BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan iklim dan dampaknya secara global telah banyak dibuktikan secara ilmiah serta menimbulkan bencana baru bagi manusia (Spash, 2004;1 Owen & Hanley, 20024; Mabey et al., 20053; Stern, 20074; IPCC, 20075; Houghton, 20096). Kegiatan manusia dalam pembangunan dan penggunaan bahan bakar fosil (bensin, gas, dan batubara) yang semakin meningkat untuk industri dan transportasi serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan telah meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan emisi GRK (terutama karbondioksida (CO2) yang kontribusi terbesar terutama berasal dari negara industri) menimbulkan efek rumah kaca yang antara lain menimbulkan peningkatan temperatur global7 (IPCC, 2001a8). Peningkatan temperatur dalam waktu lama menimbulkan perubahan pola iklim bumi dan fenomena cuaca yang kacau9. Perubahan iklim ditandai pula dengan peningkatan suhu, peningkatan permukaan muka laut, mencairnya gletser di kutub, berkurangnya tutupan salju, 1
Clive L Spash, Greenhouse Economics, Value and Ethics, Routledge, London and New York, (2004), hal. 11. Anthony D Owen dan Nick Hanley, The Economics of Climate Change, Routledge, London dan New York, (2004). 3 Nick Mabey, Stephen Hall, Clare Smith dan Sujata Gupta, Argument in The Greenhouse: The International Economics of Controlling Global Warming, Routledge, London dan New York, (2005), hal 3. 4 Nicholas Stern, Stern Review: The Economics of Climate Change, Cambride, (2007), http://www.hmtreasury.gov.uk/independent_reviews/stern review_economics climate_change/stern_review_report.cfm. hal 1. 5 IPCC, Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Core Writing Team, R.K. Pachauri, dan A. Reisinger. (eds.), IPCC. Geneva, Switzerland, (2007), 23 hal. 6 Sir John Houghton, Global Warming. The Complete Briefing, Third Edition, Cambridge University Press, Cambridge, (2009), hal 1. 7 Prediksi International Panel of Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa pada tahun 2100 rata-rata temperatur udara akan meningkat sebesar 1,4—5,8o C dan permukaan laut akan meningkat antara 8—88 cm dibandingkan saat ini. Peningkatan suhu tersebut diduga dapat mengakibatkan sebagian besar ekosistem tidak mampu beradaptasi. Selain itu, pemanasan global tersebut akan berdampak pada pertanian, kehutanan, kesehatan manusia, biodiversiti, ekonomi, ekosistem dan sebagainya. Pada akhirnya, perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya kepunahan banyak spesies. 8 IPCC, Climate Change 2001: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Cambridge University Press, Cambridge, (2001). 9 Fenomena cuaca yang kacau seperti curah hujan yang tidak menentu, arah angin yang berubah drastis, aliran udara panas dan dingin yang ekstrim, perubahan musim kemarau penghujan dan peningkatan suhu udara.. 2
1
pergeseran iklim, dan meningkatnya bencana. Perubahan iklim tersebut berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia10, meningkatkan resiko penghancuran kehidupan bila tidak diantisipasi (Lange, 200811) dan tidak ada negara yang kebal terhadap ancaman perubahan iklim (Glantz, 199012; Stuart dan Costa, 199813; Grass, 200714). Dampak perubahan iklim bisa dirasakan oleh semua negara, tetapi negaranegara miskin dan berkembang menerima dampak terbesar meskipun kontribusinya terhadap emisi GRK paling kecil (Grubb 199515; IPCC 2001a16; Huq dan Reid 200417; Baer 200618; Paavola dan Adger 200619). Negara berkembang dengan sumber dayanya (alam, manusia, modal, dan teknologi) tidak mampu melakukan mitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim (Richards, 200320). Indonesia relatif rentan terhadap perubahan iklim dan berperan istimewa21 dalam kebijakan iklim internasional (DGEED, 199922, Smith et al., 200123, Susandi
10
Pengaruh perubahan iklim terlihat pula dengan meningkatnya gagal panen, kekeringan, krisis pangan, krisis air bersih, banjir, longsor, peningkatan muka air laut, kebakaran hutan, penyakit di daerah tropis dan sebagainya. 11 M.A. Lange, Assessing Climate Change Impacts in the European North, Climatic Change, 87 (2008) :7–34. 12 Michael H Glantz, On The Interactions Between Climate and Society (in the Rise of Global Pollution). Population and Development Review, 16 (1990): 179-200. 13 M.D. Stuart dan M Costa, Climate Change Mitigation by Forestry: A Review of International Initiatif, Forests and people series no 8. International Institute for Environment and Development, London, (1998), http://www.iied.org 14 M. Grass, A Normative Ethical Framework in Climate Change, Climatic Change, 81 (2007) :223–246. 15 M. Grubb, Seeking Fair Weather: Ethics and The International Debate on Climate Change, International Affair, 71 (3): 463–496, (1995). 16 IPCC, Climate Change 2001: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Cambridge University Press, Cambridge, (2001a). 17 S. Huq dan H. Reid, Mainstreaming Adaptation in Development, IDS Bulletin, 35:15–21, (2004). 18 P. Baer, Adaptation: Who Pays Whom? Dalam: Adger WN, Huq S, Mace MJ, Paavola J (eds) Fairness in Adaptation to Climate Change, MIT, Cambridge, Massachusetts, (2006). 19 J. Paavola dan W.N. Adger, Fair Adaptation to Climate Change, Ecological Economics, 56:594–609, (2006). 20 M. Richards, Poverty Reduction, Equity and Climate Change: Global Governance Synergies or Contradictions?, Overseas Development Institute, London, (2003). 21 Indonesia merupakan negara tropis, miskin, padat penduduk, negara kepulauan (memiliki 17.500 pulau kecil) dengan garis pantai panjang (81.000 km), sehingga relatif rentan terhadap perubahan iklim. Indonesia juga merupakan salah satu negara anggota OPEC dan pemilik cadangan batubara yang besar (40 juta ton), memiliki industri yang tidak efisien, rentan terhadap bencana alam dan cuaca ekstrim, memiliki tingkat pencemaran yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh seperti area pegunungan dan lahan gambut, melakukan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada bahan bakar fosil dan produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk alih bahan bakar fosil ke bahan bakar alternatif.. 22 DGEED (Directorate General of Electricity and Energy Development), Statistik dan Informasi Ketenagalistrikan dan Energi (Statistics and Information of Electric Power and Energy), Jakarta, (1999).
2
dan Tol, 200224, KLH, 200725). Namun demikian peran Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terluas ketiga26 di dunia dalam perubahan iklim belum banyak dipelajari. Selain itu, dampak ekonomi perubahan iklim di Indonesia diperkirakan besar walaupun sulit diperhitungkan secara pasti. Beberapa kajian27 menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung di Indonesia pada tahun 2010 mencapai sebesar 2,5—7% dari PDB. Kawasan hutan28 di Indonesia yang luas arealnya 120,35 juta ha atau sekitar 62,6 persen dari luas daratan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2002)29, memberikan manfaat langsung30 dan tidak langsung31 kepada manusia yang telah dikenal secara luas. Pada masa awal pembangunan nasional, kebijakan sektor kehutanan diarahkan pada pemanfaatan sumber daya hutan terutama kayu untuk mendapatkan devisa. Kebijakan investasi, pembangunan, moneter, fiskal, larangan ekspor kayu bulat dan sebagainya diarahkan pada kemudahan bagi eksploitasi sumber daya hutan. Implikasinya, Indonesia menjadi pengekspor log utama dunia pada era tahun 70—80 an. Perkembangan selanjutnya, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis
23 B. Smith, H.J. Schellnhuber, M.Q. Mirza, Vulnerability to Climate Change Reasons for Concern: A Synthesis. In: J.J. McCarthy, O.F. Canziani, N.A. Leary, D.J. Dokken, dan K.S. White. (Eds.). Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability, pp. 913-967. Cambridge, UK: Press Syndicate of the University of Cambridge, (2001) 24 Armi Susandi dan Richard s.J. Tol, The Impact of International Climate Policy on Indonesia, MPI Report 341, Max-Planck-Institut für Meteorologie, Jerman, (2002), hal 3. 25 Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta, (2007), hal 3. 26 Terluas ketiga setelah Brasil dan Congo tetapi dengan deforestrasi yang tinggi. 27 Kajian yang dirangkum oleh Bappenas, Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, (2014), hal 2. 28 Kawasan hutan adalah lahan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan. Tidak seluruh areal di dalam kawasan hutan tertutup oleh vegetasi namun semua areal di dalam kawasan hutan ini berada di bawah yurisdiksi Kementerian Kehutanan. Terdapat juga lahan di luar kawasan hutan tertutup vegetasi hutan, tetapi tidak dikelola oleh Kementerian Kehutanan (Verchot et al, 2010, hal 3). 29 Departemen Kehutanan, Informasi Umum Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta, (2002), hal 1. 30 Manfaat langsung hutan antara lain adalah penghasil kayu, non kayu dan sebagainya. 31 Manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, penyerap karbon, pengatur tata air, unsure hara, kesuburan tanah, sumber plasma nutfah bagi kehidupan manusia dan sebagainya.
3
dan pulp yang mendominasi pasar dunia pada era tahun 1980-1990 an. Namun, setelah masa itu peran hutan dalam perekonomian nasional semakin kecil. Dalam konteks perubahan iklim, kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK dinilai cukup besar. Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian pangan, perkebunan (sawit, karet), hutan tanaman industri, pemukiman, pertambangan dan penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan) dan degradasi hutan (penurunan kualitas hutan karena illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah). Laporan Baumertz et al (2005) yang dikutip Peace (200732) menyebutkan tanpa kontribusi sektor LULUCF33 Indonesia ada diperingkat 15 dunia sedangkan dengan LULUCF Indonesia adalah negara pengemisi terbesar ke 3 di dunia sebagaimana terlihat pada Lampiran 1 dan 2. Hal tersebut di atas menunjukkan demikian pentingnya sektor kehutanan dalam perubahan iklim.
Beberapa kebijakan kehutanan Indonesia dalam rangka
pengurangan emisi dari sektor kehutanan (Kartodihardjo, 201034), antara lain: (1) Menekan laju deforestasi35, (2) Mengurangi degradasi36, (3) Pengelolaan hutan produksi lestari37, (4) Peningkatan peran konservasi38, dan (5) Peningkatan Stok 32
10.
Peace, Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya, Peace, DFID dan Bank Dunia, (2007), hal
33
(Land Use, Land Use Change and Forestry yang sekarang disebut AFOLU=Agriculture, Forestry and Land Use). Hariadi Kartodihardjo, Posisi Kelembagaan dan Kawasan Hutan di dalam Strategi Nasional terkait Isu Karbon, Prosiding Seminar Dampak Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan, Jakarta, 2 Juni 2010, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Bogor, (2010), hal 79. 35 melalui a) Pengendalian penggunaan dan pelepasan kawasan hutan; dan b) Penghentian izin baru dan konversi di hutan gambut untuk pertanian dan pemukiman. 36 melalui a) Penerapan RIL (Reduced Impact Logging); b) Rehabilitasi hutan gambut; dan c) Pengaturan & penurunan jatah tebang. Disamping langkah/solusi teknis tersebut diperlukan kebijakan yang tegas tehadap IUPHHK-HA dan IUPHHKHT yang kinerjanya buruk. 37 melalui a) Penerapan multi sistem silvikultur; dan b) Penerapan sertifikasi legalitas kayu. 38 melalui a) Intensifikasi pengelolaan kawasan konservasi; dan b) Menetapkan areal lindung lokal (setempat) yang mempunyai nilai konservasi tinggi 34
4
Karbon Hutan39. Namun dampak dari kebijakan kehutanan terhadap penurunan emisi karbon dan dampaknya bagi sektor kehutanan dan ekonomi belum diketahui. Selain isu perubahan iklim, perekonomian dunia juga mengalami proses penyesuaian
terkait pasar dunia yang semakin terintegrasi dan kenaikan harga
minyak mentah dunia. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya mempelajari bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi seperti kebijakan moneter40 dan fiskal41, tetapi juga kebijakan kehutanan42 dan faktor eksternal43 yang dapat mempengaruhi kinerja ekonomi dan sektor kehutanan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Disertasi ini semakin signifikan setelah dalam Copenhagen Accord 2009, Indonesia44 dengan sukarela akan menurunkan emisi GRK sebesar 26 % pada tahun 2020 atau 41% jika mendapat bantuan asing45. Untuk menurunkan emisi sebesar 26%, Indonesia akan menurunkan emisi 0,7 milyar ton CO2 dengan kebutuhan dana Rp83,3 trilyun untuk 5 tahun (Kompas, 200946). Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi sektor kehutanan sebesar 51,2% karena dari 26% tersebut sebesar
39
melalui pembangunan hutan 1,6 jt ha/th dalam bentuk HKm/Hutan Desa, RHL DAS, Hutan Tanaman Industri (HTI)/Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Restorasi HPH, dan Hutan Rakyat kemitraan. 40 Kebijakan terkait tingkat suku bunga, Sertifikat Bank Indonesia, nilai tukar dan sebagainya. 41 Kebijakan anggaran pemerintah, defisit anggaran, neraca pembayaran, kebijakan tarif dan non-tarif dan sebagainya. 42 Kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahan, deforestasi hutan, degradasi hutan, illegal logging, kebijakan industri kehutanan, sektor-sektor ekonomi, reboisasi, target penggurangan emisi karbon dan sebagainya. 43 Pengaruh harga minyak mentah dunia, pemberantasan korupsi, perubahan harga komoditi, elnino, krisis ekonomi dan sebagainya. 44 Melalui kerangka REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries) 45 Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca, Kementerian Kehutanan ditugaskan untuk menurunkan emisi sebesar 0,672 Gton CO2e (14% dari total nasional 26% dengan usaha sendiri) dan sebesar 1,039 Gton CO2e (14% dari total nasional 41% jika mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020. Berdasarkan Kepmenhut No SK.633/Menhut-II/2014, menetapkan tingkat acuan emisi karbon hutan sebesar 0,816 Gton CO2e yang didasarkan dari rata-rata emisi hutan tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 dan dari emisi hutan yang digunakan untuk pembangunan diluar kegiatan kehutanan sampai dengan tahun 2020. 46 Kompas, Hasil Kopenhagen: Indonesia perlu lebih serius. Kompas, 12 Desember 2009, (2009).
5
13,3% berasal dari sektor kehutanan47. Salah satu upaya yang dilakukan adalah moratorium kehutanan untuk kegiatan konversi hutan alam dan lahan gambut selama dua tahun mulai Januari 2011. Kebijakan moratorium kehutanan tidak saja akan mempengaruhi sektor kehutanan tetapi juga sektor lainnya dan perekonomian nasional.
Terdapat kekhawatiran bahwa upaya penurunan emisi karbon akan
berdampak pada penurunan kinerja ekonomi dan sektor kehutanan. Banyak studi (misal Decanio, 199748; Garbaccio et al., 199949; Susandi dan Tol, 200350; Babiker dan Eckaus, 200651) menunjukkan bahwa penurunan emisi secara tidak tepat akan berdampak pada penurunan kinerja ekonomi.
Inti isu
perubahan iklim adalah interaksi antara aktivitas ekonomi dan sistem iklim. Aktivitas ekonomi menghasilkan GRK yang dipercaya dapat menyebabkan perubahan iklim dimasa datang. Perubahan iklim berdampak pada aktivitas ekonomi yang sensitif terhadap kondisi iklim (Zhiqi, 199752). Perubahan iklim bukan semata-mata isu lingkungan tetapi juga merupakan isu pembangunan dan ekonomi. Perubahan iklim dan penurunan emisi yang tidak tepat akan membatasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara, peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, kegiatan penurunan emisi GRK merupakan bagian yang tidak 47
Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. 48 S.J. Decanio, The Economics of Climate Change, Redefining Progress, San Francisco, (1997). 49 R.F. Garbaccio, M.S. Ho dan D.W. Jorgenson, Controlling Carbon Emission in China, Environmental and Development Economics 4 (4): 493-518, (1999). 50 Armi Susandi dan Richard .S.J. Tol, Impact of International Emission Reduction on Energy and Forestry Sector of Indonesia, Working Paper FNU-53. Research Unit Sustainability and Global Change, Hamburg University and Centre for Marine and Atmospheric Science (2003). 51 M. Babiker dan R. S. Eckaus, Unemployment Effects of Climate Policy, Report No. 137. MIT Joint Program on the Science and Policy of Global Change Joint Program on the Science and Policy of Global Change, Massachusetts (2006). 52 C. Zhiqi, Can Economic Activities Lead to Climate Chaos? An Economic Analysis on Global Warming, The Canadian Journal of Economics, 30 (2): 349-366, (1997).
6
terpisahkan dari strategi Pembangunan Nasional berkelanjutan. Kegiatan penurunan emisi difokuskan pada kegiatan: (1) Penurunan emisi GRK dan (2) Peningkatan kapasitas absorpsi GRK. Kegiatan tersebut diharapkan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi (tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat), mendukung perlindungan masyarakat miskin dan rentan serta pelestariaan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini strategi pembangunan yang pro growth, pro poor, dan pro jobs plus pro environment dipandang relatif tepat. Pembangunan nasional dengan agenda adaptasi terhadap dampak perubahan iklim memiliki tujuan akhir terciptanya sistem pembangunan yang adaptif atau tahan terhadap perubahan iklim yang terjadi (Bappenas, 2014)53. Berdasarkan asumsi bahwa pembangunan ekonomi dan kehutanan Indonesia mempertimbangkan kelestarian sumber daya alam, kesejahteraan, dan kemapanan kinerja ekonomi dan sektoral, analisis kebijakan54 untuk pembangunan sektor kehutanan yang tepat menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) seberapa besar dampak perubahan iklim, perubahan kebijakan ekonomi, kebijakan sektor kehutanan, dan faktor eksternal terhadap kinerja ekonomi dan sektor kehutanan yang menginternalkan eksternalitas emisi karbon dalam sistem ekonomi, dan (2 kebijakan pembangunan sektor kehutanan dan kebijakan ekonomi seperti apa yang dapat mengantisipasi dampak perubahan iklim.
53
Bappenas, Op Cit., hal 2. Pengertian umum analisis kebijakan adalah studi antar disiplin ilmu dengan menggunakan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan agar ditemukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Tujuan utama analisis kebijakan adalah membantu pengambil keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik (Quade, 1976 diacu oleh Tuti Herawati, 2011) 54
7
Untuk itu diperlukan suatu model ekonomi yang mengambarkan keragaan ekonomi dan sektor kehutanan Indonesia sebagai antisipasi dampak perubahan iklim. Model ini diharapakan dapat dipergunakan untuk menganalisis dampak perubahan iklim, perubahan kebijakan ekonomi, kebijakan sektor kehutanan dan faktor eksternal55 terhadap kondisi perekonomian dan sektor kehutanan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang: (1) prakiraan dampak perubahan iklim, kebijakan sektor kehutanan, perubahan kebijakan ekonomi, perubahan faktor eksternal terhadap kinerja ekonomi dan sektor kehutanan, dan (2) kebijakan pembangunan sektor kehutanan dan kebijakan ekonomi yang dapat dipergunakan sebagai antisipasi dampak perubahan iklim. 1.3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang prakiraan dampak
perubahan iklim, perubahan kebijakan ekonomi, kebijakan sektor
kehutanan, dan faktor eksternal terhadap kinerja ekonomi dan sektor kehutanan. 2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan tentang penentuan kebijakan ekonomi makro, kebijakan sektor kehutanan, dan antisipasi dampak perubahan iklim.
3.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi peneliti lain sebagai bahan perbandingan dan sumber ilmiah untuk kajian lebih lanjut.
55 Berkaitan dengan faktor eksternal hutan, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan.
8