BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekeringan (drought) merupakan suatu kejadian alam yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan cadangan air dalam tanah, baik yang diperlukan untuk kepentingan pertanian maupun untuk kebutuhan manusia. Baharsjah dan Fagi (1995) mengatakan bahwa kekeringan merupakan faktor penghambat pertumbuhan produksi padi, yang selanjutnya mempengaruhi perekonomian nasional. Sebagian wilayah Indonesia kekeringan merupakan suatu masalah yang harus dihadapi hampir setiap tahun. Seperti yang terjadi pada tahun 1994, kekeringan di pulau Jawa telah menghancurkan 290.457 ha tanaman padi atau sekitar 79% dari luas total seluruh Indonesia (Boer dan Las, 1997). Menurut Pramudia, Koesmaryono, dan Hidayat. (2004) di Provinsi Banten ditemukan beberapa kawasan mengalami perubahan durasi musim hujan dan musim kemarau yang cukup signifikan dari periode 1961-1970 ke periode 1991-2000. Provinsi Banten memiliki tanah yang subur dan lahan tidur yang cukup luas, akan tetapi informasi potensi pengembangan pertanian belum tergali. Iklim atau cuaca tidak hanya berperan terhadap kuantitas dan kualitas produksi, tetapi juga terhadap kestabilan produksi. Oleh karena itu monitoring iklim dan cuaca dalam sistem usahatani sangat dibutuhkan, terutama dalam kaitannya dengan perencanaan dan pengelolaan. Usaha yang sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi kekeringan adalah dengan memahami karakteristik iklim wilayah tersebut dengan baik. Dengan hal ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi kebijaksanaan dalam pengelolaan areal pertanian, sehingga kondisi iklim ekstrim tidak akan menyebabkan kerugian yang terlalu besar. Karakterisasi kekeringan merupakan analisis sifat-sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi kekeringan secara fisik di lokasi penelitian, dan analisis indeks kekeringan merupakan analisis yang menunjukkan tingkat kelas atau derajat kekeringan karena, tingkat kekeringan suatu wilayah berbeda satu dengan yang lain. Untuk mengetahui seberapa besar nilai perbedaan kekeringan masing-masing daerah digunakan
salah satu metode analisis yaitu indeks palmer. Analisis keterkaitan antara karakter kekeringan dengan indeks kekeringan adalah upaya untuk menterjemahkan nilai-nilai dari indeks atau derajat kekeringan ke dalam besaran fisik yang menunjukkan sifat-sifat dari parameter kekeringan yang diolah berdasarkan data curah hujan. Delineasi wilayah rawan kekeringan adalah tahapan menggambarkan kondisi dan sifat kekeringan di lokasi penelitian melalui informasi secara spasial dalam bentuk peta-peta. 1.2 Tujuan 1. Melakukan karakterisasi kekeringan klimatologis di provinsi Banten. 2. Melakukan analisis indeks kekeringan menggunakan metode Palmer. 3. Melakukan analisis hubungan antara indeks kekeringan dengan karakteristik kekeringan. 1.3 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan model dan hubungan antara kondisi curah hujan dengan tingkat kekeringan, serta nilai-nilai prediksi curah hujan beberapa bulan ke depan, untuk deteksi dini rawan kekeringan di beberapa wilayah di Provinsi Banten. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan Kekeringan Kekeringan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir setiap negara dunia ini dan hal yang normal, yang umumnya terjadi pada iklim meskipun kekeringannya berbeda pada tiap wilayah. Kekeringan (drought) sebenarnya sukar untuk diberi batasan yang tegas, sebab kekeringan mempunyai definisi berbeda tergantung bidang ilmu, tergantung daerah, kebutuhan, dan sudut pandangnya. Sebagai contoh, definisi kekeringan di Libya dimana curah hujan kurang dari 180 mm, sedangkan definisi kekeringan di Bali dimana tidak turun hujan selama 6 hari berturut-turut (National Drought Mitigation Center, 2006). Menurut International Glossary of Hyrology (WMO 1974) dalam Pramudia (2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius. Sedangkan Soenarno dan Syarief dalam Desvita (2003) menyatakan bahwa kekeringan menunjukkan dampak dari suatu kondisi dinamis
1
baik kualitas maupun kuantitas air tersedia (supply side) yang tidak dapat memenuhi jumlah dan kualitas air yang dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang dan waktu.
dengan nilai SOI yang sangat negatif dan biasa disebut dengan El-Nino (Prabowo, Mulyono dan Nicholls, 2002). Menurut Tannehill (1947) di United States, kekeringan membawa kepada pemikiran kegagalan panen, lahan gersang, jalan berdebu dan kekurangan persediaan air karena kurangnya hari hujan yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Kekeringan adalah normal dan merupakan gambaran umum iklim meskipun banyak kekeliruan mengingat hal tersebut jarang terjadi dan terjadi tiba-tiba. Kekeringan juga disebut sebagai penyimpangan sementara, yang membedakan dari kegersangan, yang dibatasi wilayah curah hujan yang rendah dan merupakan ciri iklim (Hayes, 2006). Namun, pada dasarnya kekeringan mengandung hubungan antara ketersediaan dan kebutuhan air, dimana kekeringan bermula dari defisiensi curah hujan dengan periode waktu terpanjang.
Gambar 1. Bagan Macam-Macam Kekeringan Dan Dampaknya Pada Masing-Masing Bidang Ilmu (sumber: National Drought Mitigation Center (NDMC), 2006).
2.2 Dampak Kekeringan Kejadian kekeringan akibat berlangsungnya El-Nino telah menimbulkan dampak terhadap produksi pangan di Indonesia. Namun demikian dampak yang terjadi tidak begitu konsisten. Sebagai contoh produksi beras tidak mengalami penurunan yang drastis akibat kejadian ini kecuali tahun 1991, 1994 dan 1997. Untuk kedelai, produksi menurun cukup nyata pada tahun El-Nino 1982, 1987, 1994, 1996 dan 1997. Hal ini disebabkan data pada tingkat nasional tidak bisa menggambarkan perbedaan produksi antar daerah, hasil pengamatan menunjukkan bahwa total luas areal yang terkena kekeringan juga bervariasi menurut jenis tanaman, serta El Nino yang biasanya dimulai bulan April atau Mei dimana hal ini terlihat dari cepatnya laju penambahan areal terkena kekeringan dalam bulan Mei sampai akhir tahun. Oleh karena itu dampak kekeringan akibat El Nino terhadap produksi pangan harus dihitung dimulai pada musim kemarau sampai akhir tahun (Boer, 1999). Kebutuhan tanaman terhadap air untuk setiap fase pertumbuhan akan berbeda, baik dalam satu jenis tanaman atau antar jenis. Sehingga sensitivitas terhadap cekaman air juga akan berbeda-beda bagi setiap fase. Kekeringan atau cekaman air akan terjadi pada saat kebutuhan air salah satu fase tidak tercukupi. Doorenbos dan Pruit (1975) mendefinisikan kebutuhan air tanaman sebagai
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kekeringan adalah curah hujan sebagai sumber air tersedia, karakteristik tanah sebagai media penyimpanan air, dan jenis tanaman sebagai subjek yang menggunakan air. Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian (BAKORNASPB, 2007). Pengertian kekeringan pada masing-masing bidang ilmu tersebut dijelaskan pada gambar 1. Kekeringan atau kekurangan hujan yang sangat kuat, terjadi jika hujan yang jatuh dalam suatu periode 12 bulan masuk ke dalam kategori 10% terkering. Di wilayah timur Indonesia, kekeringan biasanya berkaitan
2
tinggi air yang dibutuhkan untuk mengimbangi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman sehat, tumbuh di lahan yang luas pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Menurut Robertson (1975) kebutuhan air total untuk tanaman padi sawah selama hidupnya cukup tinggi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kebutuhan air konsumtif tanaman padi sawah mulai naik pada pertumbuhan vegetatif kemudian mencapai maksimum pada periode reproduktif dan menurun pada peride pemasakan. Tanaman menggunakan banyak sekali air. Contohnya, padi membutuhkan 300 sampai 950 mm air per musim tanam, sorghum butuh 300 sampai 650 mm. Air dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman: air sebagai komponen utama dalam proses fotosintesis dan respirasi, penting untuk mengatur tekanan turgor sel-sel (air menjaga kesegaran jaringan-jaringan tanaman), mempertahankan suhu tanaman, membantu penyerapan unsur hara dari tanah lewat proses transpirasi, sebagai pelarut bahan mineral dan karbohidrat, merupakan medium untuk perpindahan berbagai unsuir hara dan larutan lainnya di dalam tanaman. Jadi, air dari hujan sangat vital bagi pertumbuhan tanaman. Kung dalam Hidayat (2005) menyebutkan bahwa kebutuhan air untuk beberapa jenis tanaman pangan adalah sebagai berikut: Kedelai : 300-350 mm (3,5 bulan) atau 75100 mm per bulan Jagung : 350-400 mm (4 bulan) atau 85100 mm per bulan Kacang tanah: 400-500 mm (5 bulan) atau 80100 mm per bulan Padi sawah : 380-880 mm (4,5 bulan) atau 85185 mm per bulan. Dampak kekeringan juga terjadi pada tanah. Dimana tanah sebagai media tumbuh tanaman, penyimpanan air dan sumber hara. Menurut Soepardi (1983), air yang tersedia dalam tanah dipengaruhi oleh hisapan dan kelengasan, kedalaman tanah dan pelapisan tanah. Karakteristik tanah yang berhubungan dengan ketersediaan air biasanya diwakili oleh nilai Kapasitas Lapang (KL) dan Titik Layu Permanen (TLP).
Menurut Turyanti (1995), terjadinya penurunan kualitas tanah akibat iklim maupun oleh aktivitas manusia dalam mengelola lahan akan menciptakan kondisi tekstur yang buruk, padat dan miskin hara. Hal ini akan menyebabkan penurunan produksi tanaman, selain cekaman air, juga kekurangan unsur hara. Lahan sulit dibajak setelah mengalami musim kering yang panjang. Mempersiapkan lahan pun tidak dapat dimulai hingga hujan turun cukup banyak untuk melunakkan tanah. Terbatasnya ketersediaan air akan menurunkan luas area penanaman pada lahan irigasi akan tetapi hasil per satuan luas akan meningkat karena meningkatnya intensitas radiasi (Partridge, 2002). Purwandani, 1998 membuktikan bahwa pengaruh El Nino di Indonesia tidak hanya berdampak buruk (kekeringan dan kebakaran), tetapi disisi lain pengaruh El Nino di perairan Indonesia ternyata memberikan keuntungan dengan munculnya upwelling di perairan Indonesia yang pada akhirnya meningkatkan populasi ikan. Terlihatnya upwelling di perairan Indonesia berkonotasi erat dengan meningkatnya DO (oksigen terlarut). 2.3 Hujan Secara umum, hujan merupakan sumber air utama dan menentukan pola perubahan kondisi air tanah, khususnya pada lahan tadah hujan dan pertanian lahan kering. Air merupakan unsur utama yang menentukan produktivitas tanaman. Kekurangan dan kelebihan air akan berpengaruh besar pada tingkat produktivitas. Hujan yang kurang musim akan menimbulkan cekaman air bagi tanaman dan bisa berakibat pada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan akar, pembungaan, penyerbukan dan pengisian biji sehingga hasil akan turun. Kelebihan hujan juga bisa berakibat sama, menyebabkan banjir di lahan dan mengganggu pertumbuhan tanaman, hujan yang berkepanjangan selama pembungaan juga bisa menganggu: penyerbukan, pembentukan dan pengisian biji, berkembangnya hama dan penyakit, menganggu operasi lapangan seperti penyiapan lahan, pembajakan, pemanenan, pengolahan pasca panen, dan lain-lain. Menurut Partridge (2002), hujan di Indonesia dipengaruhi oleh El Nino Osilasi Selatan (ENSO). Tetapi besar kecilnya pengaruh itu beragam dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengaruh itu sangat besar pada daerah yang memiliki pola hujan monsun, kecil pada daerah
3
yang memiliki pola hujan ekuatorial serta tidak jelas pada daerah yang memiliki pola lokal (yaitu pola hujan yang berkebalikan dengan pola monsun). Spatial coherence atau pengaruh keruangan yang relatif luas menunjukkan pengaruh faktor geofisik yang mendasari distribusi keruangan pengaruh ENSO terhadap hujan. Pulau dan pegunungan dapat mengganggu pola angin umum atau regional dan menghasilkan angin lokal. Pola lokal ini terkadang menyebabkan adanya daerah yang biasa disebut bayangan hujan (Partridge, 2002). Hujan merupakan hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer bebas. Daerah jatuhnya maupun besarnya curah hujan yang turun merupakan proses beberapa faktor yaitu kelembaban udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan hadapan lereng (Sandy, 1987). Proses hujan dapat terjadi, jika beberapa mekanisme agar fase uap yang lembab yang tidak jenuh dapat berubah menjadi fase cair. Hal ini terjadi bila udara dekat permukaan tanah menjadi lebih dingin karena mengalami proses pengangkatan udara, menjadi jenuh dan kemudian mengembun. Mekanisme pengangkatan udara yang kuat dapat terjadi oleh aktivitas konveksi, yaitu radiasi balik yang ditimbulkan oleh permukaan tanah setelah beberapa saat menerima limpahan energi dari radiasi matahari, proses ini dominan terjadi di daerah tropik. Mekanisme pengangkatan udara juga dapat terjadi akibat adanya hambatan pergerakan masa udara pada permukaan tanah (orografik), atau dapat pula terjadi pada saat berlangsungnya konvergensi (Haryanto, 1998). Sosrodarsono, 1985 dalam Haryanto (1998), menjelaskan hujan dari proses konvektif terkenal menimbulkan kerusakan pada tanah. Karena energi kinetik yang besar sebagai akibat intensitasnya yang besar (torrential) dan tetes hujannya yang besar pula. Hujan konvektif disebabkan oleh naiknya udara yang panas dan ringan di sekitar udara yang lebih rapat dan dingin. Perbedaan suhu yang mencolok antara udara di bagian bawah dekat permukaan tanah dengan udara di lapisan yang lebih tinggi terjadi akibat pemanasan permukaan tanah yang intens pada siang hari dan menimbulkan arus termal (convection) yang memindahkan masa udara di bagian bawah ke lapisan yang lebih tinggi, sehingga
memberi peluang yang besar untuk proses pengembunan. 2.4 Indeks Kekeringan Indeks-indeks kekeringan diperoleh dari ribuan data curah hujan, salju, aliran sungai dan indikator sumber lainnya. Dalam pengambilan keputusan, nilai indeks kekeringan berciri angka tunggal jauh lebih berarti dibandingkan data mentah (Hayes, 2006). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Ogallo dan Gbeckor-kove (1989) dalam Turyanti (1995) bahwa curah hujan merupakan indeks tunggal yang paling penting dalam menduga kekeringan tetapi jika kekeringan hanya dilihat dari batasan jumlah curah hujan, batasannya sangat beragam bergantung kepada waktu dan tempat penelitian. Menurut Hounam et. al (1975) penentuan tingkat kekeringan bertujuan untuk: 1. mengevaluasi kecenderungan klimatologis menuju keadaan kering/tingkat kekeringn dari suatu wilayah 2. memperkirakan kebutuhan air irigasi pada suatu luasan tertentu 3. mengevaluasi kekeringan pada suatu tempat secara lokal 4. melaporkan secara berkala perkembangan kekeringan secara regional Ada beberapa indeks yang diukur dari banyaknya presipitasi pada suatu periode waktu yang menyimpang dari data historis. Walaupun tidak ada indeks-indeks penting yang menjadi dominan pada semua kondisi, beberapa indeks lebih baik digabungkan untuk penggunaan tertentu. Agar dapat dibandingkan indeks yang satu dengan indeks yang lain. Indeks kekeringan banyak macamnya. Macam-macam indeks tersebut antara lain, Standardized precipitation index (SPI), Palmer Drought Severity Index(PDSI), Crop Moisture Index (CMI), Surface Water Supply Index (SWSI), Reclamation Drought Indeks (RDI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatar belakangi daerah tersebut, pengguna, proses, input dan hasil outputnya atau masing-masing klasifikasi. Pemetaan wilayah kekeringan telah dilakukan dengan berbagai metode yang berbeda. Salah satu diantaranya yang sering digunakan adalah metode Palmer. Seperti yang telah dilakukan oleh Sudibyakto (1985) di daerah Kedu Selatan, Jawa Tengah, dimana hasil perhitungan indeks kekeringan didasarkan pada data curah
4
hujan titik menimbulkan indeks yang terlalu basah (over estimate). Kemudian oleh Historiawati (1987) di daerah Purwodadi dan Grobogan, Jawa Tengah, serta Turyanti (1995) di daerah Jawa Barat menyatakan bahwa evaluasi kekeringan menggunakan indeks Palmer menunjukkan tingkat kekeringan di Jawa Barat sangat bervariasi dengan nilai indeks sekitar -25 hingga 139. Nilai indeks ini sangat beragam, mulai ekstrim kering hingga ekstrim basah. Daerah Pantai Utara dan Pantai Selatan pada tahun 1987, 1991, 1994 mengalami kondisi cukup parah dengan nilai indeks kekeringan di bawah -10. Hasil dari ketiga penelitian tersebut menyatakan bahwa curah hujan dan indeks kekeringan yang dihasilkan memperlihatkan kecenderungan embutan yang sama. 2.5 Palmer Drought Severity Index (PDSI) Analisis neraca air untuk meneliti kekeringan salah satunya dikembangkan oleh Palmer. Palmer menggunakan model dua lapis tanah yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Evapotranspirasi potensial diduga dari suhu rata-rata dengan metode yang telah dikembangkan oleh Thornthwaite. Hasil dari metode ini selain nilai index juga koefisien parameter iklim, yaitu koefisien limpasan (run off), koefisien imbuhan (recharge), koefisien evapotranspirasi, dan koefisien kehilangan lengas (loss). Dari koefisien tersebut dilakukan perhitungan curah hujan yang telah terjadi selama bulan tertentu untuk mendukung evapotranspirasi, limpasan, dan cadangan lengas yang dipertimbangkan sebagai kondisi normal (Hounam et al., 1975). Indeks kekeringan Palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari keadaan normalnya di suatu daerah (Tabel 1). Metode Indeks kekeringan Palmer berguna untuk mengevaluasi kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering (Guttman et al., dalam Turyati 1995). Available Water Capacity (AWC) atau kapasitas air tersedia juga diperlukan dalam pengolahan data Palmer dan koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungan Palmer agar dapat mengetahui panjang hari didaerah tersebut. Menurut National Drought Mitigation Center, (2006) Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas dan topografi yang seragam.
Palmer Classifications Indeks Kekeringan Sifat Cuaca ≥ 4.00 Ekstrim basah 3.00 - 3.99 Sangat basah 2.00 - 2.99 Agak basah 1.00 - 1.99 Sedikit basah 0.50 - 0.99 Awal selang basah 0.49 – (-0.49) Normal -0.50 – (-0.99) Awal selang kering -1.00 – (-1.99) Sedikit kering -2.00 – (-2.99) Agak kering -3.00 – (-3.99) Sangat kering ≤ -4.00 Ekstrim kering Tabel 1. Kelas Indeks kekeringan Palmer dan Sifat Cuaca (Hounam et al.,1975). 2.6 Analisis Neraca Air dengan Metode Thornthwaite Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho, 1998 mengenai neraca air dengan metode Thornthwaite-Mather bahwa air hujan yang di permukaan tanah, sebagian menjadi lengas tanah (soil moisture), air tanah (groundwater) dan sebagian akan menjadi aliran permukaan (surface run off). Persentase ketiga komponen tersebut tidak tetap. Tergantung pada faktor-faktor seperti jenis tanah (khususnya tekstur tanah), tata guna lahan dan kedalaman perakaran. Kemampuan tanah untuk menyimpan air (water holding capacity) dapat diduga tanpa melakukan pengukuran langsung. Sedangkan lengas tanah ini akan selalu berubah-ubah tergantung dari evapotranspirasi dan hujan. Kapasitas air tersedia (available water capacity) merupakan air yang terikat antara kapasitas lapang dan titik layu tanaman. Air tersedia ini berupa air tersedia untuk tanah dijumlahkan sampai kedalaman akar dan dinyatakan sebagai air tersedia total. Jumlah air yang tersedia pada zone perakaran tergantung dari faktor meteorologi yaitu neraca antara curah hujan dan evapotranspirasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor tanah yang menyangkut hubungan antara kandungan air dalam tanah (perkolasi). Nilai air tersedia dalam tanah besarnya beragam dari jenis tanah satu ke jenis tanah lainnya, bahkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Lengas tanah merupakan faktor utama yang ditentukan oleh keadaan lengas sebelumnya.
5
Nilai ini memberikan petunjuk jumlah air yang terdapat di dalam tanah yang akan digunakan oleh tanaman pada bulan berikutnya. Selanjutnya dikatakan bahwa jika air tersedia tersebut terlalu kecil, maka hasil yang diperoleh cenderung lebih rendah terhadap cadangan air dalam tanah. Sebaliknya jika nilai air tersedia terlalu besar, terlebih lagi di daerah tropis dimana limpasan permukaannya cukup besar, maka akan cenderung lebih tinggi terhadap cadangan air dalam tanah. Dalam melakukan perhitungan, bulan dinyatakan basah apabila hujan lebih besar daripada evapotraspirasi dan sebaliknya, bulan kering jika hujan lebih kecil daripada evapotranspirasi potensial. Lengas untuk evapotranspirasi aktual disebut soil moisture use, sedangkan selisih antara evapotranspirasi aktual dan hujan disebut soil moisture defisit. 2.7 Keterkaitan Anomali Cuaca dengan Tingkat Kekeringan di Indonesia Terjadinya kekeringan berkepanjangan termasuk penyimpangan iklim dari sifat normalnya pada tahun tertentu, sering dikaitkan dengan munculnya fenomena alam yang disebut El-Nino. Pada saat berlangsungnya peristiwa El-Nino yang disertai dengan nilai indeks osilasi selatan negatif dalam satu fase dikenal sebagai peristiwa ENSO (Haryoko, 1998). ENSO (El-Nino Southern Oscillation) merupakan faktor kedua terkuat yang mempengaruhi hujan di banyak wilayah Indonesia. Faktor utamanya adalah monsun (suatu gerakan masa udara musiman yang disebabkan karena terjadinya perubahan lintasan matahari, sehingga akan terjadi perbedaan suhu muka laut dan daratan). ENSO juga merupakan penyebab terjadinya kondisi iklim abnormal dan gangguan pada sirkulasi Walker. Sirkulasi Walker mempunyai tiga bagian penting (Prabowo, et al. 2002): - udara mengalir ke barat sepanjang Pasifik tropis (angin pasat tenggara) akan menjadi lebih hangat dan mengumpulkan uap air dari perairan hangat di lautan bagian barat - udara tadi akan terangkat ke atas di daerah konvergensi di atas wilayah Indonesia dan menjatuhkan air yang terkandung jatuh sebagai hujan - udara yang kering (setelah air yang terkandung jatuh sebagai hujan), pada ketinggian sekitar 12.000 meter, akan mengalir ke timur dan turun di daerah
perairan yang biasanya suhu muka lautnya dingin di Pasifik bagian timur. Menurut Boer (1999) Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya gejala alam El-Nino ialah terjadinya perubahan suhu muka laut di kawasan Pasifik, dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin melebihi normal (nilai rata-rata jangka panjang) dengan indeks osilasi selatan bernilai negatif, sehingga angin barat tertiup lebih kuat memperlemah angin pasat yang kemudian massa air panas di kawasan pasifik bagian barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air laut naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di Pasifik bagian Timur dan Subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjdi penurunan jumlah hujan yang jauh dari normal. Menurut Boer (1999) di wilayah Asia umumnya mengalami musim kering yang lebih panjang dari normal pada saat terjadinya El-Nino. Menurut Tjasyono dalam Boer (1999) pengaruh El- nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistem monson, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistem lokal. Suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia, wilayah bagian barat lautan pasifik, relatif tidak berubah dengan suhu laut rata-rata 29ºC. Suhu laut sekitar wilayah bagian timur (laut arafura, laut Timor,dan laut flores) dapat lebih rendah 1ºC pada saat El-Nino. Hanya saja perubahan suhu muka laut yang hanya 0,5 C dapat berpengaruh besar terhadap curah hujan di wilayah tersebut. Sebaliknya, suhu muka laut yang wajar antara 22-24ºC, di wilayah Pasifik bagian Timur dapat naik menjadi 26-29ºC pada saat terjadi El-Nino (Prabowo, et al. 2002). Menurut Wiratmo (1988), dampak El Nino dan La Nina adalah berubahnya cuaca dunia. Pada saat El Nino, wilayah basah seperti Indonesia menjadi kering, sedangkan biasanya wilayah kering seperti Pantai Barat Amerika Selatan menjadi basah. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola yaitu:
6
akhir musim kemarau mundur dari normal, awal masuk musim hujan mundur dari normal, curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan deret hari kering semakin panjang (khususnya di daerah Indonesia bagian Timur). Selain dari Pasifik di timur laut, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia (di barat daya Indonesia). Fenomena anomali cuaca di Samudra Hindia ini, Indian Ocean Dipole Mode (IOD) Positif berdampak kekeringan, sedangkan IOD negatif mengakibatkan curah hujan tinggi di Indonesia. Ketika IOD positif terjadi, dampaknya tidak hanya terjadi di sekitar kawasan yang berbatasan dengan Samudra Hindia, tetapi juga di berbagai wilayah di dunia. Pada umumnya, setengah wilayah barat Samudra Hindia, pantai timur Afrika, dan India akan mengalami aktifitas konveksi lebih kuat dibanding normal, sedangkan kondisi kering akan mendominasi setengah kawasan timur Samudra Hindia, termasuk Indonesia dan Australia (Kompas, 2008) III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2007 sampai Juli 2008 di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor dan laboratorium klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor dengan lokasi penelitian adalah wilayah Provinsi Banten. 3.2 Alat dan Bahan Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa: 1. Data iklim harian hasil pengamatan periode 1979-2006 dari 62 stasiun pengamatan hujan meliputi data curah hujan harian dari hasil pengumpulan data dan suhu udara rata-rata yang diduga dengan menggunakan persamaan Braak. T = X − 0 , 0061 h pada 0 < h < 2000 mdpl T = X − 0 , 0052 h
pada h > 2000 mdpl
dimana: T= suhu udara rata-rata (dalam ºC) h= ketinggian tempat di atas permukaan laut (dalam m) X= suhu rata-rata stasiun acuan (dalam ºC) Hukum Braak adalah hukum yang digunakan untuk menentukan suhu suatu daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa suhu akan turun 0,61ºC tiap kenaikan 100 meter pada ketinggian dibawah 2000 meter dpl dan 0,52ºC tiap kenaikan 100 meter pada ketinggian 2000 meter dpl atau lebih (Rokhis, 1998). 2. Peta topografi yang mencakup tata letak stasiun yang dianalisis untuk memperoleh data lintang, bujur, dan ketinggian. 3. Peta-peta pendukung meliputi peta administrasi, peta jenis tanah dan peta penggunaan lahan Provinsi Banten Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat Personal Computer, perangkat lunak yang digunakan yaitu Microsoft Office 2000 (Ms Excel untuk pengolahan data dan Ms Word), Minitab ver 14 dan Arc View ver 3.3. 3.3 Metode Penelitian Skema tahapan analisis dan pengolahan data penelitian pada Lampiran 1. Pada penelitian ini, terdapat empat analisis utama yang dilakukan. Pertama adalah melakukan karakterisasi kekeringan klimatologis di Provinsi Banten. Kedua melakukan analisis indeks kekeringan menggunakan metode Palmer, karena metode ini merupakan standarisasi untuk iklim lokal, sehingga dapat digunakan untuk semua negara dalam menunjukkan kekeringan relatif atau kondisi curah hujannya. Ketiga adalah melakukan analisis hubungan antara indeks kekeringan dengan karakteristik kekeringan yang ditunjukkan dengan peta. 3.3.1 Karakteristik Kekeringan Parameter yang digunakan untuk menggambarkan kekeringan ada 8, yaitu: 1) rata-rata curah hujan bulanan jangka panjang 2) rata-rata jumlah hari hujan bulanan 3) rata-rata jumlah hari kering per bulan 4) peluang deret hari kering >5 hari berturutturut 5) peluang deret hari kering >10 hari berturutturut 6) peluang deret hari kering >15 hari berturutturut 7) peluang kejadian hari kering setelah hari sebelumnya juga kering U
U
U
U
U
U
7