BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Minyak dan gas bumi (migas) merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan berperanan penting dalam perekonomian nasional dan
internasional.
Proses
produksi
industri untuk
menghasilkan
listrik,
menjalankan mesin produksi dan mengangkut hasil produksi ke pasar, semua membutuhkan pasokan minyak bumi yang besar karenanya minyak bumi penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Mengingat peranannya yang vital tersebut bagi negara-negara penghasil minyak bumi, gas, dan mineral, terutama negara-negara sedang berkembang, perlu meningkatkan kewaspadaan dan kecermatan dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini. Bagi negara-negara penghasil migas merupakan sumber daya alam strategis yang pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat. Hal tersebut perlu mendapat perhatian oleh karena banyak negara dengan kelimpahan sumber daya alam tertentu, terutama minyak, gas, dan mineral, mempunyai pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan sumber daya manusia yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang langka sumber daya tersebut (Auty, 1993; Karl, 1997 dalam A. Wennmann, 2012). Dari beberapa literature mengenai sumber daya alam, menjelaskan tentang adanya fenomena kutukan sumber daya alam. Kutukan sumber daya alam ( natural resource cource )
pada dasarnya merupakan hipotesis yang
menyatakan semakin besar karunia alam yang dimiliki suatu wilayah, semakin menggiring wilayah tersebut kepada keterbelakangan (Kolstad dan Wiig, 2009). Bahwa negara yang dianugerahi kekayaan alam kerap terjebak pada pertumbuhan yang lamban dan masalah kemiskinan (Sachs dan Warner, 1995; Kolstad dan Wiig, 2009). Penelitian empiris juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya sumber daya alam cenderung melambat (Sachs dan Warner, 2001). Atas alasan itu, ada anggapan bahwa karunia
sumber
daya
alam
lebih
banyak 1
memberikan
kutukan
bagi
pembangunan daripada sebagai berkah. Dengan demikian, negara-negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya alam, terutama minyak bumi, gas, dan mineral lain, menghadapi tantangannya tersendiri. Tantangan itu adalah untuk mengubah sumber daya alam yang merupakan aset menjadi manfaat yang harus dikembangkan secara terus-menerus sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi warga negaranya. Di samping itu, negaranegara berkembang juga perlu membangun pemerintahan yang kuat agar dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan baik agar tidak menimbulkan keguncangan ekonomi, konflik sosial dan kerusakan lingkungan dalam waktu yang lama. Negara menjadi aktor yang paling ekstensif dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam karena sifatnya sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warga negara. Oleh karena minyak bumi dan gas merupakan sumber daya alam yang sangat strategis yang di perlukan oleh seluruh warga negara maka minyak dan gas merupakan SDA yang dikuasaai oleh Negara (state property). Pengelolaan migas diharapkan dapat diperuntukkan bagi kemakmuran masyarakat karena hubungan negara dengan sumber daya alam dan masyarakatnya bersifat publik. Agar tidak terjadi bencana akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan atau sering disebut sebagai tragedy of the commons, maka negara (pemerintah) berhak menguasai dan mengatur sumber daya alam dalam arti yang seluas-luasnya (Arizona, 2008). Dalam kenyataannya konsep idealistis tentang kedaulatan dan kekuasaan negara sebagai badan publik sering kali terdistorsi sehingga membuat
state property bukan menjadi milik umum,
melainkan menjadi milik pribadi buatan atau milik kelembagaan yang disebut pemerintah Ekstraksi sumber daya alam dapat menghasilkan keuntungan yang luar biasa atau 'super normal' tergantung pada kondisi geografis dan iklim usaha yang berlaku. Pada gilirannya ini dapat menghasilkan insentif untuk menghindari dan mencegah pengawasan yang transparan dan investasi dalam kapasitas kelembagaan (Barma, et.al., 2012; Mcloughlin, 2013). Dalam hal ini, para elite politik merupakan penerima langsung dari pendapatan sumber daya (Caselli & Cunningham, 2009). Hal tersebut menjadikan „kepentingan politik‟ dari 2
pemerintah yang sedang berkuasa berpengaruh terhadap sifat dari pemanfaatan atas sumber daya alam yang ada. Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam perlu
dilakukan
dengan
melibatkan
masyarakat
agar
pengelolaannya
mempertimbangkan aspek-aspek keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut terkait
dengan pendapat Torquebiau dan Taylor
(2009) yang mengatakan bahwa
pembangunan daerah dengan pendekatan
konservasi perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan masyarakat lokal dalam proses negosiasi yang mengarah pada perlindungan yang efisien, baik dari segi biaya maupun manfaat yang diterima oleh masyarakat perdesaan. Upaya untuk memahami hubungan antara pemantauan pengelolaan sumber daya dan pemberdayaan masyarakat lokal di daerah tropis ditunjukkan dengan adanya partisipasi lokal dalam mempromosikan pemberdayaan lewat berbagai cara (Lawrence, 2006; Garnett, et.al., 2009, Danielsen, et.al., 2010). Dalam konteks desentralisasi, masyarakat lebih banyak bertugas dalam pengelolaan sumber daya (United Nations Program Lingkungan, 2001) dan memasukkan pemberdayaan lokal untuk mencari strategi konservasi (Brown, 2002; Gockel dan Gray, 2009; Lele, et.al., 2010). Untuk itu, diperlukan pemahaman yang lebih dalam terhadap hasil pemberdayaan program partisipatif (Danielsen, et.al., 2009, DeCaro dan Stokes, 2008). Pengelolaan sumber daya alam dengan memberdayakan masyarakat merupakan pendekatan pengelolaan secara partisipatif. Secara umum, hukum internasional tidak memberikan kepemilikan pribadi atas sumber daya mineral. Namun hukum dan praktik internasional mengakui hak masyarakat adat atas sumber daya alamnya, serta hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya mineral, termasuk minyak bumi dan gas (Duval, et.al., 2009). Dengan demikian memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya mineral dapat diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Pengusahaan atau pemanfaatan sumber daya
mineral oleh
masyarakat merupakan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha pertambangan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang optimal (welfare state) 3
Pemberdayaan masyarakat telah didiskusikan secara luas dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pengelolaan sumber daya alam (natural resources management). Pemberdayaan, seperti yang dipahami dan dipromosikan dalam konteks pembangunan dan pengurangan kemiskinan, bersifat multidimensi (Pettit, 2012). Pemberdayaan menyangkut proses yang bersifat multilevel atau dapat diterapkan secara bertingkat terhadap individu, organisasi, dan masyarakat. Hal ini
dikemukakan
oleh
Wallerstein
(1992)
yang
mengatakan
bahwa
pemberdayaan merupakan proses aksi sosial yang mempromosikan partisipasi orang, organisasi, dan komunitas menuju tujuan peningkatan individu dan kontrol masyarakat, keyakinan untuk berpengaruh terhadap politik (efikasi politik),
peningkatan
kualitas
hidup
masyarakat,
dan
keadilan
sosial.
Pemberdayaan memungkinkan orang yang hidup dalam kemiskinan dan termarginalkan dapat terlibat dan berpartisipasi dalam proses kegiatan yang mempengaruhi masa depan mereka, baik yang berkaitan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi maupun hukum (Alsop, et.al., 2006; Eyben, et.al., 2008). Oleh karena itu seperti apa yang diungkapkan oleh (Pettit, 2012) selain bersifat multilevel pemberdayaan juga bersifat multidimensi. Karena pemberdayaan terkait dengan pembahasan multidimensi dan multilevel, maka pemberdayaan dapat dipahami dan diartikan dalam penekanan yang berbeda-beda. Dalam orientasi ini, kata „pemberdayaan‟ merujuk pada beberapa definisi menurut beberapa ahli. Katz (dalam Rappaport et.al., 1984) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah masyarakat yang mencapai keadilan sumber daya, sedangkan menurut Braithwaite dan Lythcott (1989) dan Hunt (1990), pemberdayaan adalah masyarakat mengidentifikasi persoalan dan solusi mereka sendiri. Kemudian menurut Chavis dan Wandersman (1990) serta Florin dan Wandersman (1990), pemberdayaan adalah
meningkatkan partisipasi
dalam kegiatan masyarakat yang mengarah pada penghidupan yang diperbaiki, rasa masyarakat yang lebih kuat, dan efikasi personal dan politik. Selanjutnya Rappaport (1981) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah mengembangkan sebuah model tindakan sosial partisipatoris untuk meningkatkan keefektivan sistem bantuan dasar dan mendukung perilaku proaktif bagi perubahan sosial. 4
Semua unsur tersebut berkaitan erat dengan ide pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Penelitian ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam mineral minyak bumi. Oleh karena itu, pengertian pemberdayaan yang digunakan sebagai dasar pembahasan adalah pemberdayaan
sebagai sebuah proses
tindakan sosial yang meningkatkan partisipasi orang, organisasi, dan komunitas ke arah tujuan peningkatan kontrol individu dan komunitas, efficacy (pengarauh) politik, perbaikan kualitas kehidupan masyarakat, dan keadilan sosial ( Wallerstein, 1992; Rappaport, 1981). Konsep pemberdayaan tersebut digunakan oleh karena peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat (Rahardjo Adisasmita, 2006). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku. Oleh karena menyangkut upaya pencapaian tujuan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku, dalam pelaksanaanya pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dapat menemui berbagai factor pendukung dan factor penghambat baik yang berasal dari kepribadian individu dalam komunitas dan bisa juga berasal dari sistem sosial. Untuk itu fokus penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendukung dan menghambat proses pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas partisipasi dalam pengelolaan penambangan minyak bumi di sumur tua, baik pemberdayaan di tingkat individu, kelompok maupun komunitas. Bagi negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam, hasil dari sumber daya alam dapat dijadikan sebagai salah satu modal andalan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dilaksanakan. Untuk itu pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Menurut Jamart dan Rodeghier (2009) dalam melaksanakan pembangunan jangka panjang, pembagian
kewenangan
untuk
pengelolaan
sumber
daya
alam
yang
berkelanjutan perlu menjadi bagian dari tujuan pembangunan. Untuk itu pengelolaan
sumber
daya
alam
yang 5
melibatkan
berbagai
pemangku
kepentingan memerlukan adanya pengaturan pembagian kewenangan sehingga tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat tercapai. Menurut Ife (1995 dalam Zubaedi, 2007), pemberdayaan berarti memberikan sumber daya alam, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam kegiatan yang memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Dari pengertian tentang konsep pemberdayaan tersebut, dapat diketahui bahwa kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan keputusan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan mereka. Terkait dengan pemahaman pemberdayaan sebagai proses kegiatan yang bersifat multilevel, maka dalam konteks otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat tidak hanya terkait dengan penguatan individu, tetapi juga berbagai pranatanya (institutions). Pemberdayaan juga menyangkut pembaruan lembaga sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya, khususnya yang menyangkut partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam proses pembangunan di lingkungannya. Dengan demikian, faktor pengaturan pembagian kewenangan dan upaya pemerintah dalam peningkatan kapasitas masyarakat merupakan faktor-faktor yang diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat lokal. Salah satu prioritas pembangunan nasional di Indonesia, yaitu prioritas ketiga, adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Kemudian dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang ketiga tersebut, Program Pembangunan Nasional (Propenas) di Indonesia menyebutkan bahwa kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya berikut ini. 1. mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya 6
2. menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan 3. mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap 4. memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal 5. menerapkan secara efektif penggunaan indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup 6. memelihara kawasan konservasi yang telah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu 7. mengikutsertakan
masyarakat
dalam
rangka
menanggulangi
permasalahan lingkungan global. Tujuan Propenas tersebut, jika dikaitkan dengan konteks desentralisasi dan otonomi daerah, menjelaskan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, perlu diperhatikan dua aspek pokok berikut. Yang pertama adalah yang menyangkut masalah pendelegasian wewenang dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Yang kedua adalah masalah pemberdayaan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Aspek pertama di atas sesuai dengan agenda desentralisasi yang menjelaskan bahwa penyerahan sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diharapkan dapat memosisikan rakyat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya yang ada di daerah. Dengan demikian, pengelolaan tersebut mewujudkan kemakmuran rakyat. Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam dan adanya akuntabilitas otoritas lokal merupakan prasyarat utama tercapainya pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi (Ribbot, 2002). Oleh karena itu, pembagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah di sektor sumber daya alam (pertambangan, 7
kehutanan, dan perkebunan) diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya alam agar lebih dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Menurut Harbinson dan Myers dalam bukunya Manpower and Education: Country Studies in Economic Development (1965), in the final analysis, the wealth of a country is based upon its power to develop and to effectively utilize the innate capacities of its people. Berdasarkan asumsi tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah yang mandiri dan bertanggung jawab memerlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat. Konsep
pemberdayaan
mencerminkan
paradigma
baru
dalam
pembangunan yang berfokus pada rakyat (people-centered), partisipatif (participatory),
memberdayakan
(empowering),
dan
berkesinambungan
(sustainable) (Chambers, 1995). Chamber juga menjelaskan bahwa konsep pembangunan dengan model pemberdayaan masyarakat tidak hanya sematamata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat. Konsep ini lebih sebagai upaya mencari alternatif pertumbuhan ekonomi lokal. Berlakunya kebijakan Pemerintah Republik Indonesia tentang otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan berdampak pada adanya kebijakan untuk melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam minyak bumi dan gas. Pengelolaan ini meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi yang mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat di sekitar lokasi penambangan serta kelestarian
pemanfaatan
sumber
daya
migas
tersebut.
Namun
dalam
pelaksanaannya, pengelolaan penambangan minyak bumi dan gas selama ini belum sesuai dengan yang telah digariskan. Pelaksanaannya masih bersifat top down. Hal ini berarti semua kegiatan pengelolaan minyak bumi dan gas mulai dari membuat kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Sebagaimana diketahui, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam berpotensi memunculkan berbagai permasalahan. Selain itu, juga dapat menjadi pemicu
terjadinya
konflik
sosial
dalam
masyarakat
jika
pengaturan
pengelolaannya tidak tepat (Warner, 2000; Tyler, 2006). Oleh karena itu, dalam 8
era otonomi daerah saat ini, diperlukan pengelolaan sumber daya melalui pemerintahan yang kuat. Kegiatan eksploitasi minyak dan gas di Indonesia juga perlu memperhatikan pencapaian sinergi antara perlindungan lingkungan dan manfaat ekonomi yang diberikan. Dengan demikian, kegiatan yang berhubungan dengan industri ini dilakukan dengan meminimalkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan sekaligus memaksimalkan manfaat bagi biofisik ekonomi dan aspek sosial dari lingkungan, baik pada tingkat lokal, regional dan global, terutama bagi daerah dan lingkungan tempat industri ini beroperasi. Di Indonesia, salah satu daerah dengan kandungan minyak bumi yang sangat besar adalah Kabupaten Blora. Sebagian besar wilayah kerja pertambangan minyak bumi Blok Cepu terletak di Kabupaten Blora. Pada kenyataannya kegiatan pertambangan di Blok Cepu yang wilayah kerjanya meliputi Kabupaten Blora dan Bojonegoro telah dilakukan sejak lama. Namun ternyata sampai saat ini masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora belum dapat merasakan keuntungan yang memadai dari hasil pertambangan minyak bumi di daerah ini. Ironisnya, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Blora masih cukup tinggi, yaitu 134,9 ribu jiwa pada 2010 (16,26 persen). Angka ini hanya menurun sedikit jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang berjumlah 145,1 ribu jiwa atau 17,70 persen (BPS Provinsi Jawa Tengah, 2010). Menurut Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Blora, Samgautama Karnajaya, adanya aktivitas pertambangan minyak dan gas (migas) di Kabupaten Blora belum memberikan dampak yang cukup baik pada pertumbuhan dan peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Blora tahun 2011. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, bahkan tidak
terdapat
perbedaan
yang
berarti
antara
PDRB
dengan
atau
tanpa migas. Pendapatan dari sektor migas tahun 2011 sebesar Rp227,248 miliar atau 4,67 persen dari Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Rp71,497 miliar dari Atas Dasar Harga Konstans (ADHK). Pertumbuhan pendapatan ADHK
dengan
tanpa
migas 2,59 persen sehingga tidak terlampau jauh presentasinya (Sugie
Rusyono
;
migas
2012;
tahun
Minim
2011
Dampak
sebesar
Sektor 9
2,70
Migas
persen,
bagi
sedangkan
PDRB
Blora;
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/09/14/129897/Mini m-Dampak-Sektor-Migas-bagi-PDRB-Blora,20 September 2012). Karena keterbatasan kewenangan untuk mengelola sumber daya alam berupa minyak bumi, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Blora maupun Kabupaten Bojonegoro juga belum dapat menyusun dan melaksanakan peraturan daerah yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mengelola sumber daya alam minyak bumi yang terdapat di wilayahnya. Pemanfaatan potensi sumber daya alam yang ada di daerah untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga belum menunjukkan hasil yang memadai. Salah satu bentuk keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan
penambangan
minyak
bumi
adalah
pelaksanaan
kegiatan
pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua. Dengan menggunakan teknologi yang sederhana, penambangan minyak bumi di sumur tua telah dilakukan oleh masyarakat sejak lama. Hasil penambangan minyak ini pun telah dinikmati oleh masyarakat, baik sebagai produsen maupun konsumen. Namun dalam pelaksanaannya, penambangan minyak bumi di sumur tua yang dilakukan oleh masyarakat menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan. Untuk itu, pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengatur pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua yang dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 1 Tahun 2008. Dalam permen tersebut dijelaskan bahwa pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua, selain ditujukan untuk meningkatkan produktivitas minyak
bumi,
juga
dimaksudkan
untuk
memberi
kesempatan
kepada
masyarakat ikut terlibat dalam pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai kebijakan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi di sumur tua agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini sejalan dengan pendapat Chamber (1995) tentang konsep pembangunan dengan model pemberdayaan masyarakat. Menurut konsep ini, pelaksanaan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat tidak hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) masyarakat, tetapi lebih sebagai upaya mencari alternatif pertumbuhan ekonomi lokal. 10
Yang dimaksudkan dengan sumur tua di sini adalah sumur peninggalan Belanda yang dibor sebelum 1970 dan tidak diusahakan oleh kontraktor migas mana pun. Kementerian ESDM mencatat bahwa total sumur tua di Indonesia adalah 13.824 buah sumur yang tersebar di beberapa daerah sebagai berikut : 1. Sumatera bagian selatan (3.623 buah sumur) 2. Sumatera bagian utara (2.392 buah sumur) 3. Sumatera bagian tengah (1.633 buah sumur) 4. Kalimantan Timur (3.143 buah sumur) 5. Kalimantan Selatan (100 buah sumur) 6. Jawa Tengah, Timur, dan Madura (2.496 buah sumur) 7. Papua (208 buah sumur) 8. Seram (229 buah sumur) (Kementrian ESDM, 2008; Pertamina EP Serahkan Pengelolaan 24 Sumur Tua kepada KUD Wargo Tani Makmur;
http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/2388; 4 September 2011) Sementara itu, Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS ) menghitung terdapat lima ribu sumur tua Indonesia yang berpotensi digarap kembali. Kelima ribu sumur itu dapat menghasilkan minyak sebesar 25 ribu barel per hari. Angka itu berdasarkan asumsi bahwa satu sumur dapat mengeksplorasi minyak antara 5-10 barel per hari. Menurut Kepala BPMIGAS (kini SKK Migas), R. Priyono (2009), diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2008 merupakan salah satu upaya agar industri migas dapat langsung menyentuh masyarakat. Ia mengatakan teknologi sederhana
sumur
untuk
tua
adalah
dikelola
karena
ia
oleh
tidak
yang
paling
masyarakat. berhubungan
sederhana
Menurutnya, dengan
dalam
segi
"Teknologinya
sumur
lainnya"
(
https://bisnis.tempo.co/read/news/2009/03/24/090166398/sumur-minyak-tuaberpotensi-hasilkan-25-ribu-barel-per-hari; 10 September 2011) Upaya
peningkatan
produksi
minyak
bumi
melalui
pengusahaan
penambangan pada sumur tua tidak hanya dilakukan di Indonesia. Hal ini juga dilakukan oleh Arab Saudi, negara penghasil minyak terbesar di dunia. Oleh 11
karena permintaan minyak berada pada tingkat tinggi dan karena kekhawatiran pasokan dari Iran, maka Pemerintah Arab Saudi selalu mencari cara untuk meningkatkan output mereka. Untuk itu, Saudi Aramco, eksportir minyak terbesar di dunia, berniat membuka kembali lapangan Dammam. Setelah ditutup selama 30 tahun, area Dammam telah mengalami banyak perubahan. Sekarang wilayah ini dikelilingi oleh wilayah metropolitan yang dapat membuat pengeboran minyak menemui tantangan yang sangat sulit. Namun Saudi Aramco akan melakukan pengeboran dengan cara yang paling modern dan peka terhadap lingkungan serta secara profesional sehingga tidak merugikan masyarakat setempat.. (http://oilprice.com/Latest-Energy-News/World-News/No-Peak-Oil-WhyThen-is-Saudi-Aramco-Opening-Old-Wells-for-Heavy-Crude.html).
Pengusahaan penambangan minyak bumi di sumur tua juga dilakukan di
Amerika
yang
Serikat.
ditemukan
Minyak
Chevron
Lapangan
pada dengan
1899
Kern
River
dihidupkan
menyuntikkan
(Bakersfield,
kembali
uap
oleh
bertekanan
California) Perusahaan
tinggi
untuk
memompa keluar lebih banyak minyak. Produksi lapangan ini pernah merosot menjadi 10.000 barel per hari pada 1960, tetapi pada 2007 produksinya
dapat
menghasilkan
output
harian
85.000
barel
(http://www.nytimes.com/2007/03/05/business/05oil1.html?_r=1&pagewanted=all ). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam dekade terakhir, kemajuan teknologi telah
memungkinkan
pembukaan
minyak
dari
lapangan-lapangan
tua.
Kemudian sejalan dengan pertumbuhan ekonominya, Pemerintah Cina juga memutuskan mendapatkan minyak yang tersisa di sumur minyak tua di Azerbaijan. Hal ini menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan energinya, Pemerintah Cina
berpetualang memburu minyak sampai ke negara-negara
yang kaya minyak. Karena mencari minyak di laut merupakan kegiatan yang mahal, Pemerintah Cina mengembangkan teknologi baru untuk mendapatkan akses
penuh
ke
ladang
minyak
tua
di
Azerbaijan
(http://www.turks.us/article.php?story=20060325092224472.) Dengan adanya pengusahaan minyak di sumur-sumur tua, muncul pertentangan pendapat tentang keuntungan dan kerugian dalam praktik penambangan minyak bumi pada sumur tua. Ini terutama dialami oleh negara12
negara yang memiliki kebijakan untuk melakukan pengusahaan minyak pada sumur tua, baik yang dilakukan oleh negaranya sendiri maupun di negaranegara lain. Perdebatan yang terjadi juga disertai dengan pertentangan pembagian kewenangan dalam hal pengelolaannya, serta terjadinya konflik yang terkait dengan kepentingan politik. Kepentingan politik tercermin dalam kasus pejabat yang mendukung dilakukannya kegiatan penambangan pada sumur tua, yang secara tidak langsung sebenarnya merupakan langkah untuk mendapatkan lebih banyak dukungan dari masyarakat. Hal ini seperti yang terjadi di Negara Bagian Sacramento, ketika Gubernur Jerry Brown memecat kepala Departemen Konservasi, Derek Chernow. Ia berpendapat bahwa kebijakan yang dibuat oleh Brown tentang peraturan penambangan mempermudah persyaratan utama bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan minyak California. Chernow dan Wakil Bupati (Vice Regent) Elena Miller dipecat karena berpendapat bahwa aturan Relaxing pada injeksi bawah tanah, yang dikeluarkan oleh Brown, merupakan metode berisiko terhadap ekstraksi minyak umum di negara bagian dan melanggar hukum lingkungan. Keputusan Brown untuk memihak kepentingan energi selama peraturannya mencerminkan tekanan ekonomi dan politik terhadap
gubernur
selama
keterlibatan
kembali
di
Sacramento.
http://articles.latimes.com/2012/jan/29/local/la-me-oil-20120129. Dari beberapa kebijakan di beberapa negara tentang pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua, tampak bahwa kebijakan pemerintah dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam, khususnya pengusahaan pertambangan minyak pada sumur tua, memerlukan analisis mendalam dari berbagai pendekatan. Kebijakan pengusahaan pertambangan minyak tidak hanya terkait dengan bidang ekonomi dan sosial saja, tetapi juga terkait dengan bidang politik dan hukum. Perdebatan dalam hal pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua juga terjadi di Indonesia. Di tengah terjadinya krisis energi dunia serta secara khusus, menurunnya hasil produksi minyak bumi di Indonesia dan tuntutan peningkatan ketahanan energi, pengusahaan minyak pada sumur tua menemui beberapa pendapat yang kontroversial. DI satu sisi ada yang berpendapat bahwa pengusahaan minyak pada sumur tua sangat menjanjikan. 13
Akan tetapi, di sisi yang lain ada yang berpendapat bahwa pengusahaan minyak pada sumur tua tidak efisien. Pendapat penambangan oleh
yang minyak
Soetan
mendorong pada
sumur
Bhatoegana,
dilakukannya tua,
anggota
pengusahaan
antara
lain,
Komisi
VII
dikemukakan DPR
RI.
http://jaringnews.com/ekonomi/umum/9211/produksi-nasional-rendah-sumurminyak-tua-mesti-digenjot
.
Ia
mengharapkan
pemerintah
segera
memaksimalkan peran sumur tua dalam upaya peningkatan produksi minyak nasional. Hal ini dikemukakannya karena banyaknya investor yang membatalkan niatnya mengelola penambangan ini karena adanya aturan yang rumit. Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setidaknya ada sebanyak 132 sumur minyak tua yang perizinan pengelolaannya tidak jelas, padahal potensi dari sumur tua tersebut masih cukup tinggi (http://id.berita.yahoo.com/kamis 2 Februari 2012). Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan sumur tua untuk meningkatkan produksi minyak. Langkah tepat yang seharusnya dilakukan adalah ekstensifikasi dengan melakukan eksplorasi sumur minyak yang baru. Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI), Salis
Aprilian,
Upstream
yang
Strategic
juga
menjabat
Planning
sebagai and
Senior
Vice
Subsidiary
President
Management
Pertamina, menyebutkan potensi sumur tua nasional mencapai 13 ribu sumur. PT Pertamina sendiri menemukan potensi sekitar 5 ribu sumur tua dan hanya
20
persen
dari
jumlah
tersebut
yang
berhasil
dikelola
(http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/20/219631/21/2/-Sumur-Tuatidak-akan-Mampu-Dongkrak-Produksi-Minyak). Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, dalam kenyataannya pengusahaan penambangan minyak pada sumur tua oleh masyarakat masih tetap dilakukan. Pemerintah sendiri, bahkan telah mengeluarkan kebijakan pengaturannya melalui Permen ESDM No. 1 Tahun 2008. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas minyak bumi dengan 14
memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi atau ikut terlibat dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. Strategi yang dipandang sebagai pendekatan yang mengedepankan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua adalah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Kegiatan ini dikenal dengan Community Based Natural Resources Management (CBNRM). Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi atau ikut terlibat dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua merupakan salah satu bentuk praktik CBNRM. Praktik ini diharapkan dapat
meningkatkan
perekonomian
masyarakat
dengan
tetap
menjaga
kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Permen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Minyak Tua merupakan wujud kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam permen itu disebutkan bahwa pemerintah memberikan kesempatan kepada BUMD dan koperasi untuk turut serta dalam pengelolaan sumur minyak tua di daerah. Hal tersebut secara positif direspons oleh beberapa daerah penghasil minyak bumi, seperti Pemkab Blora, Jawa Tengah. Menyikapi hal tersebut, Pemkab Blora membentuk BUMD PT Blora Patra Energi (BPE). Sejumlah koperasi unit desa (KUD) dan investor juga menyatakan minatnya turut serta dalam pengelolaan sumur minyak tua di Blora. Selain dapat memperluas kesempatan kerja, pengusahaan penambangan minyak pada sumur tua diharapkan juga memberikan keuntungan secara finansial bagi badan usaha milik daerah maupun bagi masyarakat setempat baik secara individu maupun kelompok (koperasi). Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama BUMD PT Blora Patra Energi (BPE), Christian Prasetya, mengungkapkan harapannya terhadap keuntungan pengelolaan sumur minyak tua sebagai berikut. ... keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumur minyak tua cukup menjanjikan ... Namun Christian mengakui, pertambangan migas butuh modal yang tidak sedikit sekaligus penuh resiko kegagalan produksi … 15
“Paling tidak pengelolaan satu sumur minyak tua butuh modal Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar. Modal tersebut akan balik manakala produksi lancar tidak sampai setahun,” katanya. Marji, salah seorang penambang, mengakui pengelolaan sumur minyak tua memiliki prospek cerah. Penambang asal Kecamatan Kedungtuban itu mengungkapkan, salah satu sumur minyak tua itu diperkirakan mampu menghasilkan minyak mentah 15.000 liter dalam waktu 12 jam jika proses penambangan tidak menemui kendala. Setelah dikurangi biaya produksi dan lain sebagainya, pendapatan yang diterima dari harga angkat angkut bisa mencapai Rp 2,5 juta per hari. (http://esdm-blora.blogspot.com/2011/07/pengelolaan-sumur-minyaktua.html) Meskipun
pemerintah
telah
menetapkan
kebijakan
pengaturan
penambangan minyak bumi pada sumur tua, penambangan yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah merupakan kegiatan penambangan secara liar. Mereka tidak meminta izin secara resmi dari pemerintah untuk melakukan penambangan. Sebagai akibatnya, meskipun dapat menjadi sumber mata pencaharian masyarakat, keterlibatan masyarakat dalam penambangan minyak bumi pada sumur tua sering kali menimbulkan berbagai permasalahan. Pernyataan tentang adanya penambangan tanpa izin dan pelanggaran terhadap lingkungan hidup dalam penyelenggaraan penambangan minyak bumi pada sumur tua disampaikan Bupati Bojonegoro dan Legal and Relations Manager PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu (http://m.beritajatim.com/ekonomi/225048). Adanya harapan bahwa keterlibatan masyarakat dalam penambangan minyak bumi pada sumur tua akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata belum dapat dicapai. Hasil penelitian Hardiwinoto (2010) berjudul “Analisis Diskriptif Kondisi Ekonomi Penambang Minyak Mentah (Crudde Oil) Tradisional di Kecamatan Sambong dan Kecamatan Jepon Kabupaten Blora” menunjukkan para penambang minyak tradisional masih berada dalam kehidupan yang miskin. Masih diperlukan adanya uluran tangan untuk memberdayakan para penambang minyak tradisional dan penambang minyak tradisional yang bekerja secara subsisten. Karena mereka bekerja tidak secara profesional, mereka tidak memiliki daya tawar terkait dengan penentuan 16
harga. Hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan pada masyarakat berpartisipasi dalam penambangan minyak bumi ternyata belum dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di sekitar penambangan. Mereka belum memiliki daya dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Permasalahan lain yang ditimbulkan dari praktik penambangan minyak bumi pada sumur tua oleh masyarakat adalah terjadinya konflik perebutan lahan dan juga menimbulkan persaingan harga yang tidak sehat. Hal ini seperti yang terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang tampak dalam berita berikut ini
(http://www.seruu.com/utama/energi-a-pertambangan/artikel/sekitar-1600-
sumur-minyak-tua-tersebar-di-kabupaten-langkat). Sebanyak 1.600 sumur minyak tua diperkirakan terdapat di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, baik itu yang masih berproduksi maupun yang sudah tidak berproduksi lagi. "Sumur-sumur minyak tua itu terdapat di berbagai kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat ini," kata staf Humas Koperasi Minyak Darat Padang Tualang, Arbai, di Stabat, Selasa (22/11) …
Kini produksi minyak yang ada di dua kecamatan tersebut telah menjadi rebutan kalangan pengusaha maupun masyarakat setempat. Hampir setiap hari, lebih kurang 30 ton minyak disedot dari perut bumi di dua kecamatan tersebut. Harga jualnyapun bervariasi antara Rp80.000 s/d Rp90.000 per jerigen isi 35 liter minyak mentah … Konflik antara warga dengan perusahaan juga terjadi di wilayah Kecamatan Kadewan, Kabupaten Bojonegoro, saat dilakukan operasi penertiban sumur minyak ilegal. Perlawanan warga terhadap PT Pertamina EP dilakukan dengan menghadang akses jalan masuk lokasi sumur minyak tua yang sedang ditertibkan (http://news.detik.com/jawatimur/2488557/penertiban-sumur-minyakilegal-di-bojonegoro-mendapat-perlawanan). Selain menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, permasalahan yang ditimbulkan dari penambangan minyak bumi pada sumur tua yang dilakukan oleh masyarakat adalah terjadinya kerusakan lingkungan di Blok Cepu. Kerusakan yang terjadi adalah kerusakan lahan hutan yang berada 17
di bawah naungan Perhutani KPH Cepu. Menurut Koordinator Keamanan (Korkam) Perhutani KPH Cepu, Agus Kusnandar, 300 hektar lebih hutan wilayah Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang berada di Pegunungan Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, telah rusak. Banyak pohon mati dan lingkungan menjadi tercemar diakibatkan adanya penambangan sumur
minyak
tua
secara
besar-besaran
di
wilayah
tersebut
(http://www.suarabanyuurip.com/kabar/baca/300-ha-hutan-cepu-rusak-parah). Permasalahan
lain
yang
muncul
akibat
adanya
praktik-praktik
penambangan minyak bumi pada sumur tua oleh masyarakat adalah dalam hal koordinasi dan pengaturan pembagian kewenangan pengelolaan. Hal ini dapat diketahui dari adanya kendala dalam hal perizinan. Kendala dalam perizinan ini, antara lain, berkaitan dengan penggunaan wilayah hutan yang menjadi tempat sumur
tua
pemanfaatan
berada.
Kendala
lahan
sehingga
yang
dihadapi
diperlukan
menyangkut
koordinasi
kepentingan
perizinan
antara
Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan. Proses koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan merupakan salah satu kendala yang dihadapi perusahaan daerah dalam memperoleh izin operasional kegiatan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua. Hal tersebut, antara lain, dihadapi oleh PT Blora Patra Energi (PT BPE), sebuah perusahaan daerah yang ada di Kabupaten Blora. Pelaksanaan penambangan yang telah dipersiapkan sebelumnya terpaksa belum dapat dilanjutkan karena terkendala masalah perizinan, seperti yang diberitakan sebagai berikut. Target perusahaan daerah (perusda) PT Blora Patra Energi (BPE) mengirimkan ijin penggunaan wilayah hutan untuk kegiatan penambangan minyak mentah di sumur tua kembali gagal. Sebab, sampai kemarin izin yang mestinya sudah dikirim ke Departemen Kehutanan itu masih kurang lengkap ... kegiatan penambangan minyak di sumur tua tersebut untuk sementara dihentikan setelah ujicoba dan berhasil. Sebab, meski sudah mengantongi izin dari Pertamina, PT BPE harus memiliki ijin penggunaan wilayah dari Perhutani. Sebab, sebagian besar sumur minyak tua yang akan dikelola berada di wilayah hutan yang dikuasai Perhutani (Kontributor_humas Blora) (http://www.jatengprov.go.id/?document_srl=24788 2-2-2012). 18
Aktivitas masyarakat dalam pengusahaan penambangan minyak pada sumur tua terkait dengan berbagai kepentingan pemangku kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, pengaturan terhadap pelaksanaanya diharapkan dapat mengatasi permasalahan tarik-menarik kepentingan yang terjadi. Untuk itu pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan penambangan
minyak bumi pada sumur tua diharapkan dapat
menjamin dan menghasilan
adanya
dan
partisipasi
masyarakat
yang
kuat
konstruktif,
serta
mempertimbangkan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan bersama. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka diperlukan kajian tentang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Secara khusus, kajian diperlukan dalam pengelolaan pemanfaatan sumur tua agar kesempatan
yang
diberikan
kepada
masyarakat
untuk
terlibat
dalam
pengelolaan sumber daya alam disertai dengan pengaturan hak dan kewajiban yang jelas agar tujuan yang akan dicapai benar-benar dapat terwujud. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti memilih topik ini dengan menggunakan judul penelitian “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Penambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Penambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Blok Cepu)”.
1.2 RUMUSAN MASALAH Salah
satu
bentuk
kebijakan
pemberdayaan
masyarakat
dalam
pengelolaan sumber daya alam adalah pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Partisipasi masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan wewenang kepada masyarakat secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan pengelolaan sumber daya alam. Dengan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, diharapkan berbagai permasalahan dapat dicari solusinya. Karena masyarakat diberi
kesempatan
untuk
berpartisipasi
19
dan
memberikan
kontribusi,
implementasi kegiatan pengelolaan sumber daya alam diharapkan akan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan. Paradigma
pengelolaan
sumber
daya
alam
dengan
melibatkan
masyarakat memberikan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi secara aktif dan konstruktif. Salah satu kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan partisipasi masyarakat adalah kegiatan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. Selain bertujuan untuk mengoptimalkan produksi minyak bumi, pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi sumur tua itu berada. Pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua, merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh wewenang dalam mengakses sumber daya alam dan memperoleh keuntungan dari pemanfaatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi masyarakat dan keikutsertaan lembaga-lembaga lokal di daerah seperti
Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua diharapkan akan dapat meminimalisasi kerugian dan memaksimalkan keuntungan bagi seluruh elemen terkait. Di samping itu, partisipasi mereka juga diharapkan akan meningkatkan potensi masyarakat dan lembaga-lembaga lokal untuk lebih berperan dalam menyejahterakan masyarakat dan pembangunan di daerahnya. Dengan menggunakan teknologi yang sederhana, masyarakat telah terlibat secara langsung dalam pengusahaan penambangan minyak bumi. Namun kegiatan pengelolaan pengusahaan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat
menimbulkan
berbagai
masalah
sosial
dan
ekologis.
Kondisi tersebut terjadi baik di Kabupaten Bojonegoro maupun di Kabupaten Blora, seperti diungkapkan oleh Drs, Adi Purwanto, MM bahwa Minyak bumi pada sumur tua telah dikelola oleh penambang secara tradisional sejak lama. Pada mulanya, penambang minyak bumi tradisional melakukan penambangan secara perorangan dan berkelompok. Penambangan tersebut 20
dilakukan tanpa adanya koordinasi, sehingga dapat dikatakan sebagai penambangan liar atau illegal. Alur distribusi minyak bumi dari hasil penambangan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan (Purwanto, 2015; http://www.edugovindonesia.com/web/2-uncategorised/13-pengelolaan-minyakbumi-pada-sumur-tua-oleh-kaud-wargo-tani-makmur-kecamatan-jikenkabupaten-blora; 1 Maret 2015) Kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penambangan minyak bumi ternyata belum dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di sekitar penambangan. Permasalahan lain yang ditimbulkan dari praktik penambangan minyak bumi pada sumur tua oleh masyarakat adalah terjadinya konflik perebutan lahan dan juga menimbulkan persaingan harga yang tidak sehat. Penambangan yang dilakukan oleh masyarakat juga menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Koordinasi antara lembaga-lembaga dan instansi-instansi terkait, baik secara vertikal maupun horizontal, juga belum dapat menghasilkan pengaturan penambangan yang efektif. Masyarakat dan lembaga-lembaga lokal yang terlibat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua bersifat multilevel, baik di tingkat individu, kelompok maupun organisasi/lembaga yaitu terdiri dari buruh tambang, KUD/BUMD, Investor dan pemerintah daerah. Setiap pihak menjalankan perannya sesuai dengan kebiasaan dan cara pandang masing-masing. Untuk itu, dalam konteks otonomi daerah, permasalahan yang ditimbulkan karena adanya
keterlibatan
penambangan
minyak
masyarakat
dalam
bumi
diatur
perlu
pengelolaan dengan
pengusahaan
rumusan
kebijakan
pemberdayaan masyarakat yang tepat. Pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas partisipasi dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua perlu memperhatikan penetapan kewenangan bagi pemerintah daerah. Hal ini dimaksudkan
agar
dapat
dirumuskan
kebijakan
pengaturan
partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Pembagian kewenangan yang tepat kepada pemerintah daerah dan lembaga21
lembaga lokal yang ada di daerah diharapkan akan menghasilkan sistem pengelolaan sumber daya alam yang lebih sesuai dengan kondisi, kapasitas, dan kebutuhan masyarakat setempat. Sistem ini pun diharapkan dapat menyederhanakan prosedur perizinan dan pengawasan serta koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait serta mencegah kerusakan lingkungan di wilayah tersebut. Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok yang akan diteliti dalam disertasi ini adalah: mengapa proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua belum menghasilkan partisipasi masyarakat lokal yang berkualitas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan dibahas hal-hal sebagai berikut: 1. Identifikasi karakteristik
masyarakat penambang, untuk mengetahui
kondisi sosial, ekonomi maupun tingkat kapasitasnya dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. 2. Aktivitas
partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
pengusahaan
penambangan minyak bumi pada sumur tua, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara individu, kelompok, organisasi dan pemerintah daerah 3. Analisis tentang proses pemberdayaan masyarakat dengan mengaitkan antara faktor-faktor pendukung pemberdayaan dengan
karakteristik
masyarakat serta bentuk aktivitas partisipasi masyarakat. Analisis ini untuk mengetahui penyebab masih lemahnya kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan penting tentang pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama tentang factor-faktor pendukug dan penghambat pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua.. Temuan yang didapatkan diharapkan dapat direkomendasikan kepada
pemerintah
untuk
menyusun
kebijakan
tentang
pengelolaan
pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua yang melibatkan masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat di sini dimaksudkan agar dapat 22
meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi penambangan. Penelitian akan dilakukan di Kabupaten Blora dan Bojonegoro karena dua kota tersebut letaknya berdampingan. Walaupun keduanya berbeda provinsi dan berada di daerah penghasil migas yang termasuk dalam Blok Cepu, keduanya memiliki potensi memunculkan konflik atau kerja sama dalam pengelolaan migas. Di kedua kota tersebut cukup banyak masyarakat yang memanfaatkan potensi
sumur
tua
sebagai
tempat
penambangan
demi
mendapatkan
penghasilan.
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui faktorfaktor yang menyebabkan proses pemberdayaan masyarakat belum dapat menghasilkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa hal berikut ini. 1. Karakteristik masyarakat penambang, baik dari kondisi sosial, ekonomi maupun tingkat kapasitasnya 2. Aktivitas
partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
pengusahaan
penambangan minyak bumi pada sumur tua, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara individu, kelompok, organisasi dan pemerintah daerah 3. Bentuk-bentuk dukungan dan hambatan dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pengusahaan penambangan minyak bumi pada sumur tua 4. Hubungan kewenangan antara masyarakat penambang dengan lembagalembaga pengelola penambangan minyak bumi pada sumur tua
23
1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Dari Perspektif Kebijakan Manfaat penelitian ini adalah dapat memperjelas gambaran tentang pentingnya penetapan kewenangan dan upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya kebijakan
pengusahaan pertambangan minyak bumi pada
sumur tua. 2. Dari Perspektif Teoretis Manfaat penelitian ini adalah dapat memperluas cakupan studi-studi pengelolaan sumber daya alam, khususnya pengelolaan pertambangan minyak bumi berbasis masyarakat.
1.4 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian mengenai pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang
disebut
sebagai
"Community-based
natural
resource
management
(CBNRM) secara umum telah banyak dilakukan. Namun penelitian pengelolaan sumber daya alam berupa minyak bumi, khususnya pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua, belum banyak diteliti. Penelitian yang terkait dengan penerapan CBNRM, menghasilkan kajian tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan CBNRM dan kritik terhadap pelaksanaan
CBNRM.
Penelitian yang dilakukan oleh Armitage (2005)
menemukan bahwa keberhasilan CBNRM dan dampaknya terhadap aspek ekologi, sosial, dan ekonomi dipengaruhi oleh faktor eksogenus serta indigenus berikut. (a) Fokus terhadap tujuan dan arah CBNRM; (b) kompetensi, keahlian, dan kapasitas teknis lainnya pada pelaksana dan partisipan CBNRM, terutama organisasi pelaksananya; serta (c) pendirian dan komitmen yang sungguh-sungguh terhadap CBNRM. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Isyaku, Chindo, dan Ibrahim (2011) menyimpulkan bahwa konsep dan teori CBNRM dapat mengalami kegagalan dan akibat dari kegagalan penerapan CBNRM justru menumbulkan kerusakan lingkungan yang meluas. Mereka mendukung pendapat para pengkritik teori CBNRM yang mengatakan bahwa keberhasilan CBNRM hanya retorika belaka. Dari 24
penelitian
tentang
pelaksanaan
pengelolaan
sumber
daya
alam
berbasis
masyarakat (CBNRM) tersebut dapat diketahui bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam memerlukan kompetensi, keahlian, dan kapasitas teknis serta komitmen dari para
pelaksana dan partisipan CBNRM,
terutama organisasi pelaksananya. Jika penerpan CBNRM mengalami kegagalan justru akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Penelitian-penelitian tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat tersebut merupakan penelitian yang membahas tentang jenis sumber daya alam bukan mineral dan gas bumi.
Penelitian tentang jenis sumber daya alam mineral dan batubara dilakukan oleh Fendri (2011) yang menganalisis tentang prinsip-prinsip dasar pengaturan kewenangan pemerintah dalam pemanfaatan sumber daya mineral dan batu bara. Dalam penelitian ini, Fendri menggunakan konsep penguasaan negara terhadap sumber daya alam, termasuk pertambangan mineral dan batu bara. Dari penelitian yang dilakukan Fendri menemukan sejumlah bukti yang mengungkapkan bahwa pada prinsipnya semua undang-undang pemerintahan daerah menganut prinsip otonomi, namun pengaturan bidang sumber daya alam, khususnya mineral dan batu bara, belum mencerminkan prinsip otonomi daerah pertambangan. Selain itu, hasil penelitiannya juga mengungkapkan bahwa sentralisasi pengaturan pertambangan tidak lepas dari situasi ekonomi politik. Penelitian yang telah dilakukan oleh Fendri menunjukkan bahwa dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah yang ada di Indonesia belum memiliki kewenangan yang memadai untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam mineral dan batubara. Penelitian tentang pengelolaan sumber daya alam jenis mineral berupa minyak bumi, khususnya penambangan minyak bumi pada sumur tua telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain oleh Dwiyanto (2007). Dari penelitian yang dilakukan, Dwiyanto melakukan analisis peranan penambangan minyak terhadap human growth, equity, welfare, dan sustainability. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambangan minyak tradisional memberikan pengetahuan tentang pola budaya gotong royong yang ada di masyarakat, meningkatkan pendapatan, mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta telah menciptakan sistem jaring pengaman sosial dan asuransi terhadap anggota.
Penambangan
minyak
tradisional 25
juga
berpotensi
membantu
pembiayaan pembangunan desa yang selama ini masih bertumpu pada anggaran pemerintah kabupaten. Penelitian dengan objek penambang minyak bumi pada sumur tua juga telah dilakukan oleh Hardiwinoto (2007). Hasil penelitian Hardiwinoto menunjukkan bahwa para penambang minyak tradisional masih berada dalam kehidupan yang miskin, perlu uluran tangan untuk memberdayakan mereka yang bekerja secara subsisten, dan tidak secara profesional sehingga tidak memiliki daya tawar tentang penentuan harga. Penelitian yang dilakukan oleh Dwiyanto (2007)
maupun Hardiwinoto
(2007) dilakukan sebelum keluarnya Permen Nomor 1 Tahun 2008 serta tidak menyoroti peran pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lokal terkait dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Hardiwinoto (2007) tidak menyoroti pengaturan kewenangan bagi pemangku kepentingan terkait untuk mengatur partisipasi masyarkat dalam pengelolaan penambangan minyak bumi pada sumur tua. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Fendri (2011) menyoroti pembagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi tidak membahas keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Lokus dari penelitian Fendri meliputi kegiatan pertambangan mineral dan batu bara secara umum. Penelitian dalam disertasi ini dilakukan untuk melengkapi penelitian yang telah ada, yaitu untuk mengetahui factor-faktor yang perlu diperhatikan agar keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya alam berupa
minyak bumi pada sumur tua dapat dilakukan dengan baik dan tidak merusak lingkungan. Berbeda dengan penelitian terdahulu, penelitian ini menyoroti pelaksanaan penambangan minyak bumi pada sumur tua setelah adanya Permen Nomor 1 Tahun 2008. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis penelitian ini didasarkan pada konsep-konsep pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat atau pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan partisipatif, pemberdayaan masyarakat, dan pembagian kewenangan. Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah. Adapun lokusnya adalah penambangan minyak bumi pada sumur tua. 26