BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
1.1.1 Revitalisasi SMK Sesuai Lokalitas dan Keunggulan Daerah Pemerintah Nasional memiliki program untuk merevitalisasi SMK yang sudah ada sesuai dengan lokalitas dan keunggulan daerah. Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dilakukan agar sesuai kebutuhan dan potensi daerah masing-masing. Dikutip dari Wartakota (2015) menurut Mustagfirin Amin 1 , banyak di antara lulusan yang tidak dibutuhkan, tapi diminati oleh masyarakat. Sedangkan lulusan yang dibutuhkan justru berkurang. Pada akhirnya, lulusan akan banyak yang berpindah tempat mencari pekerjaan di kota lain. Berdasarkan presentasi Pengembangan SMK tahun 2015-2019 oleh Kemdikbud (2015), pada tahun 2018 ditargetkan terjadi revitalisasi spektrum/kejuruan
SMK.
Sehingga
sebanyak
7,5%
lulusan
mampu
2
berwirausaha dan memiliki implementasi terhadap MEME . Siswa lulusan SMK diharapkan memiliki kompetensi yang berkualitas. Dalam lingkup Kabupaten Bantul, revitalisasi sekolah juga perlu dilakukan sesuai dengan Masterplan Pendidikan Kabupaten Bantul yakni menumbuhkan lembaga-lembaga pendidikan berbasis pada keunggulan lokal (Sekolah Percontohan) berbasis pada ; penguasaan ilmu dan teknologi, serta karakter masyarakat Bantul pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Keunggulan lokal yang dimiliki masyarakat Bantul seperti seni, kerajinan tangan, wayang, dan batik (Master Plan Pembangunan Pendidikan Kab. Bantul, 2015-2025). Dalam
Rencana
Pendidikan
Kabupaten
Bantul
dibahas
tentang
Peningkatan Mutu dan Relevansi Pendidikan. Mutu atau kualitas pendidikan dianggap baik apabila mememenuhi standar tertentu, peningkatan mutu dalam hal inil diarahkan menuju suatu standar yang baik, oleh kerena itu mutu tidak hanya dilihat dari prestasi belajar (hasil UAN), tetapi mencakup standar
penyelenggaraan
pendidikan
termasuk
pendidikan
berbasis
1
Mustagfirin Amin merupakan Dirjen Dikmen SMK Pola multy entry-multy exit merupakan konsep pendidikan dengan sistem terbuka, yakni siswa mendapatkan pelayanan secara fleksibel dalam menyelesaikan pendidikannya. Dengan pola ini, siswa dapat mengikuti pendidikan secara paruh waktu karena sambil bekerja atau mengambil program/kompetensi lain. 2
1
keunggulan lokal. Adapun keunggulan lokal ini meliputi; seni dan budaya kriya, wayang, batik, kuliner dan handy craft dll (Master Plan Pembangunan Pendidikan Kab. Bantul, 2015-2025). Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi terhadap sekolah di Bantul, terutama SMK agar sesuai dengan keunggulan yang dimiliki masyarakat Bantul. Revitalisasi juga didasarkan di koridor MP3EI. Koridor MP3EI dirancang untuk mengatasi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean).
Menurut
lampiran Perpres MP3EI tentang kejuruan SMK sesuai koridor ekonomi koridor ekonomi, Jawa memiliki tema pembangunan sebagai Pendorong Industri dan Jasa Nasional.
1.1.2 Rencana revitalisasi SMK Tamansiswa 1 Imogiri SMK Tamansiswa 1 Imogiri merupakan SMK milik yayasan Tamansiswa yang berdiri sejak 1998 sesuai dengan SK 0148/113/MN/Kpts/1998. Sekolah ini hanya memiliki satu kejuruan yakni Akuntasi. Sekolah berlokasi di Imogiri, Bantul tepatnya di Jalan Imogiri-Panggang, Desa Karangtalun. SMK Tamansiswa sebelumnya berlokasi di Desa Girirejo. Akibat gempa parah pada 2006, sekolah dipindahkan oleh yayasan ke lokasi saat ini. Kondisi SMK Tamansiswa Imogiri hampir mati, jumlah siswa per tingkat kurang dari 10 siswa. Bahkan setiap penerimaan siswa baru jumlah pendaftar di bawah angka 10. Sangat disayangkan karena SMK Tamansiswa dahulu menjadi SMK terbaik dan paling diminati. Penyebab tertinggalnya SMK Tamansiswa dibandingkan sekolah lain menurut Sujiyem
3
karena
jurusan akutansi tidak lagi menjadi tren di Bantul. Sekolah tidak memiliki jurusan yang lebih menarik dan dibutuhkan oleh lapangan kerja. Selain faktor jurusan, kondisi gedung sekolah juga memprihatinkan. Gedung 2 kondisinya rusak parah dan tidak lagi digunakan karena berbahaya. Kondisi gedung 1 mulai bocor dan rusak ringan. Padahal secara lokasi dan lahan, SMK Tamansiswa sangat berpotensi untuk berkembang. Lokasinya terletak di tengah-tengah Kabupaten Bantul. Sehingga mampu menjawab masalah pemerataan pendidikan. Selain itu lahan yang luas dan tidak begitu dekat dengan area permukiman memungkinkan sekolah untuk berkembang menjadi SMK rujukan 4 . Oleh karenanya sekolah memiliki rencana revitalisasi dengan mengganti jurusan Akuntansi dengan jurusan yang lebih dibutuhkan dan sesuai dengan masyarakat Bantul. 3
Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah Ibu Sujiyem pada 21 Desember 2015 pukul 08.00 di SMK Tamansiswa 1, Imogiri 4 Kriteria sebagai SMK rujukan ialah lahan berpotensi berkembang secara luasan dan strategis, Kemdikbud. Presentasi SMK Rujukan, Jakarta, 2015, hal 9
2
1.1.3 Batik sebagai keunggulan daerah Bantul dan Propinsi DIY Batik merupakan salah satu warisan dunia intangible yang diakui oleh UNESCO sejak tahun 2009. Tepat 5 tahun kemudian, Yogyakarta menerima predikat sebagai Kota Batik Dunia dari World Craft Council (WCC). Dikutip dari Tribunjogja.com (2015),
Zaenal Arifin 5 mengatakan
predikat ini diterima karena Yogyakarta memenuhi 7 kriteria penetapan sebagai Kota Batik Dunia. 7 kriteria tersebut ialah (1) nilai sejarah atau historisnya; (2) originalitas; (3) batik yang non kimia dan ramah lingkungan; (4) mentrasfer kepada generasi penerus; (5) budaya; (6) konsistensi nilai; dan (7) ekonomi para perajin batik. Hal utama yang menjadi dasar pemberian predikat Kota Batik Dunia menurut Santoso 6 adalah Yogyakarta sampai saat ini masih meneruskan budaya batik secara “asli”. Keaslian tersebut berupa proses membatik yang sudah ada sejak jaman dahulu yakni membatik yang dibuat dengan proses penutupan dengan lilin panas. Karena sesungguhnya budaya batik bukanlah sekedar fisik lembar kain batik. Tapi budaya batik menyangkut sejarah, filosofi, proses membatik, dan output berupa batik. Yogyakarta sendiri memiliki banyak lokasi pengrajin/sentra batik. Sentra batik terbesar terletak di Bantul yakni Wijirejo, Pandak dan Wukirsari. Sentra batik Wukirsari di Kecamatan Imogiri terkenal sebagai lokasi batik tertua di Bantul yang menggunakan pewarna alami sejak abad 17. Pada masa Kerajaan Mataram para pengrajin batik Keraton tinggal di Wukirsari.
Pertalian
pengrajin
Wukirsari
dengan
pengrajin
Keraton
menjadikan Wukirsari istimewa dan memiliki semangat batik yang tinggi dibanding daerah pengrajin lainnya. Sekitar 1200 pembatik di Bantul telah menyumbangkan PDRB terbesar ke 3 dalam komoditas ekspor Bantul. Batik juga menjadi komoditas ekspor unggulan di Propinsi DIY. Perkembangan ekspor dari tahun 2008-2014 fluktuatif namun mengalami kenaikan secara garis besar. Nilai produksi Keberadaan pengrajin maupun industri terkait batik di Indonesia khususnya Yogyakarta menyumbangkan devisa tinggi. Ekspor batik pun dari tahun ke tahun naik 11,7%.(Disperindagkop DIY, 2015)
5
Zaenal Arifin H. merupakan Sekjen Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY hasil wawancara dengan Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Toto Santoso pada 14 November 2015 pukul 13.25 6
3
1.1.4 Pentingya Regenerasi SDM Kebudayaan Batik dan Kebutuhan Angkatan Kerja Batik Ketetapan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia dan batik sebagai warisan dunia memiliki konsekuensi. Konsekuensi logis dari ketetapan tersebut adalah bahwa bangsa Indonesia perlu melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan batik. Salah satunya adalah dengan tetap menjaga agar para pengrajin batik terus berkarya dan berkreasi dalam pembuatan batik mengingat pengrajin memegang peranan penting dalam mewujudkan keberlangsungan eksistensi batik. Untuk itu perlu dilakukan regenerasi pengrajin batik secara kontinu dan intensif. (Rara Sugiarti, 2015) Regenerasi batik menjadi hal yang penting bagi Yogyakarta terutama Bantul sebagai sentra batik tertua dan terbesar di Yogyakarta. Penting karena (1) merupakan kewajiban dari 7 kriteria penetapan predikat Kota Batik Dunia; (2) untuk mentransformasikan pengetahuan batik “asli” kepada generasi selanjutnya agar “keaslian” tersebut tetap lestari; dan (3) tuntutan globalisme yang membutuhkan SDM ahli di bidang batik dengan kompetensi dan daya saing tinggi. Secara keseluruhan kebutuhan akan regenerasi batik bertujuan agar batik tetap eksis dan terus berkembang kedepannya. Melalui regenerasi, budaya
membatik
akan
terus
lestari
karena
diwarisi
ke
generasi
selanjutnya. Terlebih saat ini perkembangan zaman dan arus modernisasi menuntut batik agar tetap sustainable (berkelanjutan dan berkembang). (Aruman, 2014) Melalui SDM yang ahli, kreatif, dan inovatif, budaya batik mampu bersaing di tengah globalisasi di masa yang akan datang dan mampu berkembang serta sustainable (berkelanjutan). SDM yang ahli tersebut juga mampu menjadi angkatan kerja yang handal bahkan membuka lowongan kerja baru. Oleh karena itu regenerasi batik menjadi penting dan bermanfaat bagi masyarakat dan generasi penerus. Regenerasi batik di Yogyakarta dilaksanakan melalui turun temurun oleh pengrajin ke putri-putrinya (batik tradisional), melalui komunitas (batik kontemporer), dan ekstrakulikuler/muatan lokal. Menurut Santoso 7 regenerasi budaya batik “asli” sulit dilakukan terutama untuk generasi muda. Menurut Beliau faktor penyebabnya ialah kurangnya minat dan 7
hasil wawancara dengan Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Toto Santoso pada 14 November 2015 pukul 13.25
4
ketertarikan terhadap batik serta ketekunan dalam membatik tradisional. Keinginan untuk memperoleh penghasilan yang cepat dengan cara urbanisasi maupun menjadi TKI di luar negeri lebih tinggi. Para generasi muda pun lebih menyukai batik kontemporer dibanding batik tradisional. Contohnya komunitas batik di Tamansari Yogyakarta. Padahal menurut Santoso dikutip dari Berita Satu (2015), batik tradisional merupakan batik unggulan karena “keasliannya” dan lebih diminati di kancah internasional. Menurut Santoso8 perkembangan batik di Yogyakarta terutama di Bantul dapat dikatakan baik. Predikat batik sebagai warisan budaya membawa angin segar yang dibuktikan dengan meningkatnya ekspor batik. Terutama batik “asli” baik dengan motif klasik maupun modern. Predikat baru Yogyakarta sebagai kota Batik Dunia pun, tentu membawa peningkatan terhadap ekspor batik. Dengan meningkatnya ekspor dan permintaan mancanegara, muncul kebutuhan terhadap angkatan kerja batik baik pengrajin maupun ahli di bidang batik. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan jumlah unit usaha batik selama lima tahun sejak 2011 hingga 2015 tumbuh sebesar 14,7% dari 41.623 unit menjadi 47.755 unit. Tenaga kerja pun sama, selama 2011-2015 tumbuh sebesar 14,7% dari 173.829 orang menjadi 199.444 orang. Peminat batik dari mancanegara yang meningkat pun tercermin dari nilai ekspor batik yang naik 14,7% dari tahun 2011 senilai Rp 43,96 triliun menjadi Rp 50,44 triliun pada 2015.9 Menurut hasil wawancara pada 24 November 2015 pukul 12.20 dengan Affun, staff bidang perindustrian di Disperindagkop Bantul, kebutuhan dan permintaan terhadap produk batik di Bantul juga semakin meningkat hingga 3x lipat pada tahun lalu dan akan terus bertambah. Sehingga dapat diprediksi kebutuhan angkatan kerja di masa yang akan datang semakin bertambah. Jumlah angkatan kerja batik saat ini menurut
Affun masih minim.
Banyak permintaan yang belum terpenuhi karena kurangnya sumber daya manusia. Jika hanya mengandalkan jumlah pengrajin pembatik yang ada saat ini maka jumlahnya masih kurang. Dan jika menunggu keturunan pengrajin pembatik yang ada saat ini maka masih belum memnuhi
8
hasil wawancara dengan Kepala Seksi Konsultasi Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB), Bachtiar Toto Santoso pada 14 November 2015 pukul 13.25 9 Dikutip dari berita detik.com pada 2 Oktober 2015
5
kebutuhan angkatan kerja. Selain itu perlu adanya penambahan generasi pembatik diluar dari 2 sentra terbesar di Bantul.
1.1.5 Mencetak Lulusan Batik melalui SMK dengan Metode Pembelajaran Teaching Factory SMK batik bertujuan menghasilkan lulusan berkualitas yang siap terjun ke dunia industri batik. Dari hasil kuosioner secara acak dengan beberapa siswa di SMKN 2 Sewon, Bantul pada 17 Desember 2015, 5 dari 17 siswa tidak ingin meneruskan ke dunia industri batik.
Berdasarkan kuosioner
tersebut diperoleh hasil minat terjun ke dunia industri batik berkaitan dengan jam terbang praktik siswa. Kelima siswa yang hanya melakukan praktik batik di sekolah tidak memiliki minat terhadap dunia kerja batik. Sedangkan siswa yang memiliki jam terbang atau pengalaman praktik lebih banyak memiliki minat yang tinggi. Selain itu kelima siswa tidak merasakan keuntungan dari industri batik. Seperti Kiki Lestari siswa kelas XII mengatakan “ Tidak, karena peluang usahanya sedikit”. Menurut Hesti Dwi Priyani siswa kelas XII “ Saya Cuma meraih nilai dan selama 3 tahun tidak ada karya yang dibawa pulang padahal administrasi sudah lunas...”. Dari beberapa pendapat siswa tersebut diperoleh permasalah di SMK batik yakni meningkatkan efisiensi praktik dan pengenalan terhadap dunia kerja sejak dini kepada siswa. Siswa perlu mengetahui industri batik baik produksi maupun pemasaran. Sehingga siswa memperoleh manfaat secara langsung dari praktik membuat batik. Untuk menghasilkan lulusan berkualitas yang memiliki pengalaman kerja dan berkompetensi dibutuhkan metode pembelajaran yang sesuai dan mendukung kebutuhan dunia industri batik. Metode Pembelajaran yang saat ini dirujuk oleh Kementrian Pendidikan Nasional untuk diterapkan di SMK ialah Teaching Factory. Teaching Factory menghilangkan kesenjangan antara pengetahuan akademik dengan dunia kerja/industri. Melalui metode pembelajaran ini, diharapkan kulitas lulusan meningkat. Lulusan mampu membuka lapangan pekerjaan sendiri, dan lebih mandiri. Lulusan dari SMK menurut KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) 10 berada di level 2 (operator). Namun demikian lulusan SMK dapat dikembangkan menjadi tenaga kerja yang berkualifikasi level 4 (D2).
10
KKNI disusun oleh Kementrian Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kemdikbud menjadi acuan untuk sumber daya manusia Indonesa dan asing yang bekerja di Indonesia.
6
Menurut Wiyono (2013) hal ini dilakukan melalui program peningkatan kompetensi, sehingga lulusan SMK memperoleh pelatihan, baik pelatihan keahlian maupun pelatihan ketrampilan dalam bentuk kursus kejuruan, pengalaman kerja di industri, pelatihan BLK, pelatihan industri dan uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi ini akan diakui setara maksimum dengan pendidikan D2. Dengan demikian melalui Metode Pembelajaran Teaching Factory kemampuan kompetensi siswa terhadap dunia industri batik bertambah. Sehingga lulusan SMK dapat disetarakan menjadi tenaga kerja yang berkualifikasi level 4 (D2). Saat ini SMK yang menghasilkan lulusan di bidang batik di Bantul hanya ada 2 yakni di Kasihan dan Sewon. Kedua Kecamatan ini terletak di bagian utara Bantul. Sedangkan lokasi SMK Batik yang dirancang terletak di Kecamatan Imogiri sehingga diharapkan mampu menjangkau Kabupaten Bantul di bagian tengah dan selatan.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Permasalahan Umum 1.
Bagaimana upaya mendukung revitalisasi kejuruan di SMK Tamansiswa Imogiri agar sesuai dengan lokalitas dan unggulan daerah Bantul?
2.
Bagaimana mewariskan budaya batik kepada generasi penerus secara kontinu dan intensif melalui SMK?
3.
Bagaimana menciptakan SDM batik dengan kompetensi setara D2 melalui pendidikan SMK?
1.2.2 Permasalahan Khusus/Arsitektural 1.
Bagaimana memfasilitasi proses regenerasi/pewarisan budaya batik di SMK ?
2.
Bagaimana menghasilkan lulusan yang berkualitas melalui perbaikan sarana dan prasarana SMK?
3.
Bagaimana menghasilkan lulusan yang berkualitas melalui perancangan sekolah sesuai Metode Pembelajaran Teaching Factroy?
4.
Bagaimana tata ruang yang mendukung proses pembelajaran budaya batik agar efektif dan efisien?
5.
Bagaimana menata penghawaan dan kenyaman ruang yang mendukung proses pembelajaran budaya batik?
7
1.3
Tujuan Tujuan penulisan ini adalah : 1.
Merancang bangunan Sekolah Menengah Kejuruan Batik yang mampu mewadahi proses regenerasi budaya batik.
2.
Merancang Sekolah Menengah Kejuruan Batik yang mampu memberi pengalaman kerja/industri dan meningkatkan level kompetensi siwa.
3.
Memberikan alternatif solusi berkaitan dengan fasilitas, sarana, dan prasarana yang sesuai untuk pembelajaran budaya batik dengan Metoda Pembelajaran Teaching Factory.
4.
Merumuskan landasan konseptual dan perancangan Sekolah Menengah Kejuruan Batik di Bantul untuk menghasilkan konsep tata ruang yang efektif dalam memenuhi kebutuhan regenerasi batik.
1.4
Lingkup Pembahasan Lingkup pembahasan dibatasi agar selaras dengan judul sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun pembatasan tersebut terdapat di poin-poin berikut : 1.
Prinsip perancangan Sekolah Menengah Kejuruan Batik dengan standar arsitektur
2.
Prinsip perancangan sesuai kebutuhan proses pembelajaran batik
3.
Kajian pustaka mengenai antropometri, dan kenyamanan pembatik
4.
Kajian pustaka mengenai konsep desain perancangan ruang sebagai sarana yang efektif untuk pembelajaran batik
5.
Kajian pustaka mengenai pendekatan metoda pembelajaran Teaching Factory
6.
1.5
Studi kasus sebagai pembanding dan bahan referensi
Metodologi
1.5.1 Studi Literatur Dilakukan untuk memperoleh data mengenai standar dan persyaratan dalam perencanaan dan perancangan bangunan Sekolah Menengah Kejuruan Batik serta fasilitas infrastruktur di dalamnya. Studi literatur juga dilakukan untuk mencari data kenyamanan pengrajin batik dalam membatik dan pembelajaran yang efektif untuk siswa. Data ini diperoleh melalui studi pustaka, dan browsing internet.
1.5.2 Observasi Pengumpulan data di lapangan berupa studi banding dan pengamatan langsung ke beberapa Sekolah Menengah Kejuruan Kria Tekstil di
8
Yogyakarta, serta beberapa institusi pendidikan yang berkecimpung dalam pendidikan menengah, seperti Dinas Pendidikan Kabupaten bantul. Selain itu pengumpulan data mengenai batik dilakukan langsung ke sentra-sentra batik di Yogyakarta seperti Wukirsari, Wijirejo, Turi, Balai Besar Kerajinan dan Batik, serta komunitas-komunitas pembatik muda di Yogyakarta. Observasi terhadap preseden dilakukan melalui kunjungan langsung, dan melalui media massa.
1.5.3 Analisis Mengolah dan menganalisis data-data yang telah diperoleh baik dari studi literatur maupun dari observasi untuk kemudian diambil prinsipprinsip perancangan, persyaratan bangunan dan standar yang berlaku. Dari hasil analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan untuk mendapatkan pendekatan yang nantinya akan digunakan dalam penyusunan konsep perancangan maupun hasil perancangan.
1.6
Keaslian Penulisan Penulisan mengenai Sekolah Kejuruan Batik belum pernah dilakukan sebelumnya. Tulisan mengenai Sekolah Kejuruan yang ada memiliki fokus di seni secara umum. Sedangkan tulisan yang berfokus di batik yang ada berupa Museum, Konservatori, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tersebut sebagai berikut : Tabel 1.2 Judul Pra Tugas Akhir Teknik Arsitektur UGM
NO Judul 1.
Fokus
Nama
Sekolah Kejuruan Seni Surakarta Metoda
Nietra Kumara
dengan Metode Crossprogramming Crossprogramming
Budi, 2013.Juli
sebagai Pemacu Kreatifitas Siswa 2.
Gabungan Kejuruan
Sekolah Kelompok
Menengah Penggabungan Seni
tiga Imam Sumantri
dan fungsi yakni SMK Seni Widyantoro, 86
Kerajinan di Yogyakarta
Rupa, SMK Seni Musik, dan SMK Kerajinan
3.
Sekolah
Menengah
Industri Bergerak
Kerajinan di Bantul
di
bidang Bahana
Industri kerajinan yang Adiputra dapat positif
berinteraksi Siregar, 2011 dengan
lingkungan 4.
Rumah Batik Nusantara dengan Olah Desain Pusaka
Bernadeta
Pendekatan Olah Desain Arsitektur
Timur
Anjani,
9
Pusaka
pada
Bangunan
Hotel
2009. Juli
Toegoe Sumber : digilib.ugm.ac.id, diakses pada 30 Januari 2015 pukul 10.15
1.7
Sistematika Penulisan Tulisan ini disusun berdasarkan urutan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan sasaran penulisan, lingkup pembahasan, metodologi, keaslian penulisan, sistematika penulisan, dan bagan pola pikir BAB II Tinjauan Teori dan Studi Kasus Terdiri dari kajian pustaka mengenai : 1.
Budaya batik yang berisi pengertian batik menurut SNI dan para ahli, “keaslian” batik, jenis-jenis batik, sejarah, proses membatik, filosofi dan makna batik sebagai dasar dalam menyusun konsep.
2.
Kajian ergonomi dan antropometri dalam membatik
3.
Regenerasi atau pewarisan budaya batik dan permasalahan yang ada baik dari segi kurikulum, teknik/metoda belajar, sarana infrastruktur, fasilitas dan alat membatik guna menyusun konsep tata ruang dan solusi arsitektural.
4.
Model pembelajaran Teaching Factory yang berisi definisi, prinsip dasar, strategi dan karakteristiknya, guna mengetahui sistem ruang, dan tata layout untuk kegiatan tersebut
5.
Studi kasus bangunan sebagai pembanding teori dan preseden
BAB III Tinjauan Lokasi Site Terdiri dari analisis terhadap pemilihan lokasi/site yang akan dipilih dan kondisi eksisting dari site terpilih BAB IV Pendekatan Konsep Perancangan Berisi mengenai uraian dan analisis konsep yang diusulkan berdasarkan metode Teaching Factory dalam perencanaan dan perancangan bangunan dan kesimpulan analisis metode yang diterapkan di perancangan bangunan Sekolah Menengah Kejuruan Batik di Imogiri, Bantul. BAB V Konsep Perencanaan dan Perancangan Membahas mengenai rumusan konsep perencanaan dan desain arsitektur bangunan. Prinsip-prinsip dari rumusan konsep diterapkan di elemenelemen bangunan.
10
1.8
Kerangka Berfikir Berikut skema kerangka Berfikir yang dilakukan penulis:
Bagan 1.1 Skema kerangka berfikir Sumber : Analisis, 2016
11