTT N PT N Fibrinogen N D Dimer +/ · ·
Hiperkompensasi N N/ N/ N/ +/
Dekompensasi
++/
Darah tepi : trombositopenia atau normal, burr cell (+) Pemeriksaan hemostasis pada KID
DIAGNOSIS BANDING Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : DPL, hemostasis lengkap (PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer) TERAPI · Suportif - Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik - Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah - Membebaskan jalan napas - Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam basa - Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan elektrolit · Mengobati penyakit primer · Menghambat proses patologis - Antikoagulan Heparin inytavena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi aPTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan keempat 176
·
Bila pada jam kedua : · aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U · aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap · aPTT > 2,5 x kontrol, evaluasi aPTT pada jam keempat, bila o aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U o aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 2500 U Transfusi sesuai komponen darah sesuai indikasi (PRC, TC, FFP, kriopresipitat)
KOMPLIKASI Gagal organ, syok/hipoperfusi, trombosis vena dalam, KID fulminan PROGNOSIS Malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam REFERENSI 1. Tambunan, KL. Koagulasi intravasculas diseminata. Dalam : Suyono, S. W aspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI : 2001:555-64. 2. Tambunan, KL. Diagnosis dan Penatalaksanaan Koagulasi Intravaskular Diseminata. In : Subekti, I. Lydia, A. Rumende, CM. Syam, AF. Mansjoer, A. Suprohita. Penatalaksanaan kegawatdaruratan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. PIP IPD FKUI Jakarta 2001 : 25-31.
TROMBOSITOSIS PRIMER/SENSIAL PENGERTIAN · Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah normal tertinggi (450.000/ul) 177
·
Trombositosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel multipotensial hemopoietik
DIAGNOSIS · Anamnesis : - Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki serta berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia). - Gejala-gejala iskemia serebrovaskular kadang tidak spesifik seperti sakit kepala, pusing, defisit neurologi fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi arteri retina. - Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan fetus terlambat · Pemeriksaan fisik : - Splenomegali (40%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang terkena. · Pemeriksaan laboratorium : - Jumlah trombosis seringkali > 1 juta/ml - Laju endap darah normal - Variasi bentuk trombosis abnormal (raksasa, hipogranular) fragmen trombosit - Masa perdarahan normal - Faktor VIII/ von Willebrand normal DIAGNOSIS BANDING Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi trombosis, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII/ von Willebrand, tes agregasi trombosit dengan epinefrin TERAPI Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi trombosit · Untuk menurunkan trombosit : 1. Hydroxyuria (hydrea) : 15mg/kgBB/hari 2. Anagrelide (agrylin) : 14 kali 1,5-2,5 mg sehari, dimulai dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap minggu 3. Thromboreduction 4. Interferon alfa : 3 juta IU, tiga kali satu minggu 5. Fosforus-32 · Untuk menurunkan fungsi trombosit : 6. Aspirin 7. Tiklopidin 8. Klopidogrel
KOMPLIKASI · Perdarahan (memar kebiruan, epistaksis, perdarahan saluran cerna, perdarahan pasca operasi). Risiko terbesar bila trombosit > 1 juta/ml dan mendapat aspirin. · Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokar, stroke, iskemi misentric, infark plasenta, sindrom Budd Chiari). Resiko terbesa bila sebelumnya ada riwayat trombosis, umur 178
·
lebih dari 60 juta tahun dan sudah lama mengalami trombositosis. Trombosis esensial dapat mengalamai transformasi menjadi mielofibrosis (4%), polisitemia vera (2,7%), leukimia mielositik akut (0,6-5%)
PROGNOSIS · Ad vitam : dubia · Ad fungsionam : dubia · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam REFERENSI 1. Tambunan, KL. Trombositosis dan trombositosis esensial. In : Atmakusuma, A. Uyainah, A. Irawan, C. Suhendro. Current diagnosis adn treatment in internal medicine 2003. PIP IPD FKUI Jakarta 2003:94-9 2. Essentiele trombocutemie. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden, Juni 1999:50-1
SINDROM VENA KAVA SUPERIOR PENGERTIAN Sindrom vena kava superior adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi vena kava superior oleh sebuah tumor mediastinum 179
DIAGNOSIS · Anamnesis : keluhan sakit kepala, mual, muntah-muntah, gangguan penglihatan, sinkop, suara serak, sesak napas, disfagia dan sakit punggung · Pemeriksaan fisik : distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan dada atas, sianosis. · Pemeriksaan penunjang : - Foto dada menunjukkan massa paratrakeal atau di mediastinum - CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya massa DIAGNOSIS BANDING · Tumor mediastinum : tumor ganas, teratoma, limfoma malignum · Tumor paru PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan radiologi : foto toraks, CT scan toraks TERAPI · Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan massa tumor yang dibutuhkan · Pada limfoma malignum atau kanker paru jenis SCLC, kemoterapi akan sama efektifnya dengan radioterapi. KOMPLIKASI Trombosis vena jugularis dan otak PROGNOSIS · Ad vitam : dubia ad malam · Ad fungsionam : dubia · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik, Pulmonologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/toraks · RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah REFERENSI 1. Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga 180
rampai Ilmu Penyakit Dalam penerbit FKUI Jakarta 1996:97-100 2. Kaiser, LR. Putnam, JB. Fishman, JA. Grippi, MA. Kaiser, LR. Senior, RM. Fishman’ s manual of pulmonary disease and disorders. 3 rd ed. McGraw-Hill USA 2002:521-34
HIPERKALSEMIA PENGERTIAN Hiperkalsemia merupakan kedaruratan onkologi yang sering terjadi ditemukan sebagai akibat metabolik dari keganasan 181
DIAGNOSIS · Anamnesis : anoreksia, mual, muntah-muntah, polyuria · Pemeriksaan fisik : penurunan kesadaran · Pemeriksaan penunjang : kadar kalsium serum meningkat DIAGNOSIS BANDING PEMERIKSAAN PENUNJANG · Pemeriksaan kadar kalsium darah, fungsi ginjal TERAPI · Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250 ml/jam) dan furosemide disertai monitor ketat balans cairan dan fungsi kardiopulmoner · Mithramycin 25 ug/kg intravena. Tidak boleh digunakan pada gagal ginjal dan trombositopenia · Kartikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma maglinum, mieloma multiple dan karsinoma payudara. · Bisfosfonat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia refrakter terhadap cara-cara sebelumnya atau terdapat kontraindikasi · Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia adalah kemoterapi yang efektif KOMPLIKASI Gagal ginjal akut PROGNOSIS · Ad vitam : dubia · Ad fungsionam : dubia ad malam · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik · RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik REFERENSI Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110 182
HIPERURISEMIA PENGERTIAN Hiperurisemia merupakan kelainan yang terjadi akibat pengobatan pada leukimia, gangguan mieloproliferatif, limfoma atau mieloma yaitu ketika sel-sel tumor mengalami penghancuran selama kemoterapi dimana purin akan dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian mengalami katabolisme menjadi asam urat 183
DIAGNOSIS · Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya batu ginjal · Kadar asam urat melebihi 10mg/dl dan rata-rata 20mg/dl. Oliguria atau anuria dengan atau tanpa adanya kristal asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin meningkat · Perbandingan asam urat dengan kreatinin > 1, dihitung menurut sampel acak, mendukung diagnosis nefropati akibat hiperurisemia PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis TERAPI 1. Alopurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada sindrom lisis tumor 2. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal KOMPLIKASI · Batu ginjal · Gagal ginjal PROGNOSIS · Ad vitam : malam · Ad fungsionam : malam · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT Unit hemodialisis, Departemen Patologi Klinik
REFERENSI Djoerban, Z. Kedaruratan onkologi. Dalam : W aspadji, S. Gani, RA. Setiati, S. Alwi, I. Bunga rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 1996:97-110
184
TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER PENGERTIAN Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang amat penting, sehingga tidak jarang lebih penting daripada pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena pengobatan suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat 185
mengancam jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga yang pengobatan paliatif. Pengobatan suportif ini meliputi : 1. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna 2. Penanganan nyeri 3. Penanganan infeksi 4. Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi DIAGNOSIS Masalah Nutrisi · Anamnesis : penurunan berat badan yang cepat · Antropometri : tebal lemak kulit (M. Deltoideusi lengan atas), indeks massa tubuh ( di bawah 1,5 menunjukkan katabolisme berlebihan), penilaian terhadap massa otot · Laboratorium : - Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan respons imun) - Kadar albumin dan prealbumin (albumin < 3 g/dl dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan malnutrisi) - Kadar urea nitrogen urin (>24 g/24 jam menunjukkan katabolisme protein berlebihan), kadar feritin darah Penanganan Nyeri · Anamnesis : waktu timbul nyeri, lokasinya, intensitasnya dan faktor yang menambah atau mengurangi nyeri. · Anamnesis yang teliti dapat diketahui jenis nyeri pada pasien, apakah nyeri viseral, somatik, neuropatik. · Dari anamnesis dapat juga diketahui tingkatan nyeri, menggunakan alat bantu VAS (visual analog scale) yaitu skala dari nol sampai sepuluh (nol menunjukkan tidak ada nyeri sama sekali, sepuluh menunjukkan nyeri yang paling hebat). Angka yang ditunjuk pasien kemudian dapat dibagi menjadi empat kelompok : - Angka 0 menyatakan tidak ada nyeri - Angak 1-3 menyatakan nyeri ringan - Angka 4-6 menyatakan nyeri sedang - Angaka 7-10 menyatakan nyeri berat Hal yang paling menentukan untuk memulai pengobatan adalah jenis tingkatan nyeri.
Penanganan Infeksi Masalah Efek Samping Sitostatika 1. Penekanan sumsun tulang (infeksi neutropenia, trombositopenia, leukopenia, anemia) 2. Mual dan muntah 3. Toksisitas jantung (kardiomiopati, perimokarditis) 4. Toksisitas ginjal (nekrosis tubular ginjal) 5. Ekstravasari 6. Sindrom lisis tumor 186
PEMERIKSAAN PENUNJANG · Masalah Nutrisi - Antropometri : tebal lemak kulit, indeks massa tubuh dan massa otot - Laboratorium : hitung limfosit, albumin, prealbumin darah, urea nitrogen urin, feritin darah · Penanganan Nyeri - Pemeriksaan radiologi : foto, USG bone scan, CT scan, MRI untuk mengetahui jenis nyeri dan lokasinya · Penanganan Infeksi - Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung jenis, kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab tenggorok untuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan terhadap koloni jamur - Foto toraks · Masalah Efek Samping Sitostatika - Pemeriksaan fisik : luas permukaan tubuh, tingkat kemampuan berperan, mencari sumber infeksi. - Pemeriksaan Laboratorium : DPL dengan hitung jenis, fungsi ginjal, urinalisis, asam urat darah, fungsi hati, kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala - Pemeriksaan radiologi - Pemeriksaan ekokardiografi TERAPI Masalah Nutrisi · Indikasi terapi : o Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per hari o Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB sebelum sakit o Kadar albumin serum < 3,5 gr/dl o Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh ·
·
Perhitungan kebutuhan kalori : Rumus perhitungan kebutuhan kalori = Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan hiperkatabolik Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/kgBB ideal/hari Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/kgBB ideal/hari Perhitungan kebutuhan protein : Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB idela/hari Untuk mengganti kehilangan nitrogen tubuh diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/hari Cara pemberian: 1. Enteral melalui saluran cerna peroral, lewal selang nasogastrik, jejunostomi, gastrostomi 2. Parenteral dberikan bila melalu enteral tidak bisa atau pasien tidak mau dilakukan gastrostomi/jejunostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral karena dapat diberikan cairan dengan osmolalitas tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan-1 tahun). Hati-hati terhadap bahaya infeksi dan trombosis
Penanganan Nyeri 187
Pengobatan medikamentosa/farmakologi - Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan asetaminofen atau OAINS, kemudian dievaluasi dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan amitriptilin 3x25 mg atau opioid ringan kodein sampai dengan 6x30 mg/hari. - Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan opioid ringan kemudian dievaluasi dalam 24 jam, bila masih nyeri obat diganti dengan opioid kuat, biasanya dipakai morfin. Pemberian morfin intravena dimulai dengan, dosis ditirasi sampai pasien bebas nyeri. - Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak awal dan dievaluasi sampai hitungan jam sampai nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal maka pemberian morfin intravena diganti dengan morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan perbandingan 1:3, artinya jika dosis injeksi 20mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3x20 mg/24 jam (60mg), diberikan 6x10mg atau 4x15mg/hari. Bila setelahnya nyeri terkendali baik maka diganti morfin oral kerja lama dengan dosis 2x30mg/hari. Bila nyeri belum terkendali, morfin dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS. - Obat adjuvan diberikan sesuai pengkajian, bila penyebabnya neuropatik maka selain obatobat tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri somatik akibat metastasis tulang sedikit dapat ditambahkan OAINS dan bifosfonat, bila metastasis luas dan multipel maka pilihan utamanya adalah radioterapi dan dapat ditambahkan bifosfonat. Pengobatan Non Medikamentosa : 1. Penanganan psikiatris 2. Operasi bedah saraf 3. Blok anestesi 4. Rehabilitasi medik Penanganan Infeksi · Infeksi oleh bakteri gram negatif - Kombinasi antibiotik beta laktam dengan aminoglikosida - Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem, meropenem · Infeksi oleh bakteri gram positif. Staphylococcus epidermidis sering resisten pada berbagai macam antibiotika, diberikan vankomisin dan teikoplanin · Infeksi jamur. Pemberian Amtoferisin B dianjurkan pada pasien neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah pemberian antibiotika spektrum luas untuk beberapa hari tanpa adanya bakterimia · Infeksi virus dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa imunosupresi, sehingga beberapa pusat menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada pasien yang diperkirakan akan mengalami neutropenia berat untuk waktu yang lama Masalah Efek Samping Sitostatika 1. Penekanan sumsum tulang · Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang tepat · Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia berupa dekontaminasi saluran cerna, kulit dan rambut bila akan mendapat kemoterapi agresif 2. Mual dan muntah Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopropamid, antagonis serotonin (ondansetron, granisetron dan tropisetron), kortikosteroid, benzodiazepin, nabilon, antihistamin dan 188
kombinasi obat-obat antiemetik di atas. Dianjurkan kombinasi tersebut meliputi deksametason diikuti antagonis serotonin atau difenhidramin dan metoklopropamid 3. Toksisitas jantung Pasien dengan resiko tinggi (EF < 50%) harus menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua siklus pengobatan, sedangkan pada yang tidak beresiko tinggi ekokardiografi diulang setelah dosis kumulatif 350-400 mg/m 2. Hal yang paling penting pada pemantauan adalah dosis kumulatif (epirubisin 950 mg/m 2, daunorubisin 750 mg/m 2, mitomisin 160 mg/m 2 dan doksorubisin 550 mg/m 2) 4. Toksisitas ginjal Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dan diuretik 5. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat vesikan dapat dicegah dengan memastikan jalan infus intravena lancar dan setelah kemoterapi diberikan , cairan infus tetap diberikan 6. Sindrom lisis tumor Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum kemoterapi sampai dengan 3-5 hari setelahnya diberikan hidrasi intravena 3000ml/m2, alopurinol 500mg/m 2 per oral, bila kadar asam urat > 7 mg/dl diberikan alkalinisasi urin dengan natrium bikarbonat dengan mempertahankan pH urin di atas 7 KOMPLIKASI Hati-hati dengan efek samping morfin PROGNOSIS · Ad vitam : malam · Ad fungsionam : malam · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi - Onkologi Medik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
REFERENSI 1. Harsal, A. Tatalaksana nyeri kanker. Dalam : Setiati, S. Alwi, I. Kasjmir, Y I. Bawazier, LA. Lydia, A. Syam, AF. dkk. Current diagnosis and treatment in internal medicine 2002. PIP IPD FKUI Jakarta 2002:15-20 2. Sutandyo, N. Harryanto, A. Peran nutrisi pada keganasan. Dalam :Setiati, S. Soewondo, P. Pitoyo, CW . Syam, AF. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan perkembangan mutakhir IPD. PIP IPD FKUI Jakarta 2003:130-3 3. Reksodiputro, AH. Sutandyo, N. Nafrialdi. Y unihastuti, E. Beberapa aspek pengobatan 189
suportif pada pasien kanker. Dalam : Alwi, I. Setiati, S. Sudoyo, AW . Bawazier, LA. Kasjmir, Y I. Mansjoer, A. Pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam IPD. PIP IPD FKUI Jakarta 2001:123-38
POLISITEMIA VERA PENGERTIAN Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoesis yang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). 190
Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Perjalanan klinis : 1. Fase eritrositik atau fase polisitemia Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal. 2. Fase burn out atau spent out Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadang timbul anemia 3. Fase mielofibrotik Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan metaplasia mieloid 4. Fase terminal DIAGNOSIS International Polycythemia Study Group II Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria a. A1+A2+A3 atau b. A1+A2+2 Kategori B Kategori A 1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria 36ml/kg dan pada wanita 32 ml/kg. 2. Saturasi oksigen arterial 92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun) 3. Splenomegali Kategori B 1. Trombositosis : trombosis 400.000/ml 2. Leukositosis : leukositm 12.000/ml (tidak ada infeksi) 3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi) 4. Kadar vitamin B12 > 900ρg/ml atau UB12BC dalam serum 2200ρg/ml DIAGNOSIS BANDING Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik PEMERIKSAAN PENUNJANG · Laboratorium : eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12 serum, NAP, saturasi O2 · Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan kelainan mieoproliferatif yang lain TERAPI Prinsip pengobatan : 1. Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi 2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali 3. Menghindari pengobatan berlebihan 191
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda 5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan : - Trombositosis persisten di atas 80.000/ml terutama jika disertai gejala trombosis - Leukositosis progresif - Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic - Gejala sistematik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi. A. Flebotomi Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi : 1. Polisitemia vera fase polisitemia 2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%) 3. Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate B. Kemoterapi sitostatika Tujuannya adalah sitoreduksi Indikasi : · Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV) · Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan · Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis · Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin · Splenomegali simtomatik/ mengancam ruptur limpa Cara pemberian · Hidroksiurea 800-1200 mg/m 2/hari atau 10-15 mg/kg/kali diberikan dua kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan · Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu · Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m 2/hari. Bila tercapat target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan
C. Fosfor radioaktif P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCi/m 2 intravena, bila per oral dinaikkan 25%. Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama : · Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan · Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah10-12 minggu dosis pertama Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil 192
D. Kemoterapi biologi (sitokin) E. Pengobatan suportif · Hiperurisemia : allopurinol 100-699 mg/hari · Pruritus dengan urtikaria : antihistamin, PUVA · Gastritis/ulkus peptikum : antagonis reseptor H2 · Antiagregasi trombosit anagrelid KOMPLIKASI Trombosis, perdarahan, mielofibrosis PROGNOSIS · Ad vitam : dubia ad malam · Ad fungsionam : malam · Ad sanasionam : malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hematologi - Onkologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam REFERENSI 1. Abdul Muthalib, Effendy, S. Polisitemia vera. Dalam : Suyono, S. W aspdji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI:2001.p.541-6. 2. Polycythemia vera. Hematologie Klapper. 8th ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:48-9.
193
2.8
GERIATRI
194
PENGKAJIAN GERIATRI PARIPURNA/ COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESSMENT (CGA) Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih lambat timbulnya. Karakteristik pasien geriatrik yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih (failure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan menipisnya daya cadangan faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk, demam dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adanya gangguan nutrisi, gizi kurang, atau gizi buruk. Gangguan nutrisi ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan. Jika karena suatu hal pasien geriatri mengalamai kondisi akut seperti pneumonia, maka pasien geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi, inkontinensia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial terdapat hendaya seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah finansial). Berdasarkan uraian di ataas tidak dapat disangkal lagi bahwa pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna yang tidak semata-mata dari sisi biopsiko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif dan prenventif. Komponen dari pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi status fungsional, status kognitif, status emosional, dan status nutrisi. Selain itu, anamnesis yang dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan atau tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal. STATUS FUNGSIONAL Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalgi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan dari tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting, bahkan sering kali menjadi prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pada orang usia lanjut dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian atau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi 195
hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan secara keseluruhan. Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi objektif, antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan seharihari (activity of daily living/A DL ) Barthel dan Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hidup dan kepuasan pasien. STATUS KOGNITIF Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama saat mereka sakit. Faal kognitif yang sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, perspesi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melakasanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolalaan secara keseluruhan akan terganggu juga. Gangguan faal kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive impairment/MCI dan vascular cognitive impairment/VCI) maupun yang lebih berat (demensia ringan, sedang dan berat). Hal tersebut tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faal kognitif secara objektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test, The Mini Mental State Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS), dan Clinical Dementia Ratings (CDR). STATUS EMOSIONAL Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi juga dapat mempengaruhi hasil pengelolaan. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja sama dalam kerangka pengelolalaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan. Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale (GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti. STATUS NUTRISI Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada pasien geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum pasien. Adanya gangguan nutrisi sering kali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pada pasien geriatri. Sampai kondisi staturs gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk. Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan), 196
pemeriksaan antropometrik, maupun biokimia. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata-rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, dan emosional dapat dilihat pada lampiran.
197
LAMPIRAN I INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARHTEL (AKS BARTHEL) Fungsi Skor Keterangan
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mengendalikan rangsang pembuangan tinja Mengendalikan rangsang berkemih Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi) Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram) Makan
Berubah sikap dari berbaring ke duduk
7.
Berpindah/ berjalan
8.
Memakai baju
9.
Naik turun tangga
10.
Mandi
0 1 2 0 1 2 0 1
Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar) Kadang-kadang tak terkendali (1 x seminggu) Terkendali teratur Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/24jam) Mandiri Butuh pertolongan orang lain Mandiri
0 1
Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan Mandiri
2
0 1 2 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 0 1
Keterangan : skor AKS BARTHEL 20 : Mandiri 12-19 : Ketergantungan ringan
Nilai Skor
Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang) Bantuan minimal 1 orang mandiri Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri Tergantung orang lain Sebagian dibantu (misalnya mengancing baju) Mandiri Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri Tergantung orang lain Mandiri TOTAL SKOR 5-8 0-4
: Ketergantungan berat : Ketergantungan total 198
9-11 : Ketergantungan sedang LAMPIRAN 2 ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT) Status Mental Nilai A. Umur ..................... tahun 0. Salah 1. Benar B. Waktu / jam sekarang ..................... 0. Salah 1. Benar C. Alamat tempat tinggal .................... 0. Salah 1. Benar D. Tahun ini ................... 0. Salah 1. Benar E. Saat ini berada di mana ................... 0. Salah 1. Benar F. Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya) 0. Salah 1. Benar G. Tahun kemerdekaan RI ................... 0. Salah 1. Benar H. Nama Presiden RI ................... 0. Salah 1. Benar I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir ................ 0. Salah 1. Benar J. Menghitung terbalik (20 s.d. 1) .................... 0. Salah 1. Benar K. Perasaan hati (afeksi) A. Baik B. Labil C. Depresi D. Gelisah E. Cemas Total Skor : (diisi oleh petugas) Keterangan : Skor AMT 0-3 : Gangguan ingatan berat 4-7 : Gangguan ingatan sedang 8-10 : Normal
199
LAMPIRAN 3 MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE) Nama Responden : Nama pewawancara : Umur Responden : Tanggal Wawancara : Pendidikan : Jam Mulai : Nilai Nilai Maksimum Responden ORIENTASI Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) dan musim apa? 5 ( ) 5
Sekarang kita berada dimana? (nama rumah sakit dan instansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
( )
REGISTRASI 5
Pewawancara menyebutkan nama tiga buah benda, misalnya : Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang ke tiga nama benda tersebut Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi menyebutkan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat mengatakannya dengan benar : (bola, kursi, sepatu) Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : kali
( )
ATENSI DAN KALKULASI 5
Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain, ejalah kata dengan lima huruf, misalnya ‘ DUNIA’dari akhir ke awal / dari kanan ke kiri : ‘ AINUD’
( )
Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar
MENGINGAT 3
Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
( )
BAHASA 9
( )
a. Apakah nama benda ini? Perlihatlanlah pinsil dan arloji (2 nilai) b. Ulangi kalimat berikut:” JIKA TIDAK DAN ATAU TAPI”(1 nilai) c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini : peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkan di lantai. (3 nilai) d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut : “ PEJAMKAN MATA ANDA” (1 nilai) e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai) f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai)
Jumlah nilai :
(
)
Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah ini dengan huruf ‘ X’ SADAR SOMNOLEN STUPOR KOMA Jam selesai : Tempat wawancara : 200
Lembar Lampiran MMSE (BAHASA) : · BACALAH DAN LAKSANAKANLAH PERINTAH BERIKUT : “ PEJAMKAN MATA ANDA!” · TULISLAH SEBUAH KALIMAT ! …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………….. · TIRULAH GAMBAR INI !
201
LAMPIRAN 4 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS) Pertanyaan Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda? Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda? Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Apakah anda sering merasa bosan? Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak dapat keluar dari pikiran anda? Apakah anda merasa mempunyaio semangat yang baik setiap saat? Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda? Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian hidup anda? Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? Apakah anda merasa sering berada di rumah dari pada pergi ke luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru? Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda? Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang? Apakah menurut anda hidup anda sekarang menyenangkan? Apakah anda sering merasa sedih? Apakah anda merasa saat ini tidak berharga? Apakah anda sangat mengkhawatirkan masalalu anda? Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan? Apakah sulit bagi anda untuk memulai suatu hal yang baru? Apakah anda merasa penuh semangat? Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak punya harapan? Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik daripada anda? Apakah anda sering merasa sedih dengan hal-hal kecil? Apakah anda sering merasa ingin menangis? Apakah anda bermasalah dalam berkonsentrasi? Apakah anda merasa senang ketika bangun dipagi hari? Apakah anda lebih memilih tidak mengikuti peretmuan-pertemuan social/ bermasyarakat? Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? Apakah pikiran anda secerah biasanya?
Jawaban YA YA
TIDAK TIDAK
YA YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA
TIDAK TIDAK
YA YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA
TIDAK TIDAK
YA YA YA YA YA YA YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA YA YA YA
TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK
YA YA
TIDAK TIDAK
Skor : hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal · Setiap jawaban yang bercetak tebal mempunyai nilai 1 · Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi · Skor 19 atau lebih menunjukkan depresi
202
SINDROM DELIRIUM AKUT PENGERTIAN Sindrom delirium akut (acute confusional statel ACS) adalah sindrom mental organic yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi. DIAGNOSA · Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IVTR) meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, akibat gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obat/ zat. · Harus dicari faktor pencetus dan faktor risikonya - Pencetus yang sering : gangguan metabolic (hipoksia, hiperkarbia, hipo atau hiperglikemia, azotemia), infeksi (sepsis, pneumonia, infeksi saluran kemih), penurunan cardiac output (dehidrasi, kehilangan darah akut, infark miokard akut, gagal jantung kongestif), strok (korteks kecil), obat-obatan (terutama antikolinergik), intoksikasi (alcohol,dll), hipo atau hipertermia, lesi sistemsaraf pusat, psikosis akut, pemindahan ke lingkungan yang baru/tidak familiar, impaksi fekal, dan retensi urin - Faktor risiko : riwayat gangguan kognitif, berusia lebih dari 80 tahun, mengalami fraktur saat masuk perawatan, infeksi yang simtomatik, jenis kelamin pria, mendapat obat antipsikotik atau analgesic narkotik, penggunaan pengikat, malnutrisi, penambahan 3 atau lebih obat, dan penggunaan kateter urin. DIAGNOSIS BANDING Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/ pencetus : · Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologis fokal, adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi · Darah perifer lengkap · Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah · Analisis gas darah · Urin lengkap dan kultur resistensi urin · Foto toraks · EKG
203
TERAPI · Berikan oksigen, pasang infuse dan monitor · Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus · Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik · Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin · Awasi kemungkinan imobilisasi · Hindari sebisa mingkin pengikat tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang diperlikan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepine dan monitor status neuroligisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik antipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat anti psikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya · Kaji status hidrasi secara berkala · Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapat jam dan kalender yang besar dan jika memungkunkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah memungkinkan pakai alat bantu dengar atau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sesering mungkin dengan keluarga dan tenaga kesehatan, evaluais strategi orientasi realitas; beritahu pasien bahwa dirinya sedang binggung dan disorientasi namun kondisi tersebut dapat membaik. KOMPLIKASI Fraktur, hipotensi sampai renjatan, thrombosis vena dalam, emboli paru, sepsis PROGNOSIS Dubia WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit dalam dan Konsultan Geriatri UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT Divisi Di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi ACS, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri, Instalasi gizi, Instalasi Farmasi, Bidang keperawatan, Departemen Neurologi.
204
INSTABILITAS DAN JATUH PENGERTIAN Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks system saraf dan musculoskeletal yang dikenal sebagai system control postural. Jatuh terjadi manakala system control postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bias mencetuskan sindrom delirium akut) DIAGNOSIS Subjektif: terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo, rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri; atau terdapat riwayat jatuh Objektif: terdapat faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor instrinsik terdiri atas faktor local dan faktor sistemik. Faktor instrinsik local: osteoarthritis genu/ vertebra lumbal, plantar fasciitis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulan, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal. Faktor instrinsik sistemik: penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan TIA/ transient ischemic attact), diabetes mellitus, dan atau hipertensi (terutama jika tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom Parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta gangguan metabolic seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik/ lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak sesuai, kain/ pakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu ruangan yang kurang teran, lantai yang licin, basah dan tidak rata, furniture yang terlalu rendah dan tinggi, tangga yang taka man, kamar mandi dengan bak mandi/ closet terlalu rendah atau tinggi dan tidak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang mmbuat seseorang terantuk. PEMERIKSAAN PENUNJANG Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebab/ pencetus : · Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi deficit neurologi fokal, adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi · Darah perifer lengkap · Elektrolit (terutama natrium kalium), ureum, creatinin, dan glukosa darah · Analisa gas darah · Urin lengkap dan kultur resistensi urin 205
· · · ·
Hemostase darah dan agregasi thrombosis Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi) EKG Identifikasi faktor demosili (lingkungan tempat tinggal)
Tabel 1. Penyebab Jatuh Penyebab Jatuh Kecelakaan Sinkop Drop attack Dizziness dan atau vertigo Hipotensi Ortostatik Obat-obatan Proses penyakit
Idiopatik
Keterangan
Kecelakaan murni (terantuk, terpleset, dll) Interaksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan Hilangnya kesadaran mendadak Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran Penyakit vestibular, penyakit system saraf pusat Hipovolemia atau kardiak output yang rendah, disfungsi otonom, gangguan aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat-obatan, hipotensi postprandial Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedative, antipsikotik, hipoglikemia,alcohol Berbagai penyakit akut Kardiovascular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus carotid Neurologis: TIA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbal atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), lesi system saraf pusat (tumor, hematom subdural) Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi
Table 2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuh Evaluasi Keterangan Anamnesis Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikomsumsi Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh? Lingkungan sekitar jatuh Gejala yang terkait
Hilangnya kesadaran
Terutama obat antihipertensi dan psikotropika Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh?, Apakah kejadian jatuh tersebut sama sekali tak terduga?, Apakah pasien terpeleset atau terantuk? tempat Waktu dan tempat jatuh; saksi; kaitannya dengan perubahan postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; palpitasi, nyeri dada, sesak; gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia); aura; inkontinensia urin atau alvi
Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya kehilangan kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi? 206
Pemeriksaan Fisik: Tanda vital Kulit Mata Kardiovascular Ekstremitas
Neurologis
Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi, dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri Turgor, trauma, pusat Visus Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis Penyakit sendi degenerative, lingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah pediatric (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/ kebesaran, rusak) Status mental, tanda fokal. Otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, reflex, fungsi saraf cranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal: tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)
Table 3. Penilaian klinis dan Tatalaksana yang direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang Berisiko Jatuh Penilaian dan Faktor Risiko Tatalaksana Lingkungan saat jatuh sebelumnya Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi kemungkinan jatuh berulang Konsumsi obat-obatan Review dan kurangi konsumsi obat-obatan - Obat-obatan berisiko tinggi (Benzodiazepin, obat tidur lain, neuroleptik, antidepresan, antikonvulsi, atau antiaritmia kelas IA) - Konsumsi 4 macam obat atau lebih Penglihatan Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari - Visus <20/60 pemakaian kacamata multifocal saat berjalan; - Penurunan persepsi kedalaman (depth rujuk ke dokter spesialis mata perception) - Penurunan sensitivitas terhadap kontras - katarak Tekanan darah postural (setelah 5 menit Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika dalam posisi berbaring/ supine, segera setelah memungkinkan; review dan kurangi obatberdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan obatan; modifikasi dari restriksi daram; hidrasi sistolik turun 20 mmHg (atau 20 %), yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan, menit berdiri atau latihan doksofleksi); stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di atas gagal Keseimbangan dan gaya berjalan Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika - laporan pasien atau observasi adanya memungkinkan; kurangi obat-obatan yang ketidakstabilan mengganggu keseimbangan; rujuk ke - gangguan pada penilaian singkat (uji get up rehabilitasi medic untuk alat bantu dan latihan ang go atau performance-oriented keseimbangan dan gaya berjalan 207
assessment of mobility) Pemeriksaan neurologis - gangguan proprioseptif - gangguan kognitif - penurunan kekuatan otot
Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak rendah, dan bersol tipis); kurangi obatobatan yang mengenai deficit kognitif; kurangi faktor mengganggu fungsi kognitif; kewaspadaan pendamping resiko lingkungan; rujuk ke RM untuk latihan berjalan, keseimbangan dan kekuatan Pemeriksaan musculoskeletal : Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika Pemeriksaan tungkai (sendi dan gerakan sendi) memungkinkan; rujuk ke RM untuk latihan dan pemeriksan kaki kekuaran, lingkup gerak sendi, gaya berjalan, dan keseimbangan serta untuk alat bantu; gunakan alas kaki yang sesuai; rujuk ke pediatric Pemeriksaan kardiovaskular Rujuk ke konsultan kardiologi; pemijatan sinus - sinkop karotis (pada kasus sinkop) - aritmia (jika telah diketahui adanya penyakit kardiovaskular, EKG abnormal, dan sinkop) Evaluasi terhadap “ bahaya”di rumah setelah Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan pulang dari rumah sakit lampu malam hari, bathnast yang tidak licin, dan pegangan tangga; intervensi lain yang diperlukan TERAPI · Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah identifikasi faktor risiko instrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguat otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang licin; dan sebagainya · Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguat otot, fleksibilitas sendi, dan keseimbangan) latihan Thai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh berikutnya · Perubahan lingkungan sangat penting dilakukan untuk mencegah jatuhnya berulang karena lungkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk perbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari
208
KOMPLIKASI Fraktur, memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasi PROGNOSIS Dubia WEWENANG Dokter Spesialis Ilmu penyakit dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik
209
GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA PENGERTIAN Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapat suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment (MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian akan berkembang menjadi demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain. Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi “ sindrom predemensia”(kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia ringan), yang pada berbagai studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer) yang simtomatik. Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pada keadaan penurunan fungsi kognitif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vascular dan aterosklerosis. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan social secara bermakna. Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer, munculnya gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vascular merupakan demensia yang terjadi berhubungan dengan serangan strok (biasanya terjadi 3 bulan pasca strok), munculnya gejala biasanya bertahap sesuai serangan strok yang mendahului (step ladder). Pada satu p[asien pasca strok bisa terdapat dua jenis ini (tipe campuran). Pada kedua tipe jenis ini lazim terdapat faktor resiko seperti: hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan faktor resiko ateroskerosis lain. Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptom of dementia (BPSD) yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian. Gejala BPSD dapat berupa depresi, wandering/pacing, pertanyaan berulang atau mannerism, kecemasan, atau agresivitas. DIAGNOSIS Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI
Mild Cognitive Impairment (MCI) · · · · ·
Keluhan memori yang diperkuat oleh informan Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan Fungsi kognitif umum masih baik Aktivitas sehari-hari masih baik Tidak demensia
210
Vascular Cognitive Impairment (VCI) · · · · ·
Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fungsi eksekutif Tidak memenuhi kriteria demensia Mempunyai penyebab vascular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infark jaringan otak Bukti lain adanya ateroskerosis Hachinski Ischemic Score (HIS) yang tinggi
Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV) A. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut 1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari) 2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut a. Afasia (gangguan berbahasa) b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih normal) c. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih normal) d. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganissasi, berpikir runut, berpikir abstrak) B. Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.
DIAGNOSIS BANDING Acute confusional state, depresi, penyakit Parkinson Catatan: demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/atau Penyakit Parkinson PEMERIKSAAN PENUNJANG · Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental state Examination (MMSE), the Global Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR) Nilai MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus mempertimbangkan hal-hal tersebut dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan MMSE. · Fungsi tiroid, hati, dan ginjal · Kadar vitamin B12 · Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat) · CT scan, MRI
Tabel 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’ s 211
Disease and Related Disorder Association (ADRDA) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup: · Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the mini-mental test, Blessed Dementia scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis · Defisit pada dua atau lebih area kognitif · Tidak ada gangguan kesadaran · Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun · Tidak ada kelainan sitemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif Diagnosis probable penyakit Alzhemeir didukung oleh: · Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia · Gangguan aktivitas sehari-hari dan perubahan pola perilaku · Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi · Hasil laboratorium yang menunjukkan · Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar · Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave · Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer: · Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau) · Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal katastorik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan · Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder) · Kejang pada penyakit yang lanjut · Pemeriksaan CT normal untuk usianya Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah: · Onset yang mendadak dan apoplectic. · Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapangan pandang, dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit, dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit Diagnosis possible penyakit Alzheimer adalah: · Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, adanya variasi pada awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit · Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukanmerupakan penyebab demensia Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: Kriteria klinis untuk probableuntuk penyakit Alzheimer 7.· Klasifikasi penyakit Alzheimer tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran mungkinyang merupakan subtype penyakit Alzheimer, seperti: · khusus Bukti yang histopatologi didapat dari biopsy atau autopsi · Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama ·
Awitan sebelum umur 65 tahun
·
Adanya trisomi-21
212
Tabel 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut Faktor Risiko Penatalaksanaan Keterangan Hipertensi
Dislipidemia
· · · · · ·
Kurangi asupan garam Obat hipertensi awal dengan diuretic, dapat dikombinasi dengan ACEI, ARB, Penyekat B atau antagonis kalsium Target TDS< 130mmHg,TDD <80mmHg Kurangi asupan makanan berlemak Obat antidislipidemia Target: trigliserida <150 mg/dl, HDL>40 mg/dl, LDL<100mg/dl
·
Rekomendasi JNC VII dan penelitian ALLHATT
·
Konsensus pengendalian dislipidemia yang dikeluarkan oleh PERKENI dan NCEP-ATP III Beberapa penulis melaporkan statin dapat menurunkan fungsi kognitif Konsensus penatalaksanaan DM tipe 2 oleh PERKENI Penggunaan insulin sering menimbulkan efek hipoglokemik pada usia lanjut yang dapat bermanifestasi gangguan kognitif
· Diabetes Melitus
· · ·
Obesitas Gagal jantung, fibrilasi atrium, hiperkoagulasi,
· · · · ·
5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, perencanaan makanan, latihan fisik, obat hipoglikemik oral, dan insulin Perhatian pada pemilihan OHO dan insulin disesuaikan dengan penurunan fungsi organ Target: GDP< 120mg/dl, pada usia lanjut GDP< 160 mg/dl masih diterima
· ·
Penatalaksanaan sejak usia dini Target IMT<25kg/m2 Identifikasi etiologi yang bisa dikoreksi Terapi farmakologis dan nonfarmakoilogis yang sesuai untuk mengendalikan dan mengatasinya Rujuk ke konsultan yang sesuai pada keadaan khusus
213
Tabel 5. Obat-obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan Memperbaiki Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan
TERAPI · Libatkan seorang usia lanjut pada kehidupan sosial yang lebih intensif serta partisipasi pada aktivitas yang mennstimulus fungsi kognitif dan menstimulasi mental maupun emosional yang menurunkan faktor resiko Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan kognitif · Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi · Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orentasi realitas, rehabilitas, dukungan keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien, reminiscene, terapi music, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal · Pemberian obat pada BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pembatasan waktu. Tentukan target yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala, psikoterapi dan konseling diberikan bersama dengan obat (risperidon, sertralin, atau haloperidol, sesuai gejala yang muncul) · Tatalaksana pada demensia baerat terutama modalitas non-farmakologis · Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif
214
Pasien usia lanjut dengan keluhan memori subjektif/ dilaporkan keluarga
Faktor Resiko: Anamnesis : L ama keluhan Awitan Progresivitas Aktivitas sehari-hari Riwayat keluarga Penggunaan obatan dan alcohol · Riwayat CABG · · · · · ·
· · · · · ·
MMSE <24
Hipertensi DM Dislipidemia Merokok Obesitas PPOK
· Gagal jantung · Hiperkoagulasi · Hiperagregasi trombosit · Neurosifilis & HIV
Modifikasi/terapi bila ada
· K adar obat dalam darah
Evaluasi fung si kog nitif tiap 6 bulan
Inhibitor kolinestrase ( masih kontroversi)
Skor MMSE tetap/turun
Fungsi tiroid Fungsi hati Fungsi ginjal Kadar vitamin B12
MMSE >28
Edukasi
R ujuk SpKJ/Konsultan g eriatri
· · · ·
Terapi sesuai penyebab bila abnormal
MMSE 24-28
Edukasi
L aboratorium:
Skor MMSE meningkat Evaluasi 6 bulan
Kelelola faktor resiko sesegera & seoptimal mungkin
Optimalkan pengelolaan faktor resiko
L anjutkan pengelolaan faktor resiko: · Terapi hipertensi · Injeksi/obat hipoglikemik · Obat penurun kadar lemak · Antikoagulan · Olahraga · Suplemen asam folat dan vit.B12 · Serat larut air · Asupan kalori yang baik
Gambar 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi Kognitif KOMPLIKASI Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi PROGNOSIS Tergantung stadium diagnosis WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Psikiater-Geriatri, Neurolog-Geriatri
215
UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Neurologi UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Psikiatri-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Neurologi, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Perawat Gerontik
216
IMOBILISASI PENGERTIAN Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi, keterampilan motorik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan institusional. Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomic akibat perubahan fungsi fisiologis yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan deconditioning. FAKTOR RESIKO Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada pasien usia lanjut. Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut Gangguan musculoskeletal
Artritis Osteoporosis Fraktur Problem kaki Lain-lain
Gangguan neurologis
Penyakit kardiovaskular
Penyakit paru Faktor sensorik Penyebab lingkungan Nyeri akut atau kronik Lain-lain
strok Penyakit Parkinson Lain-lain Gagal jantung kongestif Penyakit jantung koroner Penyakit vascular perifer Penyakit Paru Obstruksi kronis Gangguan penglihatan Takut Imobilisasi yang dipaksakan Alat bantu mobilisasi yang tidak adekuat dekondisi Malnutrisi Penyakit sistemik berat Depresi Efek samping obat Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak bergerak
217
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pengkajian geriatric paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami imobilitas meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. Tabel 2. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi Evaluasi Keterangan Anamnesis - riwayat dan lama imobilisasi - kondisi medis yang merupakan faktor resiko dan Penyebab Imobilisasi -kondisi premorbid - nyeri - obat-obatan yang dikonsumsi -dukungan pramuwerdha -interaksi sosial -faktor psikologis -faktor lingkungan Pemeriksaan fisik status kardiopulmonal Kulit Musculoskeletal: kekuatan, tonus, lingkup gerak, lesi, Deformitas Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik Gastrointestinal Genitourinarius Status fungsional AKS Barthel Status mental Pemeriksaan GDS Status kognitif Pemeriksaan MMSE, AMT Tingkat mobilitas mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di Kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan, nyeri saat bergerak Pemeriksaan penunjang penilaian berat ringan kondisi medis penyebab imobilisasi TERAPI Tatalaksana Umum · Kerjasama tim medis interdisiiplin ilmu dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha. · Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien · Dilakukan pengkajian geriatric paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi 218
· · · ·
· ·
Temu kenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada kasus imobilisasi serta penyakit/kondisi peneyrta lainnya Evaluasi seluruh obat yang dikonsumsi, obat yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan jika mungkin Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat serta vitamin dan mineral Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi, latihan penguatan otot, latihan koordinasi/keseimbangan, transfer dengan bantuan dan ambulasi terbatas. Bila diperlukan sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi termasuk penggunaan komod atau toilet
Tatalaksana Khusus · Tatalaksana faktor resiko · Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi · Pada keadaan khusus, konsultasikan kondisi medic kepada dokter spesialis yang kompeten · Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau riwayat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lanjut · Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilisasi yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen. KOMPLIKASI Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik. PROGNOSIS Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tabel 3. Efek imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ Organ/Sistem Perubahan yang Terjadi akibat Imobilisasi Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan masa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi Kardiopulmonal Peningkatan denyut nadi istirahat,penurunan perfusi miokard intoleran dan Pembuluh terhadap ortostatik, penurunan pengambilan oksigen maksimal, penurunan darah volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan statis vena, agregasi trombosit dan hiperkoagulasi Integument peningkatan ulkus dekubitus dan maserasi kulit Metabolik dan keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis, dan deplesi Endokrin natrium, resistensi insulin, hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolism vitamin/mineral Neurologi dan depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan psikiatri keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan rekrutmen neuromuscular yang tidak efesien 219
Traktus gastrointestinal dan Urinarius
inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esophagus, aspirasi saluran nafas, dan peningkatan resiko perdarahan gastrointestinal
WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam,Divisi Psikiatrik-Geriatri Departemen Psikiatri, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang Keperawatan
220
INKONTINENSIA URIN PENGERTIAN · Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatric dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial. · Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat diobati bila masalah yang mendasari diatasi seperti infeksi saluran kencing, gagguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan bebagai modalitas terapi. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2 masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkonteninsia urin yakni masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih. · Untuk inkontinensia urin akut, perlu diobati penyakit yang mendasari, seperti infeksi saluran kemih, obat-obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya pada inkontinensia urtin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensianya juga akan teratasi. · Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe urgensi atau overactive bladder, inkontenensia tipe stress, dan inkontinensia urin tipe overflow ¾ Inkontinensia tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih, keinginan berkemih yang tidak tertahankan, sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendalikan yang didahului oelh keinginan berkemih yang tidak tertahankan ¾ Inkontinensia urin tipe stress dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan abdomen meningkat saat bersin, batuk, dan tertawa. ¾ Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu>100cc. PEMERIKSAAN PENUNJANG Urin lengkap, dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic study. TERAPI Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pada penyebab inkontinensia urin. · Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar panggul, baldder training, schedule toileting, dan obat yang bersifat antimuskarinik seperti tolterodin atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilh seyogyanya yang bersifat uroselektif. · Untuk inkontinensia tipe stress, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa. · Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu diatasi sumbatannya. 221
KOMPLIKASI Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpleset oleh urin yang tercecer. PROGNOSIS · Inkontinensia urin tipe stress biasanya dapatr diatasi dengan latihan otot dasar panggul,prognosis cukup baik · Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obatan golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik · Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya 9misalnya dengan mengatasi sumbatan/retensi urin) WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik , Dokter Spesialis Urologi, Dokter Spesialis Uroginekologi UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi UNIT TERKAIT Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Urologi, Bidang Keperawatan, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi.
222
DEHIDRASI PENGERTIAN Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium ( dehidrasi hipertonik ), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama ( dehidrasi isotonic ), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air ( dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum ( lebih dari 145 mmol/liter) dan peningkatan osmolaritas efektif serum ( lebih dari 285 mosmol/ liter). Dehidrasi isotonic ditandai dengan normalnya kadar natrium serum ( 135-145 mmol/liter) dan osmolaritas efektif serum ( kurang dari 270 -285mosmol/ Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum ( kurang dari 135 mmol/ Liter) dan osmolaritas efektif serum ( kurang dari 270 mosmol/ Liter). Penting diketahui perubahan fisiologis pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatic seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmilaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan respon ginjal terhadap vasopressin. DIAGNOSA Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut tak jelas, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala klasik dehidrasi seperti haus, lidah kering, penurunan turgor, dan mata cekung sering tidak jelas.gejala klinis yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Berdasarkan studi di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, bila ditemukan aksila lembab/ basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, dieresis berkurang, berat jenis (BJ) urin lebih dari atau sama dengan 1,019 ( tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio Blood Urea Nitrogen/ kreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 ( tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna ) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 81%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat –obat sitostatik, tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik). PEMERIKSAAN PENUNJANG · Kadar natrium plasma darah · Osmolaritas serum · Ureum dan kreatinin darah · BJ urin · Tekana vena sentral ( central venous pressure)
223
TERAPI Lakukan pengukuran keseimbangan (balans) yang masuk dan keluar secara berkala sesuai kebutuhan . Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/24 jam (30ml/kg berat badan /24 jam )untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian deficit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda –tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi. · Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau air dengan kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk dan anggur. · Dehidrasi isotonic: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang menganduung sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonic yang ada di pasaran. · Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi. Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum peroral, selain pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral, jika cairan tubuh yang hilang terutama air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus: Deficit cairan (liter)= Cairan badan total (CBT) yang diinginkan –CBT saat ini CBT yang diinginkan = CBT saat ini ( pria ) = 50% x berat badan (kg) CBT saat ini ( peremepuan) = 45% x berat badan (kg) Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonic dapat diberikan cairan Na Cl 0,9% atau Dekstrosa 5% dengan kecepatan 25-30% dari deficit cairan total perhari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik. KOMPLIKASI Gagal ginjal , sindrom delirium akut PROGNOSIS Dubia ad bonam WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan geriatric UNIT YANG MENANGANI Divisi Geriatri department Ilmu penyakit Dalam UNIT TERKAIT Divisi di Departemen Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan etiologi dehidrasi , bidang keperawatan
224
KONSTIPASI DEFINISI Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar (BAB), biasanya kurang dari 3 kali seminggu dengan feses yang kecil – kecil dank eras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakiit saat BAB. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rekti pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon, rectum, atau keduanya yang tampak pada foto polos abdomen. DIAGNOSIS Konstipasi menurut Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3bulan: a. Konsistensi feses yang keras b. Mengejan dengan keras saat BAB c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. Konstipasi menurut international workshop on constipation dapat dilihat pada tabel berikut: TIPE KRITERIA 1. Konstipasi fungsional ( akibat waktu Dua akibat lebih dari keluhan ini ada paling perjalanan lambat dari feses) sedikit dalam 12 bulan · Mengejan keras 25% dari BAB · Fese yang keras 25% dari BAB · Rasa tidak tuntas 25% dari BAB · BAB kurang dari 2 kali perminggu 2. Penundaan pada muara rectum ( terdapat disfungsi ano-rektal)
· · ·
Hambatan pada anus lebih dari 25%BAB Waktu untuk BAB lebih lama Perlu bantuan jari –jari untuk mengeluarkan feses
PEMERIKASAAN PENUNJANG · Darah tepi · Glukosa dan elektrolit ( terutama kalium dan kalsium) darah · Fungsi tiroid · CEA · Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan ) · Foto polos abdomen harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya untuk mendeteksi akut untuk mendeteksi adanya impaksi fese yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon. Dapat dianjurkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. · Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat –pusat pengelolaan konstipasi tertentu. 225
ü Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologi ( waktu singgah di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon –rectum. Bila ada penurunan berat badan ,anemia, keluarnya darah dari rectum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi. ü Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis seteah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rectum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh. ü Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal melalui dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rectum.uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rectum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasata tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung. ü Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rectum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. ü Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non- spesifik. TERAPI · Aktivitas dan olahraga teratur · Asupan cairan dan serat (25-30 gram/hari ) yang cukup · Latihan usus besar; penderita menganjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro- kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda –tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini. · Jika modifikasi perilaku kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologi, dan biasanya dipakai obat –obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar: a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain:\ - Cereal - Methyl selulose - Psilium b. Melunakkan dan melicinkan feces, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.contohnya antara lain : - Minyak kastor - Golongan docusate
226
c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain: - Sorbitol - Lactulose - Glyserin d. Merangsang peristaltic, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus mesentrikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain: - Bisakodil - Fenolpatelin · Bila dijumapai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara –cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus , tidak dilakukan tindakan pembedahan. KOMPLIKASI Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi sterkoraseus, perforasi usus, retensio urin, hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rectum. PROGNOSIS Dubia Ad bonam WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Konsultan Geriatri, dan Konsultan Gastro Enterologi UNIT YANG MENANGANI Divisi / Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT Departemen Rehabilitasi Medik. Bidang Keperawatan, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi
227
PNEUMONIA PADA GERIATRI PENGERTIAN Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagia jenis bakteri (Gram-positif maupun Gram- negatif, tipikal maupun atipikal ), virus, jamur dan parasit. Terdapat beberapa jenis pneumonia sesuai dengan tempat didapatnya infeksi: pneumonia komunitas ( community-acquired pneumonia, CAP), pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospitalacquired pneumonia, HAP), dan pneumonia yang didapat di ICU ( ventilator- associated pneumonia, VAP). DIAGNOSIS Infiltrate baru atau perubahan infiltrate progresif pad foto toraks, dengan disertai sekurang –kurangnya 1 gejala mayor atau 2 gejala minor berikut: Gejala mayor : 1. Batuk 2. Sputum produktif 3. Demam (Suhu >37,8 C) Gejala minor : 1. Sesak napas 2. Nyeri dada 3. Konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik 4. Jumlah leukosit >12.000/µL Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran ( delirium ), tidak mau makan, jatuh dan inkontinensia akut. DIAGNOSIS BANDING Emboli paru, gagal jantung, tuberculosis paru PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah lengkap dengan hitung jenis, ureum dan kreatinin, analisis gas darah dan saturasi oksigen, c-reactive protein, albumin, foto toraks, EKG, kultur sputum mikroorganisme dan resistensi. TERAPI · Suportif: oksigen, cairan, nutrisi, mukolitik- ekspektoran, bronkodilator. · Farmakologis: - Antibiotika emperik segera diberikan sejak awal sesuai dengan jenis pneumonia yang terjadi (CAP, HAP, atau VAP). Pada CAP dapat dinberikan antibiotika golongan blaktam/ anti b-laktamase dan sefalosporin generasi II atau III yang dikombinasi dengan makrolid atau doksisiklin, atau fluorokuinolon saluran napas ( levofloksain, gatifloksasin, moksifloksasin) sebagai obat tunggal. Pada HAP atau VAP dipilih antibiotic yang bekerja terhadap kuman Pseudomonas dan kuman nosokomial lain, seperti sefalosporin generasi III anti-pseudomonas, sefalosporin generasi IV, piperacilin –tazobactam, kuinolon anti – pseudomonas (ciproploksasin), atau aminoglikosida. - Antibiotika spesifik diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan biakan kuman dan uji 228
resistensi. - Pemilihan antibiotika juga harus memperlihatkan penurunan fungsi organ yang mungkin sudah terjadi pada usia lanjut. · Program rehabilitasi medic (fisioterapi dada dan program lain yang terkait). KOMPLIKASI Empiema , efusi pleura, gagal nafas, sepsis sampai syok sepsis PROGNOSIS Dubia WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Geriatri UNIT YANG MENANGANI Divisi geriatri Ilmu Penyakit dalam UNIT TERKAIT Divisi Pulmonologi departemen Ilmu Penyakit dalam, Departemen Rehabilitasi Medik, Bidang keperawatan , Departemen Gigi-Mulut
229
INFEKSI SALURAN KEMIH PENGERTIAN Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang melibatkan struktur saluran kemih, yaitu dari epitel glomerulus tempat mulai dibentuk urin sampai dengan muara urin di meatus urethrae externus.secara mikrobiologi definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah terdapatnya mikroorganisme pada struktur saluran kemih dan baru dapat dipastikan setelah didapatkan bukti adanya koloni mikroorganisme dalam pemeriksaan kultur urin. ISK pada usia lanjut, seperti inkontinensia urin dan hipertrofi prostat yang memerlukan pemakaian kateter menetap, imobilisasi, dan penurunan fungsi imunitas baik non- spesifik maupun spesifik. DIAGNOSIS · Meningkatkan kecurigaan adanya ISK bila didapatkan kondisi –kondisi akut pada usia lanjut tanpa memperhatikan gejala khas dari ISK atau mengenali faktor –faktor risiko ISK pada usia lanjut adalah merupakan pendekatan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk memeriksakan sampel urin untuk dialisis dan dibiak serta melakukan pemeriksaan penunjang lain guna mengetahui adanya kalianan anatomic maupun structural. · Kriteria diagnosis bakteriuria berdasarkan gambaran klinis dan cara pengambilan sampel urin; 102 Colony Forming Unit (CFU) coliform/ml urin atau > 105 CFU non-coliform/ml urin, pada wanita dengan gejala ISK 103 CFU bakteri/ml urin, pada pria dengan gejala ISK 105 CFU bakteri/ml urin (2 kali pemeriksaan dengan jarak 1 minggu), pada wanita dan pria tanpa gejala ISK 102 CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan kateter - Berapapun jumlah CFU bakteri/ml urin, pada pasien dengan gejala ISK dengan pengambilan sampel urin dari kateterisasi suprapubik. PEMERIKSAAN FISIK A. Laboratorium · Darah tepi lengkap · Urin lengkap · Biakan urin dengan tes resistensi kuman · Fungsi ginjal (ureum, kreatinin, bersihan kreatinin) · Gula darah B. Non laboratorium · BNO/IVP · USG ginjal TERAPI Non farmakologi · Banyak minum bila fungsi ginjal masih bagus · Menjaga kebersihan daerah genetalia bagian luar.
230
Farmakologi · Antibiotika sangat dianjurkan dan perlu segera diberikan pada ISK simtomatik, sesuai dengan tes resistensi kuman atau pola kuman yang ada atau secara emperis yang dapat mencakup echerechia coli dan gram negative lainnya. · Pada ISK asimtomatik antibiotika hanya diberikan pada pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi yang serius (seperti transplantasi ginjal atau pasien dengan granulositopenia ) dan pasien yang akan menjalani pembedahan . · Antibiotic oral direkomendasikan untuk ISK tak berkomplikasi dengan lama pemberian 7-10 hari pada perempuan dan 10-14 hari pada laki –laki. Antibiotika parenteral untuk ISK berkomplikasi dengan lama pemberian tidak kurang dari 14 hari. · Antibiotika golongan flurokuinolon masih digunakan sebagai pengobatan pilihan pertama. Kadang pengobatan kombinasi masih digunakan pada infeksi yang sulit dikendalikan , terutama infeksi karena enterococcocusi dan pseudomonas. Golongan lain yang biasa digunkaan adalah aminoglikosida, sefalosporin generasi ke –3 dan ampisilin. · Kebersihan pengobatan pada ISK simtomatik ditentukan oleh hilangnya gejala dan bukan hilangnya bakteri. · Evaluasi ulang dengan kecurigaan adanya kelaianan anatomi atau structural dapat mulai dipertimbangkan bila terjadi ISK berulang 2 kali dalam waktu 6 bulan. KOMPLIKASI Sepsis, gagal ginjal, pielonefritis akut, inkontinensia urin, ISK berulang. PROGNOSIS Baik bila tidak ada komplikasi WEWENANG Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT Departemen Rehabilitasi medic, Bidang Keperawatan, Urologi, Departemen Obsterti dan Ginekologi
231
ULKUS DEKUBITUS PENGERTIAN Ulkus dekubitus adalah lesi yang disebabkan oleh tekanan yang menimbulkan kerusakan jaringan di bawahnya. DIAGNOSIS Biasanya terdapat faktor –faktor risiko: imobilisasi, inkontinensia, fraktur, defisiensi nutrisi (terutama vitamin C dan albumin), kulit kering, peningkatan suhu tubuh, meningkatnya tekanan darah, usia lanjut. Stadium Klinis: · Stadium 1: respon inflamasi akut terbatas pada epidermis, tampak sebagai daerah eritema indurasi yang kulit masih utuh atau lecet. · Stadium 2: luka meluas ke dermis hingga lapisan subkutan tampak sebagai ulkus dangkal dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit, biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu. · Stadium 3: ulkus lebih dalam, menggaung, perbatasan dengan fascia dan otot –otot. · Stadium 4: perluasan ulkus menembus otot hingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang dan sendi. Luka tekan biasa terjadi di daerah tulang yang menonjol seperti sacrum dan kalkaneus karena posisi telentang, trokanter mayor dan maleolus karena posisi miring Sembilan derajat, dan tuberositas iscia karena posisi duduk. DIAGNOSIS BANDING Pada ulkus dekubitus stadium IV, bila luka tidak membaik, foto tulang terdapat kalianan, hitung lekosit >15.000/µL, atau LED 120 mm/jam kemungkinan 70% sudah ada osteomielitis yang mendasari . PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, kultur plus (MOR), kadar albumin serum, foto tulang di region yang dengan ulkus dekubitus dalam. TERAPI Umum · Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenali faktor –faktor risiko untu terjadinya dekubitus serta eliminasi faktor –faktor tersebut. · Perhatikan status nutrisi pada semua stadium ulkus dekubitus. Pemberian asam askorbat 500mg 2 kalisehari dapat mengurangi luas permukaan luka sebesar 84%. Asupan protein juga merupakan predictor untuk membaiknya luka dekubitus. · Antibiotic sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, sepsis, atau osteomielitis. Klindamisin dan gentamisin dapat berpenetrasi ke dalam jaringan di sekitar ulkus. Pemberian antibiotic spekturm luas untuk batang gram negative dan positif, anaerob, dan kokus gram positif dilakukan pada pasien sepsis karena ulkus dekubitus. · Debridement semua jaringan nekrotik harus dilakukan untuk membuang sumber bakteremia 232
·
·
·
·
·
pada posisi tersebut. Tempat tidur khusus: penggunaan kasur dekubitus yang berisis udara serta reposisi 4 kali sehari menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus dibandingkan penggunaan tempat tidur biasa dengan reposisi setiap 2 jam. Perawatan luka: tujuan perawatan luka adalah untuk mengurangi jumlah bakteri agar proses penyembuhan tidak terlambat. hal ini dapat dilakukan dengan debridement jaringan nekrotik secara pembedahan dengan menggunakan kompres kasa dengan Na Cl dua hingga tiga kali sehari. Antiseptic seperti povidin iodine, asam asetat, hydrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan dakin) bersifat sitotoksik terhadap fibroblast sehingga mengganggu proses penyembuhan. Antibiotik topical seperti silver sulfadiazine dan genamisin tidak menunjukkan sifat sitotoksik. Bia sangat dibutuhkan seperti pada luka dengan pus atau sangat bau, antiseptic dapat digunakan dalam waktu singkat dan segera dihentikan begitu luka bersih. Zat –zat inipembersih enzimatik seperti kolagenase, fibrinolisin, dan deoksiribonuklease serta streptokinase –sterptodornase bisa membantu untuk debridement jaringan nekrotik namun zat –zat ini juga akan merusak proses penyembuhan bila digunakan setelah luka bersih. Bila luka telah bersih, harus dipelihara suasana luka yang lembab untuk merangsang penyembuhan. Dari penelitian diketahui bahwa kompres yang tertutup rapat dapat membantu penyembuhan pada luka superficial tapi tidak pada luka yang dalam. Kompres ini harus dibiarkan selama beberapa hari untuk memfasilitasi migrasi epidermis (epitelisasi). Luka dalam yang bersih harus dikompres kasa steril yang dibasahi dengan larutan NaCl atau RL. Kasa lembab ini harus dijauhi dari jaringan kulit sekitar luka agar jaringan normal tidak teratasi. Tindakan medic berdasarkan derajat ulkus; a. Dekubitus derajat I: kulit yang kemerahan dibersihkan dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimasase 2-3 kali/hari. b. Dekubitus derajat II: perawatan luka memperhatikan syarat- syarat aseptic dan antiseptic. Dapat diberikan salep topical. Pergantian balut dan salep jangan terlalu sering karena dapat merusak pertumbuhan jaringan yang diharapkan. c. Dekubitus derjat III: usahakan luka selalu bersih dan eksudat dapat mengalir ke luar. Balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara keluar.balutan jangan terlalu tebal dan sebaiknya transparan sehingga udara dapat masuk dan penguapan berjalan baik. Dengan menjaga luka agar tetap basah akan mempermudah regenerasi sel –sel kulit. d. Semua langkah di ats tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan karena akan mengahalangi epitelisasi Penilaian tindak lanjut diulang minimal seminggu sekali. Evaluasi yang diperlukan adalah mengenai lokasi, stadium, ukuran, dan karakteristik lainnya yang perlu dicatat. Dalam waktu 2 hingga 4 minggu ulkus harus menunjukkan perbaikan. Berurangnya ukuran ulkus dalam waktu 2 minggu member gambaran akan terjadinya penyembuhan luka sempurna.
KOMPLIKASI Sepsis
233
PROGNOSIS Dubia ad bonam UNIT YANG MENANGANI Unit / Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi medik, Bedah orthopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskular UNIT TERKAIT Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin
234
MALNUTRISI PENGERTIAN Malnutrisi energy-protein adalah keadaan yang disebabkan ketidakseimbangan antara asupan kalori dan protein dengan kebutuhan tubuh. Pada orang usia lanjut, malnutrisi sulit dikenali karena terjadi berbagai perubahan fisiologis seiring peningkatan usia, termasuk perubahan akan kebutuhan zat gizi, serta adanya berbagai penyakit kronik. Malnutrisi yang terjadi pada usia lanjut serin dipengaruhi berbagai hal seperti keadaan gigi-geligi, gangguan menelan, masalah neuropsikologis (depresi, demensia), keganasan, dan imobilisasi. DIAGNOSIS Komponen penilaian status gizi pada usia lanjut mencakup: anamnesis, pemeriksaan fisik dan antropometrik, serta laboraturium. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat menentukan ada-tidaknya malnutrisi, namun setidaknya dapat menentukan apakah seorang lanjut usia berisiko atau diduga mengalami malnutrisi. · Anamnesis: Asupan gizi sehari-hari (food recall), penurunan berat badan, gangguan mengunyah, gangguan menelan, status fungsional (aktivitas hidup sehari-hari terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses makanan), penyakit kronis yang diderita (termasuk ada-tidaknya diare kronik), adanya depresi atau demensia, serta penggunaan obatobatan. · Pemeriksaan fisik: Higieni rongga mulut, status gigi-geligi, status neurologis (gangguan menelan), kulit yang kering/bersisik, rambut kemerahan, massa otot, edema tungkai. · Antropometrik: Lingkar lengan atas, lingkar betis, tebal lipatan kulit triseps, indeks massa tubuh. · Laboratorium: Hemoglobin, jumlah limfosit, albumin, prealbumin, kolesterol darah, kadar vitamin/mineral dalam darah. Saat ini tersedia beberapa instrument pengkajian status nutrisi pada usia lanjut yang mengobyektifkan paduan komponen tersebut di atas, seperti The Mini Nutritional Assessment (MNA, Nutrition Screening Index (NSI), atau Subjective Global Assessment (SGA). DIAGNOSIS BANDING PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah perifer lengkap dengan hitung jenis leukosit, serum albumin, prealbumin, kadar kolesterol, kadar vitamin/mineral, elektrolit, bioelectrical impendance analysis. TERAPI Evaluasi umum dan kebutuhn nutrisi · Evaluasi penyebab dan factor timbulnya malnutrisiyang pada usia lanjut umumnya merupakan kombinasi dari berbagai penyebab, mulai dari factor sosial-ekonomi (kemiskinan, pengetahuan rendah), neuropsikologis (adanya demensia, depresi), dan kondisi fisik-medik (gangguan fungsi organ pencernaan serta adanya penyakit-penyakit akut dan kronis). · Evaluasi status fungsional, terutama yang berhubungan dengan penyiapan dan proses makan. 235
·
Menentukan jumlah energi dan komposisi zat gizi yang akan diberikan. Jumlah kebutuhan energy dapat ditentukan dengan menghitung total energy expenditure (TEE). Selain jumlah kalori, kebutuhan cairan, protein/asam amino, serta mineral dan vitamin perlu juga ditentukan. Penentuan kebutuhan dan komposisi nutrisi dan cairan ini juga memerlukan evaluasi kondisi medik termasuk penurunan fungsi organ yang terjadi (adanya gagal jantung, penyakit ginjal kronik, hepatitis kronis dan sirosis hati, diabetes mellitus, keganasan, dan fungsi absorbsi saluran cerna).
Terapi/dukungan nutrisi · Secara umum, dukungan nutrisi pada usia lanjut yang mengalami malnutrisi dapat dilakukan melalui cara enteral atau parenteral. · Dukungan nutrisi enteral harus menjadi pilihan utama, mengingat hal ini merupakan cara yang fisiologis. Pemberian nutrisi secara enteral akan mempertahankan fungsi mencerna, absorbs, dan barier imunologis saluran cerna. Bila berbagai factor risiko dan kondisi medic dapat diatasi, umumnya pasien diharpakan dapat makan secara normal. Pada usia lanjut yang dapat makan secara normal, jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi setiap hari penting untuk dipantau karena mereka cendrung untuk mengurangi makananya. Pada beberapa keadaan, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa nasogastrik, pipa nasoduodenum, pipa nasoileum, maupun dengan gastrosnomi. Dukungan nutrisi enteral semacam ini umumnya berupa makanan cair, sehingga overload cairan harus menjadi pertimbangan (misalnya dengan mengentalkan). · Dukungan nutrisi parenteral dipilih bila secara enteral nutrisi tidak mngkin dilakukan. Umumnya di gunakan pada pasien usia lanjut di rumah sakit yang dalam keadaan akut atau sakit berat (critically ill), dimana fungsi saluran cerna terganggu atau terdapat kontraindikasi pemberian nutrisi enteral (seperti adanya pendarahan saluran cerna, pancreatitis, atau ileus). Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa dukungan nutrisi parenteral dilakukan untuk jangka panjang dan dilakukan di rumah atau fasilitas perawatan jangka panjang lain. Saat ini telah banyak tersedia berbagai jenis dan komposisi zat nutrisi (kalori, asam amino, lipid, mineral/vitamin) dalam bentuk cairan parenteral. Penggunaan dukungan nutrisi parenteral memerlukan tekhnik khusus dan pemantauan yang ketat. Terapi Lain · Pada pasien-pasien keganasan atau keadaan lain dimana terdapat anoreksia, dapat diberikan peningkat nafsu makan (appetite stimulant) seperti megesterol asetat KOMPLIKASI Status imunitas menurun, pemulihan dari penyakit menjadi lambat. PROGNOSIS Dubia UNIT YANG MENANGANI Unit/Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Gizi Klinik. UNIT TERKAIT Instalasi gizi, bidang keperawatan 236
2.9
PSIKOSOMATIK
237
DEPRESI PENGERTIAN Depresi merupakan gangguan afektif yang ditandai adanya mood depresi (sedih), hilang minat, dan mudah lelah. Pada umumnya pasien dating ke klinik penyakit dalam dengan keluhan somatic. DIAGNOSIS Gejala A · Perasaan sedih (depresif), tidak bisa menikmati hidup · Kurang atau tidak ada perhatian pada lingkungan · Mudah lelah Gejala B · Konsentrasi dan perhatian kurang · Harga diri dan kepercayaan diri kurang · Perasaan bersalah/ tidak berguna · Pandangan masa depan suram/ pesimis · Tidur terganggu · Nafsu makan kurang/ bertambah Diagnosis ditegakkan apabila ada gejala-gejala tersebut dengan atau tanpa gejala somatic. Derajat depresi: 1. Ringan : 2 gejala A dan 2 gejala B 2. Sedang : 2 gejala A dan 3 gejala B 3. Berat : 3 gejala A dan 4 gejala B DIAGNOSIS BANDING Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansietas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi) PEMERIKSAAN PENUNJANG · Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap · AGD, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi · Foto toraks bila perlu · EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu · Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu TERAPI Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi Farmakologis : · Antidepresan : maprotilin, amineptin; moklobemid; dan obat golongan SSRI seperti sertralin, paroksetin dan lain-lain · Simptomatik, sesuai indikasi
238
KOMPLIKASI Kurang / tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam · RS non pendidikan REFERENSI 1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 193-4. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
239
DISPEPSI FUNGSIONAL PENGERTIAN Dispepsi funsional adalah perasaan dyspepsia tanpa disertai adanya kelainan organik. DIAGNOSIS · Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati · Perih, mual, kembung, cepat kenyang, muntah, sering bersendawa, regurgitasi · Keluhan dirasakan terutama berhubungan / dicetuskan dengan adanya stress · Berlangsung lama dan sering kambuh · Sering disertai gejala-gejala ansietas dan depresi · Pemerksaan endoskopi normal DIAGNOSIS BANDING · Dispepsia oleh sebab oraganik misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif dsb · Gangguan pada system hepato-bilier · Dispepsi yang disebabkan penyakit kronik lain misalnya Gagal ginjal, diabetes mellitus dsb PEMERIKSAAN PENUNJANG · Hb, Ht, leukosit, kreatinin, ureum, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. · Radiologis : Foto lambung dan duodenum dengan kontras · Endoskopi · Pemeriksaan labolatorium lain sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis banding TERAPI · Simptomatik diberikan antasida, obat-obatan H2 antagonis, seperti : simetidin, ranitidine, famotidin, penghambat pompa proton seperti omeprazol dan obat-obatan prokinetik. · Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai · Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku KOMPLIKASI Dehidrasi bila muntah berlebihan, gangguan gizi. PROGNOSIS Dubia ad Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT 240
· ·
RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi RS non pendidikan : -
REFERENSI 1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 197-8 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
241
SINDROM LELAH KRONIK PENGERTIAN Sindrom lelah kronik adalah rasa lelah yang berlangsung lama dan tidak hilang dengan istirahat tanpa penyebab organik yang jelas. DIAGNOSIS · Gejala utama: rasa lelah kronis yang dirasakan terus menerus atau berulang. Rasa lelah bertambah bila melakukan aktivitas atau saat mengalami stress emosi dan tidak pulih sepenuhnya dengan istirahat. · Gejala tambahan yang dapat menyertai ialah mialgia, sefalgia, nyeri sendi, nyeri tenggorokan (faringitis), demam, limfadenopati terutama daerah leher atau aksila. Juga didapat adanya gejala-gejala neuropsikologis seperti depresi, kecemasan, insomnia. Gejala utama dalam 6 bulan atau lebih disertai minimal 4 gejala tambahan dan tidak didapatkan penyakit kronis lain yang spesifik. DIAGNOSIS BANDING Chronic fatique, fibromalgia, keganasan, infeksi kronis, penyakit autoimun, penyalahgunaan obat (drug abuse)
PEMERIKSAAN PENUNJANG · Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik · Pemeriksaan penunjang sesuai dengan gejala yang dominan dan bila diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis TERAPI · Terapi simtomatik sesuai gejala yang dominan · Antidepresan · Latihan (rehabilitasi) psikis dan fisik · Terapi penunjang lain, diet rendah lemak, vitamin, tidak merokok, tidak minum alcohol KOMPLIKASI Isolasi sosial, tidak mampu bekerja PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam 242
UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan departemen ilmu penyakit dalam · RS non pendidikan : REFERENSI 1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 198-9 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
243
ANSIETAS PENGERTIAN Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif. Pada umumnya pasien dating ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik. DIAGNOSIS 1. Perasaan cemas berlebihan, subyektif, tidak realistis 2. Terdapat keluhan dan gejala-gejala dsb : · Ketegangan motorik: kedutan otot, kaku, pegal, sakit dada, sakit persendian · Hiperaktif otonom : sesak nafas, jantung berdebar, telapak tangan basah, mulut kering, rasa mual, mules, diare dan lain-lain. · Bila ditemukan adanya kelainan organis pada umumnya keluhan tidak sebanding dengan kelainan organ yang ditemukan. · Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang : mudah terkejut, cepat tersinggung sulit konsentrasi, sukar tidur dan lain-lain. 3. Aktifitas sehari-hari terganggu : kemampuan kerja menurun, hubungan sosial terganggu, kurang merawat diri, dan lain-lain. DIAGNOSIS BANDING Gangguan campuran ansietas dan depresi, deptresi, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi) PEMERIKSAAN PENUNJANG · Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap · Analisis gas darah, K, Na, Ca, T3, T4, TSH, sesuai indikasi · Foto toraks, bila perlu · EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu · Endoskopi, kolonoskopi, USG, bila perlu TERAPI Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapi Farmakologis : · Benzodiazepin: Diazepam, Alprazolam, clobazam · Non benzodiazepim : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas otonom menonjol · Sintomatik, sesuai indikasi KOMPLIKASI Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja) PROGNOSIS Bonam
244
WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam · RS non pendidikan : REFERENSI 1. Mudjaddid E, Shatri H. Depresi Berorientasi Organ. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 192-3 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
245
SINDROM HIPERVENTILASI PENGERTIAN Sindrom hiperventilasi adalah sesak nafas disertai adanya takhipnu tanpa kelainan organik DIAGNOSIS 1. Sesak nafas tidak khas 2. Merasa adanya kekurangan udara sehingga harus menarik nafas panjang 3. Sering disertai adanya takhipneu dan rasa sempit di dada 4. Kadang-kadang disertai adanya keluhan pada jantung 5. Parestesi 6. Badan terasa enteng, melayang, penglihatan kabur 7. Gejala-gejala fisik lain yang tidak khas 8. Kejang pada tangan dan kaki seperti keadaan histerik 9. Adanya gangguan emosional terutama rasa takut 10. Stresor psikososial DIAGNOSIS BANDING Angina pectoris, terutama pada orang tua, proses local di otak, gangguan elektrolit dan asam-basa, hipoparatiroidisme, tetanus, ansietas panic PEMERIKSAAN PENUNJANG · Hb, Ht, leukosit, ureum, kretinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap · AGD, K, Na, Ca · Foto toraks, EKG, sesuai diagnosis banding · Hormon paratiroid TERAPI Nonfarmakologis: istirahat: istirahat, psikoterapi suportif Farmakologis: 1. Sungkup dan oksigen nasal 2. Ansiolitik golongan benzodiazepine 3. Koreksi bila ada gangguan elektrolit dan asam-basa 4. Simptomatik sesuai keperluan KOMPLIKASI Sesuai dengan penyakit organic yang menyertai PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
246
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi pulmonologi, Kardiologi · RS non pendidikan : REFERENSI 1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
247
NYERI PSIKOGENIK PENGERTIAN Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik DIAGNOSIS 1. Adanya nyeri tanpa kelainan organic yang jelas, misalnya nyeri kepala, migren, mialgia, artralgia, kolik abdomen dll 2. Stresor psikososial (+) 3. Sering disertai adanya gejala-gejala depresi atau antesias DIAGNOSIS BANDING Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri PEMERIKSAAN PENUNJANG · Hb, Ht, Leukosit, hitung jenis, urin lengkap · Foto roontgen, EKG dll sesuai diagnosis banding nyeri organic TERAPI Nonfarmakologis : istirahat, psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku Farmakologis : Analgetik, NSAID, antispasmodic, antisiolitik, dan anti depresan simtomatik lain bila perlu, analgetik narkotik, obat yang menghambat saraf local. KOMPLIKASI Kurang/tidak mampu melakukan aktifitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam · RS non pendidikan : -
248
REFERENSI 1. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A , Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1999.p. 195-6 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic Medicine: A clinical of Psycho physiologic Reaction. 3rd Edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4th edition. A merican Psychiatric A ssosiation. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of Behaviour. 4th Edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation : Molecular aspects, integrarive system and clinical advances. In: McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, Gold PW , Smith CC editors. A nnal of New Y ork A cademy of Sciences. 1998; 840.
249
SINDROM KOLON IRITABEL Pengertian Sakit perut disertai gangguan buang air besar tanpa dijumpai kelainan organic Diagnosis · Rasa nyeri/ tidak enak di perut disertai diare dan atau konstipasi · Perut kembung yang tampak dengan jelas · Rasa nyeri di perut hilang setelah buang air besar · Buang air besar lebih sering pada saat timbulnya rasa sakit · Keluhan-keluhan psikis menonjol seperti gejala-gejala ansietas atau depresi · feses lembek pada saat timbulnya rasa sakit · feses campur lendir dan tidak berdarah · penurunan berat badan tidak lebih dari 5% dalam satu tahun terakhir · pemeriksaan feses tidak ditemukan parasit · pemeriksaan barium enema maupun kolonoskopi normal Diagnosis Banding · penyakit kolon inflamasi (colitis) · laktosa intolerans · karsinoma kolon Pemeriksaan Penunjang · laboratorium rutin: Hb, leukosit, hitung jenis, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati · feses lengkap (cacing, amuba) · barium enema · kolonoskopi Terapi · diet tinggi serat untuk memperbaiki konstipasi, sedangkan laksatif diberikan bila perlu dan hanya dalam jangka pendek · untuk nyeri yang mengganggu dapat diberikan antispasmodic seperti mebeverin hidroklorid, atau obat-obat anti kolinergik · keluhan diare diobati dengan loperamid 2-4 mg empat kali sehari · bila gejala psikis menonjol dibarikan ansiolitik atau anti depresan yang sesuai · psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku Komplikasi · rasa sakit yang sulit dikendalikan sehubungan faktor psikis yang menonjol · sosial: kurang atau tidak mampu melakukan pekerjaan sehari-hari Prognosis Bonam
Wewenang 250
· ·
RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Unit terkait · RS pendidikan: semua sub-bagian di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam · RS non pendidikan:Referensi 1. Mudjaddid E. sindrom kolon irritable. In: Simadibrata M, Setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , Mansjoer A . Pedoman Diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta; pusat informasi dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI, 1999:197-8. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of sciences. 1998;840.
251
PENYAKIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK) Pengertian Penyakit jantung fungsional (neurosis kardiak) adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit jantung tanpa disertai kelainan organic. Diagnosis · Nyeri dada menyerupai “ angina pectoris”biasanya dicetuskan oleh suatu stressor tertentu · Berdebar-debar/palpitasi, sesak napas atau napas terasa berat · Adanya keluhan-keluhan vegetative seperti kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bias tidur, dsb · Terdapat keluhan psikis seperti rasa takut, risau/waswas, gelisah dsb · Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang, lemas · Stressor psikososial (+) · Pemeriksaan EKG, ekaokardiografi maupun tes treadmill normal Diagnosis banding Penyakit jantung koroner (angina pectoris, infark miokard) Pemeriksaan penunjang Elektrokardiografi, ekokardiografi dan tes treadmill Terapi · Analgetik untuk rasa nyeri · Pemberian ansiolitik yang sesuai, biasanya untuk ansietas panic · Psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku Komplikasi · Meras memiliki penyakit jantung organic sehingga menghindari aktivitas/ kerja seharihari · Pada orang tua dengan factor psikis yang menonjol dapt mensetusakn timbulnya penyakit jantung organic · Timbulnya aritmia Prognosis Dubia ad bonam Wewenang · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Psikosomatik · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam 252
Unit terkait · RS pendidikan: divisi kardiologi · RS non pendidikan:-
Referensi 1. Shatri H. penyakit jantung fungsional (functional heart disease). In: simadibrata M, setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakrta: pusat informasi dan penerbita bagian ilmu penyakit dalam FKUI; 1999.p. 194-5. 2. Ewiss E, English OS. Psychosomatic medicine: A clinical of psychophysiologic reaction. 3th edition. London 1957. 3. Diagnostic and statistical manual of mental disorder. 4 th edition. A merican psychiatric association. W ashington 1994. 4. Carlson NR. Physiology of behavior. 4th edition. 1991. 5. Neuroimmunomodulation: molecular aspects, integrative system and clinical advances. McCann SM, Lipton JM, Sternberg EM, CHrousos GP, gold PW , smith CC editor. A nnal of new Y ork academy of sciences. 1998;840.
253
2.10
ALERGI IMMUNOLOGI
254
INFEKSI HIV/AIDS Pengertian Pasien dinyatkan terbukti terinfeksi HIV bila dari pemeriksaan penunjang Diagnosis Adanya factor resiko penularan Diagnosis HIV: tes ELISA 3 kali raktif dengan reagen yang berbeda Stadium WHO: · Stadium 1: asimtomatik, loimfadenopati generalisata · Stadium 2: - Berat badan turun<10% - Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis) - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir - Infeksi saluran napas atau rekuren · Stadium 3: - Berat badan turun >10% - Diare yang tidak diketahui penyebabnya, >1 bulan - Demam berkepanjangan (intermitena atau kponstan), >1 bulan - Kandidiasis oral - Oral hairy leukoplakia - Tuberculosis paru - Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis) · Stadium 4: - HIV wasting syndrome - Pneumonia pneumocytis carinii - Toksoplasma serebral - Kriptosporidiosis dengan diare>1 bulan - Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV) - Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau visceral - Progressive multifocal leucoencephalopaty - Mikosis endemic diseminata - Kandidiasis esophagus, trakea, dan bronkus - Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru - Septicemia salmonella non-tifosa - Tuberculosis ekstrapulmonal - Limfoma - Sarcoma Kaposi - Ensefalopati HIV
255
Diagnosis banding Penyakit imunodefisiensi primer Pemeriksaan penunjang · Anti-HIV ELISA · Anti-HIV western blot · Antigen p-24 · Hitung CD4 · Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR · Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik Terapi · Konseling · Terapi suportif · Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik · Terapi antiretrovirus kombinasi, efek samping dan penangannnya · Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS · Terapi paska paparan HIV (post-exposure prophylaxis) · Penatalaksannnan infeksi HIV pada kehamilan · Penatalaksannaaan koinfeksi HIV dengan hepatitis C dan hepatitis B Komplikasi infeksi oportunistik, kanker terkai HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain Prognosis tergantung stadium penyakit Wewenang · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Unit terkait · RS pendidikan: divisi pulmonologi, kardiologi, tropic infeksi, ICU/medical high care, kelompok studi khusus (pokdisus) AIDS · RS non pendidikan: ICU Referensi 1. Bartlett JG, gallant JE. 2004 medical management of HIV infection. Maryland: john Hopkins university school of medicine, 2004. 2. Goldman L, ausiello D, editors. Cecil textbook of medicine, 22nd edition. Philadelphia:saunders, 2004. 3. W HO. Scaling up antiretroviral therapy in resource-limited settings; treatment guidelines for a public health approach, 2003 revision.
RENJATAN ANAFILAKSIS 256
Pengertian Renjatan anafilaksis adalah keadaan gawat darurat yang ditandai dengan (hipotensi) penurunan tekanan darah sistolik<90mmHg akibat respons hipersensitivitas tipe 1 (adanay reaksi antigen dengan antibody IgE) Diagnosis Hipotensi, takikardia, akral dingin, oliguria yang dapat disertai gejala klinis lain berupa: · Reaksi sistemik ringan: rasa geli/gatal serta hangat, rasa penuh dimulut dan tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata berair, bersin-bersin, onset biasanya 2 jam setelah paparan antigen. · Reaksi sistemik sedang: seperti reaksi sistemik ringan, ditambah spasme bronkus dan atau edema saluran napas, sesak, batuk, mengi, angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, badan terasa hangat, gelisah, onset seperti reaksi anafilaksis ringan. · Reaksi sistemik berat: terjadi mendadak, seperti reaksi sistemik ringan dan sedang yang bertambah berat. Spasme bronkus, edema laring, suara serak, stridor, sesak napas, sianosis, henti napas. Edema dan hipermotilitas saluran cerna sehingga sakit menelan, kejang perut, diare dan muntah. Kejang uterus, kejang umum. Gangguan kardiovaskular, aritmia jantung, koma. Diagnose banding Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik Pemeriksaan penunjang Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis ga sdarah, EKG Terapi A. Untuk renjatan: 1. Adrenalin larutan 1:1000, 0,3-0,5 ml subkutan/intramuscular pada lengan atas atau paha. Bila renjatan anafilaksis disebabkan sengatan serangga berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml pada tempat sengatan kecuali bila srngatan di kepala, leher, tangan, dan kaki. Terapi dapat dilanjutkan dengan infuse adrenalain 1 ml (1mg) dalam dextrose 5% 250cc dimulai dengan kecepatan 1 ug/menit dapat ditingkatkan sampai 4 ug/menit sesuai keadaan tekanan darah. Hati-hati pada orang tua dengan kelainan jantung atau gangguan kardiovaskular lainnya. 2. Pasang tourniquet proksimal dari suntikan atau sengatan serangga, dilongarkan 1-2 menit setiap 10 menit 3. Oksigen bila sesak, mengi, sianosis 3-4 l/menit dengan sungkup atau kanul nasal 4. Antihistamin intravena, intramuscular atau oral Rawat pasien di ICU bila dengan tindakan diatas tidak membaik, dilanjutkan dengan terapi: 1. IVFD dekstrose 5% dalam 0,45%NaCl 2-3 l/m 3 permukaan tubuh 2. Dopamine 0,3-1,2 mg/kg BB/jam bila tekanan darah tidak membaik 3. Kortikosteroid 7-10 mg hidrokortison/kg BB intravena dilanjutkan 5 mg/kg BB tiap 6 jam, yang dihentikan setelah 72 jam. 257
B. Bila disertai spasme bronkus maka pada pasien diberikan inhalasi beta 2-agonis, jika spasme bronkus menetap aminofilin 4-6 mg/kg BB dilarutkan dalam NaCl 0,9% 10ml diberikan perlahan-lahan dalam 20 menit, bila perlu dilanjutkan dengan infuse aminofilin 0,2-1,2 mg/kg BB/jam. C. Bila disertai edema hebat saluran napas atas maka pada pasien dilakuakn intubasi dan trakeostomi. D. Pemantauan paling sedikit 24 jam Komplikasi Renjatan irreversible, kegagalan multi organ failure prognosis tergantung organ yang terlibat dan beratnya gejala Wewenang · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Unit terkait · RS pendidikan: ICU/medical high care · RS non pendidikan: ICU Referensi 1. Djauzi S. syok anafilaktik. In: subekti I, Lydia A , rimende CM, syam A F, suprohaita, mansjoer A , editors. Penatalaksanaan kedaruratan dibidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: pusat informasi dan penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2000.p.97-100. 2. Mahdi A . syok anafilaktik.in:setiati S, A lwi I, Maryantoro, Gani RA , mansjoer A , editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:pusat informasai dan penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1999.p.8-10.
258
ASMA BRONCHIAL Pengertian Asma bronchial adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan sel-sel dan elemen selular teruatama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel Diagnosis Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa berat didada akibat factor pencetus. Asma bronchial dibagi menjadi: 1. Asma intermiten, gejala asma<1 kali/minggu, asimptomatik, APE diantara serangan normal, asma malam 2 kali/bulan, APE 80%, variabilitas <20% 2. Asma persisten ringan, gejala asma 1 klai/minggu, <1 kali/hari, asma malam >2 kali/bulan, APE 80%, variabilitas 20-30% 3. Asma persisten sedang, gejala asma tiap hari, tiap hari menggunakan beta 2 agonis kerja singkat, aktivitas terganggu saat serangan, asma malam>1 kali/minggu, APE>60% dan <80% prediksi atau variabilitas >30% 4. Asma persisten berat, gejala asma terus menerus, asma malam sering, aktivitas terbatas, dan APE 60% prediksi atau variabilitas >30%. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi apda semua tingkatan derajat asma. Diagnosis banding Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung Pemeriksaan penunjang Laboratorium: jumlah eosinofil darah dan sputum, foto thoraks, spirometri, uji tusuk kulit (skin prick test/SPT), uji bronkodilator atas indikasi, uji provokasi bronkus atas indikasi, analisis gas darah atas indikasi Terapi 1. Asma intermiten tidak memerlukan opbat pengendali 2. Asma persisten ringan memerlukan obat pengendali kortikosteroid inhalasi (500 ug BDP atau ekuivalennya) atau pilihan lainnya: teofilin lepas lambat, kromolin, antileukotrien. 3. Asma persisten sedang memerlukan obat pengendali berupa kortikosteroid inhalasi (200-1000 ug BDP atau ekuivalennya) ditambah dengan beta-2 agonis aksi lama (LABA) atau pilihanlain kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + teofilin lepas lambat atau kortikosteroid inhalasi (500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA oral atau kortikosteroid inhalasi dosis ditinggikan (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) atau kortikosteroid inhalasi 500-1000 ug BDP atau ekuivalennya) + antileukotrien. 4. Asma persisten berat memerlukan kortikosteroid inhalasi (>1000 ug BDP atau ekuivalennya) + LABA inhalasi + salah satu pilihan berikut: · Teofilin lepas lambat · Antileukotrien · LABA oral BDP= Budesonide propionate 259
Sedangkan untuk penghilang sesak pada pasien diberikan inhalasi beta- 2 agonis kerja singkat tetapi tidak boleh lebih dari 3-4 kali sehari. Inhalasi antikolinergik agonis beta 2 kerja singkat oral dan teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai pilihan lain selai agonis beta 2 kerja singkat inhalasi. Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 1. Oksigen 2. Inhalasi agonis beta 2 tiap 20 menit sampai 3 kali selanjutnya tergantung respons terapi awal 3. Inhalasi antikolinergik (ipatropium bromide) setiap 4-6 jam terutama pada obstruksi berat ( atau dapat diberikan bersama-sama dengan agonis beta 2) 4. Kortikosteroid oral atau parenteral dengan dosis 40-60 mg/hari setara prednisone 5. Aminofilin tidak dianjurkan (bila diberikan dosisi awal 5-6 mg/kg BB dilanjutkan infuse aminofilin 0,5-0,6 mg/kg BB/jam 6. Antibiotic bila ada infeksi sekunder 7. Pasien di observasi 1-3 jam kemudian dengan pemberian agonis beta 2 tiap 60 menit. Bila setelah masa observasiterus membaik, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi agonis beta 2 diteruskan, steroid oral diteruskan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotic diberikan bila ada indikasi, perjanjian control berobat 8. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien termasuk golongan resiko tinggi: pemeriksaan fisik tambah berat, APE (arus puncak ekspirasi) >50% dan <70% dan tidak ada perbaikan hipoksemia (dari analisis gas darah) pasien harus dirawat. Pasien dirawat di ICU bila tidak berespons terhadap upaya pengobatan di unit gawat darurat atau bertambah beratnya serangan/ buruknya keadaan setelah perawatan 6-12 jam, adanya penurunan kesadaran atau tanda-tanda henti napas, hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dengan kadar pO2 < 60 mmHg dan/atau pCO2> 45 mmHg walaupun mendapat pengobatan oksigen yang adekuat. Komplikasi Penyakit paru obstruksif kronik (PPOK), gagal jantung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat terjadi gagal napas dan pneumothoraks prognosis tergantung beratnya gejala Wewenang · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi pulmonologi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Unit terkait · RS pendidikan: ICU/medical high care · RS non pendidikan: ICU 260
URTIKARIA KARENA OBAT Pengertian Urtikaria karena obat adalah kelainan kulit dan mukosa yang diinduksi obat berupa papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan Diagnosis Riwayat minum obat sebelumnya yang dapat menginduksi penyakit, missal: OAINS, sulfonamide, antikonvulsan, penisilin, dan tetrasiklin. Gejala prodromal berupa gejala radang saluran napas atas :demam, batuk, sakit kepala, malaise, nyeri menelan. Papul kemerahan yang cepat berubah menjadi lepuhan. Dalam beberapa hari terjadi erosi multiple pada membrane mukosa, lepuhan, macula purpura. Daerah yang terkena lepuhan dan pelepasan kulit 10%. Diagnose banding Toxic epidermal necroticans (TEN), eritema multiformis Pemeriksaan penunjang Hitung eosinofil, elektrolit, foto toraks, kultur pus dari kulit, kultur sputum. Terapi 1. Hentikan obat penyebab 2. Rawat di pusat luka bakar, skin graft dini untuk mencegah invasi bakteri 3. Monitor cairan dan elektrolit, termasuk monitor jumlah urin 4. Monitor infeksi sekunder dengan melakukan kultur berkala dari darah dan mukokutan 5. Pemberian makanan tinggi kalori 6. Penggantian cairan dan elektrolit 7. Suction, postural drainage, nebulizer, terapi infeksi paru segera 8. Konsultasi mata 9. Irigasi mata dengan salin hangat, cairan lubrikan mata 10. Antasida cairan dan antagonis H2 bila ada ulserasi gastrointestinal 11. Antibiotika tergantung hasil kultur Komplikasi Sepsis, syok hipovolemik, syok septic Prognosis Tergantung beratnya gejala Wewenang · RS pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam Unit yang menangani · RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi alergi-imunologi, divisi pulmonologi · RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam 261
Unit terkait · RS pendidikan: ICU/medical high care, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin · RS non pendidikan: ICU, unit luka bakar, departemen kulit-kelamin
262
2.11
GASTROENTEROLOGI
263
ULKUS PEPTIKUM PENGERTIAN Ulkus peptikum adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis DIAGNOSIS · Faktor Resiko : umur, penggunaan obat-obatan aspirin atau OAINS, kuman Helicobacter pylori · Anamnesis : terdapat nyeri epigastrium, dispepsia, nausea, vomitus, anoreksa dan kembung. DIAGNOSIS BANDING Ulkus gaster, ulkus duodenum, dispepsia non ulkus PEMERIKSAAN PENUNJANG · Barium dobel kontras · Endoskopi saluran cerna bagian atas TERAPI Tanpa Komplikasi · Suportif : nutrisi · Memperbaiki / menghindari faktor resiko · Pemberian obat-obatan : antasida, antagonis reseptor H2, proton pump inhibitor, pemberian obat-obatan untuk mengikat asam empedu, prokinetik, pemberian obat untuk eradikasi kuman Helicobacter pylori, pemberian obat-obatan untuk meningkatkan faktor defensif. Dengan Komplikasi Pada tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum atau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemis melena secara umum Penatalaksanaan / tindakan khusus : · Tindakan / terapi hemostatik per endoskopi dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik untuk bipolar probe. · Pemberian obat somatostatin jangka pendek. · Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi. · Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan tersebut dilaksanakan tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi KOMPLIKASI Perdarahan ulkus, perforasi PROGNOSIS Dubia
264
WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : ICU / Medical High Care, Departemen Bedah Digestif · RS non pendidikan : ICU, Departemen Bedah
265
DISPEPSIA PENGERTIAN Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa DIAGNOSIS Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas DIAGNOSIS BANDING · Penyakit refluks gastroesofageal · Irritable Bowel Syndrome · Karsinoma saluran cerna bagian atas · Kelainan pankreas dan kelainan hati PEMERIKSAAN PENUNJANG Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan gamma GT, USG Abdomen TERAPI · Suportif : nutrisi · Pengobatan empirik selama 4 minggu · Pengobatan berdasarkan etiologi KOMPLIKASI Tergantung etiologi dispepsia WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Psikosomatik (RS tertentu) · RS non pendidikan : -
266
KARSINOMA KOLON PENGERTIAN Karsinoma kolon merupakan keganasan pada saluran cerna bagian atas (kolon) DIAGNOSIS · Perubahan pola defekasi, konsistensi, seringkali didapatkan hematokezia, dapat dijumpai adanya tanda obstruksi saluran cerna bawah baik parsial maupun total. · Berat badan turun tanpa sebab · Pemeriksaan fisik : tidak ada yang spesifik. · Laboratorium : Feses lengkap dan tes benzidin · Berat badan kurang. · Pemeriksaan colok dubur untuk melihat adanya perdarahan saluran cerna bagian bawah. DIAGNOSIS BANDING · Polipkolitis, karsinoma rekti, hemoroid PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, analisis feses lengkap, petanda tumor, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi, USG Abdomen TERAPI Berdasarkan staging : kemoterapi atau bedah KOMPLIKASI Obstruksi saluran cerna, metastasis, perdarahan PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU
267
KARSINOMA REKTI PENGERTIAN Karsinoma rekti merupakan keganasan pada rektum DIAGNOSIS Perubahan pola defekasi, berat badan turun tanpa sebab, seringkali pada pemeriksaan colok dubur didapatkan massa DIAGNOSIS BANDING Hemoroid, polip PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan DPL, feses lengkap, endoskopi saluran cerna bagian bawah dan biopsi TERAPI Berdasarkan staging, kemoterapi atau bedah KOMPLIKASI Obstruksi saluran cerna bagian bawah, perdarahan PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
268
KARSINOMA GASTER PENGERTIAN Karsinoma gaster merupakan keganasan pada lambung DIAGNOSIS Anamnesis dapat ditemukan adanya sindrom dispepsia, rasa tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat difus, cepat kenyang, sampat nyeri yang hebat dan terus-menerus. Anoreksia yang disertai dengan mual sering dikeluhkan namun tidak selalu. Keluhan sulit menelan dapat pula terjadi. Berat badan turun tanpa penyebab. Pemeriksaan fisik : pada awal penyakit, biasa tidak didapatkan kelainan apapun. Pada keadaan lanjut didapatkan adanya pembesaran pada pemeriksaan abdomen. DIAGNOSIS BANDING Karsinoma esofagus, esofagitis PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsy, USG Abdomen. CT scan abdomen TERAPI Berdasarkan staging, bedah atau kemoterapi KOMPLIKASI Obstruksi saluran cerna bagian atas PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
269
HEMATEMESIS MELENA PENGERTIAN Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Melena adalah buang air besar (BAB) berwarna hitam ter yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz , mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan esofagus. DIAGNOSIS Muntah dan BAB darah warna hitam dengan sindrom dispepsia, bila ada riwayat makan obat OAINS, jamu pegal linu, alkohol yang menimbulkan erosi/ulkus peptikum, riwayat sakit kuning/hepatitis. Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, dapat disertai gangguan kesadaran (prekoma/koma hepatikum), dapat terjadi syok hipovolemik DIAGNOSIS BANDING Hemoptoe, hematoskezia PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, hemostasis lengkap atau masa perdarahan, masa pembekuan, masa protrombin, elektrolit (Na, K, Cl), pemeriksaan fungsi hati (cholinesterase, albumin/globulin, SGOT/SGPT, petanda hepatitis B dan C), endoskopi SCBA diagnostik atau foto rontgen OMD, USG hati. TERAPI Nonfarmakologis : tirah baring, puasa, diet hati/lambung, pasang NGT untuk dekompresi, pantau perdarahan Farmakologis : · Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi sampai dengan Hb 10gr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb12gr%. · Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya dekstran/hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL · Untuk penyebab non varises : 1. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton 2. Sitoprotektor : Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab 3. Antasida 4. Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati · Untuk penyebab varises : 5. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 µg/jam intravena atau okreotide (sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus. 6. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil hemetemesis melena (-) 7. Isosorbid dinitrat/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil 8. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari · Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan · Pada pasien dengan pecah varises/penyakit hati kronik/sirosis hati diberikan : 270
9. Laktulosa 4 x 1 sendok makan 10. Neomisin 4 x 500 mg Obat ini diberikan sampai tinja normal. KOMPLIKASI Syok hipovolemik, aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan PROGNOSIS Dubia WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
271
DIARE KRONIK PENGERTIAN Diare kronik adalah Diare yang berlangsung lebih dari 15 hari sejak awal diare DIAGNOSIS Diare dengan lama lebih dari 15 hari DIAGNOSIS BANDING Kelainan pankreas, kelainan usus halus dan usus besar, kelainan PEM dan tirotoksikosis, kelainan hati, sindrom kolon iritabel tipe diare PEMERIKSAAN PENUNJANG · Pemeriksaan tinja · Pemeriksaan darah : DPL, kadar feritin, SI-IBC, kadar vitamin B12 darah, kadar asam folat darah, albumin serum, eosinofil darah, serologi amuba (IDT), widal, pemeriksaan imunodefisiensi (CD4, CD8), feses lengkap dan darah samar · Pemeriksaan anatomi usus : Barium enama/colon in loop (didahului BNO),Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, ERCP, USG abdomen, CT Scan abdomen · Fungsi usus dan pankreas : tes fungsi ileum dan yeyunum, tes fungsi pankreas, tes Schilling, CEA dan Ca 19-9 TERAPI · Non farmakologis : diet lunak tidak merangsang, tinggi kalori, tinggi protein, bila tidak tahan laktosa diberikan rendah laktosa, bila maldigesti lemak diberikan rendah lemak. Bila penyakit Crohn dan kolitis ulserosa diberikan rendah serat pada keadaan akut. Pertahankan minum yang baik, bila perlu infus untuk mencegah dehidrasi · Farmakologis : · Bila sesak napas dapat diberikan oksigen, infus untuk memberikan cairan dan elektrolit. · Antibiotika bila terdapat infeksi · Bila penyebab amuba/parasit/giardia dapat diberikan metronidazol. · Bila alergi makanan/obat/susu, diobati dengan menghentikan makanan/obat penyebab alergi tersebut · Keganasan/polip diobati dengan pengangkatan kanker/polip · TB usus diobati dengan OAT · Diare karena kelainan endokrin, diobati dengan kelainan endokrin-nya · Mal-absorbsi diatasi dengan pemberian enzim · Kolitis diatasi sesuai jenis kolitis KOMPLIKASI Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basa/gas darah, gagal ginjal akut, kematian
272
PROGNOSIS Dubia ad bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Dokter Umum · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
273
PANKREATITIS AKUT PENGERTIAN Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan pankreas yang akut DIAGNOSIS · Keadaan umum pasien seperti dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai gangguan kesadaran · Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus menurun (ileus paralitik) · Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, diabetes melitus, hipertiroidisme, alkoholisme, ulkus peptikum, leptospirosis, demam berdarah dengue DIAGNOSIS BANDING Perforasi ulkus peptikum, kolangitis akut, kolesistitis akut, apendisistis akut, nefrolitiasis kanan akut, infark miokard akut inferior. PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, amilase serum, lipase serum, gula darah, kalsium serum, LDH serum, fungsi ginjal, SGOT/SGPT, analisis gas darah, elektrolit TERAPI Non farmakologis : Puasa dan pemasangan infus untuk nutrisi parentral total sampai amilase dan lipase serum normal/mendekati normal dan pada selang nasogastrik cairan lambung < 300 cc, dan pasien tak merasakan nyeri ulu hati. Farmakologis : · Analgesik dan sedatif, infus cairan, pasang selang lambung · Antibiotika bila ada infeksi · Penghambat sekresi enzim pankreas · Prosedur bedah pada infeksi berat berupa drainase cairan KOMPLIKASI Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan hemoragik, nekrosis organ sekitar, pembentukan fistel, ulkus duodenum, ikterus obstruksi, asites, sepsis PROGNOSIS Dubia ad bonam (tergantung berat ringannya pankreatitis akut, gunakan kriteria RANSON) WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam
274
UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
275
ILEUS PARALITIK PENGERTIAN Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung/distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismotilitas), pasien tidak dapat buang air besar. DIAGNOSIS · Perut kembung (distensi), bising usus menurun dan menghilang · Muntah, bisa disertai diare, tak bisa buang air besar · Dapat disertai demam · Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, syok · Pada colok dubur : rektum tidak kolaps, tidak ada konstraksi · Adanya penyakit yang meningkatkan risiko : batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, DM, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh Pemeriksaan fisik : Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, demam, tanpa dehidrasi, syok. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan distensi, bising usus yang menurun sampai hilang. DIAGNOSIS BANDING Ileus obstruktif PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, amilase-lipase, gula darah, kalium serum, dan analisis gas darah, foto abdomen 3 (tiga) posisi TERAPI · Non farmakologis : - Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif atau dapat buang angin melalui dubur - Pasang selang lambung dan dekompresi - Pasang kateter urin · Farmakologis : - Infus cairan, rata-rata 2,5 –3 liter/hari disertai elektrolit - Natrium dan kalium sesuai kebutuhan / 24 jam - Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah kebutuhan lain · Terapi etilogi KOMPLIKASI Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi PROGNOSIS Dubia ad bonam
276
WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
277
HEMATOSKEZIA PENGERTIAN Hematoskezia adalah buang air besar berupa darah segar berwarna merah yang berasal dari saluran cerna bagian bawah DIAGNOSIS · Buang air besar berupa darah merah segar sampai merah tua · Demam bila penyebabnya infeksi usus · Nyeri perut di atas umbilikus seperti kejang/kolik, atau perut kanan bawah yang hilang timbul dapat akut atau kronik, dapat ditemukan massa · Dapat disertai diare sampai dehidrasi, dapat terjadi syok hipovolemik · Bising usus menurun dan menghilang · Berat badan dapat menurun · Ada riwayat kontak dengan pasien lain, memakan makanan yang tidak biasanya, mendapat terapi antibiotik, penyakit kardiovaskular, dapat disertai gejala ekstraintestinal seperti kelainan kulit, sendi dan radang mata. DIAGNOSIS BANDING · Melena, hemoroid, infeksi usus, penyakit usus inflamatorik · Divertikulosis kolon dan/atau usus halus, angiodiplasia, tumor kolon dan/atau usus halus, kolitis iskemik, kolitis radiasi PEMERIKSAAN PENUNJANG · Laboratorium : - DPL tiap 6 jam, analisis gas darah, elektrolit - Pemeriksaan hemostasis lengkap - Pemeriksaan etiologi : Kultur Widal-Gall, serologi amuba, serologi IDT amuba, kultur Salmonella-Shigella feses-urin, pemeriksaan mikroskopik parasit di feses. · Kolonoskopi, ileoskopi, jejunoskopi dan biopsi. Pada demam tifoid kolonoskopi sebaiknya dilakukan bila demam sudah menghilang dan keadaan umum membaik · Foto abdomen 3 posisi · Colon in loop kontras ganda · USG abdomen · CT Scan abdomen / foto usus halus · Foto dada · EKG TERAPI · Non farmakologis : puasa, perbaikan hemodinamik. Jika hemodinamik stabil dapat nutrisi enteral · Farmakologis : - Transfusi darah PRC/WB sampai dengan Hb > 10gr% - Infus cairan
278
Pengobatan infeksi sesuai penyebab Bila ada kelainan hemostasis diobati sesuai penyebabnya KOMPLIKASI Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan PROGNOSIS Dubia ad bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Gastroenterologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Hematologi –Onkologi, Departemen Bedah Digestif, ICU / Medical High Care · RS non pendidikan : ICU, Bagian Bedah
279
2.12 HEPATOLOGI
280
SIROSIS HATI PENGERTIAN Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya neksosis, pembentukan jaringan ikat disertai nodul DIAGNOSIS · Pemeriksaan fisik : stigmata sirosis (palmar eritema, spider nevi) vena kolateral dinding perut, ikterus, edema pretibial, asites, splenomegali · Laboratorium : rasio albumin dan globulin terbalik DIAGNOSIS BANDING Hepatitis kronik aktif PEMERIKSAAN PENUNJANG (DPL, SGOT, SPGT, fosfatase alkali, albumin, kolin esterase, PT, seromaker hepatitis), USG, biopsi hati, endoskopi saluran cerna bagian atas, analisis cairan asites TERAPI · Istirahat cukup · Diet seimbang (tergantung kondisi klinis) · Roboransia · Mengatasi komplikasi KOMPLIKASI Hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, hemetemesis melena, sindrom hepatorenal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum PROGNOSIS Dubia ad bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi –Onkologi dan Departemen Bedah Digestif · RS non pendidikan : Departemen Bedah
281
HEPATOMA PENGERTIAN Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer DIAGNOSIS · Anamnesis : penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas · Pemeriksaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. · Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, fosfatase alkali USG: lesi fokal/difus di hati DIAGNOSIS BANDING Abses hati PEMERIKSAAN PENUNJANG · AFP, PIVKA II, fosfatase alkali, SGOT, SGPT, seromarker hepatitis · USG: lesi fokal/difus · CT scan, biopsi hati TERAPI · Pembedahan/reseksi tumor (bila tumor mengenai 1 lobus, ukuran < 3 cm) · Injeksi etanol perkutan dengan tuntunan USG (bila tumor < 3 buah, ukuran < 3 cm, tumor yang residif pasca reseksi hati, tumor residual pasca embolisasi) · Transplantasi hati · Kemoembolisasi pada a. hepatika KOMPLIKASI Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati PROGNOSIS Malam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi–Onkologi dan Departemen Bedah Digestif · RS non pendidikan : Departemen Bedah
HEPATITIS VIRUS AKUT 282
PENGERTIAN Hepatitis virus akut inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6 bulan DIAGNOSIS · Anamnesis : mual, malaise, anoreksia, urin berwarna gelap · Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali · Laboratorium : ALT dan AST meningkat > 3 kali normal DIAGNOSIS BANDING Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium : SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubing/seromarker (IgM anti HAV, HbsAg, IgM anti HBc, anti HCV, Ig M anti HEV) TERAPI · Tirah baring, diet seimbang, pengobatan suportif KOMPLIKASI Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Gastroenterologi, Hematologi–Onkologi dan Departemen Bedah Digestif · RS non pendidikan : Departemen Bedah
283
HEPATITIS VIRUS KRONIK PENGERTIAN Hepatitis virus kronik adalah suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati. DIAGNOSIS · Anamnesis : umumnya tanpa keluhan · Pemeriksaan fisik : bisa ditemukan hepatomegali · Laboratorium : petanda virus hepatitis B atau C positif · USG : hepatitis kronik · Biopsi hati : peradangan dan fibrosis pada hati DIAGNOSIS BANDING Perlemakan hati PEMERIKSAAN PENUNJANG · Pemeriksaan laboratorium seperti pada hepatitis akut · USG hati · Biopsi hati TERAPI Hepatitis B kronik : lamivudin Hepatitis C kronik : interferon α+ ribavirin KOMPLIKASI Sirosis hati, karsinoma hepatoselular PROGNOSIS 20% akan berkembang menjadi sirosis hati WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT -
284
ABSES HATI PENGERTIAN Abses hati adalah rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang timbul dalam jaringan hati akibat amuba atau bakteri DIAGNOSIS · Anamnesis : demam, perasaan nyeri perut kanan atas · Pemeriksaan fisik : ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas · Laboratorium : leukositosis, gangguan fungsi hati · USG : rongga dalam hati · Aspirasi : pus (+) DIAGNOSIS BANDING Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati PEMERIKSAAN PENUNJANG DPL, SGPT, bilirubin, serologi amuba; USG, kultural cairan pus TERAPI · Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein · Pada abses amuba : metronidazol 4 x 500-750 mg/hari selama 5-10 hari. Pada abses piogenik : antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman. Pada abses campuran : kombinasi metronidazol dan antibiotika · Drainase cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau bila abses berukuran besar (>5 cm) KOMPLIKASI Ruptur abses (ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit), perdarahan dalam abses, sepsis PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif · RS non pendidikan : Departemen Bedah
KOLESISTITIS AKUT 285
PENGERTIAN Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan DIAGNOSIS · Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah skapula kanan, demam · Pemeriksaan fisik : Teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik · Laboratorium : leukositosis · USG : penebalan dinding kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu DIAGNOSIS BANDING Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinal PEMERIKSAAN PENUNJANG · Laboratorium : DPL, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin, kultur darah · USG hati TERAPI · Tirah baring · Puasa sampai nyeri berkurang / hilang · Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) · Antibiotika parenteral · Kolesistektomi bila diperlukan KOMPLIKASI Gangren / empiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT 286
· ·
RS pendidikan : Departemen Bedah Digestif RS non pendidikan : Departemen Bedah
287
PERLEMAKAN HEPATITIS NON ALKOHOLIK PENGERTIAN Perlemakan hepatitis non alkoholik merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati DIAGNOSIS · Anamnesis : rasa mengganjal di perut kanan atas · Pemeriksaan fisik : kelebihan berat badan, hepatomegali · USG : gambaran bright liver · Biopsi hati : ditemukan perlemakan hati, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis. DIAGNOSIS BANDING Hepatitis virus kronik PEMERIKSAAN PENUNJANG · Laboratorium : gula darah, profil lipid, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, gamma GT, seromarker hepatitis, ANA, anti ds DNA · Biopsi hati TERAPI Mengoreksi faktor resiko (penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profil lipid dan olah raga) KOMPLIKASI Sirosis hati PROGNOSIS Bonam WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hepatologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT -
288
BAB III
STANDAR PROSEDUR TINDAKAN PAPDI
289
3.1
KARDIOLOGI
290
KARDIOVERSI PENGERTIAN Kardioversi adalah upaya konversi secara elektrik pada aritmia arterial atau ventrikular memakai DC (Direct Current) shock yang synchronized dan DC shock nonsynchronized yang juga disebut defibrillation. Saat kejutan yang synchronized yaitu pada awal gelombang T kirakira 30 ms sebelum apeks gelombang T. TUJUAN Menghentikan aritmia yang mengancam menjadi irama sinus yang normal INDIKASI · Fibrilasi ventrikular, fluter arterial atau fibrilasi atrial yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan terapi farmakologis · Takikardia supraventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia atau manuver vagal · Takikardia ventrikular yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan tak responsif dengan obat antiaritmia KONTRAINDIKASI · Fibrilasi artrial kronik pada stenosis mitral atau regurgitasi mitral dan tirotoksikosis · Fibrilasi atrial dengan slow ventricular rate · Hipokalemia · Keracunan digitalis PERSIAPAN 1. Penjelasan seperlunya kepada pasien dan keluarga 2. Alat kardioversi dan monitor jantung berfungsi baik 3. Sebaiknya puasa untuk menghindari regurgitasi/asfiksia 4. Pemakaian digitalis dihentikan 1-2 hari sebelum tindakan 5. Kadar elektrolit serum harus optimal 6. Oksigen terpasang 7. Premedikasi meperidin 100 mg atau diazepam 5 mg IV PROSEDUR TINDAKAN · Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 Joule bila gagal diulang memakai 50 atau 100 Joule. · Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 Joule bila gagal bisa 200-300 Joule. Sehari sebelumnya pasien diberi kuinidin oral tiap 6 jam kadangkala obat ini diperlukan untuk jangka waktu lama. Prokainamid dapat dipakai bila pasien tak toleran dengan kuinidin. · Takikardia supraventrikular 10 Joule biasanya efektif. 100 Joule hampir selalu efektif · Fibrilasi ventrikular dosis awal 200 Joule bila gagal segera pakai 360 Joule.
291
PENILAIAN LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI · Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung sementara · Takiaritmia ventrikular atau fibrasi ventrikular, pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan. WEWENANG · RS pendidikan : Internist Cardiologist / Cardiologist PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi dengan konsultasi kepada konsultan Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Internist / Kardiolog UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog UNIT TERKAIT REFERENSI Gumiwang I. Kardioversi. In: Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 149-50
292
KATETERISASI JANTUNG DAN ANGIOGRAFI KORONARIA PENGERTIAN Kateterisasi jantung adalah tindakan memasukkan kateter kedalam arteri arteri atau vena perifer sampai ke jantung untuk mendapatkan gambar arteri koronaria dan ruang jantung, juga untuk mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). Angiografi koroner adalah tindakan menyuntikkan kontras ke dalam arteri koronaria untuk memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut. TUJUAN · Mendapatkan gambaran arteri koronaria dan ruang jantung · Mengukur tekanan ruang jantung dan pembuluh darah (hemodinamik kardiak). · Memvisualisasikan dan membuat gambar arteri koronaria dan cabang-cabangnya untuk keperluan diagnostik serta perencanaan strategi pengobatan lanjut. INDIKASI · Dugaan penyakit jantung koroner : - angina awitan baru - angina pektoris tidak stabil - evaluasi preoperative tindakan bedah mayor - iskemia silent - positive ETT - atypical chest pain · Infark jantung : - angina pasca infark, - kegagalan trombolisis - renjatan - defek sentrum ventrikel - ruptur m. Papilaris. · Sudden cardiac death · Penyakit katup jantung · Penyakit jantung bawaan · Diseksi aorta · Perikarditis konstriktif dan tamponade · Kardiomiopati · Persiapan dan pasca transplantasi jantung KONTRAINDIKASI Kontraindikasi absolut : fasilitas dan peralatan laboratorium yang tidak memadai Kontraindikasi relatif : · Gagal jantung yang belum terkontrol, · Tekanan darah tinggi, dan · Aritmia · Penyakit serebrovaskular (kurang dari 1 tahun) 293
· · · · · · ·
Demam atau infeksi yang belum diketahui penyebabnya Ketidakseimbangan elektrolit Anemia dan perdarahan gastrointestinal Kehamilan Pengobatan dengan antikoagulan (diatesis hemoragik yang sudah diketahui) Pasien yang tidak kooperatif Intoksikasi obat (digitalis, fenotiazin)
PERSIAPAN Bahan dan alat : · Unit kateterisasi yang terdiri dari fluoroskopi U, atau C arm, meja kateterisasi, dan monitor TV · Alat perekam data fisiologis (EKG, tekanan intrakardiak, transduser, kertas perekam dan lain -lain) · Injektor kontras · Defibrilator dan perlengkapan resusitasi kardiopulmonar (Air Viva O2 dan obat-obat emergensi) · Perlengkapan tindakan operasi steril Pasien : · Identifikasi pasien dan izin operasi dengan penerangan tujuan, cara dan risiko · Puasa 4-6 jam sebelum kateterisasi, obat-obat penting diteruskan, Profilaksis antibiotik. · Resume klinis, laboratorium, EKG, foto dada, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya : - Riwayat alergi, obat-obatan yang digunakan saat ini - Pemeriksaan jasmani - Pemeriksaan penunjang seperti laboratorium : Hb, leukosit, - Ureum, kreatinin, masa protrombim, dan masa tromboplastin parsial, natrium, kalium dan gula darah - Bila mendapat insulin diberikan hanya setengah dosis - Foto dada - EKG istirahat maupun hasil test treadmill. Bila ada, hasil ekokardiografi atau hasil kateterisasi sebelumnya PROSEDUR TINDAKAN 1. Kateterisasi dilakukan di ruangan kateterisas 2. Memasang pemantaun EKG 3. Infus emergensi tangan kiri 4. Premedikasi : petidin 25 mg IM, antistin 1 ampul IM 5. Proteksi radiasi (apron Pb tebal 0,50 mm atau yang setara menutup badan sampai lutut dan leher) bagi operator atau pada pasien hamil serta badge pengukur radiasi yang diperiksa setiap bulan 6. Aseptik dan antiseptik serta prosedur steril seperti pada tindakan operasi (bagi operator maupun pasien) 7. Pungsi pembuluh darah atau arteriotomi untuk akses pembuluh darah. Pungsi vena/arteri dengan jarum perkutan dengan teknik Seldinger paling sering dilakukan. Guidewire 294
dimasukkan ke dalam pembuluh darah melalui jarum pungsi disusul oleh sheat. Heparin 2500 -5000 unit disuntikkan melalui sheat ke dalam pembuluh darah. Kateter dapat dimasukkan dalam pembuluh darah dengan mudah dan aman melalui sheat. Arteri/vena femoralis paling sering digunakan, namun pembuluh brachialis atau radialis juga dapat digunakan. Arteriotomi dan venaseksi (membuka arteri dan vena serta menjahit kembali) saat ini sudah jarang dilakukan 8. Pengukuran tekanan intrakardiak, pengambilan sampel saturasi darah dan penyuntikkan kontras pada proyeksi tertentu 9. Evaluasi hasil sementara kateterisasi 10. Setelah dianggap cukup maka sheat dicabut, melakukan hemostatik dan pembalut mencegah perdarahan. 11. Mengisi formulir hasil sementara dan instruksi pasca kateterisasi yang berisi : · Istirahat di tempat tidur (tidak menggerakkan daerah kateterisasi selama 8 jam), · Tekanan darah dan nadi setiap 15 menit selama 4 jam, dan selanjutnya setiap jam selama 8 jam, · Hipotensi biasanya disebabkan oleh diuresis akibat kontras. · Takikardia akibat perdarahan harus dilaporkan pada operator. · Periksa adanya hematoma pada pembuluh yang mengalami pungsi, hilangnya denyut nadi pada bagian distal · Ekstremitas yang dingin bisa karena trombus, spasme atau vasokonstriksi. · Bila ada trombus dapat diberi aspirin 325 mg dan heparin bolus 5000 U dilanjutkan drip 1000 U/jam. · Bila ada iskemia ekstremitas, perlu intervensi bedah vaskular. · Mencatat produksi urin (sekitar 30 ml/jam) 12. Menyimpulkan hasil akhir kateterisasi dan mendiskusikannya dengan pasien PENILAIAN LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Kematian, infark jantung, strok, aritmia ventrikel yang serius, trombosis, perdarahan yang memerlukan transfusi, pseudoaneurisma, diseksi aorta, perforasi jantung, tamponad, reaksi kontrasm anafilaksis/nefropati, reaksi protamin, infeksi, gagal jantung, reaksi vasovagal WEWENANG · RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan membantu pelaksanaan · RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi 295
·
RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog
UNIT TERKAIT REFERENSI Panggabean M. Kateterisasi Jantung Kiri dan Kanan dan A ngiografi Koronaria. Dalam : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 15161
296
PACU JANTUNG SEMENTARA PENGERTIAN Pacu jantung sementara merupakan teknik memberikan rangsangan listrik pada jantung kanan dengan elektroda endokardial perkutan TUJUAN · Terapeutik · Diagnosis penatalaksanaan siaga pada infark miokard akut, kateterisasi jantung dan tindakan bedah. INDIKASI Terapeutik · Bradikardia simptomatik pada kondisi : sick sinus syndrome, fibrilasi atau fluter atrial dengan blok AV derajat tinggi, blok AV total · Takikardia simptomatik pada takikardia ventricular intermitem, fibrilasi ventrikular intermitem yang memerlukan obat-obatan yang potensial menimbulkan bradiaritmia. · Malfungsi pacu jantung permanen · Sinkop sinus karotis Diagnostik · Penelitian fungsi jaras His · Penelitian fungsi nodus SA · Identifikasi ritme pada analisis aritmia Indikasi pencegahan dan penatalaksanan siaga : · Infark miokard akut dengan kondisi : asistol, bradikardia simptomatik, BBB bilateral, blok fasikular baru atau tidak tergantung usia (RBBB dengan LAFB atau LPFB) dengan blok AV derajat satu, Blok AV derajat dua Mobilitz tipe II · Selama operasi dengan kondisi : bradikardia berat (frekuensi jantung < 40 kali/menit), bradikardia sinus (frekuensi jantung < 60 kali/menit) dengan penurunan respons nodus SA treadmill test dan/atau atropin IV (laju sinus meningkat < 90 kali/menit setelah bolus SA 1 mg IV), Blok AV Mobitz II atau blok AV total, blok fasikular kronik yang dihubungkan dengan sinkop, angina tidak stabil atau infark miokard akut. KONTRAINDIKASI Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang PERSIAPAN 1. Periksa EKG dan foto dada 2. Periksa hitung trombosit, PT dan APTT 3. Pasang IV line 4. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien termasuk risiko penyulit serta informed consent 5. Akses vena : jalur femoral : jarum Potts-Cournand, set kateter, scalpel nomor 11, klem mosquito. P 297
6. Pacemaker : elektroda pacu bipolar (5-7 F) dan generator, fluoroskop portable dan lead aprons 7. Desinfektan dan duk steril : solusio antiseptik, sarung tangan steril, masker, tutup kepala, dan kasa steril 8. Anestesi : lidokain (1% 10 ml, siring 10 ml dan jarum 23 G 9. Resusitasi : defibrillator, oksigen PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien pada posisi telentang dengan kaki sedikit abduksi 2. Identifikasi anatomi vena femoralis yang akan dilakukan pungsi vena. Letaknya medial dari A. Femoralis dan sekitar 1 atau 2 inchi di bawah lipat inguinal. 3. A dan antisepsis daerah pungsi dan sekitarnya 4. Anestesi kulit dan jaringan subkutan sekitar tempat pungsi 5. Lakukan pungsi vena. Buat insisi kecil pada kulit dengan pisau scalpel nomor 11. Masukkan jarum Potts-Cournand dengan membentuk sudut 60 derajat. Aspirasi untuk memastikan daerah vena 6. Kanulasi vena dengan menggunakan teknik seldinger 7. Masukkan elektroda pacu jantung 8. Alur posisi fluoroskopi mengikuti elektroda. Kateter terus didorong sampai vena kava inferior kemudian masuk atrium kanan. Selanjutnya kateter akan melalui permukaan atas katup trikuspid dan masuk ke ventrikel kanan. 9. Hubungan elektroda distal dengan bagian negatif generator dan elektroda proksimal dengan bagian positif generator. 10. Tentukan threshold (ambang) pacu jantung. Nilai threshold adalah miliamper terendah dimana pacu jantung akan pace. Setelah wire pada posisinya maka : · Tahap 1 : set miliamper pada 5 mA · Tahap 2 : Putar mode pacu jantung tetap pada rate lebih tinggi dari rate pasien · Tahap 3 : putar miliamper turun 1 maA sampai irama pacing hilang. Kemudian miliamper dinaikkan sampai timbul irama pacing. Level ini menunjukkan ambang. · Tahap 4 : set mA 2 kali ambang 11. Buat dokumen EKG 12 sadapan untuk melihat gambaran LBBB; jika terlihat gambaran RBBB berarti posisi elektroda tidak tepat PENILAIAN LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Infeksi, flebitis, emboli udara, hidrotoraks, pneumotraks, perforasi mikokard, kegagalan pacing (pacing failure) dislokasi lead endokardial, stimulasi diafragma
298
WEWENANG · RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan membantu pelaksanaan · RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog UNIT TERKAIT · Bedah vaskular, Pulmonologi bila terjadi komplikasi REFERENSI Harun S. A lwi I, Rasjidi K. Pacu Jantung Sementara. Dalam : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W . Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI:2001 p. 162-5
299
PERIKARDIOSENTESIS (PUNGSI PERIKARD) PENGERTIAN Perikardiosentesis (pungi perikard) adalah tindakan aspirasi efusi perikard TUJUAN · Konfirmasi dan mencari etiologi · Terapi INDIKASI Efusi perikard KONTRAINDIKASI Masa perdarahan dan pembekuan yang memanjang PERSIAPAN 1. Penjelasan kepada pasien tentang tujuan, cara dan risiko tindakan disertai inform consent 2. Pemeriksaan PT dan APTT 3. EKG 4. Xilocain 2% 5. Spuit 20 atau 50 ml 6. Jarum pungsi nomor 16-18 7. Trokar PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien disandarkan pada sadapan dengan sudut 450 2. Dilakukan dengan ekokardiografi untuk melihat posisi cairan perikard 3. Dilakukan a dan antisepsis pada lokasi pungsi (sudut antara prosesus sifoideus dengan arkus iga kiri atau sela iga 5, kira-kira 2 cm medial dari perkusi pekak atau sela iga 5 atau 6 garis sternal kiri atau sela iga 4 kanan, kira-kira 1 cm medial dari perkusi pekak, sela iga 5-6 garis sternal kanan atau sela iga 7-8 belakang, garis midskapula kiri) 4. Anestesi dengan xilocain 2% atau prokain 2% di lokasi pungsi 5. Jarum nomor 16-18 dihubungkan dengan spuit 20-50 ml dihubungkan dengan jarum EKG (sadapan prekordial) melalui aligator atau hemostat, diarahkan ke posterosefalad, membentuk sudut 450 dengan permukaan dinding dada 6. Jarum ditusukkan dengan mantap 2-4 cm sampai terasa tahanan. Bila jarum pungsi menembus perikard dan kontak dengan otot jantung akan timbul elevasi segmen ST (injury) dan ekstrasistol ventrikel dengan amplitudo tinggi. Bila hal ini terjadi, maka jarum pungsi harus ditarik sedikit dan diarahkan ke tempat lain. 7. Apabila cairan perikard, dapat dipakai trokar yang lebih besar. 8. Pada pungsi di sela iga depan diusahakan agar tusukan jarum tepat di atas iga agar terhindar dari arteri interkostal yang berada tepat di bawah oiga yang berada di atasnya. 9. Apabila tidak diperoleh cairan yang mengalir, jarum ditarik perlahan-lahan dan ditusuk kembali ke arah lain atau lebih dalam sedikit. Hindarkan tusukan yang tiba-tiba, kasar, atau pemindahan arah tusukan secara kasar. 300
10. Perubahan arah tusukan harus dilakukan secara perlahan-lahan tapi konstan sambil diisap secara kontinyu. Pada aspirat berdarah sering sulit dibedakan dengan tusukan intraventrikula oleh karena itu periksa hematokrit, mekanisme pembekuan cairan aspirat dan darah arterial bersamaan. Bisa juga diperiksa analisis gas darah. PENILAIAN LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Laserasi dinding ventrikel, pneumotoraks, laserasi arteri mammaria interna WEWENANG · RS pendidikan : Internist-Cardiologist dengan keahlian khusus dan didampingi oleh tim kateterisasi yang terdiri dari dua-tiga perawat terlatih dan seorang penata rontgen, PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi : mempersiapkan dan membantu pelaksanaan · RS non pendidikan : Internist / Kardiolog yang telah mempunyai sertifikasi UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Kardiologi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam / Kardiolog UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Divisi Pulmonologi dan Departemen Bedah/Toraks · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bedah, Pulmonologi REFERENSI Ismail D, Panggabean MM. Perikarditis.. Dalam : Noer S, W aspadji A , Rachman M, Lesmana LA , W idodo D, Isbagio H, et al, editors. Buku A jar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga. Jakarta, Balai Penerbit FKUI: p.1077-81.
301
MANAJEMEN PERIOPERATIF PADA OPERASI NONKARDIAK PENGERTIAN Manajemen perioperatif pada operasi nonkardiak adalah usaha untuk menilai. memonitor dan memperbaiki kondisi jantung sebelum, saat maupun setelah operasi nonkardiak guna mengurangi risiko operasi terhadap jantung TUJUAN • Mengevaluasi status kesehatan pasien terkini • Membuat rekomendasi tentang evaluasi, manajemen dan risiko masalah jantung selama periode operasi • Memberikan profil risiko klinik sehingga pasien, dokter, anestesiologi, dan ahli bedah dapat membuat keputusan penatalaksanaan yang berpengaruh pada jantung jangka pendek maupun jangka panjang • Identifikasi pemeriksaan dan strategi penalataksanaan yang paling sesuai untuk mengoptimalkan perawatan pasien • Memberikan pengkajian risiko jantung jangka pendek dan jangka panjang • Menghindari pemeriksaan yang tidak perlu INDIKASI Operasi nonkardiak KONTRAINDIKASI PERSIAPAN Penilaian preoperative 1. Anamnesis untuk menilai riwayat penyakit 2. Pemeriksaan fisik 3. Pemeriksaan EKG 4. Pengkajian: • Identifikasi kelainan jantung yang serius : penyakit jantung koroner (misJ infark miokard akut dan angina pektoris, gagal jantung, aritmia simptomatik. adanya pacemaker atau defibrilator yang ditanam, atau riwayat intoleria ortostatik, adanya anemia. • Menilai berat penyakit, stabilitas penyakit dan terapi sebelumnya • Kapasitas fungsional • Usia • Kondisi komorbid (diabetes melitus, penyakit pembuluh darah perifea disfungsi ginjal, dan penyakit paru kronik) • Tipe operasi : (prosedur vaskular dan prosedur yang lama, prosedur surf dada. perut. kepala dan leher risiko lebih tinggi) 5. Pengkajian tentang prediktor klinik peningkatan risiko kardiovaskular perioperatif (infark miokard, gagal jantung, kematian) Mayor: 302
• Sindrom koroner tak stabil - Infark miokard akut atau recent dengan bukti risiko iskemia yang penting baik simptom maupun pemeriksaan non invasif - Angina tak stabil atau angina berat {Canadian Clas III atau IV • Gagal jantung dekompensata • Aritmia bermakna • BlokAVderajattinggi • Aritmia ventrikular simptomatik dengan dasar • penyakit jantung • Aritmia supraventrikular dengan rate vetrikel yang tidak terkontrol. • Penyakit katup berat Intermediate : • Angina pektoris ringan (Canadian Class I atau II) • Infark miokard lama diketahui dengan anamnesis atau adanya Q patologis • Gagal jantung sebelumnya atau kompensata • Diabetes melitus (terutama yang tergantung insulin) • Insufisiensi ginjal Minor: • Usia lanjut • EKG abnormal (LVH, left bundle-branch block, abnormalitas ST-T) • Irama selain sinus (misal fibrilasi atrial) • Kapasitas fungsional yang rendah (misal : tidak mampu memanjat tangga dengan tas punggung) • Riwayat strok • Hipertensi sistemik tidak terkontrol 6. Pengkajian stratifikasi risiko jantung untuk prosedur operasi nonkardiak Tinggi (risiko jantung yang dilaporkan selalu> 5%) • Operasi mayor emergensi (terutama pada usia lanjut) • Operasi aorta atau operasi pembuluh darah besar lainnya • Operasi pembuluh darah perifer • Prosedur operasi yang diantisipasi memanjang sehubungan dengan hilangnya darah dan atau pergantian cairan dalam jumlah besar Intermediate (Risiko jantung yang dilaporkan < 59c) • Endarterektomi karotis • Operasi leher dan kepala • Operasi intratoraks dan intraperitoneal • Operasi ortopedi • Operasi prostat
303
Rendah (Risiko jantung yang dilaporkan umumnya < 1%) • Prosedur endoskopi • Prosedur superfisial • Operasi katarak • Operasi payudara 7. Penilaian kapasitas fungsional Dengan memperkirakan energi yang dibutuhkuan untuk berbagai aktivitas 1 MET • Merawat diri • Makan, berpakaian, menggunakan toilet • Berjalandalamrunah • Berjalan satu blok atau dua tingkat dengan kecepatan 3,2 sampai 4,8 km per jamatau2 -3 mph 4 MET • Bekerja di sekitar rumah seperti mencuci atau membersihkan debu 4 MET • Memanjat tangga atau berjalan ke bukit • Berjalan datar dengan kecepatan 4 mph atau 6,4 km per jam • Bekerja berat di rumah seperti membersihkan lantai atau mengangkat atau menggerakkan furnitur yang beratlkut serta dalam aktivitas rekreasi yang sedang seperti golf, bowling, dansa, tenis ganda atau melempar bola basket atau bola sepak bola > 10 MET • Ikut dalam olahraga seperti berenang, tenis tunggal, sepak bola, bola basket, atau ski Risiko jantung dan jangka panjang perioperatif meningkat pada pasien yang tidak dapat mencapai 4 MET pada waktu kebanyakan aktivitas normal sehari-hari PROSEDUR TINDAKAN • Tahap 1. Apakah operasi nonkardiak merupakan sesuatu yang urgensi? Jika keadaan emergensi maka tidak ada waktu untuk evalusi jantung preoperatif. Stratifikasi risiko postoperatif sesuai untuk pasien yang tidak dinilai sebelumm a. • Tahap 2. Apakah pasien menjalani revaskularisasi koroner 5 tahun terakhir ? JikJ ya dan jika status klinik tetap stabil tanpa gejala rekuren/tanda-tanda iskemia. ujri jantung lebih jauh secara umum tidak dibutuhkan. • Tahap 3. Apakah pasien telah menjalani evaluasi koroner 2 tahun terakhir? Jika risiko koroner telah dikaji secara adekuat dan penemuannya memuaskan, biasanya, tidak diperlukan uji ulang kecuali pasien mempunyai pengalaman perubahia atau gejala baru iskemia koroner sejak evaluasi sebelumnya. • Tahap 4. Apakah pasien mempunyai sindrom koroner tak stabil atau risilJ prediktor klinik mayor? Ketika operasi nonkardiak elektif dipertimbangkin, adanya penyakit koroner tak stabil, gagal jantung dekompensasi, aritmij simtomatik. dan atau penyakit jantung katup yang berat 304
•
•
•
•
biasanya menuiKB operasi sampai masalah teridentifikasi dandiobati Tahap 5. Apakah pasien mempunyai risiko prediktor klinik intermediate! Ada atau tidak adanya infark miokard sebelumnya dari riwayat atau EKG, angina pektoris, gagal jantung terkompensasi atau gagal jantung sebelumnya, kreatinin preoperatif > 2 mg/dl, dan atau diabetes melitus membantu untuk tnenstratifikasi risiko kejadian koroner perioperatif lebih jauh lagi. Pertimbangan kapasitas fungsional dan tingkat risiko operasi spesifik memberi pendekatan rasional untuk mengidentifikasi pasien untuk mencapai manfaat dari uji noninvasif yang lebih jauh. Tahap 6. Pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor tapi intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik dapat menjalani operasi risiko intermediate dengan sedikit risiko kematian atau infark miokard perioperatif. Sebaliknya, uji noninvasif selalu dipertimbangkan untuk pasien dengan kapasitas fungsional yang buruk atau moderat tapi operasi risiko lebih tinggi, terutama untuk pasien dengan 2 atau lebih prediktor risiko intermediate. Tahap 7. Operasi non kardiak umunya aman untuk pasien tanpa prediktor risiko klinik mayor atau intermediate dan kapasitas fungsional moderat atau baik (4 METs atau lebih). Uji tambahan mungkin dipertimbangkan secara individual untuk pasien tanpa petanda klinik tapi kapasitas fungsionalnya buruk yang terpajan dengan risiko operasi yang lebih tinggi, terutama untuk mereka dengan beberapa prediktor risiko klinik minor yang dijadualkan menjalani operasi vaskular. Tahap 8. Hasil uji noninvasif dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan uji tambahan preoperatif dan pengobatan. Pada beberapa pasien dengan CAD, risiko intervensi koroner atau operasi koreksi jantung mungkin mendekati atau melebihi risiko operasi nonkardiak. Pendekatan ini sesuai, meskipun tidak secara signifikan memperbaiki prognosis jangka panjang.
PENILAIAN LAMATINDAKAN KOMPLIKASI • Bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan atropin, isoproterenol, dan pacu jantung sementara. • Takiaritmia(TVatauFV) • Emboli (Pasien perlu dimonitor kira-kira 8 jam pasca tindakan) WEWENANG • RS Pendidikan : Internist-cardiologist dan PPDS Penyakit Dalam . • RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Di visi Kardiologi • RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT 305
• Tiap Departemen / Bagian / Divisi pelaksana operasi: Bedah, Kebidanan, THT. BedahSarafdll. REFERENSI Eagle KA , Berger PB, Calkins H, Chaitman BR, Ewy GA , Fleischmann KE, et al. Perioperav: > Cardiovascular Evaluation For Cardiac Surgery Update. A Report of the A merican College of Cardiology/A merican Heart A ssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee I Update the 1996 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardic: Surgery)
306
PERCUTANEUS TRANSLUMINAL CORONARY ANGIOPLASTY PENGERTIAN Percutaneus transluminal coronary angioplasty adalah Tindakan revaskularisasi koroner di mana lesi stenotik dilebarkan dengan menggunakan balon TUJUAN Melebarkan lesi stenotik dengan menggunakan balon INDIKASI • Single vessel disease : - angina persisten, kapasitas jasmaninya rendah, tidak dapat bekerja normal, dibutuhkan pengobatan polifarmasi jangka panjang • Multivessel disease : - gejala simtomatik dengan angina kelas II-IV yang tak dapat dikontrol dengan obatobatan atau bila pasien tidak dapat mentoleransi obat - Bila tidak mempunyai keluhan, indikasi bila ada daerah iskemia miokardium luas (dengan tes non invasif) disertai salah satu dari: iskemia berat pada tes noninvasif, pasca resusitasi henti jantung atau takikardia ventrikel tanpa adanya infark, pasien hams menjalani operasi nonkardiak risiko tinggi, adanya riwayat infark jantung, hipertensi dan depresi ST pada EKG • Sindrom koroner akut, termasuk infark jantung akut KONTRAINDIKASI • Alergi zat kontras, aspirin • Kardiovaskular: gagal jantung berat (syok kardiogenik akibat infark jantung akut kadangkadang justru merupakan indikasi), hipertensi berat, aritmia mayor, seperti takikardia ventrikel yang berulang. takikardia atrium dengan respons ventrikel cepat. • Diabetes mellitus berat tak terkontrol • Gangguan elektrolit: hipokalemia, hiponatremia • Gastrointestinal: hepatitis akut. perdarahan saluran cerna • Hematologi: trombositopenia < 50000/dl. leukositosis tanpa sebab jelas, Hb < 10 g/dl) • Neurologis : penyakit serebrovaskular dalam 2-4 bulan • Renal: gagal ginjal • Sistemik : infeksi bakterial, demam tanpa sebab yang jelas Persiapan • Evaluasi adanya indikasi dan kontraindikasi • Laboratorium rutin : darah lengkap. ureum. kreatinin, elektrolit, gula darah,. • EKG dibuat pada hari yang sama sebelum Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) • Bila ada kecurigaan gagal jantung atau kelainan paru perlu dibuat foto dada • Film angiografi terakhir hams dinilai sebelum menentukan strategi tindakan • Aspirin dan tiklopidin diberikan minimal 3 hari sebelum tindakan. 307
PROSEDUR TINDAKAN 5. Akses pembuluh darah dapat melalui arteri femoralis atau radialis 6. Akses melalui arteri brakhialis jarang dilakukan 7. Heparin (150 U/kgBB) diberikan intravena atau intraarteri dan selanjutnya diberikan tiap jam 2500 U untuk mempertahankan nilai ACT > 300 detik 8. Pemasangan alat pacu jantung sementara tidak rutin dilakukan dan dilakukan bila dikhawatirkan akan terjadi penyulit gangguan hantaran atrioventrikular yang berat 9. Melalui kateter (guiding catheter) dimasukkan kawat penuntun (guidewire) melewati lesi. Dipilih balon dengan diameter sesuai dengan pembuluh yang akan didilatasi. Balon dikembangkan dengan alat indeflator sampai stenosis terbuka 10. Balon dikempiskan dan ditarik. Dinilai dengan penyuntikan kontras, apakah dilatasi telah cukup 11. Bila hasil masih suboptimal atau terjadi diseksi dapat dilakukan dilatasi ulang atau dipasang stent 12. Pada akhir tindakan hams diyakini bahwa pasien secara klinis stabil dan angio gram memperlihatkan hasil optimal dengan stenosis residual < 20%, aliran lancar. tak ada diseksi bermakna atau trombus. 13. Selama tindakan PTCA, nitrat atau verapamil dapat diberi intrakoroner bila ] diperlukan. Abciximab dapat diberikan pula 14. Pasca tindakan pasien dipantau di ICCU, minimal sehari. 15. Sheath ditarik pada hari yang sama bila waktu pembekuan darah normal atai ACTkurangdari 150 detik. 16. Heparin tidak rutin diberikan pasca PTCA. Tiklopidin dibeirkan terutama bi dilakukan pemasangan stent 17. Aspirin diberikan setemsnya bila tidak ada kontraindikasi 18. Obat-obat antiiskemik seperti nitrat dan antagonis kalsium umumnya diberika kecuali bila ada kontraindikasi obat-obat tersebut. Bila tidak ada penyulit pas:e dipulangkan 2 hari pasca PTCA. PENILAIAN LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI • Bila ada nyeri dada berulang, teliti apakah hal tersebut bukan angina dan j apakah ada perubahan EKG • Hipotensi karena : dehidrasi, perdarahan, obat-obatan (nitrat, sedatif, antagc kalsium). tamponade jantung (jarang sekali), infark jantung akut akibat • akut pembuluh yang didilatasi atau sepsis. • Insufisiensi ginja! akut • Fistula AV • Pseudoaneurisma • Hematoma • Oklusi trombotik 308
• Diseksi • Gangguan neurologis • Infeksi WEWENANG • RS Pendidikan : Internist-cardiologist/cardiologist dengan keahJian khusus dan didampingi oleh tim PTC A. PPDS Penyakit Dalam / Kardiologi yang sedang / sudah melalui Divisi Kardiologi: mempersiapkan dan membantu pelaksanaan. • RS Non Pendidikan : Internist /Cardiologist yang telah mempunyai sertifikasi UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam Di visi Kardiologi • RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam / Kardiologi UNIT TERKAIT • Bedah Jantung REFERENSI Santoso T. Pemasangan StentIntrakoroner. In: Sumaryono, A lwil, SudoyoA W . Simadibrata M, Setiati S, GaniRA , MansjoerA , editors. Prosedur Tindakan Di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian limn Penyakit Dalam FKUI; 2001. p. 166-8
309
TES TREADMILL PENGERTIAN Tes treadmill merupakan salah satu modalitas noninvasif yang digunakan untuk menilai pasien dengan dugaan atau terbukti menderita penyakit jantung. TUJUAN Memperkirakan prognosis dan menentukan kapasitas fungsional. INDIKASI • Untuk diagnosis penyakit jantung koroner. • Penilaian risiko dan prognosis pada pasien dengan gejala atau riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. • Pada pasien dengan IMA untuk menilai prognosis, toleransi aktivitas, evaluasi terapi medis dan rehabilitasi jantung. • Evaluasi pasien dengan gejala berulang yang disertai iskemia pasca revaskularisasi. KONTRA INDIKASI Absolut: • Infark miokard akut. • Angina pektoris tidak stabil yang belum stabil dengan terapi medis • Aritmia yang tidak terkendali yang menyebabkan keluhan atau gangguan • hemodinamik. • Stenosis aorta berat simtomatik. • Gagal jantung simtomatik yang belum terkendali. • Emboli paru akut atau infark paru. • Miokarditis atau perikarditis akut. • Diseksi aorta akut. Relatif: • Stenosis arteri koroner "left main ". • Penyakit jantung katup stenotik moderat. • Gangguan elektrolit. • Hipertensi berat. • Bradiaritmia dan takiaritmia. • Kardiomiopati hipertropik dan bentuk obstruksi "outflow tract". • Penurunan fisik dan mental yang menyebabkan ketidakmampuan melakui latihan secara adekuat. • BlokAVderajattinggi.
PERSIAPAN • Pasien tidak makan atau merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum tes. • Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan kontraindikasi tes. • Menanyakan obat-obat yang masih diminum. • EKG 12 standar pasien terlentang dan berdiri sebelum dilakukan tes . 310
PROSEDUR TINDAKAN 1. Perekaman elektrokardiografi dilakukan sebelum, selama dan setelah tes tread mill diakhiri 2. Sebelum tes treadmill, perekaman EKG dilakukan pada pasien dengan posisi tidur, posisi yang sesuai dengan posisi saat tes treadmill, dan setelah pasien diminta untuk bernapas dalam dan cepat (hiperventilasi). 3. Selama tes treadmill gambaran EKG diambil melalui osiloskop, sedangkan perekamannya dikerjakan 10-30 detik terakhir dari setiap beban tes treadmill, setelah tes treadmill diakhiri, dan dalam interval-interval tertentu selam 6 menit berikutnya atau setelah abnormalitas menghilang. 4. Biasanya minimal dikerjakan 1 perekaman baku dengan exploring electrode diletakkan di posisi V5, sedangkan reference electrode disesuaikan dengan posisi listrikjantung. 5. Indikasi penghentian tes Absolut: • Tekanan darah sistolik turun (menetap di bawah baseline) walaupun dengan peningkatan beban latihan. • Nyeri dada angina baru atau meningkat. • Gejala susunan saraf pusat (pusing, hampir sinkop, ataksia). • Tanda perfusi perifer menurun (sianosis atau pucat). • Aritimia serius (ventrikular derajat tinggi seperti multiform, triplet, dan VT/SVT). • Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah sistolik. • Pasien mintaberhenti. Relatif: • Perubahan ST atau QRS seperti perubahan segmen ST > 3-4 mm, depresi junctional atau perubahan aksis QRS. • Peningkatan rasa tidak enak di dada. • Lelah, sesak napas, wheezing. • Target HR 100% sudah tercapai. LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI • Penurunan tekanan darah. • Angina sedang sampai berat. • Pusing, sinkop sebagi akibat peningkatan gejala sistem saraf. • Sianosis atau pucat. • Takikardia ventrikular. • Aritmia. • Gangguan konduksi. • Iskemia miokard.
311
WEWENANG • RS Pendidikan : dokter spesialis penyakit dalam/PPDS Penyakit Dalam yang sudah melalui Divisi Kardiologi dengan supervisi dari konsultan kardiovaskular • RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT TERKAIT ICCU REFERENSi : • Sugiri. Elektrokardiograft Pada Uji Latih Jantung. In: Noer S, W aspadji A, Rachaman M.Lesmana LA, W idodoD, lsbagioH, etal, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta, Balai PenerbitFKUI ;1996. p.934-8. • ChaiRman. Exercise Stress Testing. In : Braunwald E, eds. Heart Disease, 6th ed.
312
3.2
PULMONOLOGI
313
PUNGSI CAIRAN PLEURA PENGERTIAN Pungsi cairan pleura adalah tindakan aspirasi cairan pleura dari rongga pleura dengan jarum perkutan (= torakosentesis) TUJUAN Diagnostik efusi pleura atau terapeutik / drainase. INDIKASI Efusi pleura KONTRA INDIKASI Keadaan sepsis PERSIAPAN 1. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, serta kemungkinan yang akan terjadi bila tidak dilakukan prosedur tersebut. 2. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menigisi dan menandatangani suratijin tindakan. 3. Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu). 4. Menentukan lokasi cairan pleura dengan klinis dan radiologis. Efusi pleura yang sedikit diperiksa foto toraks lateral dekubitus, bila mungkin dengan ultrasonografi yang lebih baik membedakan cairan yang mengambang bebas dan terlokulasi. 5. Menyediakan alat dan bahan yang diperlukan: Lidocain 2 % ampul (4 ampul), Spuit (5 ml, 20 ml, 50 ml), Abocath no 16 G/ no 14 G, three way, dan blood set. PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien berada dalam posisi duduk tegak, kedua lengan ke depan, sebaiknya kepala dan kedua lengan ditopang meja. 2. Lokasi yang akan dipungsi diperiksa ulang dan diberi tanda dengan pen. Lokasi harus bebas dari penyakit lokal. Untuk efusi yang besar, lokasi pungsi ialah di satu iga di bawah batas atas perkusi pekak, di linea aksilaris posterior atau media. Pendapat lain ialah di sela iga VI atau VII linea aksilaris posterior atau media. Pada efusi yang kecil, sebaiknya dengan dibimbing USG. 3. Menggunakan sarung tangan steril. 4. A dan antisepsis daerah kulit di atas efusi pleura. 5. Bila aspirasi diagnostik hanya akan mengambil sedikit cairan, anestesi lokal umumnya tidak diperlukan. Pada pasien yang tidak gemuk, digunakan jarum untuk pungsi vena ukuran 21-G dengan syringe 50 ml. 6. Jarum ditusukkan tegak lurus terhadap dinding dada, sedikit superior dari tepi atas tulang iga (- di bagian bawah ruang inter-kosta) untuk menghindari berkas neurovaskular. Seraya menusukkan jarum, dilakukan penghisapan dengan syringe sampai cairan pleura teraspirasi. Lalu ujungjarum diarahkan ke inferior. 314
7. Bila volume cairan lebih besar akan dikeluarkan, digunakan anestesi lokal ( Lidocaine 2 % 2-4 ml), three-way tap, dan kanul intravena (Abocath) 16-G. 8. Luka bekas pungsi ditutup kassa steril yang ditetesi iodium povidone (Betadine). 9. Contoh cairan dikirim untuk pemeriksaan analisis cairan pleura,, ^sitologi. mikrobiologi sesuai indikasi. 10. Hemodinamik dimonitor sesuai dengan banyaknya cairan yang diambil, dan reaksi tubuh pasien terhadap prosedur. LAMATINDAKAN Tergantung tujuan dan volume cairan: untuk diagnostik : 5 menit, terapeutik : 15 - 60 menit KOMPLIKASI Pneumotoraks, hemotoraks, edema paru re-ekspansi (terutama bila drainase terlalu cepat, dan > 1 L cairan dikeluarkan pada satu saat), emboli udara. WEWENANG • RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam j yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor • RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Departeri Pulmonologi • RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiodiagnostik, Departemen Bed Bedah Toraks • RS Non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah REFERENSI 1. Rosenbluth DB. Pleural Effusions: Nonmalignant and Malignant. In Fishman A P,, J A , Fishman J A , Grippi MA , Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Pulmonary eases and Disorders.3rd ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2002.p. 487-506. 2. Colt HG, Mathur PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W ill & W ilkins; 1999.p. 155-161. 3. Light RW . Disorders of the Pleura, Mediastinum, and Diaphragm. In: Braunwak Fauci A S, Kasper DL, Mauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Princ Internal Medicine. 15"' ed. New Y ork: McGrawHill; 2001.p. 1513-6. 4. W oodcock A , V iskum K. Pleural and other investigations. In Brewis RA L, Conr0 Geddes DM, Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saw:. 1995.p. 383-91. 5. Karlinsky JB, Lau J, Goldstein RH. Decision making in Pulmonary Medicine. Phi pliia: BC Decker; 1991.p. 12-3. 6. Sahn SA . Pleural diseases. In A merican College of Chest Physicians. IV 1 ' Nations Pulnwnarx Board Review. Illinois: A CCP, 1996:243-53.
315
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS PENGERTIAN Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah pengambilan material jaringan kelenjar getah bening untuk dilakukan pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi. Kelenjar getah bening yang dimaksud di sini ialah kelenjar getah bening (KGB) daerah submandibula, leher, atau supraklavikula. TUJUAN Mengambil bahan jaringan kelenjar getah bening untuk pemeriksaan sitologi dan mikrobiologi. INDIKASI Pembesaran kelenjar getah bening di daerah submandibula, leher, supraklavikula, dengan kecurigaan kelainan paru yang berhubungan dengan KGB tersebut. KONTRAINDIKASI • Mutlak : tidak ada. • Relatif: gangguan koagulasi berat. PERSIAPAN Persiapan pasien: 1. Pemeriksaan DPL, masa perdarahan, masa pembekuan 2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. 4. Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (TD, nadi, frekuensi pernapasan, suhu). 5. Pasien diminta untuk buang air besar/kecil sebelum mulai tindakan Bahan dan alat: 1. Jarum suntikukuran23G atau 25G 2. Syringe 2,5 mL atau 5 mL tanpa jarum 3. Kaca obyek 3 buah 4. Kasa steril 5. Larutan povidon iodine 6. Sarung tangan steril PROSEDUR TINDAKAN 1. Memakai sarung tangan steril 2. Daerah benjolan/KGB, dan sekitarnya. dibersihkan dengan kasa steril yang telah dibasahi dengan antiseptik, secara sentrifugal 3. Benjolan difiksasi dengan tangan kiri ( bila pemeriksa merupakan pengguna tangan kanan) . 4. Jarum tanpa syringe ditusukkan ke benjolan dari pinggir ke tengah benjolan. 5. Setelah jarum masuk, ditarik sedikit lalu ditusukkan lagi ke arah kiri dan kanan arah sebelumnya, kira-kira 3-7 kali tusukan 316
6. Jarum ditarik keluar sambil menutup lubang pangkal jarum 7. Syringe tanpa jarum mengaspirasi udara bebas 8. Jarum dipasangkan kepada syringe 9. Dekatkan ujung jarum ke tengah kaca obyek, lalu disemprotkan ( syringe dikosongkan) 10. Kaca obyek yang ada bahan aspirasi ditempelkan kepada kaca obyek bersih. sehingga didapatkan 2 buah kaca obyek dengan bahan aspirasi 11. Kedua kaca obyek dibiarkan mengering di udara, lalu diberi tanda identitas dan segera dikirim ke laboratorium 12. Bekas luka tusukan jarum ditutup dengan kasa steril yang telah dibubuhi cairan antiseptik LAMATINDAKAN 5-10menit KOMPLIKASI Perdarahan WEWENANG • RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam ■ •yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi .PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor • RS Non Pendidikan: Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi Departemen Pulmonologi • RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi • UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Patologi Anatomi, Mikrobiologi • RS Non Pendidikan : Bagian Patologi Anatomi, Mikrobiolgi REFERENSI Syafei S, Prayogo N. Biopsi A spirasi Jarum Halus (BA JA H). In: Sumaryono, A lwi I, Sua A W , Simadibrata M, Setiati S, Gani RA , Mansjoer A , editors. Prosedur Tindakan di Bidj Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat lnfonnasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Da^. FKUl:1999.p.l03-4 .
317
PLEURODESIS PENGERTIAN Penyatuan permukaan pleura viseralis dan parietalis, secara permanen dengan cara kimiawi, mineral, atau mekanik. Pleurodesis disebut jugapleural sclerosis. TUJUAN 1. Mencegah berulangnya efusi pleura, 2. Menghindari torasentesis berikutnya, menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, 3. Terapi simptomatisjangkapanjang, 4. Menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax ), 5. Meningkatkan kualitas hidup dan aktitvitas kehidupan sehari-hari. INDIKASI 1. Efusi pleura keganasan atau non-keganasan yang cepat berulang walaupun telah dilakukan torasentesis volume besar, atau tidak respons terhadap terapi sistemik. Kandidat ideal mempunyai tingkat tampilan yang memuaskan ( skor Karnofsky > 40 ), memiliki perkiraan kesintasan > 3 bulan, dan menunjukkan perbaikan gejala setelah thoracentesis sebelumnya. 2. Pneumotoraks spontan atau sekunder yang berulang, atau pneumotoraks pertama kali pada pasien dengan risiko tinggi untuk rekurens atau dimana pneumotoraks berikutnya dapat mengakibatkan morbiditas atau mortalitas yang bermakna KONTRA INDIKASI 1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan, 2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura, 3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik dengan teerapi sistemik (kanker mammae, dll), 4. Pasien yang menolak dirawat di RS atau keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada karena slang torakostomi. 5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak sempurna setelah pengeluaran semua cairan pleura (trapped lung ). PERSIAPAN • Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul, • Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga mengisi dan menandatangani suratijin tindakan. • Foto toraks dilakukan sebelum pleurodesis untuk memastikan bahwa paru-paru telah mengembang sepenuhnya. Mediastinum dilihat untuk menilai tekanan pleura pada sisi efusi dan kontra lateral, • Bila memungkinkan dilakukan bronkoskopi sebelum pleurodesis untuk menilai adakah obstruksi di bronkus yang memerlukan radioterapi atau terapi laser. • Anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang 318
• Dilakukan pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu). • Hasil laboratorium dilihat ulang • Insersi chest tube bila belum terpasang. Semua cairan pleura dibiarkan keluar sampai habis, atau produksi cairan maksimal 100 cc per 24 jam. Idealnya slang berada pada posisi posterior-inferior. • Alat-alat: - Klem chest tube 2 buah, catheter tip syringe (60 mL) 1 buah, mangkuk steril 1 buah, sarung tangan steril, drape/duk steril, kassa steril, • Bahan-bahan: - Larutanpovidon-iodine, 10 ampullidocaine2 %, 1 ampul pethidin50mg. cairan NaCl 0, 9 % steril, • Bahan sclerosing ( salah satu ): - Agen sitotoksik: bleomisin 40 - 80 unit, atau mitoxantron 30 mg (20 mg/nvi. dicampur dengan 30 -100 mL NaCl 0,9 %, - Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1.000 mg (35 mg/kgBB) atau minosiklin 300 mg ( 7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500-1.000 mg, dicampur dengan 30 -100 mL NaCl 0,9 % dan 20 mL lidokain 2 %, - Talk: 3 -10 g bubuk talk steril dilarutkan dalam 100 mL NaCl 0,9 % steril. Talc disterilkan dengan radiasi sigma atau dalam autoclave dengan suhu 270°F. Bubuk dimasukkan dalam kolf NaCl 0,9 %, dikocok , lalu dituang dalam mangkuk steril. PROSEDUR TINDAKAN • Tindakan dilakukan di ruangan pasien. • Dipasang jalur infus NaCl 0,9 % • Disiapkan O, • Posisi pasien setengah lateral dekubitus pada sisi kontra-lateral (sisi yang a, • chest tube berada di atas), tempatkan handuk di antara pasien dan tempat tidurj • Petidin 50 mg IM, 15-30 menit sebelum memasukkan zat pleurodesis • Chest tube di-klem dengan 2 klem, lalu dilepaskan dari adaptor / WSD • Klem dibuka sesaat, agar paru sedikitkolaps dalam rongga pleura • Lidokain 2 % 20 mL diinjeksikan melalui chest tube, kemudian klem kemb. • dipasang. Posisi pasien diubah-ubah agar merata di seluruh permukaan pleu • Dengan menggunakan teknik steril, agen sclerosing dicampur dengan larut • salin di mangkuk steril. Campuran diaspirasi dengan syringe • Syringe dipasangkan pada chest tube, kedua klem dibuka, larutan diinjeksii • melalui chest tube. Bilas dengan NaCl 0,9 % • Pasien diminta bernapas beberapa kali agar larutan tertarik ke rongga pleura • Klem segera dipasang kembali dan chest tube dihubungkan dengan adaptor • WSD • Hindari suction negatif selama 2 jam setelah pleurodesis. Pasien diubah-u • posisinya (supine, decubitus lateral kanan-kiri) selama 2 jam, lalu klem dicata^ • Rongga pleura dihubungkan dengan suction bertekanan - 20 cmH,0
319
• -
Pasca tindakan: Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap hari Awasi tanda vital Monitor drainase chest tube harian Monitor kebocoran udara Perban diganti tiap 48 jam Kendalikan nyeri dengan analgetik Bila perlu spirometri insentif Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 mL atau tidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD
LAMA TINDAKAN ±3 jam KOMPLIKASI • Nyeri • Takikardia, takipnea, pneumonitis atau gagal napas (terutama setelah pemberian talc slurry), edema paru reekspansi. Umumnya reversibel. • Demam. Berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam < 48 jam. • Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung. • Reaksi terhadap obat • Syok neurogenik WEWENANG • RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi. PPDS Penyakit Dalam tahap I dengan pengawasan PPDS tahap II atau III atau supervisor • RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen Pulmonologi • RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Departemen Bedah/Toraks. • RS Non Pendidikan : Bagian Bedah REFERENSI 1. Colt HG, Matlntr PN. Manual of Pleural Procedures. Philadelphia: Lippincott W lllunm &W ilkins;1999.p. 155-161. 2. Rasmin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah. Elisna S. Prosedur Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostikdan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmo 2001.p. 91-2.
320
BRONKOSKOPI PENGERTIAN Bronkoskopi merupakan proses visualisasi langsung dari percabangan trakeo-bronkial, menggunakan alat bronkoskop flexible atau rigid. • Bilasan bronkus (Bronchial washing) = tindakan membilas daerah bronkus dan cabangcabangnya dengan cairan normal saline via bronkoskop, pada permukaan lesi. Bronchoalveolar lavage (BAL) merujuk pada pengambilan sampel dari daerah yang tidak tervisualisasi - parenkim paru yang lebih distal - dengan ujung bronkoskop menutup suatu saluran subsegmental, kemudian normal sa line diinjeksikan untuk mendapatkan sel dan organisme dari ruang alveolar. • Sikatan bronkus (Bronchial brushing) = tindakan menyikat daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. • Biopsi forsep = tindakan biopsi dengan menggunakan alat biopsi forsep melalui bronkoskop. • Biopsi aspirasi jarum transbronkial (transbronchial needle aspiration ITBNA | = tindakan biopsi menembus trakeobronkus dengan jarum melalui bronkoskop untuk lesi/kelainan yang menekan trakeobronkial. • Pengangkatan benda asing = pengambilan benda asing dalam saluran napas menggunakan bronkoskop. • Biopsi Paru Transbronkial (Transbronchial Lung Biospy/TBLB ) karena membutuhkan fluoroskopi C-arm, terapi laser, atau pemasangan stent trakeobronkial tidak dimasukkan disini. TUJUAN TujuanUmum: 1. menilai keadaan percabangan bronkus 2. mengambil spesimen untuk diagnostik 3. melakukan tindakan terapeutik Tujuan Khusus: • Bilasan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk diagnostik ( sitologi dan • mikrobiologi) dan membersihkan bronkus dari sekret, darah, atau bekuan darah • Sikatan bronkus : untuk mendapatkan spesimen untuk pembuatan sediaan apus • sitologi dan pemeriksaan mikrobiologi. • Biopsi forsep : untuk mengambil spesimen dari mukosa trakeobronkial untuk • pemeriksaan histopatologi. • TBNA : untuk mendapatkan spesimen sitologi dari lesi yang menekaaJ • trakeobronkial. • Pengangkatan benda asing : untuk membebaskan saluran napas
321
INDIKASI Diagnostik: 1. Nodul paru soliter 2. Penyakit kanker paru 3. Penyakitparuinterstisial(ILD) 4. TB endobronkial 5. Batuk menetap atau terdapat keluhan perubahan sputum 6. Kelainan foto toraks yang belum jelas penyebabnya 7. Pneumotoraks: bila paru tidak mengembang 8. Hemoptisis 9. Sputum sitologi positif, tetapi foto toraks normal 10. Pengambilan spesimen pasien dengan ventilasi mekanik 11. Paralisis n. recurrens / diafragma 12. Suara serak yang belum jelas penyebabnya 13. Wheezing lokal 14. Cedera inhalasi akut 15. Perioperatif Terapeutik: 1. Lavage 2. Pengeluaran benda asing 3. Penanganan hemoptisis masif 4. Abses paru 5. Terapi paliatifuntuk kanker • Bilasan bronkus: - Diagnostik : penyakit paru infeksi, penyakit paru kerja, ILD, keganasan - Terapeutik : evakuasi bahan yang ter-aspirasi / inhalasi Pasca operasi • Sikatan bronkus: - Kelainan di daerah trakeobronkial: jaringan infiltratif Curiga TB endobronkial Infeksi saluran napas bawah • Biopsi forsep: - Kelainan di daerah trakeobronkial: massa keganasanjaringan granulomatosa-Benda asing kecil • TBNA: - Lesi yang mendesak dari Iuar trakea dan bronkus utama atau pembesaran KGB paratrakea, subkarina, tetapi tidak ditemukan lesi intralumen - Karina tumpul karena desakan dari luar - Tumor intralumen yang mudah berdarah, atau tidak memberikan hasil dengan sikatan bronkus. Pada sebagian besar kasus, digunakan bronkoskop flexible. Bronkoskop rigid untuk kasus dimana diperlukan patensi saluran napas dan ventilasi yang lebih baik (saluran napas yang kecil), 322
pengambilan darah/ sekret/ jaringan tumor/ benda asing. KONTRA-INDIKASI (relatif): 1. Hipoksemia ireversibel (PO, <60mmHg) 2. Aritmia 3. Penyakitjantung iskemik 4. Asma 5. Obstruksi vena cava superior 6. Diathesis perdarahan, termasuk thrombositopenia dan gagal ginjal kronik 7. pasien tidak kooperatif PERSIAPAN Pasien: • Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin tirabul, • Setelah mengerti dan setuju, pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan. • Pemeriksaan DPL, BT, CT, ureum, elektrolit, AGD • Foto toraks PA dan lateral • Spirometri • EKG • Pada pasien asma diberikan nebulisasi dengan beta 2 agonis 30 menit sebelum - tindakan. • Pasien dengan gangguan perdarahan/pembekuan diberikan trombosit atau FTP - segera sebelum tindakan. • Puasa, minimal 4 jam sebelum tindakan. • PasanglVFD. • Pemeriksaan hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu). Ruangan: Dilakukan di ruang tindakan Divisi Pulmonologi, kecuali darurat. Alat: • 1 set peralatan bronkoskopi • Sumber O, dengan aparatusnya • Mouth piece • Larutan povidon iodine diencerkan untuk membersihkan bronkoskop • Kassa steril • Kain penutup mata pasien • Pulse oxymeter • Mucus corrector I Wadah penampung cairan bilasan • Untuk Sikatan bronkus: sikat tanpa selubung, sikat dengan selubung, sikat kateter • ganda tertutup polietilenglikol, gelas obyek 6 buah, alkohol 96 % • Untuk Biopsi forsep: alat biopsi forsep, wadah berisi formalin 40 % • Untuk TBNA: alat jarum TBNA, syringe 10 ml, syringe 20 mL, wadah berisi formalin 40 % Bahan: • Sulfas atropin (SA) 0,25 mg, 1-2 ampul 323
• • • • • • •
Diazepam 5 mg. 1 ampul Lidokain 2 %, 2 ampul @ 20 mL Syringe 5 cc. 3 buah Syringe 20 cc, 3 buah CairanNaC10,9% Xilokain spray 10 % Obat resusitasi: Adrenalin ampul, dexamethason ampul, SAampul, Na-bikarbonat ampul, bronkodilator ampul).
PROSEDUR TINDAKAN • Periksa tanda vital, status paru dan jantung • Premedikasi dengan Sulfas Atropin 0,25 - 0,5 mg IM, 1 jam sebelum bronkoskopi • Sesaat sebelum tindakan: Diazepam 5 mg IM • Anestesi lokal: - Kumur tenggorok dengan lidokain 2 % 5 mL selama 5 menit dalam posisi duduk - Xilokain spray 10 % 5 - 7 semprot daerah laringo-faring dan pita suara ( menggunakan kaca laring) - Bila via hidung: semprotkan 30 mg lidokain 4 % atau 10 % ke ostium nasal Instilasi lidokain 2 % 2 mL ke trakea via pita suara • Pasien terlentang, tubuh bagian atas / punggung disangga, membentuk sudut 45° • Ditempatkan bantal di belakang kepala, supaya otot leher menjadi lemas • Bronkoskopi diinspeksi dan kejernihan gambar diperiksa • Sensor oxymeter ditempelkan pada jari telunjuk pasien • 0,3-4 L/mmelaluikanul nasal • Kedua mata pasien ditutup dengan kain penutup untuk mencegah terkena larutan lidokain / cairan pembilas • Diletakkan mouth piece di antara gigi atas dan bawah untuk melindungi bronkoskop • Bronkoskop mulai dimasukkan melalui celah mouthpiece • Faring diinspeksi • Instrument dimasukkan ke dorsal/epiglottis, mobilitas pita suara dilihat pada saat pasien menyebutkan "ii" • Pita suara diinstilasi dengan lidokain 1-2 mL melalui saluran di bronkoskop. Sebelum diinstilasi, pasien diberitahu bahwa hal itu dapat merangsang batuk. Instilasi lidokain dengan jumlah yang sama dapat diulangi bila pasien terbatuk selama dilakukan tindakan. Lidokain yang berlebihan diaspirasi dari sekitar laring • Instrument dimasukkan melalui bagian terlebar dari glotis pada saat inspirasi tanpa menyentuh pita suara. Sebelumnya pasien diberitahu bahwa hal ini dapat menimbulkan sensasi tercekik yang segera hilang • Trakea, karina, dan percabangan bronkus dinilai dan dianestesi dengan lidokain 2 % 2 mL, maksimal 6 kali. Lobus superior paru kanan dan kiri dianestesi dengan injeksi langsung lidokain (dosis maksimal instilasi lidokain 400 mg) • Inspeksi menyeluruh dilakukan pada semua percabangan bronkus sampai bronkus subsegmental • Bila pandangan terhalang oleh sekret pada lensa distal, semprot dengan 5 mL NaCl 0,9 9c yang diaspirasi kembali saat pasien batuk. Alternatif adalah mem-fleksikan ujung bronkoskop dan dengan hati-hati diusapkan pada mukosa trakea atau bronkus 324
Untuk bilasan bronkus: • setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai, dimasukkan cairan NaCl 0,9 % hangat 5 mL, • cairan segera diaspirasi lagi dan ditampung dalam wadah penampung khusus yang dipasang pada alat bronkoskop. • Tindakan ini diulangi sampai cukup bersih atau didapat spesimen Untuk sikatan bronkus: • setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. alat sikat dimasukkan melalui bronkoskop • dilakukan sikatan beberapa kali sampai dirasa cukup • setelah selesai melakukan sikatan, alat sikat ditarik ke dalam kanal bronkoskop dan dikeluarkan dari trakeobronkial bersama bronkoskop • setelah berada di luar, sikat dikeluarkan dari ujung bronkoskop sepanjang ± 5 cm, kemudian sikat dijentikkan pada gelas obyek dan dibuat sediaan apus (bila sikat tanpa selubung, untuk pemeriksaan kanker paru) atau ujung sikat digunting dan dimasukkan ke dalam pot steril berisi media transpor / media kultur (sikat kateter ganda untuk pemeriksaan mikroorganisme) • sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi direndam dalam wadah berisi alkohol 96 % Untuk biopsi: • setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainan. ujung bronkoskop ditempatkan ± 4 cm di atas daerah tersebut • alat biopsi forsep dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar dari ujung bronkoskop. • Asisten membuka forsep, lalu forsep didorong sampai terbenam di massa, • forsep ditutup, lalu ditarik sambil melihat jaringan yang didapat (jaringan nekrotik dihindari) • setelah biopsi selesai, forsep bersama material yang didapat ditarik keluar dari bronkoskopi spesimen direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 % • bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan Untuk TBNA: • Setelah bronkoskop berada pada daerah bronkus yang dicurigai terdapat kelainar.. I ujung bronkoskop ditempatkan + 4 cm di atas daerah tersebut. • Alat biopsi jarum dimasukkan melalui manouver channel sampai terlihat keluar I dari ujung bronkoskop • Jarum dikeluarkan dari selubungnya, bronkoskop didorong ke sasaran sampail jarum menembus mukosa bronkus atau menembus bronkus pada lesi vanjM menekan bronkus • Operator melakukan biopsi dengan cara menekan dan menarik jarum, sementara I asisten melakukan aspirasi dari ujung proksimal jarum dengan syringe 10 - M mL beberapa kali • Bila sediaan dianggap cukup, pengisapan dengan semprit dihentikan dan jaruiJ dimasukkan kembali ke dalam selubungnya • Jarum dikeluarkan dari bronkoskop 325
• Setelah berada di luar, jarum dikeluarkan dari selubungnya dan ditempatkan di atas gelas obyek dan dengan menggunakan syringe 10-20 mL yang dihubungkan dengan ujung jarum TBNA, material didorong ke gelas objek untuk dibuat sediaan apus • Sediaan apus direndam dalam wadah berisi cairan formalin 40 % • bronkoskop dilanjutkan untuk evaluasi, bila ada perdarahan harus diatasi. Setelah tidak ada masalah lagi, bronkoskop dikeluarkan Untuk Pengambilan benda asing, • digunakan: - Grasping forceps untuk mengeluarkan benda pipih atau tipis anorganik (pin), atau organik tapi keras (tulang) - Basket untuk benda berukuran besar dan bulky - Magnet untuk benda logam yang kecil, jarum, klip • Setelah spesimen sitologi, mikrobiologi dan biopsi atau benda asing diambil, sekret berlebihan diaspirasi, hemostasis diyakinkan, dan instrumen dicabut • Pasca tindakan diterangkan kepada pasien kemungkinan adanya sedikit darah saat batuk, yang akan hilang dalam 48 jam. Dianjurkan tidak makan atau minum selama 2 jam setelah tindakan karena efek anestesi topikal LAMA TINDAKAN ± ljam KOMPLIKASI • Yang berhubungan dengan premedikasi: depresi pernapasan, hipotensi transien, sincope, hipereksitabilitas. • Yang berhubungan dengan analgesia topikal (jarang dengan lidocaine ):Henti napas, konvulsi, kolaps kardiovaskular, laryngospasme, metHemoglobinemia. • Yang berhubungan dengan bronkoskopi :Laryngospasme, respiratory compro-mwe/depresi napas, bronkospasme, demam pasca bronkoskopi, epistaksis (bila via nasal), henti jantung, aritmia, syncope, pneumonia, infeksi silang. • Yang berhubungan dengan biopsi transbronkiakpneumotoraks, perdarahan. • Yang berhubungan dengan lavage / BAL : demam. WEWENANG • RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi • PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan. • RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. Pulmonologist. • UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi. Departemen Pulmonologi
326
• RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi • Panduan Prosedur Tindakan PAPDI UNIT TERKAIT • RS Pendidikan: Departemen Radiologi / Radiodiagnostik Departemen Bedah / Bedah Toraks, Patologi Anatomi • RS Non Pendidikan: Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi REFERENSI 1. Halpin D, Collins J. Invasive Techniques: Bronchoscopy and Lavage. In Brewis RA L, Corrin B, Geddes DM, Gibson GJ (eds). Respiratory Medicine. 2'"' ed. London: W B Saunders; 1995.p.362-73. 2. Rasrnin M, Rogayah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan: Diagnostik dan Tempi. Jakarta: Bag. Pulmonologi FKUI; 200Lp. 2-15. 3. Sternum DH. Bronchoscopy, Transthoracic Needle A spiration, and Related Procedures. InFishmanA P, EliasJA , FishmanJA , GrippiMA , KaiserLR, SeniorRM(eds). Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders.3"' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2002.p. 75-91. 4. W einberger SE, Drazen JM. Diagnostic Procedures in Respiratory Disease. In: Braunwald E, Fauci A S, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'1 ' ed. New Y ork: McGraw-Hill; 2001.p. 1455.
327
SPIROMETRI PENGERTIAN Spirometri adalah pemeriksaan untuk mengukur volume paru static dan dinamik dentgan alat spirometer. Volume udara total di paru0paru tebgai atas kompartemen (volume) dan kapasitas (kombinasi dari 2 atau lebih volume). Volume adalah keadaan statis : · Tidal volume = TV · Ekspiratory reserve volume = ERV · Inspiratory reserve volume = IRV · Residual volume = RV · Vital capacity = VC · Force vital capacity = FVC · Inspiratory capacity = IC · Functional residual capacity = FRC · Total lung capacity = TLC Volume Dinamik : · Volume expired in the first second = FEVI · Maximal voluntary ventilation = MVV Interpretasi : klasifikasi pola abnormal terdiri atas : 1. Pola obstruksi (karena penyempitan jalan nafas, dan perlambatan arus udara).. 2. Pola restriksi ( karena penyakit parenkim paru, dinding dada, rongga pleuran, neuromuscular yang mengurangi kapasitas vital, dan volume-volume paru). 3. Pola campuran obstruksi –restriksi (karena proses patologis yang mengurangi volume udara, kapasitas vital, dan arus udara, dan termasuk penyempitan jalan nafas). 4. Transfer udara abnormal (abnormaitas membrane alveolus –kapiler) Katagori Obstruksi berdasarkan pengukuran FEVI/FFC%: · Normal : nilai FEVI/FVC% > 69% · Obstruksi Ringan : 61 - 69 % · Obstruksi Sedang : 45 - 60% · Obstruksi Berat : < 45% Katagori Restriksi berdasarkan rasio VC didapat /VC prediksi : · Normal : VC% 81% · Restriksi Ringan : 66 - 80 % · Restriksi Sedang : 51 - 65% · Restriksi Berat : 45% Tujuan 1. Menilai status faal baru : norma, hiper inflasi, obstruksi, restriksi, atau campuran 2. Menilai manfaat intervensi/pengobatan 3. Evaluasi perkembangan penyakit 4. Menentukan prognosis 5. Menentukan toleransi tindakan bedah : - Menentukan resiko ringan, sedang, atau berat - Menentukan apakah dapat dilakukan reseksi paru INDIKASI 1. Penderita sesak napas 328
2. Penderita asma dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar, selanjutnya setiap 6 bulan 3. Penderita PPOK dalam keadaan stabil untuk mendapatkan nilai dasar PPOK dan penyakit obstruksi lainnya, selanjutnya setiap 3-6 bulan 4. Penderita asma dan PPOK setelah pemberian bronkodilator untuk melihat efek pengobatan 5. Penderita yang akan mengalami tindakan bedah dengan anestesi umum 6. Penderita yang akan mengalami tindakan torakotomi 7. Pemeriksaan berkala pada orang-orang yang merokok : sekali setahun KONTRA INDIKASI · Absolut : tidak ada · Relatif : hemoptitis, pneumotoraks, infark miokard, emboli paru, status kardiovaskular tidak stabil, pasca bedah mata, infeksi viral (2-3 minggu terakhir) PERSIAPAN Alat : · Spirometri · Mouth piece 1 buah Penderita · Tidak menggunakan obat bronkodilator minimal 8 jam (kerja singkat) atau 24 jam (ketja panjang) · Tidak merokok atau makan kenyang dalam 2 jam sebelum pemeriksaan · Tidak berpakaian ketat · Diterangkan tujuan dan cara pemeriksaan, serta contoh cara melakukan pemeriksaan · Diukur tinggi badan, berat badan PRUSEDUR TINDAKAN · Posisi berdiri tegak, kecuali jika tidak memungkinkan : dalam posisi duduk · Penderita menghirup udara semaksimal mungkin, kemudian meniup melalui mouth piece sekuatkuatnya dan semua udara dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, dengan tidak ada udara yang bocor melalui celah antara bibir dan mouth piece · pemeriksaan dilakukan untuk mendapatkan 3 nilai yang reproduksibel (beda antara 2nilai terbesar dari ketiga percobaan 5% atau 100mL) LAMA TINDAKAN ± 10 menit KOMPLIKASI Pneumotoraks, peningkatan tekanan intracranial, sinkope, sakit kepala, pusing, nyeri dada, batuk, infeksi nosokomial, desaturasi oksigen. WEWENANG · RS pendidikan : Dokter spesialis Penyakit dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi –Imunologi · RS non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Penyakit dalam –Divisi Pulmonologi, Divisi Alergi –Imunologi · RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Pulmonologi UNIT TERKAIT 329
REFERENSI 1. Grippi MA , Bellini LM. Pulmonary Function & Cardiopulmonary Exercise Testing. Philadelphia : Lippincott W illiams & W illkins ; 2002.p.31-40 2. Y unus F. Pemeriksaan Spirometri. Prosiding W orkshop on Respiratory Physiology and Its Clinical A pplication. Jakarta, 28-29 Juni 1997 3. Rasmin M, Rogayyah R, W ihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elisna S. Prosedur tindaka Bidang Paru Dan Pernapasan : Diagnostik dan Terapi. Jakarta :Bag. Pulmonologi FKUI;2001.p.28-32
330
BIOPSI PLEURA PENGERTIAN Biopsi Pleura adalah tindakan untuk mengambil specimen jaringan pleura parietal secara trans – toraka TUJUAN Untuk mendiagnosis penyakit-penyakit pleura, seperti tuberpulosis dan keganasan INDIKASI · Bila torasentesis sebelumnya tidak memberikan hasil diagnostic yang diaharapkan · Untuk meningkatkan ketepatan diagnostic pada saat torasentesis inisial pada pasien dengan efusi pleura yang belum dapat diterangkan atau penebalan pleura, terutama jika dicurigai karsinomatosis pleura atau tuberklosis KONTRA –INDIKASI Gangguan fungsi koagulasi yang belum teratasi, pneumotoraks, pasien tidak kooperatif, pasien yang mendapatkan positive pressure ventilation (PPV) PERSIAPAN Bahan dan Alat · Jarum diopsi · Scalpel no. 11 · Klem Kelly · Cairan anti septik, sarung tangan steril, kasa, handuk steril · Lidokain 1% 20ml · Spuit 2cc & 10cc · Jarum no.25. · Tempat specimen dengan larutan formalin 10% Persiapan pasien : 1. Pemeriksaan DPL, DT, CT 2. Menerangkan prosedur tindakan yang akan dilakukan krpada pasien dan keluarga, indikasi, dan komplikasi yang mungkin timbul 3. Setelah mengerti dan setuju, pasien pasien dan keluarga menandatangani surat ijin tindakan 4. Dilakukan pemeriksaan Hemodinamik (tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan, suhu) PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien duduk dengan posisi santai 2. Tetapkan lokasi biopsio, pada sela iga linea aksilaris posterior 3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum Abrams 4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan 5. Anestesi daerah tindakan dengan jarum No. 25 untuk bagian luar, dan jarum no. 20 untuk bagian dalam 6. Dilakukan sayatan 3mm dengan scalpel pada kulit atau jaringan interkostal yang dipilih 7. Dorong jarum Abrams dengan gerakan memutar dalam posisi tertutup sampai terasa ada hambatan. Putar alat kedalam posisi terbuka dan aspirasi dengan spuit. Adanya cairan membuktikan pemotongan berada diruang pleura 8. Letakkan pemotongan diposisi jam 6. Pemotongan dikeluarkan bila pleura parietal telah diperoleh, jarum pemotong diputar diposisi tertutup dan keluarkan 331
9. Letakkan specimen pada kaldu untuk M.Tuberkulosis dan Kultur jamur, sedangkan yang lainnya diletakkan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histology 10. Ulang prosedur ini sampai 5kali dengan jarum pemotong dan di arahkan kebawah abtara posisi jam 2 dan jam 10. Jarum pemotong jangan diarahkan keatas oleh Karen dapat merusak saraf, dan pembuluh darah interkostal 11. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, gunakan jarum torakosentesis atau jarum Abrams 12. Luka ditutp dengan perban dan jika diperlukan dapat diajhit Tehnik memakai jarum cope 1. Pasien duduk dengan posisi santai dan nyaman 2. Tetapkan lokasi biopsy, pada sela iga linea aksilaris posterior 3. Gunakan sarung tangan steril dan latih penggunaan jarum cope 4. Asepsis dan antisepsis daerah tindakan 5. Anestesi daerah tindakan 6. Buat insisi pada kulit sepanjang 3mm 7. Masukkan ujung stoker kedalam kanula luar, tusukkan kedinding dada dan tarik stoker dengan gerakan memutar sampai cairan teraspirasi 8. Keluarkan trokar dari kanula luar dan masukkan kaitan trokar biopsy dalam. Untuk mencegah udara memasuki ruangan pleura ketika trokar dikeluarkan dari kanula luar pasien dianjurkan untuk menahan napas 9. Tempatkan pemotong kait trokar biopsy antara 2 jam dan 10 jam, gunakan penutup metal pada proksimal trokar biopsy sebagai tuntunan jika inging mengeluarkan cairan p;lbiopsy 10. Cabut perlahan-lahan trokar biopsy dan kanula bersama-sama sampai kait trokar terangkat 11. Masukkan kanula luar kedalam dada dengan gerakan memutar sambil tetap berusaha menarik trokar biopsy. Tarik trokar biopsy dari kanula luar dan keluarkan hasil biopsy 12. Trokar dapat dimasukkan ulang kedalam kanula luar dan dapat dilakukan biopsy tambahan. 3 sampai 6 spesimen dapat diperoleh dari kait biopsy dengan arah yang berbeda-beda. Letakkan 1 jaringan specimen pada kaldu M. Tuberkulosis dan kultur jamur 13. Sedangkan lainnya dapat diletakkan pada cairan formalin 10% untuk pemeriksaan histology 14. Jika ingin mengeluarkan cairan pleura, dapat melalui kanula luar 15. Tutup tempat fungsi dengan perban. Jika perlu dapat dijahit Evaluasi pasca Biopsi Pleura · Observasi tanda-tanda pneumotorak · Foto dada PA LAMA TINDAKAN 10 –15 mnt KOMPLIKASI Pneumotoraks, pendarahan, kerusakan saraf interkostal dengan gejala nyeri sisa dan berkurangnya sensibilitas, nodul tuberculosis pada lokasi, emfisema subkutan, reaksi vasovagal WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit dalam Subspesialis pulnomologi. PPDS Penyakit Dalam membantu persiapan dan pelaksanaan · RS non pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam , Pulnomologi
332
UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Radiologi / Radiagnostik Departemen Bedah/ Bedah Toraks, Patologi, Anatomi · RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah, Patologi Anatomi
333
3.3
REUMATOLOGI
334
PENYUNTIKAN INTRA –ARTIKULLAR PENGERTIAN Penyuntikan intra artikullar merupakan suatu terapi local dengan tujuan memberikan analgesic anti inflamasi di daerah sendi TUJUAN Memberikan efek analgesic antiinflamasi di daerah sendi INDIKASI 1. Aspirasi cairan sendi : tindakan ini penting dalam rangka memastikan diagnosis jika penyebab efusi sendi berupa sepsis, deposit Kristal atau pendarahan. Juga berguna dalam membedakan kelainan sendi inflamatif atau non inflamatif. Aspirasi juga mempunyai arti terapeutik denagn jalan mengeluarkan darah, pus, cairan sendi yang terlalu banyak atau yang mengandung Kristal 2. Suntikan/ pemberian obat : penyuntikan bahan tertentu kedalam ruang sendi merupakan prosedur terapeutik, dan dilakukan dalam keadaan-keadaan sebagai berikut, dengan syarat infeksi harus telah disingkirkan : a) Hanya 1 atau beberapa sendi yang meradang b) Hanya 1 atau beberapa sendi yang lebih meradang dari yang lain c) Jika terapi sistemik dikontra-indikasikan d) Sebagai pelengkpa terapi sistemik terhadap kelainan/keradangan sendi yang sulit diatasi e) Membantu mobilisasi dan mencegah deformitas sendi, bersama-sama dengan program rehabilitasi f) Keluhan reumatik ekstra-artikular : bursitis, tenosinovitis, nerve entrapement syndhrome dsb g) Menghilangkan nyeri dengan cepat h) Biasanya tidak diberikan pada osteoarthritis, kecuali pada kasus tertentu yaitu untuk menghilangkan nyeri pada osteoarthritis yang menunjukkan inflamasi local KONTRAINDIKASI 1. Infeksi local 2. Hipersensifitas terhadap bahan yang disuntikkan 3. Diathesis henoragik 4. Sendi yang tidak stabil 5. Fraktur intra-artikular 6. Sendi yang tidak dapat dicapai 7. Osteo[orosis juksta-artikular yang berat 8. Kegagalan suntikan terdahulu 9. Tidak ada indikasi yang tepat 10. Lesi yang mungkin tidak akan memberikan respons terhadap suntikan 11. Psikologis : penderita neurosis mungkin akan bergantung kepada suntikan 12. Pasien yang takut disuntik PERSIAPAN Semua perlengkapan yang dipakai harus steril. Umumnya dipakai spuit dan jarum yang diposable. Ukuran jarum yang dipakai disesuaikan dengan besar sendi yang akan disuntik. Juga tidak boleh dilupakan botol kecil tempat menampung aspirat guan pemeriksaan cairan sendi lebih lanjut.
335
PROSEDUR TINDAKAN Sebaiknya penyuntikan dilakukan dalam lingkungan yang aseptic. Hendaklah ditimbulkan kesan pada penderita bahwa prosedur ini bukanlah prosedur yang sulit. Jarang diperlukan obat penenang. Penentuan tempat yang tepat sangat penting. Keberhasilan suntikan local sangat bergantung kepada pengetahuan antomis daerah yang bersangkutan. Sebelum melakukan penyuntikan, dokter harus mempunyai gambaran yang jelas tentang tempat yang akan disuntik dan jaluir yang akan dilakui oleh jarum suntik. Penderita harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga struktur disekitar sasaran suntikan dalam keadaan rileks. Kemudian dilakukan pembersihan serta tindakan asepsis dan antisepsis pada tempat yang akan disuntik. Draping hanya diperlukan pada penderita imunokompromis atau jika diperkirakan prosedur akan berlangsung lama atau sulit. Tindakan untuk mengurangi sensasi tusukan jarum (misalnya semprotan etilklorida atau anestesi local atau infiltrasi lidokain menuju jarum yang sangat halus) kadangkadang diperlukan. KOMPLIKASI Komplikasi suntikan local : 1. infeksi, dengan insidens 1 dari 1000-16000 pada dokter yang berpengalaman 2. pendarahn, jika merata harus dicurigai trauma atau gangguan mekanisme perdarahan. Lalu lakukan aspirasi dan jangan lakukan penyuntikan 3. kerusakan rawan sendi, dapat terjadi akibat trauma oleh ujung jarum suntik. 4. nekeosis aseptic, terjadi akibat infark tulang subkhondral 5. atrofi kulit, dan jaringan subkutan 6. sinovitis Kristal 7. rupture tendo/ligament 8. supresi korteks adrenal WEWENANG · RS pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sedang/sudah melalui divisi Rematologi · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit - Divisi Reumatologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS pendidikan : Departemen Bedah / Ortopedi · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
336
ASPIRASI CAIRAN SENDI/ARTROSENTESIS PENGERTIAN Aspirasi cairan sendi/artrosentesis merupakan tindaka yang sering dilakukan dibidang reumatologi. Tindakan aspirasi dan analisis cairan sendi sangat penting artinya dalam diagnosis dan tata laksana beberapa penyakit sendi seperti artritis septik dan artritis gout. Sendi-sendi tertentu seperti sendi lutut lebih sering mengalami afusi daripada sendi lainnya. TUJUAN INDIKASI Diagnostik 1. Membantu diagnosis artritis 2. Memberikan konfirmasi diagnosis klinik 3. Selama pengobatan arthtritis septik, dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram, dan kultur cairan sendi Terapeutik 1. Artrosentesis –evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal induced artritis yang lain –evakuasi serial pada arthtritis septik untuk mengurangi destruksi (drainase) 2. Pemberin kortikosteroid intraartikular –mengontrol inflamasi steril pada sendi-sendi secara maksimal merupaka kunci dimana obat anti –inflamasi nonsteroid telah gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi-mempersingkat periode kesakitan, pada inflamasi yang self limited (gout)-menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat-membantu terapi fisik pada kontraktur sendi. KONTRAINDIKASI Diagnostik : infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi, bakteremia, anatomis tidak bisa dilakukan, pasien tidak kooperatif Terapeutik : kontraindikasi diagnostik, instabilitas sendi, nekrosis avaskular, artritis septik, osteonekrosis, sendi neurotropik PERSIAPAN Bahan dan alat : · SPUIT SESUAI KEPERLUAN · JARUM SPUIT : No.25 untuk sendi kecil, No. 21 untuk sendi lain, No. 15-18 untuk efusi yang padat (pus) · Disinfektan iodine (betadine), alkohol · Kasa steril · Anestesi lokal · Sarung tangan · Pulpen (untuk penanda) · Plester · Tabung gelas · Tabung steril untuk kultur · Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid
337
PROSEDUR TINDAKAN Umum : 1. Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi, lakukan pemeriksaan fisis sendi dan bila diperlukan periksa foto sendi yang akan dilakukan aspirasi, harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untuk menghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf. Hati-hati jangan sampai mencongkel rawan sendi karena tidak dapat sembuh sendiri 2. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghidari terjadinya arthtritis septik. Untuk disinfeksi perlu dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan cairan sendi pasien 3. Untuk mengurangi nyeri dapat digunakan semprotan etilklorida. Bila diperlukan, dapat digunakan prokain untuk anestesi lokal 4. Selama dilakukan prosedur aspirasi, harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakkan sendi Khusus : 1. Sendi lutut, pada efusi yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah benjolan supra patella lebih mudah dan lebih enak untuk pasien. Tonjolan pada kantung supra patella ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan ujung bulpen dilakukan pemberian tanda pada daerha target yaitulebih kurang pada tepi atas patella (chepallad border of patella) tanda ini masih akan terlihat dalam aktu yang cukup untuk melakukan disinfeksi, anestesi dan artrosentesis. Pada efusi sendi yang sedikit, lebih baik dilakukan tusukan dari medial bawah titik tengah patella. 2. Bahu, pada pasien duduk, lakukan palpasi pada tonjolan korakoid. Pada 45 derajat inferior dan lateral dari tonjolan tersebut akan di dapadatkan sendi glenuhumeral. Pada lokasi tersebut tusukan jarum lurus ke posterior ke ruang sendi. 3. Subtalar, pada pasien posisi terlentang kaki 90 derajat terhadap tungkai bawah, tusukan jarum secara horizontal ke ruang sendi di inferior dari ujung maleolus lateral dan posterior dari sinus tarsus. 4. Metatarsofalangeal, untuk mengidentifikasi garis sendi ini dapat dilakukan dengan fleksi dan ekstensi sendi. Untuk mempermudah memasuki sendi ini di lakukan tarikan dan plantar fleksi 30 derajat. Tusukan jarum pada garis sendi pada posisi 90 derajat. 5. Pergelangan tangan, sendi pergelangan tangan terlatak di antara prosesus stiloideus radius dan ulna. Ruang sendi ini dapat dicapai melalui salah satu sisi pada bagian dorsal yaitu sedikit di sebelah distal radius atau sedikit distal ulna. LAMA TINDAKAN 15 menit KONPLIKASI · Infeksi iatrogenetik, pendarahan pada tempat aspirasi, hemartrosis, luka pada rawan sendi, episode vasovagel pada saat atau seteah tindakan. WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Devisi Rematologi. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Reumatologi · RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah/ Ortopedi · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah 338
3.4
GINJAL HIPERTENSI
339
BIOPSI GINJAL PENGERTIAN Biopsy ginjal adalah pengambiloan contoh jaringan ginjal TUJUAN 1. Untuk mengevaluasi dan mengikuti perjalanan penyakit diduga mempunyai sindrom glomerular, interstisial, atau vascular seperti: a) Sindrom nefrotik b) Proteinuria dan hematuria yanag tidak jelas penyebabnya 2. Gagal ginjal akut yang tidak jelas penyebabnya atau perjalanan penyakitnya cepat 3. Penyakit sistemi8k yang diduga melibatkan ginjal (lupus eritematosus sistemik) 4. Resipien transplantasi ginjal yang mengalami rejeksi atau penyakit yang rekuren KONTRAINDIKASI 1. Kelainan pembekuan darah 2. Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut 3. Hipertensu yang tidak terkontrol 4. Penderita tidak kooperatif 5. Kecurigaan adanya tumor ginjal 6. Infeksi saluran kemih 7. Uremia 8. Deformitas tulang vertebrata berat 9. Ginjal tunggal PERSIAPAN 1. Ijin tindakan medic tertulis 2. Dokter ruanagn mengisis formulir biopsy ginjal sebagai syarat penjadwalan biopsi. Bila formulir ini tidak diisi, maka biopsy tidak bisa dijadwalkan 3. Buat perjanjian jadwal biopsy di subbagian Ginjal –Hipertensi 4. Periksa hitung trombosit, bleeding time, clotting time, prthrombine time, dan activated patial prothrombine time 5. Pinjam termos dan es kering ke bagian patologi anatomi 6. Jarum suntik 5cc, jarum eksplorasi, jarum biopsy USG (Tru-Cut needle), duks steril, kasa steril, plester, botol untuk penyimpanan jaringan biopsy 7. Lidokain 2%, alcohol, betadine, formalin 10%, gel untuk fiksasi pemeriksaan imunoflouresensi jaringan ginjal 8. Isi status biopsy ginjal divisi Ginjal-Hipertensi dan catat pada buku biopsy 9. Isi formulir PA untuk dikirim ke Patologi Anatomi
340
PERITONEAL DIALISIS AKUT PENGERTIAN Peritoneal dialysis akut adalah salah satu bentuk dialysis dimana membrane peritoneal digunakan sebagai membran semipermiabel pada pasien dengan gagal ginjal TUJUAN Dialysis dalam keadaan darurat INDIKASI Pasien gagal ginjal dengan keadaan umum buruk yang memerlukan tindakan dialysis segera KONTRA INDIKASI · Pasca-oprasi organ abdomen, ileus, hernia · Penyakit paru yang menimbulkan hipoksia berat · Gangguan pembekuan darah · Tidak kooperatif PERSIAPAN Pasien : · Penjelasan mengenai peritoneal · Informed consent Alat : Set bedah minor, kateter dialysis peritoneal, cairan perisolution dan giving set, heparin, antibiotika, lidokain 2%, KCI injeksi, blood set, besturi, jarum suntik diposable (3cc, 5cc)m sarung tangan PROSEDUR TINDAKAN 1. Siapkan 2 kolf (1kolf = 1l) cairan perisolution, hangatkan dengan direndam dalam air panas sampai suhu ±37º C - Kolf I : tambah 500 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin - Kolf II : tambah 250 unit heparin, 3 mEq KCI, dan 10mg Gentamisin 2. Operator menggunakan sarung tangan 3. A dan antisepsis lapangan operasi : daerah umbilicus dan sekitarnya dibersihkan dengan betadine kemudian alcohol 70% 4. Pasang duk steril 5. Anestesi local dengan lidokain ±2ml sekitar 2cm dibawah umbilicus : kutis subkutis, peritoneum 6. Kiri-kira 2cm dibawah umbilicus insisi membujur dengan besturi sesuai diameter kateter 7. Bebaskan jaringan dengan klem arteri secara tumpul samoai teraba lapisan peritoneal 8. Bila peritoneal sudah diacapai : - Ambil jarum infuse dari blood set, tusuk sampai menembus peritoneum - Ambil konektor karet dari blood set, hubungkan dengan jarum yang tertanam pada rongga peritoneum, ujung yang satu lagi dihubungkan dengan kateter cairan perisolution yang telah disiapkan pada tiang infuse 9. Isi Rongga peritoneum dengan cairan perisolution 1 liter (kolf). Bila tepat masuk rongga peritoneum aliran akan lancer. 10. Cabut jarum dari rongga peritoneum. 11. a. kateter peirtorenialialisis dengan stilet : tembus dinding peritoneal dengan hati-hati, kemudian belokkan menyusur dinding peritoneum kearah SIAS sampai mentok b. kateter peritonealdialisis tanpa stilet : ujung kateter ini tumpul, terlebih dahulu dibuat insisi kecil pada dinding peritoneum dengan besturi sesuai diameter kateter 341
12. Bila posisi kateter dinilai sudah betul, tes dulu dengan memasukkan cairan pada kolf II dan mengel uarannya sedikit. Bila cairan lancar berarti posisi kateter sudah baik. 13. Jahit kulit sekitar kateter, benang diikat ada kateter sedemikian rupa sehingga kateter tertanam cukup baik. 14. Tutup luka dengan kasa yang diberikan betadine INSTRUKSI PASCA TINDAKAN 1. Siapkan siklus terdiri dari 2 kolf (1 kolf = 1 liter cairan perisolution) 2. Sebelum digunakan, cairan peritonealdialisis direndam dalam air panas sampai suhu ±37º C. tiap kolf (1 Liter) ditambahkan heparin 250 unit, KCI 3 mEq, dan gentamisin 10mg 3. Setelah cairan masuk semua, diamkan didalam rongga peritoneum selama 30mnt. Setelah itu cairan dikeluarkan, jadi setiap siklus akan memerlukan waktu selama 60menit dengan perincian : - Memasukkan cairan 2liter : 10menit - Lama cairan tinggal di rongga : 30menit - Mengeluarkan cairan : 20 menit 4. Lakukan tindakan 1-3 siklus XII 5. Catat jam masuk dan keluar cairan serta jumlah cairan yang masuk dan keluar pada formulir balans cairan 6. Pada silus XII, cairan yang dikeluarkan hanya 1 liter, sisakan 1 liter dalam rongga peritoneum 7. Buat balans cairan dialysis peritoneal setiap hari. Balans ini ikut diperhitungkan dengan balans keseluruhan 8. Keesokan harinya ulang tindakan 1-7 LAMA TINDAKAN Satu siklus memakan waktu 60 menit, dilakukan 12 siklus setiap hari KOMPLIKASI Peritonitis, exit site infection, perdaraan, hernia, hidrotoraks WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam – Suspesialis Ginjal Hipertensi, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi . PPDS Penyakit Dalam untuk membantu persiapan dan pelaksanaan UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Ginjal Hipertensi · RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah –Divisi Bedah Urologi · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
342
PERITONEAL DIALISIS MANDIRI BERKESINAMBUNGAN PENGERTIAN Peritoneal dialysis mandiri berkesinambungan atau continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah proses dialysis berkesinambungan yang menggunakan selaput peritoneal sebagai membrane alami yang dilakukan secara mandiri. TUJUAN Dialysis yang adekuat INDIKASI Paien gagal ginjal terminal, terutama yang mengalami : - DM dengan komorbiditas tinggi - Kei\tidakstabilan kardiovaskular akibat penyakit kadiovaskular atau usia lanjut dengan hemodinamik tidak stabil - Kesulitan/kegagalan pembentukan akses vascular karena proses ateroklerosis dan lain-lain pada pasien HD - Kecendrungan pendarahan (trombosito penia/trombopati) - Strok baru - Alergi terhadap bahan dialisat / asetat - Pasien gagal ginjal terminal dengan HD regular yang mengalami gangguan serebral akut (pendarahan itraknial), gagal jantung kongestif, kardiomiopati, penyakit jantung iskemik berat, atau gangguan irama jantung dengan kelainan hemodinamik. KONTRAINDIKASI Mutlak : Permukaan selaput peritoneum sempit (akibat adhesi peritoneal yang berlebihan/peritonitis berulang) Relatif :
· · · · · · · ·
Ostomi, (kolostomi, ileostomi, nefrostomi) Peritonitis local (tuberculosis jamur) Sangat gemuk Ginjal polikistik massif (rongga perut sempit akibat masa tumor) Fistel abdominal/sepsis abdominal Ketidakmampuan pasien untuk menjalankan program hemiparesis/kuadriplagia) Retardasi mental/psikosis Motivasi rendah
sendiri
(buta,
PERSIAPAN Bahan dan Alat ; · Larutan dialysis · Volume larutan 1-2 liter · Susunan elktrolit tergantung pabriknya · Konsentrasi dektrosa · Cairan transfer set · Variasi sambungan untuk CAPD · Modifikasi konektor pada CAPD · Kateter peritoneum (yang bisa dipakai di Indonesia) 343
·
Standard doble-cuff tenckhoff 1. Obat-obatan harus diberikan intraperitoneal selama 10-14 hari sebagai tindakan pencegahan penyulit : - Heparin (1000 unit untuk setiap kantong dialisat) - Antimikroba (biasanya golongan aminoglikosida/sefalosporin 100mg untuk setiap kantong dialisat) 2. Resep program CAPD - Volume cairan dialysis : pengganti cairan 4 kali sehari, masing-masing 2 liter - Jam pertukaran :08.00, 12.00, 16.00, 22.00, dan 24.00 (sebelum tidur) - Ultrafiltrasi . untuk 3 kali pertukaran pertama, dialisat standar (1,5%), untuk malam sebelum tidur, dialisat hipertonis (4,25%) - Komposisi cairan dialisat : Na 132mEq/l, Cl 98mEq/l, Ca 3,5 mEq/l, Mg 0,5 mEq/l, laktat 40 mEq/l - Urea klirens yang diharapkan perminggu : 47 liter klirens
PROSEDUR TINDAKAN Perawatan exit site Perawatan tempat lubang ke;luarnya kateter tenckhoff dilakukan setiap hari oleh pasien sendiri atau bantuan anggota keluarga, untuk mencegah infeksi. Alat dan obat yang dibutuhkan : kasa steril, plester, gunting, immobilizer untuk kateter, betadine/NaCl 0,9%
344
3.5
HEMATOLOGI ONKOLOGI MEDIK
345
AFERESIS PENGERTIAN Aferesis adala prosedur pemisahan komponen datah seseorang secara langsung dengan menggunakan mesin pemisah komponen darah TUJUAN Mengeluarkan sebagian komponen darah, dapat berupa sel (cytopheresis) atau plasma (plasmaferesis/plasma exchange0 INDIKASI Terapeutik : · Sitoferesis · Eritristoferesi : sickle cell anemia, malaria dengan parasitemia · Tromboferesis : Trombositemia amtomatik · Leukoferesis : Leukimia dengan Hiperleukositosis, arthtritis rheumatoid (dalam keadaan tertentu) · Plasmaferesis : kelainan para protein (sindrom hiperviskositas, krioglobulinemia, penyakit cold agglutinin), kelainan akibat metabolic toksik (penyakit refsum, penyakit fabri, hiperkoleterolemia familial), kelainan imunologis (sindrom goodpasture, miastenia grais, sindrom eaten lambert, sindrom guilain barre, pemfigus, ITP, granulomatosis wagener), defisiensi factor plasma (TTP), keracunan obat atau bahan racun lainnya Donor : Untuk memenuhi kebutuhan komp[onen darah pasien : - Trombofrresis - Plasmaferesis - Leukoferesis, untuk mendukung program PBSCT KONTRA INDIKASI · Aferesis terapeutik · Pasien dengan kondisi buruk dan gangguan hemodinamik · Aferesis donor · Kadar trombosit/leukosit/hemoglobin/hematokrit dibawah nnormal · Golongan ABO-Rh tidak cocok, cross matching hasil (+) · Mengandung HbsAg/antiHCV/HIV/VDRL dan malaria · Berat badan kurang, usai tua, anak-anak · Menderita penyakit jantung, paru-paru, gagal ginjal kronik atau penyakit akut lainnya PERSIAPAN Bahan dan Alat : · mesin aferesis · set aferesis disposable, set trombaferesis, set plasmaferesis, set leukaferesis, set eritositaferesis · antikoagulan ACD-A · akses intra vena · AV fistula · Heparin injeksi infuse salin 0.9% · Albumin (untuk plasmeferesis) · Obat-obat darurat : injeksi Ca Glukonas, inj adrenalin, inj kortikosteroid, inj antihistamin, infuse salin, plasma expander, oksigen, alat resusitasi dan obat darurat untuk resusitasi Pasien : 346
· · · · ·
Penjelasan mengenai prosedur yang akan dijalani Pemeriksaan fisik, hemodinamik, berat badan, dan tinggi badan Laboratorium gol. Darah : ABO-Rh, cross-matching, DPL, HbsAg, Anti HCV Informed consent Menelan tablet kalsium sehari sebelumnya
PROSEDUR TINDAKAN
·
·
· ·
·
Mesin aferesis dihidupkan dan dinilai apakah layak beroprasi, memasang set aferesis disposable (set tunggal atau ganda) pada mesin aferesis, beserta infuse NsCl 0,9%, antigoakulan ACD-A Melakukan koleksi komponen darah dari donor via vena di lengan kanan, kiri (set ganda) atau satu lengan, mengisi data donor pada computer mesin, menghubungkan computer mesin dengan mesin set aferesis disposable dengan donor, memulai prosedur Prosedur donor trombosit dsan plasm berlangsung selama 100 menit,. Sedangkan prosedur donor donor sel asal darah dalam darah tepi berlangsung 4-8 jam. Bila prosedur telah selesai dilakukan, start rinseback mode, kemudian lepaskan set eferesis dari donor, trombosit yang dikoleksi segera diberikan kepada pasien atau bila disimpan harus diatas blood rotator (yang bergoyang) selama maksimal 5 hari Selama prosedur aferesis berjalan, dokter dan perawat harus mengatasi keluhan dan bila perlu menilai hemodinamik
LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Hipokalselmia (kesemutan bibir dan jari tangan, dada rasa tertekan, pandangan gelap), gangguang hemodinamik dan penurunan kesadaran
347
PUNGSI SUMSUM TULANG TUJUAN · Diagnosis sitomorfologi / evaluasi produk pematangan sel asal darah (stem cell) · Penilaian terhadap simpanan besi · Pengumpulan colony forming unit pada tranplantasi sumsum tulang · Mendapatkan specimen untuk pemeriksaan bakteriovirologis (biakan mikrobiologi) INDIKASI · Anemia dan sitopenia lainnya yang tidak dapat diterangkan · Leukositosos dantrombositosis yang tidak dapat diterangkan · Dugaan leukemia atau mieloptitis KONTRA INDIKASI Bahan dan alat · Bahan tindakan antiseptic · Povidone iodine · Kapas lidi steril dan kapas steril · Prokain/lidokain 3%, dan spuit 5cc, spuit 20cc dan jarum hipodermik 23-25 gaus · Sarung tangan steril, dan duk steril · Set jarum aspirasi sumsum tulang (14-16G) yang sesuai dengan tempat yang akan dilakukan dan spuit yang sesuai dengan jarum aspirasi sumsum tulang Tenpat aspirasi · Spina iliaka posterior superior (SIPS) · Krista iliaka · Spina iliaka anterior superior (SIAS) · Sternum diantara 2 iga dan 3 garis mid sterna atau sedikit di kanannya (jangan lebih dari 1cm) · Spina dorsalis/prosesus spinosus vertebra lumbalis (jarang dilakukan karena alatnya tidak ada) PROSEDUR TINDAKAN · Pasien diminta untuk buang air kecil atau besar sebelum tindakan · Periksa kelengkapan dan kelayakan bahan dan alat · Cuci tangan yang bersih dan keringkan · Pakai sarung tangan steril · Periksa kelengkapan dan kesesuaian jarum aspirasi spuitnya. Isi spuit untuk aspirasi tersebut dengan sedikit anti koagulan titriplex?EDTA untuk pemeriksaan sitologi dan imunologi atau heparin tanpa pengawet untuk siotogenetik · Lakukan tindakan a, dan antiseptic daerah eindakan dan prosedur terjaga aseptic · Tentukan titik tindakan
348
BIOPSI SUMSUM TULANG TUJUAN · Menilai selularitas sumsum tulang · Menentukan adanya keganasan hematologi dan nonhematologi (metastasis) · Menentukan adanya fibrosis tulang INDIKASI · Kecurigaan adanya gangguan produksi sel darah, menentukan stadium keganasan nonhematologi KONTRA INDIKASI · Tidak ada kontraindikasi mutlak · Pada trombositopenia berat (<20, 000) pemberian transfusi trombosit sebelum tidakan akan lebih baik · Melakukan biopsi sumsum tulang pada sternum PERSIAPAN Bahan dan alat · Jarum biopsi jamshidi atau sejenis · Pelengkap standar minor set sederhana yaitu antiseptic, alkohol 70%, kapas, lidi, duk bolong, serit 5 cc, lidokain, sarung tangan steril, kasa steril, plester, botol kaca, formalin 10 %. PROSEDUR TINDAKAN · Pasien diminta untuk buang air kecil/ besar sebelum tindakan dimulai · Pasien pada posisi tengkurap · A dan antisepsis pada daerah sekitar lokasi yaitu Krista iliaka superior posterior · Setiap tindakan dilakukan secara steril · Pasang duk bolong · Anestesi dengan lidokain 2 % pada krista iliaka posterior 3-6 cc sampai mencapai periosteum · Suntikan jarum biopsi dengan cara twisting morion sambil melakukan penekanan sampai terasa menembus tulang dan dilanjutkan sepanjang 1-2 cm · Melakukan gerakan 4 arah ( atas, bawah, kiri, kanan) setelah itu jarum di angkat · Luka biopsi ditutup dengan kasa steril yang dibasahi povindone iodine dan tidak boleh dibasahi selama 3 hari Pembuatan preparat Gosokan bahan / jaringan sumsum tulang yang didapat pada kaca obyek (slide) sebanyak 2-3 buah dan biarkankering dengan pewarnaan. Pewarnaan bisa berupa pewarnaan wright atau giemsa. LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI · Rs Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam Tahap yang Asedang /Sudah Melalui Kepaniteraan Hematologi · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemaen Penyakit Dalam-Divisi Hematogi-Onkologi · Rs Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · TRs Pendidikan / RS Non Pendidikan : Patologi Anatomi
TRANSFUSI DARAH 349
PENGERTIAN Transfusi darah adalah tindakan memasukkan sel darah merah (darah segatr, pack red cell ) ke dalam tubuh melalui vena TUJUAN Memberikan kebutuhan sel darah merah sesuai indikasi INDIKASI Sesuai dengan komponen yang ditransfusikan : · Darah lengkap ( whole blood ) 250-300 cc/unit : meningkatkan volumedarah merah dan volume plasmna pada pendarahan akut dan pada kehilangan darah >25 % volume darah total · Darah merah pekat ( packed red blood cells ) 150-250 cc/ unit : meningkatkan masa sel darah merah dan kapasitas oksigen pada anemia normovolemik simtomatik termasuk anemia kronik pada kelainan ginjal kronik dan kanker
350
PEMASANGAN NUTRICATH INDIKASI · Kebutuhan akses vena jangka lama untuk terapi atau nutrisi · Pengukuran tekanan vena sentral KONTRA INDIKASI · Gangguan hemostatis yang beresiko perdarahan massif apabila dilakukan tindakan (misalnya koagulasi intravascular diseminata berat, defisiensi faktor pembekuan tingkat sedang-berat) · Trombositopenia (< 50.000/ul : absolute, 50.000-100.000/ul: relatif) · Kelainan lokal disekitar vena subklavia: massa tumor, paska radioterapi karena seringkali terjadi penekanan vena subklavia sehingga menjadi sempit). · Kelainan (tidak utuhnya) permukaan kulit ditempat insersi kateter (misalnya pada luka bakar/infeksi local, (sindrom Steven Johnson). PERSIAPAN Alat yang diperlukan : · Kateter vena sentral dengan diameter lumen yang sesuai untuk usia dan bentuk tubuh pasien. · Benang jahit, misalnya prolene no 2,0, Lidokain 2%, 10-20 cc · Heparin · Beberapa alat suntik: spuit 5 cc 1 buah, spuit 20 cc 2 buah · Pinset sirugis, 2 buah kom kecil dan satu buah bengkok (kidney basin) · Klem anatomis kecil (dengan ujung yang membengkok) · Mata pisau bedah · Kain steril (duk), ukuran minimal 60 cm x 60 cm, berlubang memanjang di bagian tengah · Larutan infuse NaCl, infuse set three way 2buah rubber slopper 2 buah, extension tube 1 buah Jenis-jenis kateter vena sentral untuk vena subklavia: · Pada umumnya berukuran panjang 30-35 cm · Untuk yang dipasang dengan guide wire berukuran panjang 20 cm Nutricath (merk vygon) no 16 atau 14 Pemilihan lokasi vena subklavia · Diutamakan sebelah kanan, Karena kemungkinan penyulit lebih kecil daripada kiri. · Apabila ada kelainan paru yang sedang sampai berat (infeksi, efusi pleura, tumor dll) pada satu sisi atau bila paska bedah MRM/ axillary dissection, dipilih vena subklavia kontralateral) PROSEDUR TINDAKAN · Posisi pasien terlentang, dengan letak kepala datar tanpa bantal dan menoleh kea rah yang berbeda dengan lokasi pemasangan kateter. · Dilakukan tindakan a dan antisepsis di daerah sekitar klavikula · Siapkan NaCl 0,9% sekitar 100-200 cc · Isi alat suntik 10 cc (sekitar 2 buah) dengan larutan NaCl 0,9% hingga terisi setengahnya, agar masih ada ruang untuk melakukan aspirasi 351
·
· ·
·
· ·
·
· · ·
Pada kulit kira-kira 1 cm di sebelah bawah pertengahan klavikula yang dipilih, dilakukan penyuntikan lidokain 2% berturut-turut secara subkutan, masuk mengenai tulang klavikula, kemudian menyusur tepi bawah tulang klavikula sampai jarum suntik masuk habis ke dalam kulit. Ingat tiap kali menyuntik lidokain diaspirasi dulu, keluar darah atau tidak. Pada waktu jarum menyisir tepi bawah klavikula tersebut, alat suntik didorong pada posisi mendatar dengan mengarah ke tepi proksimal dari ujung medial klavikula, sambil melakukan aspirasi, sehingga apabila ujung jarum masuk ke dalam vena akan diketahui dengan adanya darah vena yang teraspirasi ke dalam alat suntik. Pasang kanula plastik dengan dengan jarum logam didalamnya ( merupakan bagian dari set CVP) pada alat suntik yang berisi NaCl 0,9% Masukkan ujung jarum tersebut dengan cara dan arah yang sama seperti yang telah diterangkan sebelumnya sampai menyentuh tulang klavikula, kemudian mulai menyusur tepi bawah klavikula sambil melakukan aspirasi. Apabila ujung jarum masuk ke dalam vena, akan ditandai terhisapnya darah vena ke dalam jarum suntik. Pada tahap ini masukkan kanula plastic dengan mendorong sejauh 0,5 cm sambil menahan pangkal jarum logamnya, dengan demikian maka ujung kanula diharapkan sudah berada di dalam vena. Tariklah pangkal jarum logam ke luar kanula, kemudian pasang alat suntik berisi heparin dan lakukan aspirasi. Apabila darah masuk ke dalam alat suntik, berarti ujung kanula telah berada di dalam vena. Pada saat ini posisi pasien kembali melihat ke depan, tidak menoleh lagi, hal ini untuk mengurangi kemungkinan kateter nanti masuk ke vena jugularis. Masukkan kateter CVP/ nutricath ke dalam kanula tersebut sejauh yang diperlukan yaitu dengan ujung kateter mencapai atrium kanan. Untuk prosedur pemasangan CVP cukup sampai disini, sedangkan untuk pemasangan nutricath setelah prosedur ini dilanjutkan dengan tunelisasi subkutis yaitu memasang kateter di bawah kulit sejauh kira-kira 10 cm, baru kemudian dilakukan prosedur selanjutnya. Tunelisasi subkutis : - Lakukan sayatan menggunakan mata pisau bedah sepanjang 0,75 cm kea rah lateral, dengan kedalaman 0,3 cm dimulai dari lokasi kateter ke luar dari kulit. - Longgarkan jaringan bawah kulit secara tumpul menggunakan klem anatomis berukuran kecil, lebih baik bila ujungnya agak bengkok. Bebaskan jaringan ikat di sekitar kateter sehingga kateter dapat digerakkan longgar di lubang tersebut. - Suntikkan secara subkutan, lidokain 10 cc pada titik sejauh 10 cm di bawah sayatan tersebut, kea rah bawah (untuk menjahit kepala kateter nantinya) dan ke arah atas menuju lokasi sayatan untuk memasang kanula nanti. - Masukkan kanula (beserta jarum logam di dalamnya) di titik penyuntikan lidokain tadi, kemusian kea rah atas (lokasi sayatan) secara subkutan sampai menembus lubang sayatan pada posisi lateral dari kateter. - Cabut jarum logam, tinggalkan kanula ditempatnya Masukkan kateter ke dalam kanula dari arah atas sehingga keluar pada ujung kanula setelah bawah. Lakukan penjahitan luka sayatan tadi. Lakukan jahitan fiksasi kateter tepat di tempat keluarnya dari kulit sengan jahitan fiksasi kepala kateter (yang akan disambungkan dengan T-way) dan selang infuse). Sambungkan kepala kateter dengan selang infuse ataupun ectension tube dengan perantara T-way. 352
LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Pneumotoraks, rupture vena subklavia WEWENANG · RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hematologi Onkologi · RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT -
353
FLEBOTOMI PENGERTIAN Suatu tindakan menurunkan volume darah dengan cara mengeluarkannya melalui pembuluh vena secara bertahap dan cepat. TUJUAN Menghilangkan gejala-gejala distress dan fletora INDIKASI Polisitemia vera, eritrositosis, hemokromatosis, porfiria cutane tarda KONTRA INDIKASI Gagal jantung PERSIAPAN Bahan dan alat · Tensimeter dan stetoskop untuk memantau status hemodinamik sebelum, selama dan sesudah tindakan dan juga untuk membendung vena pada vena seksi · Tempat tidur untuk berbaring pasien · Set donor · Botol (plaboof) atau kantong penampung darah dengan skala volume · Set infuse/kateter intravena dan cairan plasma atau dekstran (sebagai persiapan) terutama pada pasien di atas usia 65 tahun atau adanya penyakit/penyulit kardiovaskuler atau gejala -gejala hiperviskositas. · Perangkat standar antiseptic antara lain gauge steril, providone iodine, alcohol dan plester. PROSEDUR TINDAKAN · Pasien diminta untuk buang air besar atau kecil sebelum tindakan. · Pasien dalam posisi berbaring dilakukan evaluasi status hemodinamik, sedang untuk pasien di atas usia 65 tahun sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dilakukan dalam posisi duduk/berdiri karena mencerminkan tekanan darah sebenarnya. · Bila status hemodinamik stabil, pasien berbaring di tempat tidur. · Dilakukan tindakan a dan antisepsis pada lengan vena seksi yang dilanjutkan dengan pembendungan vena dengan tensimeter tekanan 60 mmHg (atau antara sistolik dan diastolik) · Pada orang tua di atas 65 tahun atau pasien dengan kecenderungan penyakit kardiovaskuler, di sisi lengan yang satunya dipasang infuse set dengan cairan pengganti plasma (plasma expander) atau dekxtran yang dimulai secara bersamaan dengan tindakan flebotomi dengan jumlah yang sama dengan darah yang dikeluarkan. · Kebanyakan pasien dapat menerima pengeluaran darah sebanyak 3 unit (kira-kira 450-600 cc) per minggu, bahkan ada yang melakukan sebanyak 500 cc dengan interval 1-3 hari. Untuk usia lanjut dan pasien dengan penyakit kardiovaskuler dianjurkan sekitar 200-300 cc. · Setelah tercapai target pengobatan yaitu hematokrit antara 40-50%, maka kekerapan 354
flebotomi biasanya dapat diturunkan antara 1 atau 2 kali tiap 3-4 bulan tergantung evaluasi rutin yaitu nilai hematokrit atau serum feritin dalam batas normal rendah 10-40 ug/ml untuk pasien-pasien dengan hemokromaosis. LAMA TINDAKAN KOMPLIKASI Perdarahan/hematom, gangguan hemodinamik WEWENANG · RS pendisikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam, PPDS Penyakit Dalam tahap yang sedang / sudah melalui kepaniteraan Hematologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Hematologi Onkologi · RS Non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT -
355
3.6
ALERGI IMUNOLOGI
356
TES TUSUK (SKIN PRICK TEST) PENGERTIAN Tes tusuk (skin prick test) adalah tes kulit yang pada umumnya dilakukan di bagian volar lengan bawah dengan memasukkan allergen melalui tusukan di kulit. TUJUAN Mengetahui adanya sensitisasi terhadap allergen. INDIKASI Pasien asma, rhinitis, konjungtivitis alergi, dermatitis atopsi, dan urtikaria. KONTRAINDIKASI Pasien dalam serangan asma, pasien yang sedang minum obat antihistamim dan steroid. PERSIAPAN · Bahan dan alat : Ekstrak allergen yang sering menimbulkan alergi, jarum khusus skin prick test atau dapat juga jarum G 26 X 0,5, kapas dan alkohol 70%. · Pasien : tidak minum antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period (3 hari sampai 1 bulan tergantung dari jenis obat yang diminum) PROSEDUR DAN TINDAKAN · Tes dilakukan di voler lengan bawah. · Bersihkan bagian bawah yang akan dites dengan alkohol 70% tunggu sampai kering. · Gambar batas tiap allergen dengan pulpen sebanyak jumlah allergen yang akan dites. · Teteskan allergen ditempat yang telah ditandai. · Jarak tiap tetesan allergen 1,5-2,5 cm untuk menghindari bercampurnya dua allergen yang kemungkinan bereaksi positif. · Tes dibaca setelah 15 menit. PENILAIAN (-) tak ada reaksi + indurasi 1-2 mm ++ indurasi 3-5 mm +++ indurasi 6-9 mm ++++ indurasi > 9 mm LAMA TINDAKAN 15-30 menit KOMPLIKASI -
357
WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi-Imunologi (konsulen) dan PPDS Penyakit yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi-Imunologi dibawah bimbingan konsulen. · RS Non Pendidikan : Dokter spesialis Penyakit Dalam UNIT YANG MENANGANI · Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi-Imunologi. UNIT YANG TERKAIT · Departemen Kulit dan Kelamin REFERENSI Rengganis 1. Tes Tempel (Patch Test), Dalam : Sumaryono. A lwi 1, Sudoyo A , Simadibrata M. Setiati S, Gani RA , Mansjoer A . Editors. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam. Jakarta : pusat informasi dan penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2001.p.10-1.
358
TES PROVOKASI BRONKUS PENGERTIAN Tes provokasi bronkus adalah tes untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas bronkus TUJUAN Mendiagnosis asma bronchial INDIKASI Pasien asma bronchial yang tidak terdiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan non invasive. KONTRAINDIKASI Adanya obstruksi saluran nafas. PERSIAPAN Bahan dan Alat : · Histamine dalam konsentrasi 5% : 2,5 % : 0,625% NaCI 0,9% · Spirometri · Obat Bronkodilator (adrenalin, beta -2 agonis, aminofilin) · Tabung oksigen Pasien : pasien bebeas asma selama 12 jam PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien menjalani pengukuran spirometri pertama 2. Kemudian diminta membuka mulut lebar-lebar dan disemprotkan ke dalamnya NaCI 0,9% sebanyak 3-5 kali semprot lalu dihisap kedalam paru-paru. 3. Ditunggu selama1 menit lalu dilakukan spirometri kedua 4. Ulang kembali spirometri ketiga setelah 1 menit kemudian 5. Tunggu beberapa saat (1-2 menit) ulangi tindakan nomor 2-4 dengan menggunakan histamine 0,625% 6. Lakukan hal yang sama pada konsentrasi histamine 1,25% dan seterusnya sampai dicapai konstentrasi histamine yang memberikan hasil provokasi positif. PENILAIAN Positif : bila pada pengukuran menilai FEV1 setelah dilakukan provokasi dengan histamine dosisi tertentu terdapat perbedaan sebesar > 20% disbanding FEV1 awal Negatif : bila pada pengukuran spirometri setelah dilakukan provokasi dengan histamine sampai konsentrasi 5% tidak didapatkan perbedaan FEV1 sebesar >20% dibandingkan dengan spirometri awal. LAMA TINDAKAN 30-60 menit
359
KOMPLIKASI Serangan asma bronchial WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen) dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi Imunologi. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Alergi-Imunologi UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi · RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU. REFERENSI Karjadi TH. Tes Provokasi Bronkus. In : Sumaryono, A lwi I, Sudoyo A W , Simadibrata M. Setiati S. Gani RA . Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan di bidang penyakit dalam Jakarta : Pusat Informasi dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam FKUI : 2001-p, 3-4.
360
TES PROVOKASI OBAT PENGERTIAN Tes provokasi obat adalah tes yang dilakukan mulai dengan memberikan obat dengan dosis yang lebih kecil dari dosis yang diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang diharapkan. TUJUAN Mengetahui adanya sensitivias terhadap obat tersebut. Bila terjadi reaksi, masih dalam tahap ringan sehingga prosedur dihentikan dan gejala dapat diobati. Biasanya digunakan untuk menguji obat anestesi local sebelum digunakan dosis penuh. INDIKASI Jika dalam riwayat penyakit ada tanda-tanda yang mengarah ke alergi obat. KONTRAINDIKASI · Pasien yang sudah jelas diketahui alergi terhadap obat tertentu tidak perlu dilakukan tes lagi · Pasien yang sedang minum obat antihistamin dan steroid · Pasien penyakit jantung dan penyakit berat lainnya. PERSIAPAN Bahan dan Alat : Kit anafilaksis, infuse set, obat/bahan yang akan dites Pasien : tidak minum obat antihistamin dan steroid, tes dilakukan setelah wash out period. PROSEDUR TINDAKAN · Tes dilakukan dengan jumlah yang sesuai dengan kadar yang akan digunakan dan jangan menggunakan bahan yang mengandung epinefrin. · Mula-mula dilakukan prick test dengan anestesi yang tidak diencerkan sebanyak satu tetes. · Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:100 subkutan · Bila negative, lanjutkan dengan 0,1 ml larutan 1:10 subkutan · Bila negative, lanjutkan dengan 0,5 ml tidak diencerkan subkutan · Bila negative, lanjutkan dengan 1 ml larutan tidak diencerkan subkutan · Bila negative, lanjutkan dengan 2 ml larutan tidak diencerkan subkutan · Suntikan diberikan dengan jarak 15 menit. PENILAIAN Dianggap negative bila pasien telah menerima 3 ml anestesi local tanpa reaksi yang berarti, tidak menunjukkan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan populasi dalam masyarakat. LAMA TINDAKAN ½-2 Jam
361
KOMPLIKASI Reaksi alergi ringan, sedang, berat. Anafilaksis sampai kematian WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Alergi Imunologi (konsulen) dan PPDS yang sedang dan sudah melalui Divisi Alergi di bawah bimbingan konsulen Alergi Imunologi. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam –Divisi Alergi-Imunologi UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi · RS Non Pendidikan : Bagian Paru, Penyakit Dalam, ICU. REFERENSI Rengganis I, Tes provokasi obat. Dalam : Sumaryono. A lwi I. Sudoyo A W , Simadibrata M, Setiati S, Gani RA ,Mansjoer A . Penyunting. Prosedur tindakan dibidang penyakit dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2001 : 149-50
362
3.7
GASTROENTEROLOGI
363
SKLEROTERAPI DAN LIGASI VARISES ESOFAGUS PENGERTIAN Skleroterapi dan ligasi varises esophagus merupakan prosedur invasive dengan menggunakan endoskopi yang dimasukkan ke dalam saluran cerna dilanjutkan dengan pengikatan dan penyuntikan varises pada esophagus/gaster. TUJUAN Melakukan eradikasi varises esophagus dengan cara melakukan prosedur berulang dengan rata-rata sebanyak 3-4 kali. INDIKASI Perdarahan akibat pecahnya varises esophagus/gaster. KONTRAINDIKASI · Gagal jantung akut, infark jantung akut, gangguan hemodinamik, syok hipovolemik, gangguan pernapasan (respiratory distress), koagulasi intravascular diseminata akut (gangguan hemostatis). · Prekoma dan koma hepatikum merupakan kontraindikasi relative. PERSIAPAN · DPL, masa perdarahan, masa pembekuan · Puasa 6-8 jam PROSEDUR TINDAKAN · Prosedur ini harus dilakukan secara legeartis oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman. Sebab resiko tindakan nini akan meningkat bila dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman dan sebaliknya resiko akan menjadi kecil atau tanpa resiko bila dikerjakan oleh operator yang berpengalaman. · Sifat prosedur ini bias elektif atau emergensi. Khususnya untuk prosedur emergensi persiapan sebelum tindakan dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan memperhatikan resiko yang dapat terjadi pada saat tindakan maupun sesudah tindakan. · Langkah-langkah tindakan Skleroterapi : 1. Pasien telah dijelaskan dan dimotivasi sehingga menyetujui tindakan untuk mendapatkan hasil yang optimal. 2. Pemeriksaan fungsi, hemostatis, HBsAg dam anti HCV 3. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr% 4. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan 5. Pagi hari sebelum skleroterapi dianjurkan untuk pasang infuse cairan. 6. Premedikasi : a. Sediasi berupa diazepam i.v. 5-10mg atau midazolam 5mg, 15 menit sebelum tindakan. b. Gascon 15cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan c. Spray xilokain 10% merata keseluruh faring, sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit 364
sebelum pemeriksaan. d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m 1-2 ampul (20-40mg) 7. Alat yang dipakai : a. Endoskopi dengan pandangan samping maupun depan. b. Jarum khusus untuk skleroterapi serta obat sklerosan yang bisa dipakai : i. Polidocanol (ethxysclerol) 1%, 2% dan 3% ii. Etanolamin 5% iii.Sodium tetradesil sulfat 0,5-1,5 % (trombovar) iv. Kinin v. Dextrose 50% vi. Alkohol absolute 96% vii. Jumlah sampai total sebanyak 5-30ml untuk setiap skleroterapi ·
Langkah-langkah tindakan ligasi : 1. Pemeriksaan fungsi hati, hemostatis. HbsAg dan anti HCV 2. Kadar haemoglobin diusahakan lebih dari 10 gr% 3. Puasa minimal 6 jam sehari sebelum tindakan. 4. Premedikasi : a. Sedasi berupa diazepam i.x. 5-10 mg atau midazolam 5mg. 15 menit sebelum tindakan b. Gascon 15 cc per oral 5-10 menit sebelum tindakan c. Spray xilokain 10% merata ke seluruh faring. Sekitar uvula, dan hipofaring 5-10 menit sebelum pemeriksaan d. Hyoscine-N-butylbromide (buscopan) i.m. 1-2 ampul (20-40mg) 5. Persiapan alat : a. Endoskopi pandan depan (GIF IT20.Evi GIF 100) b. Ligator endoskopik Stiegmann-Goff yang terdiri dari beberapa bagian : i. Overtube panjang 25 cm ii. Adaptor ukuran kecil dan besar (friction-fit adaptor) iii. Inner cylinder iv. Ligator dari karet berbentuk “ o” v. Tali pengait (trip wire)
·
Evaluasi : hasil prosedur ini harus dilakukan evaluasi secara klinis dan endoskopi. Prosedur endoskopi dilakukan tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu satu minggu (untuk skleroterapi) dan tenggang waktu dua minggu (untuk tindakan ligasi). Setelah itu satu bulan setelah prosedur ke tiga dan selanjutnya dengan tenggang waktu 1-6 bulan tergantung hasil evaluasi endoskopi. Tindakan ini dapat dilakukan diluar jadwal bila terdapat tanda-tanda klinis perdarahan dalam bentuk melena dengan atau tanpa hematemesis, penurunan Hb akibat perdarahan samar, disfagia akibat striktur pasca skleroterapi.
·
KOMPLIKASI Hipoksia, refleks vagal, perdarahan ulang, demam, pleuritis, empiema dan disfagia LAMA TINDAKAN 365
30 menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis, PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikat Endoskopis. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
366
SKLEROTERAPI HEMOROID PENGERTIAN Skleroterapi hemoroid adalah prosedur tindakan terapetik untuk mengobati hemoroid dengan cara menyuntikkan obat sklerosan dengan bantuan anoskop/endoskopi dan jarum suntik. TUJUAN · Mengobati hemoroid menjadi sklerotik · Menghentikan perdarahan aktif hemoroid INDIKASI Hemoroid interna derajat I-II dengan keluhan perdarahan, benjolan KONTRAINDIKASI · Infeksi akut/abses pada hemoroid · Pasien tidak kooperatif · Keadaan umum buruk PERSIAPAN · DPL. Masa perdarahan, masa pembekuan · Diazepam 5-10 mg IV dan tidur dengan posisi miring ke kiri (posisi Sim’ s) (tidak diberikan secara rutin). PROSEDUR TINDAKAN Cara I : - Setelah dioleskan jeli, kolonoskop dimasukkan ke dalam anus - Untuk melihat posisi skop dapat langsung lurus foreward view atau melalui U turn. Kanul jarum sklerosing ditempelkan ke hemoroid interna sasaran di atas linea dentate, jarum dikeluarkan dan obat etoksisklerol disuntikkan sebanyak 0,5-1cc intra hemoroid - Jarum dicabut atau dimasukkan dan kanul tetap pada hemoroid selama 1-2 menit - Setiap hemoroid dapat di suntik obat etoksisklerol dengan cara yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus. Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid suppositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang 1-2 minggu sampai hemoroid sklerotik. Cara II : - Setelah dioleskan jeli pada anus dan anuskopnya, lalu anuskop dimasukkan ke dalam anus. - Jarum suntik berisi etoksisklerol ditusukkan ke dalam hemoroid. Setelah di suntik, bekas suntikan di tekan dengan kasa steril yang telah dicelupkan betadin selama 1-2 menit. - Hemoroid lain dilakukan tindakan yang sama. Penyuntikan etoksisklerol sebaiknya jangan diberikan para/peri hemoroid, karena dapat menimbulkan stenosis/striktur anus. Pasca tindakan : selama 5 hari harus diberikan antibiotika oral, obat hemoroid 367
supositoria/ointment dan obat penghilang rasa sakit dubur. Tindakan ini diulang tiap 1-2 minggu sampai hemoroid sklerotik. Evaluasi : tigapuluh menit sesudah tindakan harus dipastikan bahwa tidak ada perdarahan peranum. Tujuh hari kemudian dilakukan endoskopis ulang untuk hasil skleroterapi. KOMPLIKASI Perdarahan, abses anus, demam, rasa sakit di dubur, bakteremia, ulkus ano-rektal, stenosis/striktur anus. LAMA TINDAKAN 15 menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah/Digestif · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
368
BUSINASI PENGERTIAN Businasi adalah tindakan dilatasi esophagus TUJUAN Dilatasi striktur esophagus INDIKASI Striktur esophagus, spasme esophagus, akalasia KONTRAINDIKASI Keadaan umum buruk PERSIAPAN Puasa 6-8 jam PROSEDUR TINDAKAN Dilatasi dengan menggunakan busi KOMPLIKASI LAMA TINDAKAN 30 Menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT -
369
KOLONOSKOPI PENGERTIAN Kolonoskopi adalah suatu tindakan untuk mengadakan observasi keadaan lumen usus besar secara langsung dengan menggunakan endoskop. TUJUAN Identifikasi lesi dalam lumen usus besar INDIKASI · Mengevaluasi kelainan yang didapat pada pemeriksaan Colon in loop · Perdarahan peranum yang tidak diketahui penyebabnya · Diare kronik · Obstipasi · Menegakkan diagnosis keganasan kolon / untuk mendapatkan jaringan biopsy dari kolon · Evaluasi pasca anastomosis · Surveillance : kelompok resiko tinggi untuk kanker kolon, tindak lanjut sesudah operasi pengangkatan polip atau kanker. · Terapeutik : polipektomi, pengambilan benda asing, terapi laser. KONTRAINDIKASI Mutlak : Pasien tidak kooperatif, perforasi usus, peritonitis, kehamilan trimester III, infark jantung baru, pasien dalam keadaan syok. Relatif : semua proses peradangan akut dan berat yang akan memperbesar kemungkinan perforasi. · Diverticulitis akut dengan gejala sistemik · Kehamilan trimester I dan penyakit peradangan panggul · Penyakit anal dan perianal akut · Obstruksi intestinal / distensi perut akut · Demam · Aneurisma aorta abdominal atau aneurisma iliakal · Baru menjalani operasi · Visualisasi terganggu : perdarahan akut gastrointestinal massif, persiapan tidak baik. PERSIAPAN · Informed concent · Persiapan usus besar : 1. Sejak 2 hari sebelum tindakan, pasien makan bubur kecap atau makanan cair, minum yang banyak 2-3 liter/hari. Jika sulit buang air besar minum laktulosa 2 x 1 sendok makan atau bisacodyl 2 x 1 tab/hari. 2. Malam hari sebelum tindakan, puasa. Makan terakhir jam 20.00, setelah itu puasa tetapi minum tetap boleh kecuali susu. Pukul 21.00 minum garam Inggris 30 gram atau Dulcolax x 4 tab. 3. Pukul 05.00 pagi (3 jam sebelum tindakan) dilakukan klisma (untuk pasien yang dirawat) atau bisacodyl 1 buah suppositoria atau larutan enema 1 botol. 370
PROSEDUR TINDAKAN 1. Meniup (inflasi) udara diusahakan seminimal mungkin 2. Sedapat mungkin harus melihat lumen kolon dengan baik dengan menarik alat atau memutarnya ke kiri atau ke kanan serta menghindari timbulnya loops. Kadang-kadang alat perlu di dorong menyusuri dinding kolon tanpa melihat lumennya. Hal ini dapat dilakukan tanpa resiko selama alat tersebut menyusur dengan mudah tanpa paksaan. Bila ada tahanan, apalagi pasien merasa sakit, sebaiknya alat ditarik mundur. 3. Rasa sakit merupakan suatu tanda bahwa kita harus hati-hati menarik alat dan memendekkan kolon dengan cara menghisap merupakan salah satu cara keberhasilan mencapai caecum. Langkah-langkah tindakan : 1. Surat persetujuan tindakan 2. Persiapan kolon 3. Memakai celana khusus yang mempunyai lobang berukuran ( 14 cm) untuk jalannya skop KOMPLIKASI Gangguan kardiovaskular dan pernapasan, perforasi kolon, perdarahan, distensi pasca kolonoskopi, reaksi vasovagal, flebitis, infeksi,volvulus LAMA TINDAKAN 30-60 menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi, PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
371
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK PENGERTIAN Pemasangan selang nasogastrik (NGT/flocare) ke dalam lambung melalui hidung pada keadaan pasien tidak dapat menelan makanan oleh berbagai sebab untuk menjamin pemberian nutrisi enteral. Pemasangan NGT juga dilakukan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas, pancreatitis akut ileus paralitik/obstruksi untuk dekompresi. TUJUAN · Pemberian nutrisi enteral pada pasien yang tidak dapat menelan oleh berbagai sebab. · Dekompresi / menyalurkan cairan lambung keluar pada ileus paralitik/obstruktif dan pancreatitis akut. · Bilas lambung pada perdarahan SCBA INDIKASI Pasien tidak dapat menelan oleh berbagai sebab, perdarahan saluran cerna bagian atas, pancreatitis akut, ileus obstruktif/paralitik. KONTRAINDIKASI Pasien tidak kooperatif PERSIAPAN PROSEDUR TINDAKAN 1. Pasien posisi terlentang atau miring ke kiri/kanan dengan kepala sedikit di tekuk ke depan. 2. Selang dimasukkan ke hidung setelah ujungnya diberi jeli 3. Setelah mencapai lambung, biasanya pada tanda 3 strip hitam yaitu kira-kira 50 cm dari lambung dimasukkan udara melalui selang. Hal ini bisa menimbulkan suara yang dapat di dengar dengan stetoskop yang ditempelkan kira-kira di atas lambung (perut kiri atas/sedikit di atas epigastrium). Jika terdapat banyak cairan lambung, biasanya cairan lambung keluar melalui selang. KOMPLIKASI Erosi pada esophagus dan lambung LAMA TINDAKAN ± 15 menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi dibantu oleh perawat terlatih. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam.
372
UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah /Digestif · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
373
ESOFAGO-GASTRO-DUODENOSKOPI PENGERTIAN Esofago-gastro-duodenoskopi adalah pemeriksaan intralumen esophagus, gaster, dan duodenum dengan menggunakan alat endoskop (serat optic atau EVIS). TUJUAN Identifikasi lesi mucosal intralumen di esophagus, gaster, dan duodenum INDIKASI Dispepsia, disfagia, perdarahan gastrointestinal, konfirmasi abnormalitas pada pemeriksaan radiologi, penapisan keganasan saluran cerna bagian atas, muntah hebat, berat badan turun tanpa sebab, dispepsi yang menetap setelah terapi empiric, occult bleeding, anemia tidak diketahui penyebabnya. INDIKASI Terapeutik : Ligasi /STE varises esophagus, mengambil benda asing KONTRAINDIKASI Mutlak : tak kooperatif atau psikotik, infark miokard akut Relatif : kesadaran menurun, divertikulum Zenker, gagal jantung, pneumonia berat, asma akut, aneurisma aorta torakal, gastritis korosif akut PERSIAPAN · Persiapan psikologis dan penjelasan tentang tujuan (informed concent) · Puasa 6-8 jam sebelum tindakan · Persiapan alat : 1. Memastikan semua tombol-tombol berfungsi baik. Baik itu air feeding, water feeding, dan suction (knop). 2. Pompa isap 3. Botol air cukup isinya 4. Sumber cahaya 5. Alat foto tersedia dan cairan formalin (5-10%) serta botol-botol kecil apabila direncanakan biopsy. PROSEDUR TINDAKAN 1. Melalui mouth piece, ujung skop diinsersikan ke dalam mulut, faring, sfingter, esophagus superior dan masuk ke dalam esophagus. 2. Esophagus di evaluasi, kemudian melalui sfingter esophagus bawah, skop dimasukkan ke dalam gaster 3. Evaluasi dilakukan di daerah kardia, fundus, korpus dan antrum 4. Melalui pylorus skop dimasukkan ke dalam bulbus dan pars desenden duodenum 5. Skup ditarik kembali sambil melihat keadaan mokusa dengan mengisap udara dan cairan selama ditarik 374
KOMPLIKASI Refleks vasovagal, perdarahan, aspirasi, perforasi LAMA TINDAKAN ± 30 menit WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam yang sedang dan sudah melalui Divisi Gastroenterologi membantu persiapan dan pelaksanaan. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dengan sertifikasi. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Gastroenterologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT · RS Pendidikan : Departemen Bedah / Digestif · RS Non Pendidikan : Bagian Bedah
375
3.8
HEPATOLOGI
376
BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS PENGERTIAN Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) adalah suatu tindakan untuk menetapkan diagnosis jaringan dengan menggunakan jarum halus tanpa melalui prosedur pembedahan. TUJUAN · Untuk menetapkan diagnosis lesi-lesi maligna organ intra abdomen seperti hati, pancreas dan limpa · Untuk menentukan stadium suatu keganasan INDIKASI · Terdapat lesi fokal di hati · Terdapat dugaan adanya keganasan pada korpus dan kauda pancreas · Limfadenopati peripankreatik atau para aorta KONTRAINDIKASI Gangguan hemostatis, pasien tidak kooperatif, asites PERSIAPAN Bahan dan Alat : · Alat USG yang dilengkapi dengan probe yang khusus digunakan sebagai penuntun biopsy aspirasi · Jarum chiba no. 22 G-23 G dengan panjang 15 atau 20 cm · Gelas obyek · Lidokain 2% 5 ampul · Alcohol 96% · Spuit Betadine disposable 10 cc dan 20 cc masing-masing 1 buah · Aspirator · Sarung tangan steril · Kain handuk steril Pasien : · Pasien rawat inap · Pasien tidak dipuasakan · Diperiksa masa perdarahan, masa pembekuan dn masa protrombin · Vitamin K 10 mg intra muscular mulai 1 hari sebelum tindakan · Terpasang infuse NaCI 0,9% atau Dextrose 5% · Surat persetujuan tindakan
377
PROSEDUR TINDAKAN Tindakan dilakukan secara lege artis meliputi : 1. Persiapan periksa kembali kelengkapan bahan dan alat periksa pasien tidak ada kontraindikasi sudah ada persetujuan tindakan 2. Teknik puncture · a dan antisepsis lapangan kerja dengan larutan betadine · tentukan titik puncture USG · infiltrasi anestesi local dengan lidokain 2% 6-10 cc dari titik puncture yang ditentukan sampai daerah kapsul hati atau peritoneum · lakukan puncture dengan jarum chiba dengan dipandu USG sampai ke daerah sasaran. 3. Teknik aspirasi · Setelah jarum mencapai sasaran yang dituju lepaskan mandarin di dalamnya · Lakukanlah aspirasi dengan spuit disposable 20 cc dengan cara membuat tekanan negative serta menarik dan mendorong jarum ke atas dan ke bawah · Setelah didapat aspirat, tekanan negative spuit dinetralkan kembali dan jarum kemudian ditarik. 4. Pembuatan slide · Keluarkan aspirat dari jarumnya dengan mendorongnya dengan mandrin atau spuit disposable ke atas gelas obyek · Buatlah sediaan apus preparat direndam dalam alkohol 96% selama 5 menit 5. Pengawasan pasca tindakan · Setelah luka dirawat periksa tekanan darah dan pulsasi. LAMA TINDAKAN 30 menit KOMPLIKASI Perdarahan, nyeri daerah tusukan, peradangan, seeding sepanjang tract jarum WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam yang sudah mendapat sertifikasi. PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi : mempersiapkan dan membantu pelaksanaan. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi · RS Non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT -
378
PARASENTESIS ABDOMEN PENGERTIAN Parasentesis abdomen adalah suatu tindakan untuk mengeluarkan cairan asites TUJUAN · Untuk membantu menegakkan diagnosis · Sebagai terapi, bila pengobatan dengan medikamentosa tidak member respons Indikasi · Diagnostic : untuk memastikan penyebab asites atau menentukan asites yang terinfeksi seperti SBP pada pasien sirosis hati. · Untuk mengatasi distensi abdomen atau sesak napas akiba tekanan asites. KONTRAINDIKASI · Gangguan pembekuan darah, masa protrombin memanjang > 5 detik control, trombosit < 50.000/mm. ileus obstruktif, infeksi pada dinding perut · Relative : pasien tidak kooperatif, riwayat operasi laparotomi berulang PERSIAPAN Bahan dan alat : · Sarung tangan steril · Betadine, alkohol · Kasa steril · Kain duk steril · Lidokain 1% (10 cc) · Spuit disposable 10 cc (2 buah), 50 cc (2 buah) · IV cath no. 14 atau 16 · Blood set · Tabung steril Pasien : · Diperiksa darah perifer lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan dan masa protrombin (paling lama 48 jam terakhir) · Surat persetujuan tindakan PROSEDUR TINDAKAN · Vesika urinaria harus kosong · Pasien tidur berbaring dengan posisi kepala 45-90 · Identifikasi tempat aspirasi : hindari vena-vena kolateral, pembuluh darah epigastrika inferior, lokasi bekas operasi dan limpa yang membesar · Pakai sarung tangan steril · Bersihkan lokasi tindakan dengan antiseptic · Pasang duk steril · Anestesi local dengan likodain 1% sampai dengan peritoneum · Pasang IV-cath no 14 atau 16 secara zigzag, sedot cairan dengan spuit 10 cc dan 50 cc untuk 379
· · ·
pemeriksaan. Untuk tujuan terapi pasang set infuse, lalu alirkan cairan keluar Tidka ada batas pasti jumlah maksimal yang boleh dikeluarkan, rata-rata 3-4 liter masih cukup aman Pada pasien sirosis hati sebaiknya ditambahkan 6-8 g albumin intraven untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan.
LAMA TINDAKAN · Parasentesis diagnosis : 15 menit · Parasentesis terapeutik : tergantung jumlah cairan asites yang dikeluarkan KOMPLIKASI · Local : perdarahan, infeksi dinding perut, peritonitis, perforasi usus atau vesika urinaria · Umum : Hipovolemia, hipotensi, gagal ginjal, ensefalopati portosistemik. WEWENANG · RS Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan PPDS Penyakit Dalam yang sedang / sudah melalui Divisi Hepatologi. · RS Non Pendidikan : Dokter Spesialis Penyakit Dalam. UNIT YANG MENANGANI · RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Hepatologi · RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT -
380
BAB IV
PENUTUP
381
PENUTUP Sebagaimana kita ketahui kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran/kesehatan khususnya ilmu penyakit dalam, sedemikian cepat dan luas seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia yang semakin banyak serta kemajuan dan perubahan pola pikir masyarakat tentang pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, dengan adanya Buku Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini dapat membantu sejawat dalam memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat secara lebih optimal, berkesinambungan, professional dan dapat dipertanggungjawabkan. Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam ini meliputi standar operasional yang bermutu dalam pelayanan dan perawatan kesehatan kepada masyarakat yang diperuntukkan bagi semua sarana pelayanan kesehatan yang telah dan akan menggunakan standar pelayanan medic ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan Standar Pelayanan Medik Penyakit Dalam PAPDI ini kami menerima masukan dari sejawat untuk revisi selanjutnya.
382