BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan sumberdaya alam yang bebas dimanfaatkan oleh siapapun (common property). Kegiatan penangkapan ikan menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat terutama di kawasan pesisir. Hal ini telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan ikan sebagai salah satu sumber bahan pangan, dampaknya adalah semakin
meningkatnya
penggunaan
teknologi
produksi
dari
kegiatan
penangkapan ikan. Sumberdaya perikanan memiliki keterbatasan daya dukung untuk tumbuh dan berkembang, sehingga membutuhkan tindakan pengelolaan agar kegiatan pemanfaatan ikan dapat tetap berkelanjutan (Fauzi 2010). Menurut Fauzi (2010) berbagai aktivitas perikanan laut, khususnya perikanan tangkap telah dilakukan tanpa kontrol dalam pemanfaatan ikan sebagai tujuan penangkapan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya ikan laut telah mengalami tekanan yang cukup berat dan mengakibatkan kemunduran mutu sumberdaya, baik populasi, jumlah hasil tangkapan serta kondisi ekosistem yang merupakan habitat ikan. Secara umum kondisi perikanan tangkap Indonesia cenderung mengalami degradasi dalam waktu beberapa dekade terakhir. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kualitas sumber daya ikan adalah degradasi kualitas lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang merusak (destructive fishing), penangkapan ikan yang dilakukan secara berlebih (overfishing), penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak lingkungan (bahan peledak, racun, listrik dan obat bius), serta penggunaan alat penangkap ikan yang tidak berizin, maupun oleh pihak asing yang melakukan praktek illegal fishing di Indonesia (Mahyudin 2012).
1
2
Kondisi penurunan sumber daya ikan ini mengakibatkan Indonesia mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan produksi secara signifikan melalui kegiatan perikanan tangkap. Karena kegiatan perikanan tangkap tidak berorientasi pada kegiatan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Badan Dunia PBB, FAO tahun 1995 telah mendistribusikan ketentuan – ketentuan sebagai instrument internasional didalam mewujudkan pembangunan perikanan berkelanjutan (Sustainable Fisheries Development) yang dikenal dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) mengenai pengelolaan perikanan disebutkan bahwa, “Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Langkahlangkah konservasi dan pengelolaan baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus di dasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini” (Mahyuddin 2012). Untuk itu Indonesia sebagai negara yang melakukan kegiatan perikanan tangkap sudah selayaknya menerapkan CCRF tersebut demi terjaganya kelangsungan sumber daya perikanan. Teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan alat tangkap untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup tanpa mempengaruhi atau mengganggu kualitas dari lingkungan hidup (Martasuganda 2002). Arimoto (2000) dalam Ramdhan (2008) mengemukakan bahwa suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan apabila alat tangkap tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Selain memiliki jumlah alat tangkap paling banyak, Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang menghasilkan produksi perikanan tangkap paling tinggi
3
di Jawa Barat. Kabupaten Indramayu merupakan daerah dengan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pada tahun 2004 yang sudah mencapai 254,89% dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau sekitar 203,91% dari hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY) (Darsono 2004 dalam Hamdan 2007). Jumlah alat tangkap di Kabupaten Indramayu juga paling tinggi diantara kabupaten lainnya di Jawa Barat. Atas dasar ini, maka dikhawatirkan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Saat ini tentunya perlu dilakukan identifikasi berbagai alat tangkap yang digunakan oleh nelayan terutama di perairan Indramayu dalam rangka mengurangi terjadinya tangkap berlebihan. Produktivitas yang tinggi dari suatu alat tangkap mendukung berkembangnya kegiatan perikanan tangkap namun harus tetap dilakukan secara bertanggung jawab. Keseimbangan antara produktivitas yang tinggi sebagai indikator efektivitas dan efisiensi penangkapan dengan tingkat keramahan sebagai upaya peningkatan kelestarian merupakan hal yang penting. Kondisi ini harus tetap dijaga agar kegiatan penangkapan dapat menghasilkan produksi yang tinggi, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
1.2.
Identifikasi Masalah Bedasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya maka
masalah yang dapat diidentifikasi adalah:
Alat tangkap apa saja yang digunakan di Indramayu terutama yang mendaratkan hasil tangkapan di PPI Karangsong.
Alat tangkap apa saja yang paling ramah lingkungan yang digunakan di Indramayu.
Alat tangkap apa yang paling produktif digunakan di Kabupaten Indramayu.
4
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk :
Mengetahui alat tangkap yang paling ramah yang digunakan di Indramayu atas dasar hasil tangkapannya.
Mengetahui alat tangkap apa yang paling produktif digunakan di Indramayu.
1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman mengenai alat
tangkap apa saja yang ramah lingkungan paling produktif dan yang digunakan nelayan di Kabupaten Indramayu khususnya di PPI Karangsong. Lebih jauhnya hasil dari penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam penentuan arah kebijakan dalam menerapkan peraturan penggunaan alat tangkap.
1.5.
Pendekatan Masalah Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang
salah satu kegiatan ekonominya bertumpu pada sektor perikanan. Daerah ini juga merupakan daerah dengan tingkat kontribusi produksi perikanan terbesar diantara daerah-daerah lainnya di wilayah pesisir bagian utara. Rata-rata produksi perikanan di daerah ini adalah sebesar 58.243,80 ton per tahunnya. Dengan jumlah alat tangkap rata-rata sebanyak 6.329 unit, maka hasil tangkapan rata-rata per satuan unit alat tangkap dapat dihitung sebesar 9,33 ton per unit alat tangkap (Hikmayani 2007). Alat-alat tangkap seringkali membawa dampak membahayakan bagi kelestarian sumberdaya ikan juga merupakan salah satu faktor yang merusak lingkungan perairan. Sumberdaya ikan, meskipun termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) namun bukanlah tidak terbatas. Oleh karena itu perlu dikelola secara bertanggungjawab dan berkelanjutan agar kontribusinya terhadap ketersediaan nutrisi, peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan (Hikmayani 2007). Kegiatan penangkapan
yang
berlebihan
menyebabkan
tekanan
terhadap
populasi
5
sumberdaya ikan semakin meningkat termasuk ekosistemnya. Dampak yang ditimbulkan dapat menyebabkan kegiatan penangkapan tidak berkelanjutan dan selanjutnya mengurangi keuntungan secara ekonomi bagi pelaku usaha penangkapan ikan (Nelwan at al. 2011). Maka produktivitas yang dinilai berdasarkan jumlah hasil tangkapan per unit usaha penangkapan menjadi penting dianalisis agar efisiensi nilai effort dalam kegiatan penangkapan bisa dilaksanakan. Pengelolaan sumberdaya ikan sangat erat kaitannya dengan pengelolaan operasi penangkapan ikan dan sasaran penangkapan ikan yang dilakukan. Usahausaha untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan, sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh berbagai ahli penangkapan ikan di seluruh dunia. Sebagai contoh, industri penangkapan ikan di Laut Utara telah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil tangkap sampingan (by catch) (Hamdan 2007). Menurut Hamdan (2007) kelestarian sumberdaya ikan perlu juga dilihat dari penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan yaitu dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan, daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengembangan teknologi penangkapan ikan ditekankan pada teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (enviromental friendly fishing tecnology) dengan harapan dapat memanfaatkan
sumberdaya
perikanan
secara
berkelanjutan.
Teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap, serta kontribusinya terhadap polusi. Faktor lain adalah dampak terhadap biodiversity dan target sumberdaya ikan yaitu komposisi hasil tangkapan, adanya by catch serta tertangkapnya ikan-ikan muda. Hasil tangkapan per unit alat tangkap di Kabupaten Indramayu mengalami perkembangan yang cenderung menurun. Terjadi kecenderungan penurunan hasil tangkapan sebesar 0,1741 ton pada setiap kali peningkatan jumlah alat tangkap yang digunakan di daerah tersebut (SIPLA 2007). Keadaan ini tentu saja menjadi
6
penegas bahwa penurunan produktivitas hasil tangkapan di perairan Indramayu terjadi akibat peranan penggunaan alat tangkap yang tidak diatur secara jelas. Menurut Ramdhan (2008) alat tangkap di kabupaten Indramayu di dominasi oleh gill net (sebanyak 45 %), dimana gill net millenium dikategorikan alat tangkap yang tidak ramah jika ditinjau dari jumlah hasil tangkapan. Penggunaan alat tangkap jaring insang hanyut (gill net) merupakan alat tangkap dominan yang digunakan nelayan. Berdasarkan jenisnya, alat tangkap paling banyak digunakan berturut-turut adalah jaring insang hanyut, pukat pantai dan sero. Ketiga jenis alat tangkap ini dominan digunakan karena berdasarkan alasan teknis dan ekonomis paling mudah dioperasikan dan menguntungkan (Hikmayani 2007). Langkah awal yang sangat mungkin dilakukan terlebih dahulu adalah menginventasrisasi alat tangkap yang ramah lingkungan yang digunakan di perairan tersebut. Nilai produktivitas serta tingkat keramahan lingkungan alat tangkap adalah informasi penting yang harus didapat agar kegiatan perikanan tangkap dapat berlangsung secara efektif dan berkelanjutan.