BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Laporan Bank Dunia (2013) menunjukkan bahwa program sertifikasi guru yang dimulai pada tahun 2005 lalu belum memberikan kontribusi signifikan untuk peningkatan kualitas pendidikan nasional (thejakartapost.com., 27/4/2013). Penelitian Koswara et.al. (2010) mengemukakan bahwa sertifikasi guru memiliki pengaruh yang rendah pada profesionalisme dan mutu pembelajaran. Menurut Mae Chu, Kepala Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk Bank Dunia di Indonesia, hasil sertifikasi guru tidak berdampak signifikan pada kinerja akademis guru (kompas.com., 17/10/2012). Fakta tersebut membuktikan bahwa kinerja guru sebagai salah satu faktor penting dalam pencapaian kualitas pendidikan masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya, terlihat dari peringkat Indonesia dalam pengujian berstandar internasional. Sebagai contoh, peringkat Indonesia dalam matematika, ilmu pengetahuan, dan membaca seperti Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS) tahun 2007 dan Program for International Student Assestment (PISA) tahun 2009 masih menempati peringkat bawah (OECD, 2010). Laporan Bank Dunia (2013) menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia belum secara konsisten menghasilkan lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan berkualitas tinggi.
1
Menurut laporan tersebut, kualitas dan kinerja guru yang rendah disebutkan, antara lain, sebagai faktor penyebabnya. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20 persen. Namun, menurut Patrinos (2012), upaya pemerintah tersebut sampai saat ini belum menemukan hasil yang diharapkan. Upaya tersebut tidak berpengaruh signifikan pada peningkatan kualitas pendidikan. Penelitian De Ree et.al. (2012) bahkan menyebutkan bahwa program sertifikasi guru sebagai realisasi dari alokasi 20 persen anggaran pendidikan tersebut hanya berhasil memperbaiki perilaku guru, tetapi belum berhasil meningkatkan kualitas hasil pembelajaran siswa. Sertifikasi guru hanya berdampak positif pada perbaikan ekonomi guru, bukan kinerja guru (Bank Dunia, 2013). Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru yang rendah akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. Kinerja guru yang rendah, antara lain, disebabkan oleh motivasi guru yang rendah. Hal ini dapat dinilai dari tingkat kedisiplinan dan kehadiran guru di kelas. Lembaga Penelitian SMERU (2008) menemukan bahwa tingkat rata-rata kehadiran guru Indonesia di kelas masih rendah, terutama di daerah terpencil. Tingkat kehadiran guru di kelas merepresentasikan motivasi guru dalam melaksanakan tugas. Tingkat kehadiran guru di kelas menjadi salah satu indikator dari penilaian kinerja guru (Kompas.com., 23/10/2012). Jika kelas sering kosong karena ketidakhadiran guru, pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Temuan penelitian ini
2
menunjukkan bahwa motivasi guru menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada tinggi atau rendahnya kinerja guru. Peran motivasi guru sebagai faktor yang memengaruhi kinerja guru tersebut dibuktikan berdasarkan beberapa penelitian di bidang pendidikan, antara lain oleh Mary (2010); Raeisi et.al. (2012); dan Inayatullah dan Jehangir (2013). Motivasi guru yang tinggi akan meningkatkan kinerja guru semakin tinggi. Sebaliknya, rendahnya motivasi guru akan berdampak pula pada rendahnya kinerja mereka. Motivasi individu menggambarkan perasaan, kompetensi, dan harga diri untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Rabideau, 2005). Motivasi individu akan mendorong dirinya terlibat dalam tugas. Hal inilah yang memengaruhi peningkatan kinerja individu (Kuo, 2006). Motivasi yang tinggi sangat dibutuhkan oleh guru untuk meningkatkan kinerja secara pribadi dan atau kualitas pendidikan secara umum. Motivasi sangat dibutuhkan untuk menyokong peran strategis guru sebagai pendidik dan pembentuk karakter peserta didik, terutama motivasi berprestasi. Hal ini disebabkan motivasi berprestasi terkait dengan kinerja dan sikap kerja individu secara umum (Poulin, 1994). Menurut McClelland (dalam Thoha, 2012), manusia yang memiliki motivasi untuk berprestasi akan berusaha mencapai prestasi tinggi yang diperlihatkan oleh kinerjanya. Penelitian Suryaningsih (2011) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi memiliki pengaruh positif pada kinerja karyawan Bank BPD DIY Syariah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lee dan Liu (2009) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi sangat berpengaruh pada sikap kerja dan kinerja karyawan Bank ABC di Taiwan. Penelitian Iyer dan Kamalanabhan
3
(2006) menunjukkan bahwa motivasi berprestasi berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja para ilmuwan yang bekerja pada research and development organization. Bahkan, penelitian ini menemukan bahwa motivasi berprestasi mampu menjaga konsistensi kinerja para ilmuwan. Menurut Wang (2010), motivasi berprestasi yang tinggi akan membantu meningkatkan kinerja individu. Namun demikian, motivasi berprestasi bukan merupakan variabel tunggal yang dapat memengaruhi kinerja. Menurut Elzahiri (2010), hal lain yang memengaruhi kinerja dan motivasi secara umum adalah perilaku kepemimpinan kepala sekolah. Temuan penelitian tersebut menunjukkan tentang pentingnya kepala sekolah memiliki perilaku kepemimpinan efektif di sekolah untuk meningkatkan
kinerja
guru.
Oleh
karena
itu,
kepala
sekolah
perlu
mengembangkan kapasitas kepemimpinannya ke arah kepemimpinan efektif. Elzahiri
(2010)
dalam
penelitian
tersebut
merekomendasikan
perilaku
kepemimpinan transformasional sebagai perilaku kepemimpinan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah. Kepemimpinan transformasional diyakini efektif dalam memfasilitasi guru dan sekolah untuk mencapai kinerja yang lebih baik (Raihani, 2010). Kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan apa yang terbaik bagi warga sekolah. Kepala sekolah harus bisa menjadi teladan positif, sabar, telaten, dan penuh pengertian bagi warga sekolah (Mulyasa, 2010). Perilaku kepemimpinan kepala sekolah tersebut lebih mendekati perilaku kepemimpinan transformasional. Perilaku kepemimpinan yang digambarkan oleh Bass (1985)
4
sebagai perilaku kepemimpinan yang mampu menginspirasi dan mendorong bawahan mencapai prestasi dan kinerja yang tinggi. Yukl (2010) menyebutnya sebagai perilaku kepemimpinan yang mampu membangun kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan pada diri bawahan sehingga bawahan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang melampaui harapan mereka. Perilaku kepemimpinan transformasional sangat dibutuhkan oleh kepala sekolah dalam mengelola organisasi sekolah. Menurut Leithwood dan Duke (dalam Raihani, 2010), kepemimpinan transformasional mampu menciptakan kehidupan organisasi yang saling mendukung, memfasilitasi keterlibatan siswa, dan menumbuhkan komitmen guru pada reformasi sekolah. Implementasi kepemimpinan transformasional di sekolah perlu mendapatkan perhatian serius dari para pemimpin pendidikan (kepala sekolah atau dinas terkait). Di tengah rendahnya kompetensi kepemimpinan kepala sekolah (Kompas.com., 24/7/2012), perilaku kepemimpinan transformasional bisa menjadi alternatif pilihan untuk pengembangan kapasitas kepemimpinan kepala sekolah. Dewasa ini rendahnya kompetensi kepala sekolah masih menjadi ganjalan dalam meningkatkan kinerja dan kualitas pendidikan. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim, mengatakan bahwa banyak kepala sekolah yang tidak memiliki kompetensi dalam mengelola sekolah (Kompas.com., 10/8/2012). Musliar menambahkan bahwa banyak ditemui kepala sekolah yang mendapatkan jabatan bukan karena lolos seleksi kompetensi melalui jalur perekrutan yang semestinya. Mereka dipilih oleh kepala daerah atau kepala
5
dinas hanya berdasarkan kedekatan atau karena menjadi tim sukses pada pemilihan kepala daerah. Penelitian Suhardiman (2011) menunjukkan bahwa perekrutan dan kompetensi berpengaruh sangat tinggi pada kinerja kepala sekolah. Artinya, proses perekrutan dan modal kompetensi kepala sekolah merupakan variabel penting yang harus dipenuhi untuk mencapai kinerja yang optimal. Kebutuhan akan kepala sekolah yang memiliki kemampuan dalam kepemimpinan sangat mendesak bagi dunia pendidikan. Hal tersebut didasarkan pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang menyebutkan bahwa 70 persen kepala sekolah di Indonesia tidak berkompeten (pikiran-rakyat.com., 25/07/2011). Kompetensi yang menjadi masalah besar bagi kepala sekolah tersebut sebagian besar berkaitan dengan kompetensi manajerial dan supervisi akademik. Maka dari itu, peningkatan dan pengembangan kapasitas kepemimpinan dalam dunia pendidikan menjadi sangat urgen. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru, peneliti menyimpulkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah di lingkungan SMP se-Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, belum berjalan optimal. Kepemimpinan kepala sekolah belum mampu meningkatkan kinerja guru ke arah yang lebih baik, kurang memberdayakan guru, dan kurang tanggap pada permasalahan yang dihadapi guru. Kepemimpinan kepala sekolah yang belum optimal tersebut menjadi salah satu penyebab rendahnya kinerja guru. Hal tersebut tampak pada ketidakmampuan kepala sekolah dalam memfasilitasi dan memberdayakan guru untuk berprestasi. Sebagai contoh, motivasi guru untuk berkarya dan berinovasi
6
dalam pembelajaran dan pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran masih sangat rendah. Contoh lainnya, tingkat kedisiplinan guru, seperti kehadiran di kelas, persiapan mengajar, dan partisipasi guru dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah juga masih rendah. Hasil observasi dan wawancara menyimpulkan pula bahwa sebagian besar guru tidak memiliki publikasi di media massa dan karya tulis ilmiah seperti Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau sejenisnya. Masalah lainnya ialah letak geografis Kecamatan Pagerwojo termasuk wilayah pegunungan. Sebagian kondisi medan cukup menyulitkan dan jauhnya jarak ke sekolah yang harus ditempuh menjadi kendala tersendiri bagi guru. Sebagian besar guru harus menempuh perjalanan sejauh lebih dari 16 kilometer untuk sampai ke sekolah. Kondisi tersebut secara tidak langsung memengaruhi efektivitas kinerja mereka. Hal ini ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan (control) dari kepala sekolah kepada guru, seperti minimnya supervisi, kehadiran kepala sekolah yang tidak ajeg sehingga guru berkesulitan untuk menemuinya sewaktu-waktu di sekolah, atau kepala sekolah lebih sibuk dengan acara kedinasan di luar sekolah daripada menjadi pendamping yang baik bagi guru dalam menjalankan aktivitasnya. Berbagai masalah tersebut menjadi faktor penghambat bagi peningkatan kinerja guru dan motivasi berprestasi guru untuk berkarya meraih prestasi dan mengembangkan kompetensinya. Kebutuhan kajian tentang kepemimpinan transformasional kepala sekolah masih sangat diperlukan di tengah masalah rendahnya kompetensi kepala sekolah di negeri ini. Kepala sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak
7
ringan
pada
masa-masa
mendatang.
Kepala
sekolah
dituntut
mampu
menyelaraskan sumber daya dan potensi sekolah untuk mencapai kinerja yang tinggi dan kualitas pendidikan yang lebih baik. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti. Daya tarik itu terkait dengan bagaimana kepemimpinan transformasional kepala sekolah mampu meningkatkan kinerja guru sebagai sumber daya pendidikan. Caranya ialah mengoptimalkan motivasi berprestasi guru yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kajian ini juga penting sebagai masukan yang bermanfaat bagi kepala sekolah se-Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung dan kepala sekolah secara umum. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran untuk mengembangkan kapasitas kepemimpinan kepala sekolah ke arah yang lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah Dari hasil observasi dan wawancara peneliti dengan empat orang guru pada satuan pendidikan SMP Negeri se-Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, yaitu responden A, B, C, dan D, diperoleh informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah sebagai berikut. Responden A mengatakan, “Kepala sekolah sangat terbuka dengan pendapat orang lain dan lebih mementingkan kebersamaan daripada memaksakan aturan. Sebagai contoh, salah satu guru mengungkapkan keberatannya atas aturan sekolah tentang kedisiplinan yang dipandang memberatkan siswa dan guru. Kepala sekolah mengajaknya berdiskusi untuk menemukan solusi bersama. Namun, kepala sekolah terkadang juga sangat egois dan mau menang sendiri jika emosinya sedang tidak stabil. Kadang pula, fungsi supervisi akademik dan manajerial belum dapat dijalankan secara maksimal karena banyak terganggu dengan rapat-rapat dinas. Kegiatan supervisi akademik pun kadang tidak dijalankan secara konsisten dan hanya diberlakukan pada guru mata pelajaran tertentu saja.”
8
Responden B mengatakan, “Meskipun kepala sekolah patut menjadi teladan bagi guru dan warga sekolah karena memiliki kepribadian baik dan religius. Namun, kepala sekolah kurang tanggap pada permasalahan yang dihadapi guru karena lebih sibuk dengan rapat-rapat dinas seperti MKKS, atau staf dan tata usaha, sehingga tugas-tugas kepala sekolah terkait supervisi akademik sering terabaikan. Kepala sekolah belum bisa menampilkan diri sebagai pemimpin yang mampu mengakomodasi dan memberikan perhatian khusus pada pencapaian prestasi dan kebutuhan guru untuk mengembangkan potensinya.” Responden C mengatakan, “Jarang sekali ada pelatihan terkait profesionalisme guru dan karya ilmiah di sekolah padahal itu sangat dibutuhkan oleh guru, seperti pelatihan PTK, publikasi di media massa, atau karya tulis lainnya. Kepala sekolah lebih cenderung tanggap pada permasalahan manajerial, seperti fasilitas dan sarana prasana di sekolah daripada pembinaan akademik untuk meningkatkan kompetensi guru. Kedatangan kepala sekolah juga tidak ajeg atau bahkan sangat jarang sehingga guru merasa kesulitan untuk bertemu, apalagi harus mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapinya, dalam masalah pembelajaran atau terkait kegiatan sekolah.” Responden D mengatakan, “Ketidakdisiplinan guru dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik profesional, seperti kekurangsiapan dalam proses pembelajaran, keterlambatan memulai pelajaran; sering ke luar kelas di saat jam pelajaran berlangsung dan siswa disibukkan dengan tugas mengerjakan LKS sementara guru lebih banyak mengobrol dengan teman sejawat; sering absen dalam kegiatan sekolah, seperti ektrakurikuler, masih sering kita jumpai. Kepala sekolah kurang berani mengambil tindakan tegas, seperti menegur, memberi peringatan keras pada guru bersangkutan, atau sekadar memberikan nasihat agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Kepala sekolah lebih cenderung toleran dengan alasan jauhnya jarak yang ditempuh guru untuk datang ke sekolah.”
Berdasarkan wawancara dengan empat guru yang mewakili tiap-tiap satuan pendidikan SMP Negeri se-Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, terlihat bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah dinilai belum mampu menuntaskan persoalan kinerja guru yang masih rendah. Kepala sekolah juga dinilai kurang memberdayakan guru dan kurang tanggap pada permasalahan yang dihadapi mereka.
9
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan pertanyaan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. 1. Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada kinerja guru? 2. Apakah motivasi berprestasi berpengaruh positif pada kinerja guru?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk
menguji
dan
menganalisis
pengaruh
positif
kepemimpinan
transformasional pada kinerja guru. 2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh positif motivasi berprestasi pada kinerja guru.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian tentang pengaruh kepemimpinan transformasional dan motivasi berprestasi pada kinerja guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) seKecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, akan memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, antara lain, adalah: 1. Sebagai bahan kajian ilmiah bagi para peneliti lain mengenai pengaruh kepemimpinan transformasional dan motivasi berprestasi pada kinerja guru dan wacana bagi organisasi sekolah untuk meningkatkan kinerja guru dengan
10
menumbuhkan motivasi berprestasi guru melalui peran kepemimpinan transformasional kepala sekolah.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bagi para kepala sekolah pada tingkat Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) seKecamatan Pagerwojo, Tulungagung, untuk meningkatkan kinerja guru.
1.6 Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian Penelitian tentang pengaruh kepemimpinan transformasional dan motivasi berprestasi pada kinerja guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) seKecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, belum pernah dilakukan sebelumnya.
Penelitian
ini
berpijak
pada
permasalahan
kepemimpinan
transformasional, motivasi berprestasi dan kinerja guru, dengan mengambil data penelitian dari guru-guru pada sekolah tersebut. Ruang lingkup penelitian dapat dijabarkan dalam poin-poin kajian, berikut. 1. Menguji persepsi responden tentang kepemimpinan transformasional (X1) di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) se-Kecamatan Pagerwojo. 2. Menguji persepsi responden tentang motivasi berprestasi (X2) guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) se-Kecamatan Pagerwojo.
3. Menguji persepsi responden tentang kinerja guru (Y) di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) se-Kecamatan Pagerwojo.
11
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian terdiri dari lima bab, sebagai berikut. a. Bab I Pendahuluan Bab I memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, dan sistematika penulisan. b. Bab II Tinjauan Pustaka dan Pengembangan Hipotesis Bab ini berisikan tentang teori-teori yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari teori kepemimpinan transformasional, motivasi berprestasi, kinerja guru, dan hipotesis tentang pengaruh kepemimpinan transformasional, dan motivasi berprestasi pada kinerja guru. c. Bab III Metode Penelitian Bab ini berisikan tentang desain penelitian, definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian dan pengukuran, sumber data dan teknik pengumpulan data serta metode analisis data. d. Bab IV Hasil Penilitian dan Pembahasan Bab ini berisikan deskripsi data, pengujian hipotesis dan pembahasan. e. Bab V Simpulan dan Saran Bab ini berisikan simpulan dari hasil penelitian, saran, keterbatasan penelitian dan saran penelitian pada masa mendatang.
12