BAB I PENDAHULUAN
“All societies have conflicts. Peace building is not designed to eliminate conflict from society, but to build capacities for civil society to resolve its conflicts at a level of short violence” (Alvaro de Soto, in Winning Peace, 1996, p.18)1 A. Latar belakang masalah Peacebuilding atau proses bina damai dibutuhkan setiap masyarakat yang telah mengalami konflik kekerasan berkepanjangan untuk membangun struktur perdamaian dan hubungan kerjasama yang baik diantara pihak yang berkonflik. Hubungan kerjasama yang baik akan mencegah konflik bersenjata terulang kembali dan memperkuat konsolidasi perdamaian. Pemilihan umum (pemilu), pembentukan konstitusi baru, dan pelucutan senjata, demobilisasi, serta reintegrasi mantan kombatan adalah beberapa tahapan bina damai yang diperlukan dalam transisi konflik menuju perdamaian dan demokrasi. Hal tersebut menjadi fokus bina damai di Nepal pasca perang saudara selama 10 tahun antara pemerintah Nepal dan kelompok pemberontak Maoist. Kondisi domestik Nepal tidak lepas dari upaya menciptakan demokrasi dan kebebasan politik untuk mengurangi kekuasaan kerajaan Nepal yang cukup besar. Kekuasaan yang terpusat di Khatmandu menciptakan kecemburuan sosial dan diskriminasi etnis khususnya di pedalaman Nepal, di mana sektor pemerintahan dikuasai golongan Brahmins dan Chetris yang berjumlah 30% dari populasi, sementara itu 57 etnis lain terpinggirkan dari kekuasaan politik.2 Permasalahan ketidakadilan sosial
dan ekonomi
yang menimbulkan kemiskinan dan
pengangguran di pinggiran Nepal, tidak dapat diselesaikan parlemen akibat
1
Valeria M. Gonzalez Posse, “Postconflict peacebuilding and Making Efforts Count: Reconstruction, Elections, and Beyond” dalam Harvey J. Langholtz, The Psychology of Peacekeeping, London: Praeger, 1998, p. 204. 2 Ibid. p.208.
1
persaingan kekuasaan antar partai yang menimbulkan ketidakstabilan politik.3 Ketidakadilan
sosial,
politik,
dan
ekonomi
serta
kegagalan
parlemen
menyelesaikan permasalahan membuat kelompok Maoist atau partai Communist Party of Nepal-Maoist (CPN-M) memilih keluar dari parlemen dan melakukan pemberontakan untuk menciptakan Republik Federal Nepal pada 13 Februari 19964. Perang saudara ditandai dengan serangan kelompok maoist ke sejumlah kantor polisi di daerah pinggiran Rukum, Rolpha, dan Sindhuli tahun 1996. Polisi dianggap kelompok maoist merupakan institusi negara yang korup dan sering melakukan diskriminasi terhadap masyarakat kecil di sejumlah daerah pedalaman Nepal yang miskin.5 Serangan terbesar Maoist terjadi pada 8 September 2002 terhadap sejumlah kantor polisi di timur Nepal dan menyerang pusat pemerintahan di wilayah Arghakanchi, bagian barat Nepal yang menewaskan 110 personel keamanan tentara Nepal.6 Kelompok Maoist tidak hanya menyerang pos polisi, namun membentuk tentara Maoist People’s Liberation Army (PLA) untuk melakukan serangan terhadap tentara Nepal di 20 daerah di bagian barat Nepal pada tahun 2001.7 Konflik berlangsung selama 10 tahun dan diperkirakan sekitar 16.000 orang tewas dan 1.000 orang hilang8 menimbulkan ancaman bagi stabilitas politik, ekonomi, dan sosial budaya di Nepal. Upaya perdamaian dalam mengakhiri perang saudara di Nepal ditandai dengan penandatanganan perjanjian perdamaian Comprehensive Peace Agreement (CPA) oleh PM G.P.Koirala, sebagai perwakilan pemerintah dan aliansi tujuh partai politik (Seven Party Alliance - SPA), dan Pushpa Kamal Dahal atau 3
Sumit Ganguly & Brian Shoup, “Nepal: Between Dictatorship & Anarchy”, Journal of Democrary, Vol. 16, No. 4, Oktober 2005, p. 134. 4 Drew Cottle & Angela Keys, “The Maoist conflict in Nepal: a Himalayan perdition?”, Australian Journal of International Affairs, Vol. 61, No. 2, Juni 2007, 168 & 170. 5 Ibid. 170. 6 Deepal Thapa & Bandita Sijapati, A Kingdom Under Siege: Nepal’s Maoist Insurgency, 1996 – 2004, Khatmandu: The Printhouse, 2003, p. 85. 7 Deepak Thapa & Bandita Sijapati, A Kingdom under Siege: A Nepal Maoist Insurgency, 1996 – 2004, Khatmandu: Printhouse, 2004, p. 120 -121. 8 Antara, Nepal tolak laporan kejahatan perang PBB,
, diakses 29 Januari 2013.
2
Prachanda sebagai pemimpin kelompok Maoist pada tanggal 21 November 20069 yang mengakhiri perang saudara selama 10 tahun. Perjanjian perdamaian CPA menandai babak baru dalam kehidupan domestik Nepal untuk membangun perdamaian berkelanjutan diantara pihak yang berkonflik. CPA menandai berakhirnya konflik bersenjata dan dimulainya proses peacebuilding atau bina damai pasca konflik di mana fokus tujuan yang ingin dicapai dalam bina damai di Nepal adalah integrasi kelompok Maoist dalam kehidupan politik dan sosial melalui keikutsertaan kelompok Maoist dalam pemilu untuk membentuk majelis konstituante, perumusan konstitusi baru, serta pelaksanaan Arms and Armed Management dibawah pengawasan PBB yaitu United Nation Monitoring in Nepal (UNMIN).10 Proses bina damai dan transisi demokrasi di Nepal berjalan lancar dengan pelaksanaan pelucutan senjata diantara pihak yang berkonflik dan keberhasilan pemilu majelis konstitusi pada tahun 2008. Proses pelucutan senjata dan pendataan tentara pejuang Maoist (PLA) ke barak penampungan dimulai pada bulan Januari tahun 2007. Pendataan mantan kombatan dan senjata aktif dilakukan di 28 titik penampungan dibawah pengawasan langsung oleh UNMIN.11 Sementara itu, pemilu berhasil dilaksanakan tahun 2008 dengan diikuti oleh kelompok Maoist (partai Unified Communist Party of Nepal - UCPN) dengan pengawasan oleh UNMIN menunjukkan awal yang baik dalam proses bina damai.12 Proses bina damai yang awalnya berjalan dengan baik terlihat mengalami kemunduran yang membahayakan perdamaian. Ketegangan politik terjadi antara kelompok Maoist (UCPN) dan pemimpin militer pada tahun 2009 yang 9
Tilak P. Pokharel & Somini Sengupta, Maoists Sign Peace Deal in Nepal, , diakses 3 April 2013. 10 Departmen of Political Affairs UN, Nepal, , diakses 29 Januari 2013. 11 Charles Haviland, Nepal Maoists ‘not confined yet’, , diakses 10 Mei 2013. 12 Crisis Group,Nepals faltering peace process, , diakses 24 Maret 2013.
3
menghambat proses integrasi dan rehabilitasi tentara Maoist (PLA). Partai politik terlibat dalam perdebatan politik yang terkait proses integrasi sehingga gagal menghasilkan solusi permasalahan integrasi hingga berakhirnya masa tugas UNMIN di tahun 2011.13 Permasalahan integrasi yang tidak terselesaikan tersebut berdampak pada terpinggirkannya masalah perumusan konstitusi baru. Perumusan konstitusi baru bagi Nepal sebagai bagian dari upaya bina damai tidak berjalan dengan baik. Krisis politik di Nepal akibat permasalahan integrasi membuat majelis konstitusi mengalami kesulitan dalam perumusan konstitusi. Majelis konstitusi gagal memenuhi tenggat waktu yang diberikan untuk merumuskan konstitusi baru bagi Nepal pada tanggal 28 Mei 2010. Perumusan konstitusi baru menjadi hal yang penting bagi Nepal untuk menjadi landasan legal formal yang mengatur masa depan Nepal paska konflik. Konstitusi baru dibutuhkan Nepal untuk mengatur bentuk sistem politik, pemerintahan, dan hukum yang akan dilaksanakan di Nepal setelah partai politik dan masyarakat Nepal setuju untuk membentuk Nepal menjadi sebuah negara republik federal. Pergantian dari monarki konstitusional menjadi sebuah republik federal tentu membutuhkan sebuah konstitusi yang mengatur hubungan antar kelompok dan individu di dalam masyarakat yang menganut sistem pemerintahan baru khususnya paska mengalami konflik berkepanjangan. Selain itu, konstitusi interim tidak bisa menjadi landasan legal formal dalam waktu yang lama sehingga Nepal memerluan suatu konstitusi baru. Kehadiran konstitusi baru juga diinginkan kelompok – kelompok etnis minoritas yang terpinggirkan selama konflik berlangsung. Konstitusi baru akan menjamin keterwakilan pihak – pihak yang selama ini terpinggirkan dalam kekuasaan selama berlangsungnya monarki konstitusional. Konstitusi baru diharapkan memberi keadilan dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini selalu terpinggirkan dan sulit mendapatkan haknya sebagai bagian warga Nepal. Ketiadaan konstitusi baru sebagai landasan legal formal yang 13
Crisis Group, Nepal fitful peace process, , diakses 24 Maret 2013.
4
menjamin tata perilaku hubungan antara kelompok – kelompok di Nepal akan menciptakan kesempatan terulangnya kembali konflik kekerasan di Nepal sehingga konstitusi baru merupakan hal yang harus segera dimiliki oleh Nepal. Partai politik sebagai aktor yang berperan penting dalam setiap perumusan upaya bina damai berusaha memberikan perpanjangan masa kerja bagi majelis konstitusi. Perpanjangan masa kerja majelis konstitusi untuk merumuskan konstitusi yang dilakukan sebanyak 4 kali tetap belum dapat menghasilkan konstitusi baru bagi perdamaian di Nepal. Kegagalan majelis konstitusi merumuskan konstitusi baru membuat PM Baburam Bhattarai (UCPN) membubarkan majelis konstitusi pada 27 Mei 2012. Kegagalan partai politik di pemerintahan dan majelis konstitusi dalam merumuskan dan menghasilkan konstitusi baru bagi Nepal sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan serta pembubaran majelis konstitusi di tahun 2012 menunjukkan proses bina damai di Nepal melalui perumusan konstitusi baru berjalan kurang efektif yang dapat berdampak buruk bagi kelanjutan perdamaian. Kegagalan majelis konstitusi merumuskan konstitusi baru bagi Nepal menarik untuk dilihat. Partai politik di Nepal yang seharusnya memegang peranan penting sebagai aktor utama dalam proses bina damai pada kenyataannya terlibat dalam perdebatan politik berkepanjangan. Kegagalan partai politik dalam mencapai konsensus yang berkaitan dengan masalah integrasi dan rehabilitasi tentara maoist (PLA) serta poin federalisme dalam konstitusi berdampak pada krisis politik yang membuat majelis konstitusi tidak dapat fokus menghasilkan konstitusi. Upaya perumusan konstitusi sebagai bagian dari proses bina damai yang disepakati oleh kelompok maoist dan aliansi tujuh partai politik (SPA) sendiri pada perjanjian perdamaian CPA tahun 2006 justru tidak terlaksana sehingga membahayakan proses bina damai di Nepal.
B.
Rumusan masalah
5
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian pada skripsi ini akan membahas “mengapa perumusan konstitusi baru sebagai bagian dari proses bina damai di Nepal berjalan kurang efektif?”
C. Kerangka konseptual Untuk menjawab rumusan masalah tentang mengapa perumusan konstitusi baru sebagai bagian dari proses bina damai di Nepal berjalan kurang efektif, penulis akan menggunakan konsep bina damai paska konflik dan democratic paradox. a. Bina Damai Paska Konflik Peacebuilding post conflict atau proses bina damai paska konflik merupakan proses membangun dan merekonstruksi sebuah negara setelah pemerintah, institusi, masyarakat, dan ekonomi mengalami kehancuran. Berakhirnya konflik senjata akan diikuti kondisi ketiadaan konsolidasi kekuatan yang terpusat, fungsi hukum, tata kelola pemerintah yang baik, demokrasi, dan perlindungan HAM sehingga proses bina damai paska konflik dibutuhkan untuk meminimalisir terjadinya kembali konflik bersenjata dan memperkuat proses perdamaian.14 Tindakan bina damai setelah konflik yang diperlukan untuk memperkuat proses perdamaian, antara lain15: 1. Pelucutan senjata dan pengamanan senjata dari pihak yang berkonflik serta pelatihan bagi personel keamanan. 2. Pemulangan pengungsi dan memajukan perlindungan hak asasi manusia 3. Pengawasan pemilihan umum, mendukung proses partisipasi politik secara formal dan informal, serta reformasi institusi pemerintahan.
14
Joris Voorhoeve, From War to the Rule of Law: Peacebuilding after violent conflicts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2007, p. 19. 15 Valeria M. Gonzalez Posse, “Postconflict peacebuilding and Making Efforts Count: Reconstruction, Elections, and Beyond” dalam Harvey J. Langholtz, The Psychology of Peacekeeping, London: Praeger, 1998, p. 197.
6
Aspek militer dan masyarakat menjadi hal tidak terpisahkan dalam proses perdamaian. Aspek militer meliputi proses genjatan senjata, demobilisasi dan pelucutan senjata kombatan, dan pelatihan militer bagi anggota kombatan. Sementara itu, aspek
masyarakat
meliputi
proses perlindungan
HAM,
pembentukan konstitusi, pemulangan pengungsi, dan pelaksanaan pemilu.16 Secara singkat, proses bina damai tidak hanya memastikan aspek militer seperti demobilisasi dan pelucutan senjata kelompok kombatan mengakhiri perang atau konflik kekerasan, namun aspek militer tersebut mendukung terciptanya peningkatan keamanan yang mencakup politik, sosial, dan ekonomi demi mendukung stabilitas perdamaian jangka panjang.17 Proses bina damai di Nepal dalam penelitian ini akan difokuskan pada upaya pembentukan konstitusi baru yang diikuti dengan transisi demokrasi melalui pemilu dan proses pelucutan senjata, demobilisasi, dan integrasi mantan kombatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk menciptakan perdamaian di Nepal. Konstitusi baru dibutuhkan Nepal untuk mengatur hubungan antar kelompok dan individu di dalam masyarakat paska konflik secara legal formal sehingga mencegah terulangnya kembali konflik kekerasan. Selain itu, konstitusi baru merupakan perwujudan pemikiran seluruh masyarakat Nepal tentang masa depan yang ingin dibangun di Nepal paska konflik sehingga konstitusi baru menjadi hal yang penting dalam bagian proses bina damai di Nepal. Salah satu elemen penting dalam proses bina damai adalah penulisan konstitusi dalam transisi politik dan pemerintahan ke arah demokrasi. Kristi Samuel melihat perumusan konstitusi paska konflik merupakan kesempatan untuk menciptakan kesamaan pandangan tentang masa depan negara dan cara untuk mencapai ke sana.18 Jamal Benomar menambahkan bahwa proses perumusan konstitusi merupakan upaya untuk mewakili kehendak rakyat, mencapai 16
Fabrizio Pagani, “The Peace Process at its Culmination: The Reconciliation Elections”, dalam Harvey J. Langholtz, The Psychology of Peacekeeping, London: Praeger, 1998, p. 225. 17 Ibid, p.198. 18 Kristi Samuels, “Post-conflict peace-building and constitution making”, Chicago Journal of International Law, Vol. 6, No.2, 2006, p. 2, < http://www.odi.org.uk/sites/odi.org.uk/files/odiassets/events-documents/1216.pdf >, diakses 10 Juni 2013.
7
konsensus tentang masa depan negara, dan untuk memastikan penghormatan terhadap prinsip – prinsip universal seperti perlindungan hak asasi manusia dan pemerintahan yang demokratis.19 Jamal Benomar melihat beberapa hal yang perlu diperhatikan suatu masyarakat dalam proses perumusan konstitusi paska konflik agar konstitusi baru dapat terlaksana, yaitu20: 1. Memisahkan
pelaksanaan
perjanjian
perdamaian
dengan
proses
pembuatan konstitusi. Ketika negosiasi pelaksanaan perjanjian perdamaian dan perumusan konstitusi dilaksanakan secara bersama – sama dan mengalami kegagalan, maka perhatian akan difokuskan kepada penyelesaian konflik jangka pendek (short term) dibandingkan pembangunan institusi jangka panjang (long term) seperti konstitusi sehingga disarankan proses perumusan konstitusi dan negosiasi pelaksanaan perjanjian perdamaian dipisah. 2. Mengelola proses pembuatan konstitusi secara inklusif dan transparan Proses perumusan konstitusi secara inklusif dan transparan bermanfaat bagi legitimasi dan umur jangka panjang bagi konstitusi baru tersebut. 3. Menentukan desain lembaga perumus konstitusi, antara elected constitution assembly atau appointed constitutional committee
19
Jamal Benomar, Constitution making and peace building: Lessons learned from the constitutionmaking processes of post conflict countries, < http://www.agoraparl.org/sites/default/files/constitution-making_processes_of_post-conflict_countries.pdf >, p. 1, diakses 1 Juni 2013. 20 Jamal Benomar, Constitution making and peace building: Lessons learned from the constitutionmaking processes of post conflict countries, < http://www.agoraparl.org/sites/default/files/constitution-making_processes_of_post-conflict_countries.pdf >, p. 4 15diakses 1 Juni 2013.
8
Tujuan dari lembaga perumus konstitusi untuk mencegah dominasi proses perumusan konstitusi oleh satu kelompok atau partai politik serta menjamin partisipasi publik sebagai bentuk legitimasi. 4. Memastikan konsensus tercipta pada proses konstitusi melalui konsultasi dan negosiasi antara pihak yang berwenang Musyawarah dan negosiasi dengan mengedepankan konsensus di antara pihak yang berwenang dalam perumusan konstitusi memberikan kontribusi terhadap umur panjang konstitusi dan daya tahan sistem politik, di mana musyawarah menunjukkan komitmen aktor politik untuk berpartisipasi dalam perumusan konstitusi sebagai sarana untuk mencapai stabilitas serta meletakkan dasar budaya politik konsultasi atau konsensus dan kerjasama multipartai. 5. Memastikan partisipasi masyarakat luas dalam perumusan konstitusi Partisipasi masyarakat luas sangat penting dalam proses perancangan konstitusi. Pemimpin politik di negara paska konflik seing mengalami keraguan untuk memasukkan partisipasi masyarakat dalam perdebatan publik mengenai masa depan negara. Pemimpin politik harus bekerjasama dan kuat terlebih dahulu sebelum membuka partisipasi masyarakat dalam perdebatan. 6. Menjamin perlindungan hak asasi manusia Nilai – nilai perlindungan hak asasi manusia sangat penting dalam pembahasan perumusan konstitusi 7. Pentingnya badan, organisasi, maupun individu yang ahli dan terpercaya dalam membahas isu konstitusi Para anggota yang berwenang dalam merumuskan konstitusi harus memiliki pengetahuan tentang konstitusi dan dampaknya bagi masa
9
depan negara sehingga penasehat ahli dan pakar konstitusi dibutuhkan dalam proses perumusan konstitusi. Berdasarkan hal di atas, perumusan konstitusi di Nepal tidak mencakup dua hal yang penting untuk menjamin konstitusi baru dapat terlaksana, yaitu partai politik di Nepal tidak dapat memisahkan penyelesaian proses integrasi yang tercakup dalam perjanjian perdamaian dengan proses perumusan konstitusi serta proses konsensus tidak terwujud dalam perumusan konstitusi karena partai politik gagal mencapai satu suara berkaitan dengan isu federalisme. Partai UCPN menginginkan perumusan konstitusi harus berjalan selaras dengan penyelesaian proses integrasi, namun partai politik lain menginginkan penyelesaian proses integrasi diselesaikan terlebih dulu untuk menjamin kondisi politik dan keamanan stabil yang pada akhirnya akan mendukung pelaksanaan perumusan konstitusi. Proses integrasi yang tidak terselesaikan dan berujung pada konflik politik pada tahun 2009 membuat partai politik lebih berfokus pada penyelesaian proses integrasi sebagai penyelesaian konflik jangka pendek sehingga pembangunan institusi jangka panjang yaitu perumusan konstitusi sebagai fokus utama bina damai menjadi terpinggirkan. Sementara itu, partai politik gagal menciptakan konsensus berkaitan dengan beberapa isi draf konstitusi seperti permasalahan federalisme yang tidak menghasilkan kemajuan bagi perumusan konstitusi. Kegagalan partai politik mencapai konsensus berkaitan dengan isu federalisme berujung pada kegagalan majelis konstitusi menghasilkan konstitusi baru sesuai tenggat waktu yang telah ditentukan. b. Democratic Paradox Transisi konflik menuju ke demokrasi dibutuhkan setiap negara paska konflik untuk membangun kembali lembaga dan institusi negara yang tidak berjalan selama konflik berlangsung. Demokrasi merupakan sistem politik yang dianggap baik karena mensyaratkan sedikit pemaksaan dan banyak persejutuan atau konsensus dalam pengambilan suatu keputusan. Meskipun begitu, demokrasi dalam pelaksanaannya tidaklah mudah karena tidak jarang demokrasi terjebak 10
dalam kontradiksi atau paradox yang seringkali disebut sebagai democratic paradox.21 Democratic paradox pada hakikatnya menunjukkan kondisi sistem demokrasi yang membutuhkan hal-hal penting seperti perwujudan konsensus dalam menjalankan demokrasi, tetapi dalam pelaksanaannya justru hal-hal penting tersebut seringkali sulit terwujud yang tidak jarang menimbulkan konflik dan pertentangan yang sulit diselesaikan. Dalam democratic paradox justru sistem demokrasi menimbulkan konflik yang berkepanjangan, bukan menjadi satu langkah penyelesaian efektif dengan perwujudan konsensus. Menurut Larry Diamond, terdapat tiga hal yang menjadi kontradiksi dalam pelaksanaan prinsip demokrasi. Tiga hal tersebut adalah22: 1. Kontradiksi antara konflik dan konsensus (Conflict vs Consensuss) Demokrasi merupakan sistem kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan. Tanpa konflik dan kompetisi, tidak ada demokrasi, tetapi jika konflik dan kompetisi tersebut terlalu berlebihan maka beresiko menyebabkan ketidakstabilan politik dan perdamaian. Demokrasi membutuhkan konflik tetapi tidak boleh terlalu berlebihan. Kompetisi harus tetap ada tetapi harus berada dalam batas-batas dan batas-batas tersebut harus terdefinisi. Kontradiksi tersebut harus diselesaikan dengan konsensus. 2. Kontradiksi antara keterwakilan dengan kemampuan memerintah (Representiveness vs Governability) Demokrasi berimplikasi pada keengganan untuk mengkonsentrasikan kekuasaan hanya pada beberapa kelompok, oleh sebab itu pemerintah tidak hanya harus merespon kelompok tertentu tetapi harus bisa menjadi mediator bagi kepentingan kelompok lain. Hal tersebut menuntut sistem partai yang bisa menciptakan pemerintahan yang stabil dan cukup kohesif untuk merespon atau mewakili kelompok yang berkepentingan sekaligus merespon kepentingan masyarakat luas tanpa condong atau 21
Larry Diamond, “Three Paradoxes of Democracy”, Journal of Democracy, Vol. 1, No. 3, 1990, p. 48. 22 Larry Diamond, “Three Paradoxes of Democracy”, Journal of Democracy, Vol. 1, No. 3, 1990, p. 49 – 50.
11
terkalahkan oleh kepentingan tertentu. Representiveness menuntut partai untuk mengemukakan kepentingan kelompoknya tetapi juga harus menyampaikan kepentingan
masyarakat atau kelompok lainnya,
sedangkan governability menuntut partai untuk memiliki otonomi khusus sehingga dapat tetap bertahan diantara desakan semua kepentingan yang ada untuk memperjuangkan kepentingannya. 3. Kontradiksi antara persetujuan dengan keefektifan (Consent vs Effectiveness) Demokrasi dipimpin oleh rakyat atau setidaknya diwakili oleh orangorang yang dipilih oleh rakyat. Persetujuan terhadap suatu keputusan diberikan oleh rakyat melalui wakilnya. Persetujuan membutuhkan legitimasi. Legitimasi membutuhkan kinerja yang efektif. Kinerja yang efektif sering kali bertentangan dengan persetujuan. Artinya wakil rakyat mengambil kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah rakyat tetapi cara yang diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut sering kali tidak sesuai dengan cara yang diinginkan oleh rakyat. Nepal yang menganut sistem demokrasi paska konflik tidak terlepas dari kondisi democratic paradox, khususnya kontradiksi antara konflik dan konsensus. Sistem demokrasi dengan politik konsensus yang sukses dijalankan pada transisi konflik ke arah demokrasi dengan pelaksanaan pemilu 2008 mengalami kontradiksi paska pemilu 2008. Politik konsensus yang dikedepankan partai politik dalam membahas proses bina damai lebih banyak berujung pada konflik politik karena kompetisi perebutan kekuasaan dan perbedaan pandangan antar partai politik yang sulit dipersatukan. Partai politik paska pemilu 2008 kesulitan mencapai konsensus yang berkaitan dengan penyelesaian proses integrasi dan rehabilitasi mantan kombatan (PLA) yang memicu krisis politik dan ketidakstabilan politik di Nepal. Selain itu, partai politik juga mengalami kesulitan mencapai konsensus berkaitan dengan draf isi konstitusi seperti permasalahan bentuk federalisme. Kesempatan penyelesaian perumusan konstitusi dan proses integrasi dengan cara politik konsensus yang ditawarkan sistem demokrasi tidak 12
dapat dimanfaatkan dengan baik, partai politik lebih sering terlibat pada konflik dan perdebatan politik berkepanjangan yang berujung pada kondisi tidak menghasilkan kemajuan apapun (zero sum) bagi proses bina damai sehingga penyelesaian perumusan konstitusi juga berjalan kurang efektif.
D. Argumentasi utama Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, maka argumentasi utama yang dapat ditarik adalah: “Perumusan konstitusi baru sebagai bagian dari proses bina damai di Nepal berjalan kurang efektif karena: 1. Partai politik tidak dapat memisahkan antara penyelesaian proses integrasi dengan perumusan konstitusi. Partai politik sering terlibat dalam konflik politik paska pemilu 2008 akibat gagal mencapai konsensus dalam penyelesaian proses integrasi dan rehabilitasi mantan kombatan (PLA). Kegagalan partai politik dalam menyelesaikan proses integrasi menimbulkan ketidakstabilan kondisi politik dan keamanan di Nepal. Ketidakstabilan kondisi di Nepal ditunjukkan dengan sering terjadinya pergantian pemerintahan sehingga hal tersebut berdampak pada terhambatnya majelis konstitusi dalam melakukan perumusan konstitusi baru. 2. Partai politik mempunyai perbedaan pandangan terkait beberapa poin dalam draft isi konstitusi baru seperti permasalahan federalisme yang juga tidak terselesaikan. Perbedaan pandangan yang tidak dapat dipersatukan membuat partai politik gagal mencapai konsensus sesuai tenggat waktu masa tugas majelis konstitusi yang telah ditentukan sehingga berdampak pada kegagalan majelis konstitusi merumuskan konstitusi baru.”
E.
Metode Penelitian 13
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif di mana penulis akan melakukan beberapa tahapan seperti pengumpulan data, pengolahan data, dan penulisan laporan. Pengumpulan data dilakukan dengan menyeleksi informasi yang diperoleh dari data sekunder dengan menggunakan sumber-sumber informasi seperti buku, jurnal ilmiah, dan artikel berita yang berasal dari media cetak dan media elektronik (internet) yang berhubungan dengan konflik, proses perdamaian, dan proses bina damai di Nepal. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan diformat menjadi sebuah deskripsi, yang diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah atau laporan penulisan.
F.
Jangkauan Penelitian Skripsi yang dibuat oleh penulis akan memfokuskan analisis upaya
perumusan konstitusi baru paska konflik sebagai bagian dari proses bina damai yang
dilakukan
oleh
pemerintah
Nepal
dan
kelompok
Maoist
pasca
penandatangan The Comprehensive Peace Agreement (CPA) di tahun 2006 hingga tahun 2012. Selain itu, data yang berkaitan dengan proses jalannya konflik dan kondisi kontemporer pasca dibubarkannnya majelis konstitusi di tahun 2012 yang relevan bagi penelitian ini akan turut dipertimbangkan.
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi empat bab. Berikut ini adalah isi dari masingmasing bab tersebut. Bab I: Pendahuluan Pada Bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Kerangka konseptual, Argumentasi Utama, Metode Penelitian, Jangkauan Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Proses Bina Damai Paska Konflik Pada Bab ini akan diuraikan proses bina damai di Nepal yang meliputi transisi politik paska konflik melalui pemilihan umum dan pembentukan konstitusi. 14
Bab III: Perumusan Konstitusi Kurang Efektif Pada Bab ini akan dianalisis mengenai penyebab kegagalan perumusan konstitusi baru di Nepal akibat krisis politik di Nepal yang berkaitan dengan konflik politik di pemerintahan dan perbedaan pandangan di antara partai politik di Nepal khususnya periode 2009-2012. Secara khusus bab ini menitikberatkan dinamika antar partai politik di Nepal. Bab IV: Penutup Bab ini merupakan penutup untuk mengakhiri susunan skripsi terhadap bab – bab sebelumnya.
15